Home & House

Oleh: Jafar Thamrin

Setiap orang yang mendengar perkataan-Ku ini dan melakukannya, ia sama dengan orang yang bijaksana, yang mendirikan rumahnya di atas batu. Kemudian turunlah hujan dan datanglah banjir, lalu angin melanda rumah itu, tetapi rumah itu tidak rubuh sebab didirikan di atas batu. (Matius 7:24-25)

Bagi sebagian orang yang telah belajar bahasa Inggris mungkin masalah ini tidak masalah, tapi bagi yang baru belajar mungkin akan sedikit bingung. Karena kedua kata itu sama-sama artinya "rumah" dalam bahasa Indonesia.

Sebelum lanjut, coba lihat contoh-contoh berikut. ”Where is your house?” [Mana rumahmu?] ”That’s the green one” [Itu yang warnanya hijau] ”When do you go home?” [Kapan kamu pulang (ke rumah)] ”Tomorrow..” [Besok] ”Where are you doing?” [Kamu ngapain?] ”I’m cleaning my house!” [Aku membersihkan rumah] ”Where are you going? [Kamu mau kemana?] ”I’m going home!” [Aku mau pulang ke rumah]. Mudah-mudahan dari contoh di atas kita sudah bisa tahu perbedannya. Kalau pun belum, ini penjelasannya.

Kata HOUSE lebih merujuk kepada pengertian rumah secara FISIK. Coba perhatikan contoh:
”That’s the green one” [Itu yang warnanya hijau]
”I’m cleaning my house!” [Aku membersihkan rumah]

Sedangkan untuk HOME lebih merujuk kepada pengertian rumah secara EMOSI/PERASAAN. Coba lihat contoh.
”I’m going home!” [Aku mau pulang ke rumah]

Kata-kata di atas ada hubungannya dengan keluarga, komunitas dan gereja. Mungkin kita akan bertanya-tanya apa hubungannya kata Home dan House dengan keluarga, komunitas, dan gereja. Bagi penulis sangat besar hubungannya. Kita pernah mendengar ada kalimat yang berkata: “Broken Home”, namun kita tidak pernah mendengar kalimat "Broken House", atau "House Sweet House" tapi yang benar adalah "Home Sweet Home". Kenapa demikian, seperti penjelasan di atas tadi bahwa house lebih merujuk kepada pengertian rumah secara fisik sedangkan home lebih merujuk kepada pengertian rumah secara emosi/perasaan.

Keluarga yang menjadikan Yesus Kristus sebagai pondasi dalam di rumah tangga, maka di situ ada perasaan sukacita, ada damai, ada kasih, dan ada ketentraman sehingga rumah itu disebut Home, karena di dalamnya ada perasaan yang membuat orang ingin tinggal di dalamnya. Home bukan kos-kosan, di mana orang datang dan pergi tanpa ada interaksi. Tak heran kalau keluarga hanya menjadikan rumah itu sebagai house, maka yang terjadi adalah kekacauan. Suami lari dari tanggungjawab, istri yang selalu ingin ribut dan anak-anak lari pada narkoba. Home bukan bicara fisik aja tapi di dalamnya kita menemukan apa yang nama kebahagiaan ada interaksi dan kita terikat di dalamnya.

Gereja juga seharusnya menjadi home bukan house. Ada banyak pengerja dan jemaat menjadikan gereja itu sebagai house, ia hanya datang dan pergi, tidak mau kenal siapa-siapa dan gereja hanya tempat pelarian atau hanya ingin nebeng ngetop dalam gereja. Mereka menganggap gereja kayak hotel atau bioskop. Padahal kita pernah mendengar sebuah lagu sekolah minggu: gereja bukanlah gedungnya dan juga bukan menaranya, bukalah pintunya, lihat di dalamnya gereja adalah orangnya. Kalau gereja dijadikankan home, tidak akan ada pengerja atau jemaat yang sakit hati atau kepahitan, dan keluar dari gereja. Sebab kalau gereja dijadikan home maka apa yang kita rindu-rindukan pasti terjadi, seperti penuaian jiwa, gereja diberkati luar biasa, ada tali kasih didalamnya, saling menghormati, saling membutuhkan, saling memperhatikan dan banyak lagi yang Tuhan akan buat kalau kita menjadikan gereja sebagai home, dan orang-orang yang terhisap di dalamnya akan berkata: “My Church, My Home.” Tak heran World Prayer Assembly kemarin mengambil tema A New Wave is Coming dengan sub tema MY Home.

Mari jadikan keluarga, komunitas dan gereja sebagai home dan bukan house.