Tiga Keajaiban Di Jumat Agung
Penulis : Dr. Eben Nuban Timo
JUMAT Agung adalah hari yang istimewa. Tidak biasanya orang Kristen bersekutu pada hari Jumat. Hari persekutuan dan ibadah Kristen sepanjang segala masa adalah hari pertama dalam seminggu. Bukan hari keenam, atau Jumat. Dan kalau anak-anak kita bertanya: "Mengapa Jumat Agung lain dari Jumat-Jumat yang biasa? Jawaban yang pasti dari para orangtua: "Karena pada hari Jumat Agung Yesus Kristus mati. Ia disalibkan dan menyerahkan nyawanya sebagai tebusan bagi banyak orang". Tentu saja jawaban ini benar. Tuhan Yesus mati pada hari Jumat.
Jumat Agung adalah hari yang unik. Kalau Matius hanya mencatat dua hal luar biasa. Lukas mencatat bagi kita tiga kejadian ajaib yang membuat Jumat yang satu itu lain dari kebanyakan hari Jumat. Pertama, kegelapan meliputi seluruh daerah itu selama tiga jam. Kedua, tabir Bait Suci terbelah dua. Ketiga, kepala pasukan penyaliban memuliakan Allah di depan umum. Tulisan ini akan terfokus pada ketiga keajaiban di Jumat yang Agung. Pertama: ada kegelaan meliputi seluruh daerah itu dari jam dua belas sampai jam tiga.
Matahari tidak mau bersinar. Bumi menjadi gelap. Mengapa begitu? Para ilmuwan bisa saja menjawab: ya itu terjadi karena gerhana matahari total yang terjadi pada waktu itu. Jawaban ini tidak mungkin. Karena gerhana matahari hanya bisa terjadi jika bulan gelap. Tetapi pada saat itu orang Yahudi merayakan paskah. Perayaan paskah selalu terjadi pada saat bulan purnama. Menurut perhitungan kalender Israel bulan baru selalu mulai dengan awal munculnya bulan. Hari keempat belas dari bulan baru, yaitu saat dimana domba paskah harus disembelih, jatuh sama dengan bulan purnama. Pada waktu itu posisi bulan berseberangan dengan matahari. Bumi berada di antara bulan dan matahari. Gerhana matahari hanya mungkin terjadi kalau bulan berada di antara matahari dan bumi.
Jadi gelap gulita yang terjadi pada hari Jumat Agung tidak ada sangkut paut dengan gerhana matahari. Kegelapan saat itu adalah sebuah kejadian yang janggal. Ia bukan gejala alam biasa, yakni gerhana matahari. Lalu apa sebenarnya penyebab kegelapan itu?
Saya ajak kita melakukan anjangsana ke perjanjian lama. Baiklah kita ingat kembali kisah penciptaan. Kalimat pertama dari Alkitab berbunyi: "Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi. Bumi belum terbentuk dan kosong. Gelap gulita menutupi samudera raya".
Bumi berada dalam gelap. Bumi baru mengenal terang waktu Allah mulai bertindak. Itu sebabnya Kitab Kejadian melaporkan bahwa pekerjaan yang dilakukan Allah pada hari pertama adalah "menjadikan terang". Terang datang dari Allah. Karya Allah identik dengan terang. Dan karya Allah berlangsung dalam terang.
Allah menciptakan terang pada hari pertama. Tapi itu saja belum cukup. Pada hari keempat, terang itu dilipatgandakan lagi oleh Allah dengan menciptakan benda-benda penerang. Apakah dengan itu gelap sudah terusir dari dunia? Ternyata tidak. Kegelapan masih saja ada. Yesaya 9:1 masih bicara tentang bangsa yang berjalan dalam kegelapan. Bagaimana itu mungkin, padahal Allah sudah menjadikan terang dan membuat benda-benda penerang?
Rupanya betapa pun baik dan berguna terang itu, ia tidak mampu menghalau semua kejahatan dari muka bumi. Karena terang itu hanyalah ciptaan. Untuk benar-benar menghalau kegelapan dari muka bumi, terang yang sejati harus datang ke dalam dunia. Yesuslah terang yang sejati. Terang yang sesungguhnya. Terang yang diciptakan Allah pada hari pertama dan yang dipancarkan dari benda-benda penerang hanyalah pantulan atau refleksi dari terang yang sejati itu. Terang dalam Kejadian 1:3 dan terang yang dipancarkan benda-benda penerang, yaitu matahari, bulan dan bintang, tidak memiliki terang sendiri. Mereka menjadi terang karena ada terang yang sejati, yaitu Allah. Manusia harus dapat mengerti terang dan fungsinya jika mereka ada dalam terang. Itu sebabnya pemazmur 36:10 berkata: in lumine tou videmus lumen yang artinya: "dalam terangmu kami melihat terang".
