Apakah Yesus Mengijinkan Perceraian? Sebuah Kajian Teologis Eksegetis Matius 19:3-12
Khotbah Ibadah Raya GBAP Bintang Fajar Palangka Raya
Pdt. Samuel T. Gunawan, SE., M.Th
Teolog Protestan Kharismatik, Pendeta di GBAP Bintang Fajar Palangka
Raya; Dosen Filsafat-Apologetika Kharismatik di STT AIMI, Solo.
Mendapat gelar S.E. dari Universitas Negeri Palangkaraya (UNPAR),
gelar M.Th. (Christian Leadership) & gelar M.Th. (Systematic Theology)
dari STT Trinity
"(19:3) Maka datanglah orang-orang Farisi kepada-Nya untuk mencobai
Dia. Mereka bertanya: "Apakah diperbolehkan orang menceraikan istrinya
dengan alasan apa saja?" (19:4) Jawab Yesus: "Tidakkah kamu baca,
bahwa Ia yang menciptakan manusia sejak semula menjadikan mereka laki
-laki dan perempuan? (19:5) Dan firman-Nya: Sebab itu laki-laki akan
meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga
keduanya itu menjadi satu daging. (19:6) Demikianlah mereka bukan lagi
dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah,
tidak boleh diceraikan manusia." (19:7) Kata mereka kepada-Nya: "Jika
demikian, apakah sebabnya Musa memerintahkan untuk memberikan surat
cerai jika orang menceraikan istrinya?" (19:8) Kata Yesus kepada
mereka: "Karena ketegaran hatimu Musa mengizinkan kamu menceraikan
istrimu, tetapi sejak semula tidaklah demikian. (19:9) Tetapi Aku
berkata kepadamu: Barangsiapa menceraikan istrinya, kecuali karena
zinah, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah." (19:10)
Murid-murid itu berkata kepada-Nya: "Jika demikian halnya hubungan
antara suami dan istri, lebih baik jangan kawin." (19:11) Akan tetapi
Ia berkata kepada mereka: "Tidak semua orang dapat mengerti perkataan
itu, hanya mereka yang dikaruniai saja. (19:12) Ada orang yang tidak
dapat kawin karena ia memang lahir demikian dari rahim ibunya, dan ada
orang yang dijadikan demikian oleh orang lain, dan ada orang yang
membuat dirinya demikian karena kemauannya sendiri oleh karena
Kerajaan Sorga. Siapa yang dapat mengerti hendaklah ia mengerti."
(Matius 19:1-12)
PENDAHULUAN
Pernikahan adalah hal mulia, yang dikaruniakan Tuhan, sejak manusia
belum jatuh ke dalam dosa. Kejadian 1:28 mencatat bagaimana Tuhan
memberkati Adam dan Hawa sebelum mereka diperintahkan untuk beranak
cucu. Karena itu, pernikahan harus ditempuh dengan rukun, sehati,
setujuan, penuh kasih sayang, percaya seorang akan yang lain, dan
bersandar kepada kasih karunia Tuhan. Pernikahan tidak boleh ditempuh
atau dimasuki dengan sembarangan, dirusak oleh karena kurang
bijaksana, dinista atau dinajiskan; melainkan hendaklah hal itu
dihormati dan dijunjung tinggi dengan takut akan Tuhan serta mengingat
maksud Allah dalam pernikahan itu.
Kita seharusnya prihatin dengan tingginya angka perceraian seperti
dilansir REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA yang menuliskan, "Angka perceraian
pasangan di Indonesia terus meningkat drastis. Badan Urusan Peradilan
Agama (Badilag) Mahkamah Agung (MA) mencatat selama periode 2005
hingga 2010 terjadi peningkatan perceraian hingga 70 persen. Dirjen
Badilag MA, Wahyu Widiana, mengatakan tingkat perceraian sejak 2005
terus meningkat di atas 10 persen setiap tahunnya... Pada tahun 2010,
terjadi 285.184 perceraian di seluruh Indonesia. Penyebab pisahnya
pasangan jika diurutkan tiga besar paling banyak akibat faktor
ketidakharmonisan sebanyak 91.841 perkara, tidak ada tanggung jawab
78.407 perkara, dan masalah ekonomi 67.891 perkara.
Tingginya angka perceraian di atas membuat kita bertanya, mengapa
begitu banyak pasangan suami-istri yang mengakhiri hubungan mereka
dengan perceraian? Karena itu memahami ESENSI PERNIKAHAN KRISTEN
seperti yang dirancang dan ditetapkan Allah dari sejak semula
sangatlah penting bagi kelanggengan hubungan pernikahan. Karena itu
kita akan memperhatikan pengajaran Tuhan Yesus mengenai pernikahan
dalam Matius 19:1-12 dan pasal-pasal pararel lainnya.
APAKAH ESENSI PERNIKAHAN KRISTEN ITU?
Pertama-tama kita akan melihat definisi Pernikahan dan kemudian
memperhatikan prinsip-prisip esensial dari pernikahan itu. Pernikahan
dapat didefisinisikan sebagai berikut: "pernikahan merupakan hubungan
eksklusif antara satu laki-laki dan satu perempuan, di mana keduanya
menjadi "satu daging", disatukan secara fisik, emosional, intelektual,
dan spiritual; dijamin melalui sumpah sakral dan ikatan perjanjian
serta dimaksudkan untuk seumur hidup". Definisi ini didasarkan pada
pernyataan Alkitab dalam Matius 19:5; Markus 10:7; Efesus 5:31; dan
Kejadian 1:24. Berdasarkan definisi tersebut, berikut ini lima esensi
pernikahan Kristen.
