Gereja Bersalah!!!
Oleh: Sefnat A. Hontong
Di sekitar kita, pada satu pihak ada banyak saudara yang tidak sehat, putus sekolah, tinggal di gubuk derita, tidak punya HP, TV, apalagi sepeda motor karena tidak beruntung menjadi orang yang banyak rejeki. Sementara pada pihak yang lain, ada juga beberapa saudara kita yang suka mabuk-mabukan, gunakan narkoba, jalan-jalan ke tempat ‘hiburan’ sebagai kebutuhan hidup karena bebas menggunakan duitnya. Paling banter dari semua itu adalah ternyata ada beberapa saudara lain yang menjadi preman, PSK, pengedar togel dan koruptor untuk membiayai hidupnya. Pertanyaan saya adalah: mengapa bisa begitu ya……?
Banyak orang sudah memberi jawab terhadap pertanyaan dan fenomena tersebut. Ada yang mengaitkannya dan berpendapat bahwa sebagian dari fakta di atas disebabkan oleh ‘dosa’ pribadi dan ‘dosa’ turunan. Dalam artian bahwa beberapa dari fenomena itu bisa terjadi karena ‘kutuk’ kepada orang-orang yang ‘tidak setia’ bahkan telah ‘melawan’ kebenaran tertentu yang diklaim sebagai kehendak Tuhan, misalnya: malas, tak peduli, tidak punya semangat wirausaha, apatis, dan konsumtif. Ada juga yang menegaskan bahwa beberapa perbuatan a-moral di atas bisa terjadi karena kurangnya pendidikan moral dalam keluarga, masyarakat, dll.
Dalam kacamata saya, yang agak kabur-kabur sedikit, melihat bahwa fenomena-fenomena yang terjadi itu justru disebabkan oleh ‘dosa’ struktur yang kemudian memaksa setiap pribadi maupun kelompok untuk ‘terjun bebas’ ke dalamnya dan menjadi tercemar. ‘Dosa’ struktur yang saya maksudkan ialah telah terjadi sebuah kesalahan besar dalam hal membangun struktur hidup dalam masyarakat, baik oleh para elite yang berada dalam sebuah lembaga dalam masyarakat, beserta dengan lembaganya, maupun oleh masyarakat sendiri dalam pola pikir dan penghayatan-penghayatan ideologisnya. Hans K?ng menyebutkan hal ini sebagai kesalahan terbesar dalam membangun paradigma kehidupan.
Terkesan seolah-olah saya mau menghindari ‘dosa’ pribadi. Bukan itu tujuan saya. Saya sangat sadar dengan ‘dosa’ pribadi. Namun bagi saya, kesadaran mengenai adanya ‘dosa’ pribadi jangan dimaknai sebagai sesuatu yang terlepas begitu saja dari gayutan dan pengaruh ‘angin topan’ serta jerat ‘dosa’ struktur buatan tangan dan ide kita sendiri; malah ke situlah sebenarnya arah dan orientasi kesadaran mengenai ‘dosa’ pribadi. Ibarat kertas putih yang dicoret-coret sehingga menjadi kotor, tabularasa-nya Jhon Lucke.
Fakta empiristis seperti itu akan lebih menarik apabila kita menghubungkannya dengan diskusi yang dibangun oleh J?rgen Habemas dalam seluruh struktur berpikirnya. Bagi saya, konsep berpikir J?rgen Habermas jika dibuat secara sederhana akan memberi kesimpulan kepada kita bahwa ia sebenarnya sedang mengkritisi pola pikir dan paradigma ideologis masyarakat yang cenderung dikotomis dalam realitas. Misalnya bisa kita lihat dalam teori ‘tindak-tutur’ yang dirumuskannya, yakni: “fakta kebenaran adalah tidaklah seperti benda atau peristiwa di muka bumi yang disaksikan atau didengar atau dilihat, diputus atau dijungkir-balikkan, disela atau diperpanjang, ditendang, dihancurkan, diperbaiki atau berbunyi nyaring’, melainkan adalah tindakan oleh subjek yang bertindak. Artinya, sebuah komunikasi tentang kebenaran yang hendak disampaikan oleh seseorang kepada orang lain, bukan sebatas kata-kata saja, namun harus teraktualisasi dalam tindakannya. Inilah fakta dari sebuah komunikasi yang sesungguhnya tentang kebenaran. Oleh karena itu, sebuah interaksi sosial (yang komunikatif) dalam masyarakat bagi Habermas adalah wadah dimana subjek-subjek yang berbicara dan bertindak menjalinkan ‘tindak-tutur’ mereka secara bersama-sama untuk saling membangun dan saling membagi.