Lalu apa hubungan gelap gulita di Jumat yang Agung dengan data yang saya kemukakan ini? Yang pertama, dengan cerita ini Lukas hendak menegaskan bahwa dunia kembali kepada keadaannya semula. Dunia benar-benar hidup tanpa Allah pada saat Yesus menghembuskan nafasnya yang terakhir. Itu sebabnya dunia diliputi kegelapan. Bukan kegelapan biasa karena gerhana matahari. Tetapi kegelapan luar biasa. Kegelapan yang dahsyat, kegelapan karena hidup tanpa Allah. Dan memang demikian adanya. Dua belas jam terakhir dari kisah hidup Yesus memperlihatkan betapa kejamnya manusia. Manusia telah benar-benar hidup tanpa Allah. Hati mereka menjadi gelap. Mereka bukan hanya memutarbalikkan kebenaran. Tetapi berusaha membunuh kebenaran. Manusia bukan hanya menangkap dan mengadili Yesus dalam kegelapan. Mereka juga ingin memusnahkan terang yang sejati itu dari muka bumi.
Gelap gulita di Golgota pada Jumat yang Agung ini menunjukkan bahwa dunia dan manusia belum melangkah jauh dalam hal kebenaran dan kasih. Umur dunia sudah tua, tapi manusia yang menduduki dunia masih ada pada titik start, nol kilometer.
Kedua, matahari menjadi gelap, karena Tuhan yang adalah sumber dari mana matahari memperoleh terang telah tiada. Seumpama lampu, nyala api matahari padam karena minyak yang menyalakannya sudah habis. Kristus sudah mati. Terang yang sesungguhnya sudah tiada. Matahari menjadi malu dan tidak tahan melihat bagaimana kejamnya perlakuan manusia terhadap sang terang. Itu sebabnya matahari menutup matanya. Ia tidak mau bersinar. Dalam Kitab Matius dan Lukas dikisahkan bahwa bukan hanya matahari yang menjadi gelap. Tetapi ada juga gempa bumi yang dahsyat. Bumi gemetar ketakutan waktu menyaksikan sumber hidup dan sang penciptanya dilumatkan oleh kuatnya dosa dan pemberontakan manusia.
Inilah arti dari kejadian ajaib pertama di Jumat Agung. Tapi, kuatnya dosa itu tidak berlangsung lama. Kejahatan yang bersimaharajalela, bahkan sampai menyerang Allah tidak bertahan. Ia hanya berlangsung sekejap. Hanya tiga jam. Memang cukup lama, tetapi tidak selamanya. Kegelapan pasti akan berlalu. Kejahatan tidak punya masa depan. Pada hari paskah nanti, hari kebangkitan Yesus, ia akan benar-benar pergi dan takluk pada sang terang dunia. Ini juga pelajaran penting bagi kita. Kejahatan memang ganas tetapi seganas apa pun kejahatan itu, ia tidak punya masa depan. Akan tiba waktunya dimana kejahatan dilucuti dan para pelaku kejahatan akan dihadapkan ke pengadilan. Sekarang mungkin tidak, karena pengadilan dan para hakim kita masih hidup tanpa Allah waktu hendak mengambil keputusan. Tapi nanti, waktu sang hakim yang agung itu datang semua kejahatan akan tersingkap.
Tanda ajaib yang kedua: tirai Bait Allah terbelah dua. Di Bait Allah tergantung dua tirai/layar. Yang pertama di pelataran depan yang memisahkan ruang untuk umum dan ruang yang kudus. Layar kedua tergantung di antara ruang kudus dan ruang maha kudus. Mana dari kedua layat ini yang terbelah tidak disebut dalam Alkitab. Kita hanya bisa menduga. Terbelahnya tirai ini tentu punya maksud atau pesan. Kalau maksudnya untuk mengumumkan bahwa jalan kepada Allah sekarang terbuka kepada semua manusia, maka yang tercabuk itu haruslah tirai yang memisahkan ruang kudus dan ruang maha kudus. Tetapi ini berarti hanya imam besar saja yang melihat dan mengetahui hal itu.