1. Pernikahan merupakan suatu lembaga yang dibuat dan ditetapkan Allah
bagi manusia sesuai kebutuhan (Matius 19:4,8).
Pernikahan merupakan suatu lembaga yang ditetapkan Allah bagi manusia
sesuai dengan kebutuhannya. Perhatikan Frase dalam "Tidak baik, kalau
manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya,
yang sepadan dengan dia" (Kejadian 2:18). Saat laki-laki (ha adam)
"seorang diri saja" maka Allah menyatakan bahwa keadaan ini "tidak
baik". Jadi Allah memutuskan untuk menciptakan "ezer kenegdo" atau
"seorang penolong". Kata Ibrani "ezer" yang diterjemahkan dengan
"penolong" berarti "sesuai dengan" atau "sama dengan". Jadi secara
harfiah "seorang penolong" berarti "penolong yang sepadan atau seorang
yang sepadan dengannya". Dengan demikian jelaslah bahwa Allah sendiri
yang menetapkan lembaga Pernikahan dan memberkatinya (Baca Kejadian
1:28).
Ketetapan Tuhan ini tidak pernah berubah dan ini berlaku "sejak
semula" bagi semua orang, bukan hanya bagi orang-orang Kristen saja.
Matius mencatat perkataan Kristus demikian, "Jawab Yesus: ‘Tidakkah
kamu baca, bahwa Ia yang menciptakan manusia sejak semula (ap’arches)
menjadikan mereka laki-laki dan perempuan?" (Matius 19:4). Kata Yunani
"ap’arches" atau "sejak semula" yang disebutkan Yesus dalam Matius
19:4, pastilah merujuk pada Kejadian pasal 2, karena kalimat
selanjutnya "Dan firman-Nya: Sebab itu laki-laki akan meninggalkan
ayah dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya itu
menjadi satu daging", yang diucapkan Yesus dalam ayat 5 adalah kutipan
dari Kejadian 2:24.
Pernikahan adalah satu-satunya lembaga sosial yang ditetapkan Allah
sebelum kejatuhan manusia dalam dosa (Kejadian 2:24; Banding Kejadian
1:28). Karena itu pernikahan wajib dihormati oleh semua orang (Ibrani
13:4). Allah telah menetapkan pernikahan dari sejak semula, baik untuk
orang-orang Kristen maupun untuk orang-orang bukan Kristen. Dan Allah
adalah saksi dari seluruh pernikahan, baik diundang maupun tidak.
Meskipun bentuk dan tata cara bervariasi dalam setiap budaya dan
setiap generasi tetapi esensinya tetap sama dari "sejak semula" bahwa
pernikahan merupakan satu peristiwa sakral tidak peduli pasangan
tersebut mengakuinya ataupun tidak.
2. Pernikahan merupakan hubungan yang eksklusif antara seorang pria
dan seorang wanita (Matius 19:5,6).
Di dalam rancangan Allah sejak semula, pernikahan adalah antara satu
orang pria dengan satu orang wanita yang menjadi satu. Sejak semula
Allah hanya menciptakan dua gender manusia, yaitu laki-laki dan
perempuan, yang walaupun berbeda dalam fungsi dan reproduksi, tetapi
sama dalam derajat, harkat dan martabat. Sebab itu, bersyukurlah jika
anda dilahirkan sebagai pria atau pun sebagai seorang wanita. Dalam
Kejadian 1:27 dikatakan "Maka Allah menciptakan manusia itu menurut
gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki (ish)
dan perempuan (ishsha) diciptakan-Nya mereka". Kristus menegaskan
kembali hal ini dalam Matius 19:4, dikatakan, "Jawab Yesus: ‘Tidakkah
kamu baca, bahwa Ia yang menciptakan manusia (antrophos) sejak semula
(ap’arches) menjadikan mereka laki-laki (aner) dan perempuan (gyne)?"
Jadi yang dimaksud dengan pernikahan Alkitabiah adalah antara seorang
pria biologis dengan seorangan wanita biologis. Karena itu pernikahan
dengan sesama jenis (homoseksual) atau pun pernikahan dengan hewan
bukanlah pernikahan, melainkan penyimpangan dari ketetapan Tuhan.
Dengan demikian, karakteristik paling mendasar dari pernikahan adalah
bahwa pernikahan merupakan satu kesatuan antara seorang pria dan
seorang wanita.
Melalui pernikahan Allah menyatukan dua orang menjadi satu. Perhatikan
frase "dipersatukan Allah" dalam kalimat "Demikianlah mereka bukan
lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan
Allah, tidak boleh diceraikan manusia." (Matius 19:6) berasal dari
kata Yunani "suzeugnumi" yang berarti "menyatukan". Kata ini berbeda
dari kata Yunani "kolléthésetai" yang artinya "dipersatukan" atau
"bersatu" dalam Matius 19:5. Kata Yunani "suzeugnumi" atau
"dipersatukan" secara harafiah adalah "bersama-sama disatu-kuk-kan",
atau sepenuhnya berarti "bersama dalam kuk yang sama yang telah
ciptakan bagi mereka". Sebuah kuk memampukan dua ekor lembu menarik
beban bersama, masing-masing saling berbagi tugas sehingga
konsekuensinya adalah meringankan tugas dan keduanya bersama dapat
menyelesaikan tugas lebih banyak dari apa yang dapat dicapai kalau
mereka hanya sendirian mengerjakannya. Jadi dalam nas ini, Yesus
menggambarkan pernikahan sebagai sebuah kuk yang Allah buat. Seorang
laki-laki dengan seorang perempuan dapat memikulnya sehingga mereka
bersama dapat meringankan pekerjaan-pekerjaan dan beban-beban
kehidupan, dan mencapai hal-hal bersama yang tidak dapat dicapai kalau
mereka hanya sendirian saja.
