'Ora Et Labora' Versus 'Labora Nex Ora'

Oleh: Sefnat A. Hontong

Seandainya di hari Raya Pentakosta ini kepada Anda semua ditanyakan manakah yang lebih duluan dilakukan oleh orang yang beriman kepada Tuhan, di antara dua (2) tindakan ini; ‘makan’ dan ‘berdoa’? Apakah Berdoa dulu, baru makan? Ataukah: makan dulu, baru berdoa? Saya yakin, sesuai dengan tradisi umum, Anda semua dengan tegas akan menjawab: berdoa dulu, baru makan. Artinya dengan melakukan ini, kita hendak menyatakan iman kita bahwa makanan yang kita makan itu merupakan wujud berkat Tuhan atas karya hidup kita, sehingga sebelum menikmatinya, kita wajib menyatakan syukur kepada Tuhan, lewat doa kita. Jadi alasan praktisnya sangat jelas di sini, yakni: doa merupakan bentuk syukur kita kepada Tuhan karena sudah memberi berkat dalam karya hidup kita.



Hal ini tidak berarti bahwa jika ada di antara kita yang ‘makan dulu, baru berdoa’ itu keliru. Sama sekali bukan itu maksudnya. Dalam konteks posisinya, kita bisa berdoa sebelum atau-pun sesudah makan, yang penting alasannya jelas, yaitu: doa merupakan bentuk syukur kita kepada Tuhan karena sudah memberi berkat dalam karya hidup kita. Maka maknanya yang mendasar di sini adalah kita berdoa karena kita berkarya/bekerja. Apakah sebelum atau sesudahnya, dalam konteks posisi dan letaknya, bukanlah hal utama yang hendak saya bahas dalam tulisan ini. Yang menjadi soal utama dalam artikel ini adalah apabila kita hanya berdoa saja dan tidak pernah berkarya/bekerja. Dalam bahasa Latin, hal itu dirumuskan dengan satu (1) kalimat pendek yang sederhana: ‘ora et labora’ (berdoa dan bekerja) bukan ‘ora no labora’ (berdoa tanpa bekerja). Kata ‘ora’ juga bisa berarti ‘berbicara’. Jadi makna kalimat Latin itu juga bisa berarti: ‘berbicara dan bekerja’, bukan hanya ‘berbicara tanpa bekerja’.

Berkaitan dengan hal itu, marilah kita menelusuri pola hidup beriman warga jemaat mula-mula, sebagaimana yang ditulis dalam Kisah Para Rasul 2:41-47. Bagi saya, dalam teks ini ada satu (1) fakta yang sangat menarik untuk kita perhatikan, dalam kaitannya dengan apa yang saya sentil di atas. Fakta itu adalah: sebanyak dua (2) kali penulis teks ini menggagas sebuah pola hidup beriman yang menghidupkan. Yakni dalam ayat 42 (akhir) dan ayat 46 (akhir) s/d 47 (awal). Ayat 42 (akhir) berkata: ‘Dan mereka selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa’. Sedangkan ayat 46 (akhir) s/d 47 (awal) berkata: ‘Mereka memecahkan roti di rumah masing-masing secara bergilir dan makan bersama-sama dengan gembira dan dengan tulus hati, sambil memuji Allah (bisa berarti: berdoa)’. Bagi saya, di sini ada dua (2) aspek penting yang hendak ditekankan oleh penulis untuk kita simak secara serius dalam rangka menemukan pola hidup beriman yang menghidupkan itu. Yaitu: aspek ‘memecahkan roti dan makan bersama-sama’, yang saya sebut sebagai ‘aspek sosial’, dan aspek ‘berdoa’, yang saya sebut sebagai ‘aspek ritual’.
 