Sudah pasti bukan ini yang dimaksudkan Lukas. Tirai yang tercabik yang dimaksud Lukas haruslah tirai yang ada di antara ruang untuk umum dan ruang kudus. Dan kalau itu yang terjadi, maka tercabiknya tirai tadi hendak menegaskan bahwa dengan kematian Yesus Allah mengumumkan bahwa Ia tidak mau lagi terkurung hanya dalam Bait Allah dan hanya bisa ditemui di gedung kebaktian. Sejak saat itu Allah tidak hanya bisa ditemui di Bait Allah. Ia ada dalam perjalanan kepada bangsa-bangsa. Dia mau juga disembah dan dihormati di tempat-tempat yang bukan gedung kebaktian atau Bait Allah. Bukan hanya para imam saja yang dapat berbicara dan melayani Dia. Orang kebanyakan juga dapat bertemu Tuhan Allah secara langsung.
Pesan ini sesuai dengan dengan teologi kitab Injil Lukas. Karena keyakinan ini, Lukas tidak segan-segan bercerita tentang pekabaran Injil yang mulai dari Yerusalem sampai ke ujung bumi. Lukas juga memperoleh keberanian untuk menulis kepada seorang bukan Yahudi (Teofilus) dengan maksud meyakinkan dia bahwa cerita tentang Yesus adalah benar. Bahkan hanya Lukas sajalah yang memuat cerita tentang orang Samaria yang murah hati (Luk. 10:25-37). Cerita yang memberikan kepada kita kesan sangat mendalam bahwa pelayanan dan penyembahan kepada Allah tidak melulu terjadi di Bait Allah atau tempat doa. Menolong sesama yang sedang dalam kesulitan, mengasihi dan memberi perlindungan kepada seorang asing atau dia yang memusuhi kita adalah perbuatan beribadah kepada Tuhan.
Kita yang merayakan Jumat Agung perlu tahu keajaiban ini, sehingga mulai belajar untuk menyembah Allah bukan hanya di gedung ibadah dan rumah doa, tetapi juga di setiap tempat dimana saja kita berada.
Keajaiban ketiga, seorang non Yahudi, bangsa tidak bersunat, kepala pasukan penyaliban berkata di hadapan umum: "Sungguh, orang ini adalah orang benar374Kita lihat di sini bahwa Allah tidak menyembunyikan kebenaran kepada orang non Yahudi. Allah adalah Tuhan yang tidak diskriminatif. Kasih juga tidak pilih muka. Allah memberikan kepada orang yang percaya maupun orang kafir kemampuan untuk mengenal kasih dan menghormatinya.
Tidak ada dosa yang begitu berat sehingga menghalang-halangi kuasa Allah. Tidak. Kepala pasukan penyaliban digerakkan hatinya oleh Allah untuk mengenal kasih dan kebenaran. Dengan mengakui bahwa Yesus adalah orang benar di depan umum, ia mengaku diri sebagai yang melakukan satu tindakan yang salah dan keliru. Si kepala pasukan penyaliban tidak berusaha membela diri, ia mengakui kekeliruannya dengan terbuka dan jujur.
Seorang kepala pasukan mengaku diri berbuat kesalahan dan kekeliruan. Itu diucapkan di depan umum. Lukas melihat ini sebagai sebuah keajaiban. Ia mencatat ini dalam kitab yang dia peruntukan kepada Teofilus, seorang pejabat tinggi dalam pemerintahan Roma waktu itu. Ia tentu mencatat keajaiban ini dengan maksud agar mendorong Teofilus waktu itu, dan Teofilus-Teofilus masa kini untuk meniru contoh kepala pasukan penyaliban.
Akhirnya, Lukas memberi kesaksian bahwa pada Jumat Agung yang pertama ada tiga peristiwa ajaib. Kita sudah lihat keajaiban itu satu persatu. Tentu saja tidak dengan maksud mengatakan bahwa keajaiban-keajaiban itu hanya terjadi pada Jumat Agung yang pertama saja. Lukas catat hal itu untuk mendorong kita agar menjadikan Jumat Agung yang kita peringati kini dan di sini juga menjadi Agung yang di dalamnya ada keajaiban-keajaiban yang bisa disaksikan orang lain.