Jadi apa yang Allah buat adalah menempa sebuah kuk, yaitu menciptakan
sebuah hubungan yang eksklusif, yang ke dalamnya seorang laki-laki dan
seorang perempuan boleh masuk, memiliki hubungan, menerima, dan
menikmati manfaat yang ada di dalamnya. Pernikahan pada hakikatnya
adalah suatu hubungan yang ekslusif antara seorang laki-laki dengan
seorang perempuan. Dan semua yang ada di dalam pernikahan itu sendiri
berasal langsung dari kebenaran bahwa pernikahan merupakan rancangan
Allah, merupakan lembaga yang diciptakan Allah! Konsep tentang
"hubungan yang eksklusif" dalam pernikahan ini merupakan pusat dari
ajaran Kristus mengenai pernikahan. Inilah yang dimaksud Yesus ketika
ia berkata "Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh
diceraikan manusia." (Matius 19:6).
Selanjutnya, hubungan eksklusif dalam pernikahan itu "tidak boleh
diceraikan manusia" atau secara harafiah "manusia jangan memisahkan
("anthropos me chorizo "). Kata Yunani "diceraikan" adalah "chorizo"
yang artinya "membagi, memisahkan, memotong, membelah, memecah, atau
mematahkan". Sedangkan kata Yunani "manusia" adalah "anthropos",
menunjuk kepada manusia, yaitu laki-laki dan perempuan. Jadi,
perceraian formal biasanya didahului oleh terpisahnya atau terpecah
belahnya hubungan antara suami dan istri, dan perpisahan ini jadi
sebagai akibat perbuatan laki-laki maupun perempuan, yaitu dari
pasangan maupun pihak ketiga.
3. Pernikahan merupakan pertemuan dan hubungan antar pribadi yang
paling intim (Matius 19:5,6)
Pernikahan adalah hal yang paling mistrius tetapi serius. Karena,
"keduanya akan menjadi satu". Artinya, secara praktis keduanya akan
beralih "dari aku dan kau menjadi kita" dan "dari saya dan dia menjadi
kami". Persatuan ini mencakup segalanya "disatukan secara fisik,
emosional, intelektual, dan spiritual". Perhatikanlah saat Alkitab
mengatakan "seorang pria akan meninggalkan ayat dan ibunya dan bersatu
dengan istrinya" (Kejadian 2:24). Kata "meninggalkan" dan "bersatu"
adalah dua kata yang penting untuk dipahami. Kata Ibrani untuk
"meninggalkan" adalah "azab" yang berarti "melonggarkan, melepaskan,
meninggalkan, meninggalkan sepenuhnya, secara total". Kata Ibrani
untuk "bersatu" adalah "dabaq" yang artinya "mengikat, lem, melekat,
menempel, bergabung berdekatan dengan atau mengikat bersama". Ketika
Yesus mengutip Kejadian 2:24 ini maka anak kalimat "bersatu dengan"
dalam kalimat "Dan firman-Nya: Sebab itu laki-laki akan meninggalkan
ayah dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya itu
menjadi satu daging" (Matius 19:5) adalah kata Yunani
"proskolléthésetai", kata yang sama dipakai Paulus dalam Efesus 5:31.
Kata "proskolléthésetai" berarti direkatkan atau dikokohkan bersama,
ditatah bersama, atau di las bersama", yang mengindikasikan tingkat
kekuatan paling tinggi dalam-dalam sebuah kedekatan dan pelekatan.
(catatan: Beberapa edisi Perjanjian Baru Yunani memakai kata
"kolléthésetai" tanpa awalan "pros" yang mengandung arti sama).
Artinya jelas, bahwa dalam pernikahan seorang pria melekatkan diri
kepada istrinya sendiri, sehingga "apa yang telah dipersatukan Allah
tidak boleh diceraikan manusia" (Matius 19:6).
Secara khusus, pernikahan juga melibatkan kesatuan seksual antara pria
dan wanita. Perhatikan frase "satu daging" dalam ayat-ayat Kejadian
1:24; Matius 19:5; Markus 10:7; Efesus 5:31. Ada tiga tujuan relasi
seksual dalam pernikahan, yaitu: penyatuan (Kejadian 2:24), perkemban
-biakan (Kejadian 1:28), dan rekreasi (Amsal 5:18-19). Tetapi,
hubungan seksual sebelum pernikahan disebut percabulan (Kisah Para
Rasul 15:20; 1 Korintus 6:18) dan hubungan seksual di luar pernikahan
disebut perzinahan (Keluaran 20:14; Matius 19:9). Percabulan maupun
perzinahan, sangat dilarang di dalam Alkitab. Dalam Perjanjian Lama,
di bawah Hukum Taurat, mereka yang melakukan persetubuhan sebelum
menikah diwajibkan untuk menikah (Ulangan 22:28-29). Hal ini penting
sebab, seks dikuduskan oleh Allah hanya untuk pernikahan bukan sebelum
pernikahan. Karena itu setiap orang wajib menghormati pernikahan (1
Korintus 7:2; Ibrani 13:4).