Dalam teks ini, menurut pembacaan saya yang pertama, kedua aspek tersebut (sosial & ritual) dikatakan berjalan secara seimbang, sejajar, dan serasi dalam penghayatan beriman warga jemaat. Satu aspek tidak dianggap lebih penting dari aspek yang lain. Atau sebaliknya, yang satu tidak dianggap lebih rendah derajatnya dari lain, melainkan sama-sama penting dan sama-sama dihayati secara mendalam dalam kehidupan beriman mereka. Saya rasa, semua orang akan setuju dengan pernyataan ini, jika ia sungguh-sungguh menyelami nuansa kehidupan beriman umat dalam teks ini, yaitu: bahwa kedua aspek tersebut (sosial & ritual) sungguh-sungguh dihayati secara seimbang, serasi, dan sejajar dalam kehidupan beriman. Jadi, polanya terlihat sederajat, yang sosial dan yang ritual sama-sama penting dan sama-sama harus terhayati dalam tindakan dan perilaku umat.

Sekalipun demikian, saya masih punya 1 (satu) bentuk bacaan yang lain, yang kedua, sangat berbeda dengan kesimpulan umum seperti itu. Dan hal itu akan nyata apabila kita secara serius memperhatikan gaya bercerita sang penulis kitab ini. Yaitu ketika ia dengan sadar dan eksplisit menulis/menekankan sebanyak 2 (dua) kali ‘aspek sosialnya’ lebih dulu (dhi, memecahkan roti dan makan bersama-sama) dan baru sesudah itu ‘aspek ritualnya’ (dhi, berdoa). Sebanyak 2 (du) kali, ia menekankan pola yang sama, baik dalam ayat 42 maupun ayat 46 & 47; aspek sosial lebih dulu, baru sesudah itu aspek ritualnya. Tentu ini bukan sebuah kebetulan saja. Malah dalam hal ini saya mencurigai dan sekaligus menilai bahwa dengan melakukan hal ini, penulis teks ini, hendak memperlihatkan kepada kita sebuah pola aplikasi beriman umat secara baru, yang harus digaris-bawahi oleh kita. Pola beriman secara baru baru itu, saya sebut dengan pola beriman sosial-ritual. Artinya sebuah pola hidup beriman yang mendahulukan karya-karya sosial, karya-karya melayani sesama lebih dulu (aspek sosialnya), dan baru sesudah itu bersyukur dalam kebaktian (aspek ritualnya).

Dalam hemat saya, inilah pola hidup beriman yang menghidupkan, yang hendak digagas oleh penulis teks ini bagi kita. Sekaligus sebenarnya dengan gagasan ini, ia hendak mengkritisi juga pola hidup beriman kita yang selama ini berbentuk ritual-sosial, yang berarti: menganggap bahwa kebaktian (aspek ritual) jauh lebih penting dari karya-karya melayani sesama (aspek sosial). Bahkan lebih banter dari itu, adalah ia hendak mengkritisi pola beriman kita yang selama ini sungguh-sungguh sangat ritualistis semata-mata, yang berarti: menganggap bahwa yang penting hanyalah berdoa saja atau berbakti kepada Tuhan saja.

Pada suatu hari, secara ‘nakal’ saya menulis sebuah artikel di Koran Radar Halmahera (tanggal 15 April 2013) dan memberi judul artikel itu: ‘Gereja Bersalah’. Dalam artikel itu, saya antara lain mengatakan: kesalahan terbesar dalam hidup menggereja kita selama ini adalah telah mengabaikan panggilan kita pada aspek sosial dan kemasyarakatan, dan lebih menekankan hanya pada aspek ritual/kebaktian saja. Akibatnya pola hidup umat kita menjadi tidak seimbang, hanya berorientasi ke ‘sorga’ di seberang ‘sana’, lalu lupa pada realitas dunia nyatanya di ‘sini’ setiap hari. Bukti untuk mendukung pernyataan ini adalah: masih minimnya program-program diakonia dalam kehidupan menggereja kita, apabila disandingkan dengan program-program kebaktian yang sangat banyak itu. Padahal dalam jemaat kita sendiri, bahkan ada begitu banyak warga yang sangat membutuhkan pelayanan diakonia itu, baik untuk menjaga dan merawat kesehatannya, melanjutkan pendidikan, membangun rumah, anak yatim/piatu, ibu janda dan orang miskin, yang terjangkit virus HIV/Aids, dll. Memang saya akui di gereja-gereja umumnya sudah ada program diakonia kepada orang sakit, janda, dan lanjut usia. Namun yang mengherankan adalah baik pihak gereja maupun orang yang dilayani itu, justru sama-sama mengklaim bahwa yang penting adalah ‘doa’-nya. Padahal selain doa juga material sangat dibutuhkan dalam pelayanan-pelayanan itu.

