Gereja dan Pelayanan Inklusif
Penulis: Aart van Beek
Gereja pelayanan saya, bertempat di pinggir utara sebuah taman
bernama Southside Park. Itu sebabnya, gereja putih kecil itu disebut
Park-view. Gereja saya beranggotakan orang-orang keturunan Asia,
namun di sampingnya ada gereja Katolik Meksiko besar. Gereja itu
merupakan salah satu tempat paling suci bagi orang-orang Meksiko di
seluruh Amerika Serikat, sehingga setiap minggu 6.000 jemaat datang
untuk mengikuti kebaktian, yang semuanya diselenggarakan dalam
bahasa Spanyol.
Di sebelah timur taman Southside Park, ada gereja Baptis dengan
jemaat kecil beranggota keturunan Eropa dan sebuah jemaat African
Methodist Episcopal yang didirikan sekitar 100 tahun yang lalu oleh
seorang budak yang dibebaskan di bagian selatan Amerika Serikat.
Di sebelah barat taman tersebut, berdiri dua "gereja" asal aliran
Shinto Jepang, yaitu "Tenrikyo" dan "Konko". Kalau belok kiri dari
situ, lalu berjalan kaki seratus meter, kelihatan jemaat kecil
Katolik Portugis bernama Fatima, dan di seberang jalan ada sebuah
mesjid orang-orang Pakistan. Tidak jauh, menyeberangi jalan besar
ada tempat beribadah agama Buddha yang sangat besar.
Beriman Tetapi Terpisah
Ketika saya berjalan di "kampung" downtown itu kok semua kelihatan
rukun dan beraneka ragam, seolah-olah ideal Amerika tercapai di
situ. Memang, kota Sacramento ini pernah dicap oleh majalah Time
sebagai kota yang paling beraneka ragam dan rukun dari segi suku dan
ras di Amerika Serikat, karena sebenarnya tidak ada mayoritas etnis
di kota itu. Ini nampak dalam jumlah pernikahan yang lintas-budaya
dan antara ras.
Namun demikian, kenapa setiap kelompok etnis mempunyai jemaat
sendiri? Kenapa, kalau kita memasuki gereja beranggota keturunan
Afrika, kita tidak melihat orang-orang Kristen dari ras yang lain.
Kenapa kalau kita memasuki gereja Katolik "Guadalupe" yang menganut
tradisi Meksiko, hampir tidak ada orang yang berasal dari negara
selain Meksiko itu? Kenapa, kalau ada pengunjung orang putih di
jemaat Asia yang saya gembalakan (yang kini secara resmi disebut
multi-cultural Asian, bukan lagi Japanese-American seperti dulu),
mereka tidak pernah kembali.
Jawabannya cukup mudah dicari: karena di gedung gereja kita ingin
menemui orang seperti kita sendiri. Di gereja kita tidak sanggup
merasa asing. Gereja adalah tempat di mana rasa memiliki diharapkan
akan paling murni. Anggota jemaat kita merupakan cermin di mana kita
memandang wajah sendiri.
Dalam buku mereka berjudul United by Faith, the multiracial
congregation as an answer to the problem of race (New York: Oxford
University Press, 2003) para penulis mengutarakan hasil penelitian
mereka. Mereka menyatakan bahwa jemaat yang beraneka ragam dapat
menjawab persoalan rasisme dan sukuisme.
Mereka memberikan contoh jemaat Antiochia dan Korinthus, pada zaman
kuno sebagai gereja yang mempersatukan sejumlah kelompok dari
beberapa latar belakang etnis. Para penulis juga menjelaskan bahwa
pada permulaan sejarah Amerika Serikat, jemaat-jemaat tidak
dipisahkan atas dasar ras, tetapi atas dasar kelas. Baru setelah
periode kolonial selesai, gereja dengan suku tersendiri mulai
berkembang sesungguhnya.
Di Indonesia, perbedaan ras tidak begitu main peranan, meskipun
masih cukup sering orang dipandang rendah karena warna kulit, daerah
asal dan lain sebagainya. Ternyata kita mengetahui bahwa jemaat yang
beraneka ragam dari segi suku dan budaya tidak gampang dikembangkan,
karena dalam kebaktian tradisi budaya dan bahasa memiliki fungsi
penting.
Tidak jauh dari jemaat saya-jalan kaki dua puluh menit ke utara-ada
taman lagi. Taman ini lebih besar dan menarik, karena di pusatnya
ada gedung Capitol, markas besar pemerintahan bagian negeri
California. Di Capitol itu, ada kantor Gubernur dan pemain film
berotot besar yang terkenal, yaitu Arnold Schwarzenegger.
Barangkali dari jendela kantornya, Arnold dapat melihat gedung
jemaat Presbyterian Westminster. Di sana, ada juga tempat kumpulan
jemaat kecil orang Indonesia. Pada perayaan Natal lalu, banyak orang
Indonesia datang dari seluruh California Utara: termasuk wakil
Konsul RI dari San Francisco. Juga, ada wanita Indonesia yang
berjilbab, mereka datang untuk menghormati sesama warga negara
Indonesia. Yang mempersatukan mereka bukan agama, tetapi kebangsaan
(dan juga sedikit: masakan Indonesia yang lezat).
Rasa kebangsaan kadang lebih menyatukan kita daripada agama dan
iman. Rupanya agama banyak memisahkan kita. Memang ini periode
konyol. Di seluruh dunia, termasuk di Amerika Serikat, rupanya
fundamentalisme sangat berkuasa dan suara orang moderat kurang
terdengar.