4. Pernikahan bersifat permanen dan merupakan suatu komitmen kesetiaan
untuk seumur hidup (Matius 19:6)
Menurut Alkitab, pernikahan itu bersifat monogami, yaitu untuk satu
suami dan satu istri. Paulus berkata "baiklah setiap laki-laki (bentuk
tunggal) mempunyai istrinya sendiri (bentuk tunggal) dan setiap
perempuan mempunyai suaminya sendiri" (1 Korintus 7:2). Monogami bukan
hanya ajaran Perjanjian Baru, tetapi merupakan ajaran Perjanjian Lama.
Monogami adalah sejak dari mulanya ketika Allah menciptakan satu laki
-laki (Adam) dan memberi dia hanya satu istri (Hawa). Fakta bahwa
Allah mengizinkan poligami dalam Perjanjian Lama tidaklah membuktikan
bahwa Dia memerintahkannya. Poligami, sebagaimana perceraian itu
"diizinkan" bukan diperintahkan, hal ini terjadi karena ketegaran
(kekerasan) hati. Tetapi sejak semula tidaklah demikian (Matius 19:8).
Dengan demikian, merupakan kehendak Allah bahwa pernikahan itu sebagai
komitmen seumur hidup. Permanennya suatu pernikahan, dengan jelas dan
tegas dikatakan Kristus, "Apa yang telah dipersatukan Allah, tidak
boleh diceraikan manusia" (Matius 19:6). Perhatikanlah bahwa hubungan
eksklusif dalam pernikahan itu "tidak boleh diceraikan manusia" atau
secara harafiah "manusia jangan memisahkan ("anthropos me chorizo ").
Kata Yunani "diceraikan" adalah "chorizo" yang artinya "membagi,
memisahkan, memotong, membelah, memecah, atau mematahkan". Sedangkan
kata Yunani "manusia" adalah "anthropos", menunjuk kepada manusia,
yaitu laki-laki dan peremuan. Jadi, perceraian formal biasanya
didahului oleh terpisahnya atau terpecah belahnya hubungan antara
suami dan istri, dan kerusakan ini terjadi sebagai akibat perbuatan
laki-laki maupun perempuan, yaitu dari pasangan itu sendiri maupun
pihak ketiga. Karena Allah dari sejak semula menetapkan bahwa
pernikahan merupakan suatu ikatan yang permanen, yang berakhir hanya
ketika salah satu pasangannya meninggal (bandingkan Roma 7:1-3; 1
Korintus 7:10-11), maka pemisahan (perceraian) jelaslah dilarang oleh
Allah! Paulus juga menegaskan hal ini ketika ia berkata "Sebab seorang
istri terikat oleh hukum kepada suaminya selama suaminya itu hidup.
Akan tetapi apabila suaminya itu mati, bebaslah ia dari hukum yang
mengikatnya kepada suaminya itu. Jadi selama suaminya hidup ia
dianggap berzinah, kalau ia menjadi istri laki-laki lain; tetapi jika
suaminya telah mati, ia bebas dari hukum, sehingga ia bukanlah
berzinah, kalau ia menjadi istri laki-laki lain" (Roma 7:2-3).
Walaupun pernikahan bersifat permanen dan berlaku seumur hidup, tetapi
pernikahan tidak bersifat kekal. Artinya, hubungan pernikahan hanya
terjadi selama hidup di bumi, tetapi tidak berlanjut dalam kekekalan.
Hal ini jelas dari apa yang Yesus katakan, "Karena pada waktu
kebangkitan orang tidak kawin dan tidak dikawinkan melainkan hidup
seperti malaikat di sorga" (Matius 22:30). Meskipun kita pasti dapat
mengenali orang-orang yang kita cintai di sorga nanti, tetapi jelaslah
tidak ada pernikahan di sorga. Karena itu, Paulus menuliskan bahwa
para janda dapat menikah lagi (1 Korintus 7:8-9), menunjukkan bahwa
komitmen mereka hanya berakhir sampai kematian pasangan mereka.
5. Pernikahan merupakan suatu kovenan yang bersifat mengikat (Matius
19:5).
Pernikahan merupakan suatu kesatuan yang dilahirkan dari satu
perjanjian dari janji-janji yang timbal balik. Kovenan pernikahan ini
dinyatakan dengan gamblang oleh nabi Maleakhi ketika ia menulis "TUHAN
telah menjadi saksi antara engkau dan istri masa mudamu yang kepadanya
engkau telah tidak setia, padahal dialah teman sekutumu dan istri
seperjanjianmu" (Maleakhi 2:14). Kitab Amsal juga berbicara tentang
pernikahan sebagai suatu "kovenan" atau "perjanjian" satu sama lain.
Kitab ini mengutuk seorang yang berzinah "yang meninggalkan teman
hidup masa mudanya dan melupakan perjanjian Allahnya" (Amsal 2:17).
