Liberalisme
Oleh: Herlianto
Melengkapi artikel Liberalisme di Belanda dan Adat Istiadat, ada beberapa istilah yang perlu dikenal lebih jauh terutama Liberalisme. Liberalisme berkaitan dengan kata Libertas (bhs. latin) yang artinya kebebasan, dan Liberalisme mencakup banyak aliran yang berbeda artinya di bidang politik, ekonomi dan keagamaan, yang berpangkal tolak pada kebebasan orang-perorangan terhadap kekuasaan apapun (A. Heuken SJ: Ensiklopedi Gereja).Liberalisme dapat dimengerti sebagai (1) tradisi politik (2) filsafat politik dan (3) teori filsafat umum, mencakup teori nilai, konsepsi mengenai orang dan teori moral sama halnya dengan filsafat politik. ... Di Perancis, liberalisme lebih dekat dikaitkan dengan sekularisme dan demokrasi (Stanford Encyclopedia of Philosophy, 2003).
Ensiklopedi Nasional Indonesia menyebut liberalisme sebagai aliran pikiran yang mengharapkan kemajuan dalam berbagai bidang atas dasar kebebasan individu yang dapat mengembangkan bakat dan kemampuannya sebebas mungkin. Heuken lebih lanjut menyebut liberalisme dasarnya adalah pandangan Zaman-Pencerahan, bahwa manusia tidak hanya berhak mengusahakan masyarakat yang bebas dari kekuasaan negara, yang kurang mengindahkan hak-hak azasi manusia, melainkan juga membebaskan diri dari kuasa rohani yang tidak mendapat mandat dari umat. Kuasa "dari atas" ditolak.
Mirip dengan liberalisme, Libertinisme juga berkaitan dengan Libertas. Dalam Alkitab ada disebut orang libertini yang berarti orang Yahudi yang telah bebas dari penjara Romawi dan memiliki sinagoga sendiri di Yerusalem (Kis.6:9), tetapi dalam pengertian umum, libertin adalah orang yang membebaskan diri dari kekangan, terutama norma sosial dan agama, dan moral (Wikipedia).
Libertin mulai muncul di abad-17, mengisyaratkan sikap yang skeptik dan pemikir bebas/free-thinkers (Encyclopaedia Britannica, 2006). Dari beberapa perilaku libertin kita dapat melihat ciri-ciri libertinisme atau faham yang dianut orang libertin. Seorang tokohnya, Theophile de Viau diusir dua kali dari kota Paris karena pandangannya yang atheistik dan hidup berfoya-foya, dalam sajak yang ditulisnya di The Satirical Parnassus ia tidak menghiraukan nilai moral dan seksual, dan dalam banyak sajaknya sama halnya dengan sesama libertin Marc Antoine de Gerard Saint Amant, mereka menentang ajaran agama dan konvensi moral masyarakat. Libertin menyiapkan jalan bagi abad berikutnya yang menularkan roh kritik yang dilandaskan pada logika(Encyclopedia Encarta, 2006).
Dari pengertian demikian, tepat seperti yang dikatakan oleh Verkuyl bahwa manusia berada di antara libertinisme dan farisiisme (lihat artikel Adat Istiadat). Disatu pihak ia ditarik kecenderungan keterbukaan dengan moralitas bebasnya, dipihak lain ia ditarik kecenderungan ketertutupan dengan moralitas kakunya.
Liberalisme, sekalipun bisa diartikan macam-macam dalam berbagai bidang yang berbeda, memiliki pengertian sendiri dalam teologi. Liberalisme teologi adalah salah satu pemikiran agama yang menekankan penyelidikan agama yang berlandaskan norma diluar otoritas tradisi gereja. Liberalisme adalah keinginan untuk dibebaskan dari paksaan kontrol dari luar dan secara konsekwen bersangkutan dengan motivasi dari dalam diri manusia.
Dalam Encyclopaedia Britannica, liberalisme dapat dibagi dalam tiga masa, yaitu: masa pertama dari abad-17 sampai pertengahan abad-18; masa kedua dari pertengahan abad-18 sampai akhir abad-19; dan masa ketiga dari pertengahan abad-19 sampai abad-20.
Masa Pertama, liberalisme teologi biasa dikaitkan dengan filsuf dan matematikawan Rene Descartes. Masa ini juga disebut sebagai masa Rasionalisme dan Pencerahan. Descartes menekankan cara berfikir yang berpengaruh sampai abad-19 dan meletakkan dasar perkiraan kesadaran modern, yaitu: (1) keyakinan akan pikiran manusia, (2) mengutamakan manusia sebagai pribadi, (3) imanensi Tuhan, dan (4) keyakinan bahwa sifat alami manusia bisa dan selalu diperbaiki.