Ahirnya. saya sering menyebutkan fakta ini dengan sebuah istilah yang lain lagi, yakni: kita ini sangat suka menjadi ‘gereja surga’ (gereja yang hanya berdoa dan berdoa saja), dan tidak mau menjadi ‘gereja dunia’ (gereja yang peduli dan melayani dunia), karena kita selalu beranggapan bahwa dunia ini jahat, penuh dosa, kotor, najis, dll. Lalu kita mulai mengurung karya Roh Kudus hanya dalam doa-doa kita, dan seola-olah ‘melarang-Nya’ untuk berkarya sosial dalam pelayanan menggereja kita. Padahal, jika kita mengingat isi khotbah Yesus tentang ‘Akhir Zaman’, yang tertulis dalam Matius 25 ayat 34 s/d 40, kita akan menjadi sadar bahwa ukuran orang yang bisa menjadi ahli waris Kerajaan Sorga ialah apabila mereka dalam hidup ini sungguh-sungguh memperhatikan aspek sosial dalam kehidupan bersama (melayani orang yang lapar, yang haus, orang asing, telanjang, sakit, di penjara, alias orang-orang hina), ketimbang aspek ritualnya. Dalam teks ini, hal itu disebut dengan membangun pola beriman sosial-ritual, bukan ritual-sosial apalagi yang ritualistis semata-mata.

Saya menduga, mungkin karena pola beriman kita yang sangat ritualistis seperti itulah yang telah menyebabkan kehidupan kita berbanding terbalik dengan kehidupan warga jemaat mula-mula, sebagaimana yang dikisahkan dalam ayat 47. Dimana kehidupan menggereja kita, bukannya disukai atau disenangi orang, melainkan dimusuhi dan digusur. Berhubungan dengan hal penggusuran ini, saya mempunyai data bahwa sampai dengan tahun 2013 ini sudah ada kurang lebih 600-an gedung gereja yang telah digusur dan ditutup/segel di Negara kita ini. Apakah hal penggusuran ini hanya disebabkan oleh pola aplikasi beriman kita yang keliru (yang ritualistis) itu? Saya tidak tahu secara pasti. Namun dalam kaitan ini, ada hal yang menarik untuk kita perhatikan secara serius, yakni apa yang dinyatakan oleh menteri agama RI baru-baru ini di sebuah media masa (Indonesia.ucanews.com), yaitu bahwa: masalah penggusuran gereja-gereja di Indonesia ini, justru disebabkan oleh ulah dari warga gereja (orang Kristen) sendiri. Terlepas dari apakah pandangan dan penilaian ini objektif/benar atau tidak, bagi saya, ia sudah harus menjadi sebuah batu uji bagi kita sebagai warga gereja di Indonesia untuk kembali memperhatikan pola hidup beriman kita, agar disukai orang lain dan menghidupkan mereka.

Dalam rangka itulah, saya berpendapat sudah waktunya kita beriman bukan lagi dalam pola ‘ora et labora’ (berdoa dan bekerja), sebab nanti hanya ‘ora’-nya (doa) yang diutamakan; pola beriman ritualistis. Namun harus dengan pola yang baru, yaitu: ‘labora nex ora’ (berkarya sosial dulu, baru berdoa), maka yang terjadi nanti adalah kita akan bersungguh-sungguh mengutamakan karya-karya sosial kita dalam hidup ini. Lalu apabila tiba waktunya kita berdoa, maka doa kita itu akan sungguh-sungguh menjadi ungkapan rasa syukur kita kepada Tuhan, karena sudah memberi berkat dalam karya-karya sosial kita itu; pola beriman sosial-ritual. Semoga!

Situs penulis: http://sefnathontong.blogspot.com/