Kata Ibrani yang digunakan untuk "kovenan" adalah "berit" dan kata
Yunaninya adalah "diathêkê". Sebuah kovenan menurut Alkitab, adalah
sebuah hubungan yang sakral antara dua pihak, disaksikan oleh Allah,
sangat mengikat, dan tidak dapat dibatalkan. Kedua belah pihak
bersedia berjanji untuk menjalani kehidupan sesuai dengan butir-butir
perjanjian itu. Istilah kovenan yang seperti inilah yang digunakan
Alkitab untuk melukiskan sifat hubungan pernikahan. Jadi jelaslah
bahwa pernikahan adalah suatu perjanjian pada satu peristiwa di mana
Allah menjadi saksi. Allahlah yang mengadakan pernikahan dan Dialah
yang menyaksikan janji-janji tersebut benar-benar dibuat "di hadapan
Allah". Kristus menegaskan bahwa Allahlah yang benar-benar menyatukan
dua manusia bersama-sama di dalam pernikahan dengan mengatakan, "Apa
yang telah disatukan Allah, tidak boleh diceraikan oleh manusia"
(Markus 10:19).
BAGAIMANA DENGAN PERCERAIAN?
Bagaimana dengan perceraian, bukankan Kristus mengatakan bahwa "apa
yang telah disatukan Allah, tidak boleh diceraikan oleh manusia"? Apa
yang dikatakan Kristus tersebut benar adanya. Setidaknya ada tiga
argumentasi yang menjadi dasar larangan bagi perceraian, yaitu :
1. Perceraian bukanlah ideal Tuhan.
Jelaslah bahwa Tuhan tidak merancang perceraian. Apapun pandangan
mengenai perceraian, adalah penting untuk mengingat kata-kata Alkitab
dalam Maleakhi 2:16a: "Sebab Aku membenci perceraian, firman TUHAN,
Allah Israel." Menurut Alkitab, kehendak Allah adalah pernikahan
sebagai komitmen seumur hidup. "Demikianlah mereka bukan lagi dua,
melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak
boleh diceraikan manusia" (Matius 19:6). Yesus mengatakan bahwa Allah
"mengizinkan" perceraian tetapi tidak pernah memerintahkan perceraian,
dan menurut Kristus perceraian itu "diizinkan" bukan diperintahkan,
hal ini terjadi karena "ketegaran hati" manusia (Matius 19:8). Kata
Yunani "ketegaran hati" adalah "sklerokardia" yang lebih tepat
diterjemahkan dengan "kekerasan hati" (Matius 19:8; Markus 10:5). Dosa
telah membuat hati manusia menjadi keras. Kekerasan hati manusia
mengakibatkan manusia sulit mengampuni, menganggap diri benar,
meremehkan firman Tuhan, menutup diri terhadap koreksi, menolak untuk
berubah, menyebabkan hubungan suami istri rusak, dan keluarga
berantakan, bahkan perceraian. Jadi perceraian adalah konsensi ilahi
bukan konstitusi ilahi; merupakan kelonggaran bukan norma atau standar
Allah. Dengan kata lain, perceraian bukanlah yang ideal atau yang
terbaik bagi pernikahan.
2. Perceraian mengakibatkan masalah-masalah.
Apabila rancangan Tuhan diabaikan oleh manusia, pastilah timbul
masalah-masalah. Bagi orang-orang tertentu perceraian sepertinya
adalah penyelesaian masalah, tetapi bagi orang lainnya justru menjadi
masalah. Karena akan ada pihak yang terluka, tertekan, tersakiti dan
dirugikan. Pasangan yang bercerai, anak-anak, pihak keluarga, serta
masyarakat yang lebih luas bisa jadi terkena dampak dari perceraian
tersebut. Lagu "Butiran Debu" yang dinyanyikan Rumor nampaknya
mengekspresikan dengan tepat kebahagiaan cinta yang dirusak oleh
pengkhianatan dan betapa dalam luka yang diakibatkannya. Ada harga
mahal yang dibayar bagi sebuah pilihan untuk bercerai karena
perceraian mengakibatkan luka yang tidak mudah untuk disembuhkan. Dan
mungkin, bila luka tersebut disembuhkan tetap akan menyisakan goresan
bekas luka tersebut.
3. Perceraian tidak diperbolehkan karena setiap alasan.
Banyak penafsir menganggap Kristus menegaskan bahwa perceraian dapat
terjadi hanya karena satu alasan yaitu "zinah" (Matius 19:9). Menurut
teolog dan penafsir Alkitab, frasa "kecuali karena zinah" adalah satu
-satunya alasan dalam Alkitab di mana Tuhan memberikan izin untuk
perceraian. Menurut mereka, satu alasan ini perlu ditegaskan karena
orang farisi datang kepada Yesus dengan pertanyaan "Apakah
diperbolehkan orang menceraikan istrinya dengan alasan apa saja?"
Frase Yunani "kata pasan aitian" sebuah frase yang lebih tepat bila
diterjemahkan "untuk alasan apa saja" (Matius 19:3). Tetapi, frase
"kecuali karena zinah" dalam ucapan Yesus "Barangsiapa menceraikan
istrinya, kecuali karena zinah, lalu kawin dengan perempuan lain, ia
berbuat zinah" (Matius 19:9) adalah kesalahan terjemahan!