Masa Kedua, liberalisme teologi dikenal sebagai masa Romantisme yang diawali dengan disadarinya keunikan individu dan konsekwensinya mengenai pentingnya pengalaman individu sebagai sumber khusus mengenai arti yang tidak terbatas, ini memberi nilai lebih pada kepribadian dan kreativitas individu melebihi semua nilai lain. Jean-Jacques Rousseau dan Immanuel Kant adalah arsitek dibelakang liberalisme romantis ini.
Dalam teologi, Friedrich Schliermacher, dapat disebut sebagai bapak teologi protestan modern.Schleiermacher mengerti agama sebagai perasaan "yang intuisif" kebergantungan kepada yang kekal, atau Tuhan, yang dipercayainya sebagai pengalaman universal dari kemanusiaan. Ini menekankan pengalaman beragama daripada dogma agama. Teolog liberal berusaha untuk mendamaikan agama dengan ilmu pengetahuan dan masyarakat modern, dan mereka mengacu pada tehnik kritik historis atas Alkitab dalam usaha untuk membedakan Yesus Sejarah dan ajarannya dari dari apa yang mereka anggap sebagai mitologi dan dihasilkan oleh dogma.
Bila semula liberalisme teologi masih memberi tempat pada yang supranatural, lama-kelamaan perkembangan liberalisme mengarah pada penekanan Yesus sebagai sekedar manusia biasa. Albrecht Ritchl menolak aspek supranatural dari hidup Yesus dan menafsirkan mujizat Yesus dalam kerangka ajaran idealisme Hegel, dan menjadikan etika sebagai jantung agama. Pengikut Ritchl Adolf von Harnack menyebut Yesus adalah tokoh manusia yang memiliki damai dan kerendahan hati yang dapat menguatkan dan membawa damai pada orang lain. Kedudukannya sebagai pengajar di Berlin sempat dipersoalkan oleh gereja Jerman karena pandangannya yang liberal mengenai mujizat Alkitab termasuk soal sifat sejarah kebangkitan Yesus.
Masa ketiga, perkembangan liberalisme sekalipun sempat direm sejenak oleh Karl Barth dengan Neo-Orthodoxinya, makin menjauhkan agama dari aspek transendennya. Teologi Liberal masa ketiga ini juga sering disebut sebagai Modernisme dan menghadirkan pandangan yang ujung-ujungnya menafikan hal-hal yang supranatural & mujizat dan yang kekal (aeternum) termasuk Tuhan.
Pada masa ketiga ini berkembang studi Yesus Sejarah yang menafikan sifat supra-natural Yesus. F.C. Baur memperkenalkan pendekatan yang anti-theistic dan yang supranatural dalam hubungan dengan sejarah kekristenan. D.F. Strauss (Life of Jesus) menolak sama sekali dasar sejarah elemen supranatural dalam Injil. J.E. Renan (Life of Jesus) juga senada dengan Strauss dan lebih jauh menyebut Yesus terobsesi semangat revolusi, penganiayaan dan mati syahid. Albert Schweitzer (The Quest of the Historical Jesus) disatu sisi menyalahkan Strauss dan Renan karena mengabaikan aspek eschatologis tentang kerajaan Allah dan akhir zaman, tetapi disisi lain ia meneruskan pandangan mereka karena Yesus ditampilkan sebagai politikus agama yang pemarah yang membuat kesalahan besar dalam cara hidupnya.Arthur Drews (The Christ Myth) bahkan lebih jauh memperlakukan seluruh Injil sebagai cerita fiksi. Faham Yesus Sejarah ini diteruskan oleh Jesus Seminar sejak 1985.
Kecenderungan menafikan yang supranatural disebut juga sebagai Sekularisme. Menurut Johanes Verkuyl (Gereja dan Aliran Modern), Saeculum adalah pandangan serta sikap hidup yang menanggalkan yang waktuwi itu dari yang abadi, yang menanggalkan yang profan dari yang sakral. ... Sedang Sekularisme ialah aliran dalam kultur, dalam mana seluruh perhatian dituntut untuk dunia ini dan untuk zaman ini dengan mengucilkan Allah serta Kerajaan-Nya. Encyclopedia Wikipedia menyebut Sekularitas adalah keberadaan yang bebas dari kwalitas keagamaan dan spiritualitas, dan Sekularisme yang terkait masa Pencerahan menegaskan tentang kebebasan agama dan bebas dari agama, dalam negara yang netral dalam hal menyangkut kepercayaan, dan tidak memberikan hak khusus atau subsidi kepada agama. Britannica menyebut Sekularisme sebagai gerakan dalam masyarakat yang ditujukan untuk menjauhkan diri dari yang diluar dunia dan kembali ke bumi.
