Gereja dan Pendidikan
Penulis : Weinata Sairin
Krisis yang menghantam Indonesia sejak beberapa tahun terakhir ini telah mengantar bangsa dan negeri ini pada kondisi yang amat memprihatinkan. Realitas yang sedemikian itu hampir terjadi di semua aspek. Media massa menurunkan laporan yang amat transparan dan rinci tentang carut-marut wajah Indonesia, tanpa harus merasa risih dan rikuh. Dilaporkan misalnya Indeks Pembangunan Manusia mengalami kemerosotan dari 0,684 ke 0,682 sehingga peringkat Indonesia turun dari posisi 110 menjadi 112 dari 175 negara di dunia (Kompas, 10-07-2003).
Meski angka sering tidak menunjukkan fakta senyatanya, namun dengan mata telanjang dapat dilihat penurunan kualitas manusia Indonesia terjadi di mana-mana. Hal ini dapat dilacak dari kondisi masyarakat kelas bawah yang tidak da- pat lagi menjangkau pelayanan kesehatan, tidak dapat lagi membeli kebutuhan pokok sehari-hari dengan layak, dan tidak dapat lagi menjangkau pelayanan pendidikan.
Upaya bunuh diri yang dilakukan seorang anak SD beberapa waktu lalu, maraknya aksi teror, kekerasan, pembunuhan adalah contoh paling segar tentang rendahnya, bahkan makin tidak beradabnya manusia Indonesia. Dalam hal korupsi misalnya "prestasi" Indonesia amat memalukan. Menurut laporan media massa baru-baru ini Indonesia menempati peringkat keenam sebagai negara terkorup di dunia.
Menanggapi kondisi ini, Nurcholish Madjid dengan amat keras menyatakan bahwa Allah melaknat yang menyuap, yang menerima suap dan yang menjadi perantara suap-menyuap.
Menurut Nurcholish, rakyat Indonesia harus melaksanakan ajaran Allah di dalam kehidupannya, dan dengan cara itu bangsa Indonesia yang paling korup sekaligus bangsa paling laknat, bisa diakhiri.
Ironisnya korupsi bahkan bisa terjadi dalam jumlah besar justru di kantor-kantor pemerintah yang mengurusi soal-soal keagamaan. Apa sebenarnya yang sedang terjadi dalam kehidupan bangsa ini? Orang banyak kemudian dengan mudah mempertanyakan tentang dunia pendidikan, bahkan menuding bahwa pendidikan tidak berhasil mendidik bangsa ini. Padahal dunia pendidikan juga memiliki masalah-masalah yang tidak kecil dan sederhana. Para pakar dan birokrat pendidikan mencatat beberapa permasalahan mendasar yang sejak lama digumuli dunia pendidikan.
Meski pun belum maksimal, namun pelaksanaan wajib belajar 9 tahun telah berhasil mendorong perluasan kesempatan belajar di SD dan SLTP. Krisis ekonomi sejak pertengahan 1997 berdampak buruk tersebut karena terjadi penurunan angka partisipasi murni yang berakibat tingginya angka putus sekolah dan menurunnya murid baru.
Mutu pendidikan adalah aspek yang tidak dapat dipisahkan dari pemerataan dan perluasan kesempatan belajar. Asumsinya, perluasan dan pemerataan pendidikan yang bermutu akan mendorong terwujudnya kelompok masyarakat yang bermutu.
Relevansi pendidikan berkaitan dengan sejauhmana lulusan suatu sekolah dapat langsung diserap oleh dunia kerja pada umumnya lebih-lebih dewasa ini perkembangan iptek berjalan dengan amat cepat. Masalah relevansi secara umum lebih mengarah pada pendidik- an kejuruan dan profesional yang berorientasi pada penyiapan tenaga kerja terdidik pada berbagai tingkatan untuk mengisi kesempatan kerja.
Permasalahan akibat pengelolaan pendidikan yang sangat sentralistis, kurang berkembangnya kemampuan daerah dalam mengatur dan mengelola sektor pendidikan di daerah. Selain itu, selama ini sekolah juga tidak mempunyai otonomi dalam mengelola sekolah, sekolah hanya menjalankan kebijakan yang ditetapkan oleh pejabat yang lebih tinggi.
Soal pembiayaan tidak terlalu mudah apalagi jika sekolah-sekolah tidak memiliki kreativitas dalam menggalang dana di tengah masyarakat. Masalah-masalah makro dunia pendidikan akan lebih rumit dan kompleks lagi jika lebih menukik pada problema yang dihadapi oleh sekolah-sekolah Kristen khususnya dalam mengimplementasi UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Dalam UU No 20 Tahun 2003 eksistensi perguruan swasta terdapat dalam Pasal 55 Ayat (1) masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan formal dan nonformal sesuai dengan kekhasan agama...Penjelasan ayat tersebut: "Kekhasan satuan pendidikan yang diselenggarakan masyarakat tetap dihargai dan dijamin oleh undang-undang ini".
Dasar yang Kukuh
Pasal ini memberikan dasar yang kukuh dan legitim bagi sekolah-sekolah Kristen untuk memberikan kontribusi optimal dan terbaik bagi upaya pencerdasan bangsa.
Dalam peraturan pemerintah nanti mesti terjamin bahwa sekolah-sekolah Kristen memiliki otonomi, kemandirian untuk mengekspresikan ciri-khasnya dengan leluasa. Pemerintah dan masyarakat menghargai dan menjamin eksistensi sekolah Kristen berdasarkan undang-undang.
Pada tanggal 13-16 Oktober 2003 di Manado diselenggarakan Sidang Pengurus Pleno (SPP) III Majelis Pendidikan Kristen di Indonesia yang diikuti oleh utusan MPK Wilayah seluruh Indonesia dan lembaga-lembaga mitra yang bergerak di bidang pendidikan. SPP III MPK di Indonesia harus meneguhkan kembali komitmen lembaga pendidikan Kristen di Indonesia, yaitu bahwa melalui ciri-khasnya sekolah-sekolah Kristen akan terus memberi kontribusi bagi pencerdasan bangsa.
Pendidikan Kristen perlu dibangun dengan mengembangkan: lingkungan sekolah yang aman dan tertib, ada visi dan target mutu yang ingin dicapai, ada kepemimpinan yang kuat, adanya komitmen dari kepala sekolah, guru, dan para siswa untuk berprestasi, adanya pengembangan staf sekolah yang terus-menerus sesuai dengan tuntutan iptek, adanya pelaksanaan evaluasi yang terus-menerus terhadap berbagai aspek akademik dan administratif, dan pemanfaatan hasilnya untuk penyempurnaan/ perbaikan mutu, dan adanya komunikasi dan dukungan intensif dari orangtua murid/masyarakat.
Dalam rangka implementasi UU Sisdiknas dan era otonomi daerah di sektor pendidikan, langkah-langkah yang perlu dilakukan adalah sosialisasi kritis tentang materi UU Sisdiknas; pemberdayaan wilayah/lembaga pendidikan: education watch/advokasi dan bantuan hukum pendidikan, mencermati perda di daerah, mencermati/mengkaji Rancangan PP.
Sumber: Suara Pembaruan Daily