Frase yang diterjemahkan dengan "kecuali karena zinah" adalah frase
Yunani "mé epi porneia" yang ditulis dalam bentuk negatif dan lebih
tepat diterjemahkan "tidak untuk percabulan". Mengapa? Karena kata
"mé" adalah kata biasa yang berarti "tidak" atau "jangan". Kata ini
muncul lebih dari 1000 kali dalam Perjanjian Baru dan tidak sekalipun
diterjemahkan dengan kata "kecuali", selain dalam ayat ini. Beberapa
contoh dari penggunaan kata "mé" yang berarti "tidak" diterjemahkan
dengan kata "jangan" seperti dalam Matius 26:5; Markus 14:2; Lukas
13:14; Yohanes 13:9; 18:40. Tentu saja ini adalah kesalahan terjemahan
yang berakibat fatal karena menyalahgunakan dari maksud Kristus yang
sebenarnya! Sedangkan kata "porneia" adalah istilah Yunani yang secara
umum berarti kelakuan seksual yang buruk. Dalam ayat ini lebih tepat
diterjemahkan dengan kata "percabulan". Sebab jika yang dimaksud
adalah perzinahan maka kata Yunani yang umum digunakan adalah
""moikeia". Kata "moikeia" yang berarti "perzinahan atau seks haram
yang melibatkan seseorang yang sudah menikah". Sedangkan kata
"porneia" adalah istilah yang setara dengan kata Ibrani "erwath dabar"
yang diterjemahkan dengan istilah "tidak senonoh" dalam Ulangan 24:1,
secara harafiah berarti "ketelanjangan suatu benda". Kata "erwath
dabar" ini dapat diartikan sebagai "keadaan telanjang atau pamer aurat
yang dikaitkan dengan perilaku yang tidak suci", tetapi bukan
perzinahan setelah pernikahan. Karena hukuman bagi perzinahan setelah
pernikahan dalam hukum Taurat adalah hukuman mati, sebagaimana yang
disebutkan dalam Imamat 20:10 "Bila seorang laki-laki berzinah dengan
istri orang lain, yakni berzinah dengan istri sesamanya manusia,
pastilah keduanya dihukum mati, baik laki-laki maupun perempuan yang
berzinah itu" (Bandingkan Yohanes 8:5).
Jadi jelas di sini mengapa Matius menggunakan kata Yunani "porneia"
atau "percabulan", yang pada dasarnya berarti ketidaksetiaan secara
seksual atau ketidaksetiaan sebelum pernikahan yang mencakup segala
macam hubungan seksual yang bertentangan dengan hukum. Dalam tradisi
Yahudi, laki-laki dan perempuan dianggap sudah menikah walaupun mereka
masih "bertunangan". Percabulan dalam masa "pertunangan" ini dapat
merupakan satu-satunya alasan untuk bercerai. Namun, tampaknya ada
kesalahpahaman di antara pria Yahudi dalam menafsirkan tujuan dari
izin perceraian dengan memberikan surat cerai tersebut (ulangan 24:1).
Sebenarnya, surat cerai diberikan bukan untuk membenarkan perceraian,
tetapi untuk melindungi hak-hak perempuan (istri), agar ia jangan
diusir begitu saja atau diperlakukan seenaknya. Tetapi ayat ini justru
digunakan oleh para lelaki untuk mengajukan perceraian terhadap istri
mereka. Suatu interpretasi yang keliru, sehingga tepat jika Yesus
menuding keras dengan mengatakannya "Karena ketegaran hatimu Musa
mengizinkan kamu menceraikan istrimu, tetapi sejak semula tidaklah
demikian" (Matius 19:8).
ARGUMENTASI YANG MENDUKUNG BAHWA YESUS TIDAK MENGIJINKAN MEMBERIKAN
PERCERAIAN?
Dengan demikian, dalam ayat Matius 19:9 ini Yesus dengan tegas tidak
memberikan kekecualiaan apapun yang memperbolehkan perceraian,
termasuk alasan percabulan yang diizinkan Musa untuk bercerai dalam
Ulangan 24:1 di PerjanjianLama. Disini Yesus menegaskan lagi tujuan
dan ketetapan Allah semula dalam pernikahan (Matius 19:6). Ada
beberapa alasan yang mendukung hal ini.
1. Kristus konsisten dengan ucapannya sendiri. Ketika Ia berkata, "apa
yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia"
(Matius 9:6), maka tidaklah mungkin Ia menentang perkataanNya
sendiri dengan mengizinkan perceraian seperti kesalahan terjemahan
dalam Matius 19:9.
2. Ketika mendengar penegasan Yesus seketika para muridNya memberi
respon dengan berkata, "Jika demikian halnya hubungan antara suami
dan istri, lebih baik jangan kawin" (Matius 19:10). Ini menunjukkan
bahwa mereka benar-benar mengerti bahwa Yesus tidak pernah
mengizinkan perceraian dengan alasan apapun. Dan menurut mereka
hal seperti ini sangat berat sekali, tetapi menurut Yesus memang
"Tidak semua orang dapat mengerti perkataan itu, hanya mereka
yang dikaruniai saja" (Matius 19:11).
3. Frase "kecuali karena zinah" tersebut hanya terdapat dalam tulisan
Matius 19:9. Sementara itu, baik Markus maupun Lukas
tidak mencantumkannya! (bandingkan Markus 10:11-12; Lukas
16:18). Telah dijelaskan sebelumnya bahwa frase "mê epi porneia",
yang diterjemahkan dengan "kecuali karena zinah" adalah salah
terjemahan, karena seharusnya diterjemahkan "tidak untuk
percabulan". Kesalahan terjemahan ini terjadi karena penerjemah
memasukan kata "ei" dalam frese "ei mê epi porneia". Ketika
kata "ei" digunakan bersama-sama dengan kata "mê" maka tentu
saja artinya adalah "kecuali". Dan ungkapan berganda "ei mê "
ini muncul sekitar 36 kali dalam Perjanjian Baru. Dan, Teks Yunani
yang diterbitkan Erasmus telah memasukkan kata "ei" ini di depan
kata "mê" sehingga mengubah arti dari "tidak" menjadi
"kecuali". Kesalahan terjemahan ini juga termasuk dalam
Tekstus Receptus yang merupakan dasar banyak terjemahan lama.