Bagi saya, Indonesia masih merupakan salah satu harapan dunia,
karena kerukunan jauh lebih membudaya daripada radikalisme. Saya
berpendapat bahwa budaya Asia Tenggara yang begitu mementingkan dan
merayakan anak-anak kecil, tidak mungkin menonjolkan jiwa pahit.
Negara berbudaya seperti itu akhirnya akan mementingkan perdamaian
dan kerukunan.
Jemaat Beraneka Ragam
Namun politik negara selalu berubah. Tidak mungkin kita
mempercayakan politik untuk selalu mempersatukan kita dalam negara
kita masing- masing. Persatuan manusia pasti berakar lebih dalam.
Seharusnya, iman kita juga bisa mempersatukan manusia. Jemaat-
jemaat yang tidak dapat mengafirmasikan seluruh manusia sebagai anak-
anak Allah tidak boleh disebut orang-orang beriman. Para penulis
buku "United by Faith" menegaskan bahwa gereja-gereja ".....
seharusnya merupakan tempat di mana manusia merasa diangkat secara
rohani dan diafirmasi secara pribadi..." (hal. 134) Implikasi
gagasan itu adalah bahwa semua mahluk patut diafirmasi. Dengan kata
lain, gereja harus bersikap dan bersifat inklusif, bukan eksklusif.
Para penulis "United in Faith" (DeYoung, Emerson, Yancey, dan Chai
Kim) menekankan, bahwa jemaat beraneka ragam dari segi suku dan
budaya akan menjadi pedoman untuk masyarakat secara umum. "Jemaat-
jemaat multirasial kemungkinan besar akan menjadi persekutuan
paralel dalam masyarakat yang rasistis. Jemaat-jemaat itu akan
menjadi tempat di mana mereka yang ingin mempelopori pola
persekutuan inklusif secara rasial ...menemukan perlindungan dari
masyakat yang terpolarisir.." (hal. 141).
Walaupun masalah rasisme atau sukuisme di Indonesia tidak setajam
seperti di Amerika Serikat, peraneka ragaman institut di Indonesia
pasti juga masih mengalami hambatan tertentu.
Otentik dan Mendamaikan
Para penulis buku di atas yakin, bahwa persekutuan-persekutuan
beriman harus harus menjadi teladan:"masa depan kekristenan dalam
abad kedua puluh satu bergantung pada contoh-contoh praktis dan
hidup beriman yang otentik dan mendamaikan. (Hal. 143) Kata-
kata "otentik"(authentic) dan "mendamaikan" penting
sekali. "Authentic" berarti "tangan asli" tetapi dalam konteks ini
juga berimplikasi "berhati asli" atau "berjiwa asli." Apa maksudnya
iman yang otentik?
Jawabannya wajar; kalau kita kembali ke iman yang "tangan
asli", "berhati asli" ataupun "berjiwa asli" kita kembali ke suatu
pemahaman yang mendahului ras dan kelas dan agama pun. Kita kembali
ke gagasan bahwa manusia diciptakan bersatu dan setaraf. Dengan kata
lain, yang mempersatukan kita bukan suku kita atau daerah asal kita
atau bahasa kita atau kelas ekonomis atau pendidikan atau kebangsaan
atau pun agama. Yang mempersatukan kita secara "otentik" adalah
warisan kita bersama sebagai ciptaan sayangan dari Yang Mulia.
Gereja dan Pelayanan inklusif di Indonesia Dalam masyarakat yang
beraneka ragam, dari segi budaya atau pun dari segi agama, pelayanan
bermutu adalah sarana utama orang beriman untuk menunjukkan kasih
kepada mereka yang menderita. Pelayanan bermutu berarti pelayanan
yang mulai dengan kebutuhan penderita secara menyeluruh.
Gereja jangan mengatakan dengan sikapnya, "Inilah pelayanan kami,
terserah anda mau menerimanya atau tidak. Datanglah kepada kami dan
kami akan melayanimu sesuai dengan minat, kemampuan dan pendidikan
kami".
Sebaliknya, gereja hendak menjawab kebutuhan mereka yang menderita
secara yang kreatif dengan datang kepada penderita. Walaupun tidak
dijelaskan dalam buku "United by Faith", orang-orang beriman hanya
dapat mempersatukan kembali manusia kalau kasih para pelayan beriman
merupakan kasih yang sungguh-sungguh, tanpa kesombongan dan paksaan
atau agenda tersembunyi.
Keaslian sikap para pelayan selalu akan nampak pada yang membutuhkan
pelayanan. Gereja hanya akan inklusif kalau pelayan-pelayan beriman
sungguh dalam menunjukkan kasih. Tanpa kasih yang murni, kata-kata
orang beriman akan seperti gaung saja, dan pelayanan mereka akan
berjiwa kosong.
Hanya kasih yang tulus dalam pelayanan gereja dapat mengarahkan
masyarakat menuju kerukunan. Selalu akan terdapat perbedaan antara
manusia, tetapi pada dasarnya seluruh manusia mengerti apa itu kasih
yang sungguh-sungguh, dan siapa pelayan yang tulus itu.
.........................................................................................................................................
Penulis adalah mantan dosen konseling pastoral di Universitas
Kristen Satya Wacana Salatiga dan Sekolah Tinggi Teologi Jakarta
Sumber: Suara Pembaharuan