Menerapkan konsep berpikir Habermas tersebut ke dalam fakta yang saya sebut sebagai ‘dosa’ struktur di atas, maka paling-tidak, kita harus sepakat bahwa sejumlah fenomena ‘negatif’ yang muncul dalam realitas masyarakat, seperti yang saya sebutkan di atas, salah satunya disebabkan oleh kecenderungan masyarakat dalam membangun struktur hidupnya dalam jalur reality-dichotomistic. Dimana dalam struktur berpikir seperti ini orang selalu memandang ada dunia ‘sorgawi’ dan dunia ‘duniawi’. Dalam bahasa Habermas bisa disebut sebagai fakta kekurangan dalam rangka komunikasi yang efektif dalam masyarakat, sebab orang terbiasa melakukan pemisahan antara tindakan dan tuturan dalam berkomunikasi. Akibatnya adalah terjadi ketidak-seimbangan dalam merancang kehidupan beserta program-program pengembangannya, baik oleh individu (keluarga) maupun oleh lembaga-lembaga sosial dalam masyarakat. Tidak jarang, hal ketidak-seimbangan itu turut memberi ruang bagi terciptanya tindakan manipulatif dan ‘penipuan’ penampilan setiap person dan masyarakat dalam hidupnya. Karena orang pada umumnya berpikir bahwa tindakan manipulatif dan ‘penipuan’ wajah diri itu adalah urusan masing-masing pribadi nanti di dunia ‘sorgawi’ di sana. Orang tidak diajak sama sekali untuk berpenampilan jujur dan tulus dalam dunia ‘duniawi’-nya, karena tokh dunia ‘duniawi’ ini adalah ‘jahat’.
Dalam kehidupan menggereja, paling-tidak yang bisa saya lihat, dalam konteks di Halmahera, kecenderungan membeda realitas dalam dua (2) bagian seperti itu masih cukup kuat. Sebenarnya juga menarik, karena pada satu pihak di kalangan para teolog (orang yang betul-betul membangun teologi) kesadaran adanya kritik dikotomistis seperti itu sudah cukup menjadi tekanan bahkan terkesan sedang dalam upaya dan kerangka membangun teologi jemaat. Namun di pihak yang lain, terutama berasal dari respon dan tanggapan warga jemaat justru terus menggoda untuk bertahan pada posisi dikotomistis seperti itu. Bukan hanya dari kalangan warga jemaat yang biasa dengan rada pendidikan yang standar, namun juga dari kalangan warga jemaat dengan intelektual yang lebih maju.
Bagi saya, itulah ‘dosa’ dan kesalahan struktur, yang salah satunya justru diciptakan dan dihidupi oleh gereja. Dalam sejarah gereja di Halmahera (GMIH), fakta ini umumnya dianalisis sebagai akibat dari penekanan teologi pietisme yang dulu sangat digandrungi oleh para misionaris sehingga terwarisi hingga kini. Namun bukan itu saja, menurut penelitian James Haire, kenyataan itu juga diperkuat dan disupport oleh kultur dan tradisi masyarakat Halmahera yang lebih dekat pada pendekatan dan keyakinan akan hal-hal yang ‘rohani’ ketimbang yang jasmani. Akibatnya adalah paradigmatis dikotomistis itu tidak bisa dikekang secara gampang dalam sejarah GMIH. Hal ini masih membutuhkan waktu yang cukup panjang ke depan. Namun kesadaran yang muncul sekarang ini tentang dampak yang ditimbulkannya, bagi saya sudah menjadi sebuah modal yang besar untuk terus berpikir dan berteologi ke depan.
Salah satu dasar Alkitab yang bisa saya kutip untuk memberi dukungan bagi upaya-upaya berteologi dalam rangka mengkritisi ideologi yang hidup dalam konsep reality-dichotomistic seperti itu adalah isi dari Khotbah Yesus tentang ‘Akhir Zaman’ sebagaimana yang dicacat oleh penginjil Matius dalam pasal 25:34-40. Singkat khotbah-Nya adalah: yang perlu dilakukan oleh gereja (secara institusi dan individu) adalah melayani sesamanya sebagai hal yang utama dalam menggariskan seluruh kebijakan hidup menggereja. Dimana apabila hal ini telah dilakukan secara efektik dan efisian, maka secara otomatis akan mendorong orang untuk bersyukur dalam kebaktiannya kepada Tuhan. Bukan sebaliknya, yang ditekankan dan diprogramkan sebagai yang utama oleh jemaat/gereja adalah dampak dari rasa syukur orang tersebut, yakni: program-program kebaktian, padahal ia belum sama sekali melayani sesamanya.
Saya tidak mengatakan bahwa kebaktian itu tidak penting, namun dalam pandangan saya, kebaktian pada hakekatnya adalah akibat dan rasa syukur orang setelah ia menyelesaikan tugas-tugas melayani sesamanya. Jadi, yang wajib diatur dan diprogramkan oleh gereja/jemaat adalah bagaimana ia harus melayani sesama, bukan bagaimana orang harus rajin masuk kebaktian dan bagaimana kebaktian bisa berjalan, sekalipun hal ini penting. Dalam konteks berpikir seperti itu-lah, maka apabila ada fenomena negatif yang muncul dalam masyarakat sebagaimana yang telah saya sebutkan beberapa diantaranya di atas, maka gereja-lah yang paling utama harus berada di garda depan dalam mencari solusinya, dan bukan hanya berdoa saja, apalagi mengutuknya sebagai sesuatu yang ‘jahat’ dan menjauhinya. Apabila hal ini masih dilakukan oleh gereja, yaitu: hanya mengatur kebaktian sebagai program utamanya, dan mengesampingkan pelayanan terhadap manusia dan sesamanya (termasuk lingkungan hidup), maka sikon seperti inilah yang saya maksudkan dalam pernyataan ‘Gereja Bersalah!!!’
Situs penulis: http://sefnathontong.blogspot.com/