Sejak abad ke 19 para sarjana telah memiliki naskah Yunani
yang dapat dipercaya seperti Majority Text, Teks Bazitium,
edisi-edisi Nestle -Aland, dan Edisi-edisi United Bible Society,
yang semuanya dengan bulat sepakat bahwa teks bahasa Yunani yang
berbunyi "mê epi porneia" tanpa "ei" diterjemahkan sebagai
"tidak karena percabulan" yang berbeda artinya dengan "kecuali
karena percabulan". Namun sayangnya, hingga saat ini masih banyak
orang Kristen mengikuti sebuah tradisi terjemahan yang berasal
dari Textus Receptus, yang telah menerjemahkan apa yang tidak
tertulis dalam naskah aslinya.
4. Pandangan dan kesimpulan para pakar teologi dan etika Kristen
menunjukkan bahwa Kristus tidak mengizinkan perceraian. (1) Homer
A. Kent, Profesor bidang Perjanjian Baru dan Bahasa Yunani;
Grace Theological Semanary. Beliau menyatakan "apabila zinah
dipandang sebagai sesuai dengan artinya yang umum, dan di sini
mengacu kepada kesucian pihak wanita sepanjang masa pertunangan
(bdg. Kecurigaan Yusuf, Matius 1:18,19), maka Kristus sama
sekali tidak memberikan peluang untuk bercerai bagi pasangan
yang sudah menikah. Dengan demikian Dia tidak sependapat dengan
syamai maupun dengan Hillel" (The Wycliffe Bible Comentary, Volume
3, hal. 88); (2) F.F. Bruce seorang profesor Perjanjian Baru
di University of Manchester. Beliau menyatakan, "Namun
pernikahan ditetapkan oleh Allah untuk manusia di bumi. Atas
pertanyaan ‘apakah seseorang suami diperbolehkan menceraikan
istrinya!’ maka jawabannya, kita simpulkan adalah tidak; tidak
dengan alasan apa saja!" (F.F. Bruce, Ucapan Yesus Yang Sulit,
Penerbit SAAT: Malang, hal 47-55); (3) Glen H. Stassen, Profesor
Etika Kristen di Fuller Theological Seminary, bersama David
P. Gushee Profesor Filsafat Moral di Union University,
Jackson. Mereka menyatakan "Kita bisa percaya bahwa Yesus
sedang memberikan kepada kita sebuah peraturan baru di mana tidak
ada pengecualiaan sama sekali - tidak ada perceraian yang dapat
dibenarkan, - atau, di hadapan ‘dilema-dilema yang janggal dan
bahkan kejam’ yang diciptakan oleh interpretasi ini, kita
dipaksa untuk menggantikan paradigma" (Etika Kerajaan Allah;
Penerbit Momentum, hal, 347-372); (4) Norman L. Geisler,
profesor apologetika di Dallas Theological Seminary dan dekan dari
The Liberty Center for Christian Scholarship di Liberty
University, saat mengevaluasi pandangan tidak ada alasan apapun
untuk bercerai menyatakan, "Allah sungguh membenci perceraian.
Yesus sungguh melarangnya dan bagian Alkitab yang selebihnya
menyetujui sikap ini. Paling banter, Allah hanya
memperbolehkan perceraian, tapi tidak pernah memerintahkannya.
Tidak ada dasar-dasar Alkitabiah untuk perceraian, bahkan
juga perzinahan. Perzinahan adalah dosa dan mengatakan
perzinahan sebagai pembenaran untuk bercerai berarti bahwa dosa
membenarkan perceraian. Perceraian merupakan satu kegagalan untuk
memiliki sifat-sifat yang dikehendaki standar Allah, tidak
peduli apapun alasanya. Perceraian adalah satu serangan
terhadap standar Allah, satu penghancuran dari rencanaNYa untuk
pernikahan" (Geisler, Norman L., 2000. Christian Ethics: Options
and Issues. Edisi Indonesia dengan judul Etika Kristen: Pilihan
dan Isu, Terjemahan, Penerbit Literatur SAAT : Jakarta, hal. 366).
PENUTUP
Pernikahan adalah hal mulia, yang dikaruniakan Tuhan, sejak manusia
belum jatuh ke dalam dosa, yaitu suatu bayangan yang melukiskan
persekutuan antara Kristus dan gerejaNya (Efesus 5:22-33). Dalam
pernikahan suami dan istri mengikat diri dalam suatu tujuan yang
kudus, untuk membangun rumah tangga bahagia dan harmonis. Karena itu,
janganlah pernikahan ditempuh atau dimasuki dengan sembarangan,
dirusak oleh karena kurang bijaksana, dinista atau dinajiskan;
melainkan hendaklah hal itu dihormati dan dijunjung tinggi dengan
takut akan Tuhan serta mengingat maksud Allah dalam pernikahan itu.
Allah telah menciptakan laki-laki dan perempuan untuk hidup bersama.
Pernikahan mempersatukan kedua hati, mempersatukan kasih dan
pengharapan dalam suatu kehidupan bersama. Dengan demikian Allah
memberi kesempatan kepada laki-laki dan perempuan untuk hidup bersama.