Dalam hubungan dengan Liberalisme, Arend Theodoor van Leeuwen (Christianity in World History) menyebut Liberalisme adalah produk yang disekularisasikan dari peradaban Kristen. Dari ketiga istilah Liberalisme, Libertinisme dan Sekularisme, kita menjumpai nafas yang sama yang mendasari, yaitu membebaskan diri dari yang Aeternum dan hanya berurusan dengan yang Saeculum. Semangat sekularisme sudah terlihat dalam pemikiran Friedrich Nietzsche yang dikenal sebagai pelopor "Teologi Kematian Tuhan" (Death of God Theology). Ia bertitik tolak menafikan Tuhan yaitu pada "Tuhan yang tidak ada," karena itu "Manusia harus menentukan jalan hidupnya sendiri."
Dalam Rudolf Bultman kita melihat skeptikisme rasional dibentuk oleh existensialisme berusaha mendikotomikan Yesus Sejarah dari Yesus Iman dan menolak konsep "the three deckers universe" (bumi - surga -neraka)yang disebutnya mitos. Seluruh etos dan pemikiran Perjanjian Baru adalah mitos. Hal-hal yang bersifat transendental dipandang sebagai mitologi dan harus dimengerti secara existensial yang subyektip. Tugas manusia adalah mendemitologisasikan ajaran PB itu. Paul Tillich mengemukakan bahwa Injil harus ditelanjangi dari sifat non-existensialnya dan terbuka bagi istilah-istilah yang bermakna bagi manusia modern. Baginya, Tuhan adalah The Ground of all Being.
Teolog sekular selanjutnya lebih radikal menafikan yang supranatural. Dietrich Bonhoeffer dalam tulisan awalnya cukup konservatif dan kristosentris, namun pandangannya berubah radikal ketika ia dipenjara karena konspirasi membunuh Hitler. Dalam Letters from Prison ia menekankan kekristenan tanpa agama dan bahwa dunia sudah dewasa (world come of age) dan kekristenan telah kehilangan sifat keagamaannya. Manusia sudah dewasa sehingga tidak lagi perlu bergantung kepada yang disebut Allah. Lebih jauh John A.T. Robinson (Honest to God) mulai dengan keyakinan bahwa gagasan Allah "di atas sana" telah kuno, tidak bermakna lagi dan salah. Manusia dewasa harus meninggalkan konsep "proyeksi figur ayah ke angkasa" yang dipercaya itu.
Pada tahun 1960-an konsep Nietzche mengenai "Kematian Allah" bangkit kembali di kalangan beberapa teolog radikal. Paul van Buren (The Secular Meaning of the Gospel) mengungkapkan gagasan radikalnya, dan dari judul bukunya kita dapat mengetahui kemana arah radikalisme Gabriel Vahanian (The Death of God: The Culture of Our Post-Christian Era). Harvey Cox (The Secular City) menyinggung tema yang sama. Di kalangan Roma Katolik, Robert Adolfs (The Grave of God) sampai menerima kutukan dari masyarakat disekitarnya. Yang lebih radikal lagi kita temukan dalam tulisan Thomas J.J. Altizer (The Gospel of Christian Atheism).
Kelihatannya ada gejala menarik untuk diamati sebagai Masa Ke-empat yang bisa ditambahkan dalam tiga pembagian yang disebut Britannica, yaitu pada masa tahun 1960-an dibalik gencarnya Liberalisme Radikal yang bukan saja menafikan Allah tetapi menganggap Allah telah mati dan sudah dikubur, dunia mengalami kekosongan batin/rohani yang luar biasa yang dikenal dengan Era Posmo (Postmodernism) dimana ketika Modernisme tidak lagi memadai terjadi pencarian manusia kembali akan nilai-nilai transendental yang mereka cari dalam agama-agama mistik Timur (New Age). Di kalangan teolog Liberal ada juga usaha untuk kembali membuka diri kepada hal-hal yang dulu dinafikan, hanya sayangnya mereka tidak kembali kepada supranaturalisme Alkitab tetapi lari kepada mistikisme/gnostikisme yang dahulu dikritik oleh Bultman sebagai yang harus didemitologisasikan.
Bila semula Liberalisme mempunyai andil memperbaiki beberapa kekeliruan Konservativisme ekstrim, ia tidak memberi jalan keluar yang lebih baik, malah nafas kebebasan itu berangsur-angsur membawa manusia kepada peninggian diri dan akhirnya makin menafikan yang kekal dan Tuhan dalam bentuk Liberalisme yang makin ekstrim.