Kehidupan bersama laki-laki dan perempuan harus didasarkan atas kasih
karunia. Sebagaimana Yesus Kristus mengasihi satu gereja dan gereja
itu mengasihi satu Tuhan, demikian laki-laki dipanggil mengasihi satu
perempuan dan perempuan mengasihi satu laki-laki. Karena itu hendaklah
pernikahan ditempuh dengan rukun, sehati, setujuan, penuh kasih
sayang, percaya seorang akan yang lain, dan bersandar kepada kasih
karunia Tuhan. Hanya dengan cara yang demikian kehidupan bersama ini
dapat bertahan dan menjadi berkat. Amin
REFERENSI
Burke, Dale., 2000. Dua Perbedaan dalam Satu Tujuan. Terjemahan
Indonesia (2007), Penerbit Metanoia Publising : Jakarta.
Clinton, Tim., 2010. Sex and Relationship. Baker Book, Grand Rapids.
Terjemahan Indonesia (2012), Penerbit ANDI : Yogyakarta.
Douglas, J.D., ed, 1988. The New Bible Dictionary. Terjemahan
Indonesia: Ensiklopedia Alkitab Masa Kini, 2 Jilid, diterjemahkan
(1993), Yayasan Komunikasi Bina Kasih : Jakarta.
Drewes, B.F, Wilfrid Haubech & Heinrich Vin Siebenthal., 2008. Kunci
Bahasa Yunani Perjanjian Baru. Jilid 1 & 2. Penerbit BPK Gunung Mulia
: Jakarta.
Evans, Tony., 2001. Cara Hidup Yang Luar Biasa. Buku dua, terjemahan,
Penerbit Interaksara : Batam.
Geisler, Norman L., 2000. Christian Ethics: Options and Issues. Edisi
Indonesia dengan judul Etika Kristen: Pilihan dan Isu, Terjemahan,
Penerbit Literatur SAAT : Jakarta.
Gutrie, Donald., ed, 1976. The New Bible Commentary. Intervarsity
Press, Leicester, England. Edisi Indonesia dengan judul Tafsiran
Alkitab Masa Kini, Jilid 3, diterjemahkan (1981), Yayasan Komunikasi
Bina Kasih : Jakarta.
Gutrie, Donald., 1981. New Tastament Theology, . Intervarsity Press,
Leicester, England. Edisi Indonesia dengan judul Teologi Perjanjian
Baru, 3 Jilid, diterjemahkan (1991), BPK Gunung Mulia : Jakarta.
King, Clayton & Charie King., 2013. 12 Pertanyaan yang Harus Diajukan
Sebelum Menikah. Terjemahan, Penerbit Immanuel : Jakarta.
Lewis, C.S., 2006. Mere Christianity. Terjemahan, Penerbit Pionir Jaya
: Bandung
Mack, Wayne., 1985. Bagaimana Mengembangkan Kesatuan Yang kukuh Dalam
Hubungan Perkawinan, terjemahan, Penerbit Yakin : Surabaya.
Morris, Leon., 2006. New Testamant Theology. Terjemahan, Penerbit
Gandum Mas : Malang.
Pfeiffer, Charles F & Eferett F. Herrison., ed, 1962. The Wycliffe
Bible Commentary. Edisi Indonesia dengan judul Tafsiran Alkitab
Wycliffe Perjanjian Baru, volume 3, diterjemahkan (2004), Penerbit
Gandum Mas : Malang.
Piper, John & Justin Taylor, ed., 2005. Kingdom Sex and the Supremacy
of Christ. Edisi Indonesia dengan judul Seks dan Supremasi Kristus,
Terjemahan (2011), Penerbit Momentum : Jakarta.
Powers, B. Ward., 2011. Divorce and Remarriage: The Bible’s Law and
Grace Approach. Edisi Indonesia dengan judul Perceraian dan Perkawinan
Kembali : Pendekatan Hukum dan Anugerah Allah dalam Alkitab,
terjemahan (2011), Penerbit Yayasan Komunikasi Bina Kasih : Jakarta.
Prokopchak, Stave and Mary., 2009. Called Together. Destiny image,
USA. Terjemahan Indonesia (2011), Penerbit ANDI : Yogyakarta.
Sproul, R.C., 1997. Essential Truths of the Christian Faith.
diterjemahkan, Penerbit Literatur SAAT : Malang.
Stassen, Glen & David Gushee., 2003. Kingdom Ethics: Following Jesus
in Contemporary Contex. Edisi Indonesia dengan judul Etika Kerajaan:
Mengikut Yesus dalam Konteks Masa Kini, Terjemahan (2008), Penerbit
Momentum : Jakarta.
Stamps, Donald C., ed, 1995. Alkitab Penuntun Hidup Berkelimpahan.
Terj, Penerbit Gandum Mas : Malang.
Stott, John., 1984. Issues Facing Chistianis Today. Edisi Indonesia
dengan judul Isu-Isu Global Menantang Kepemimpinan Kristiani.
Terjemahan (1996), Penerbit Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF :
Jakarta.
Susanto, Hasan., 2003.Perjanjian Baru Interlinier Yunani-Indonesia dan
Konkordansi Perjanjian Baru, jilid 1 dan 2. Terjemahan, Penerbit
Literatur SAAT : Malang.
Tong. Stephen., 1991. Keluarga Bahagia. Cetakan kesebelas (2010),
Penerbit Momentum: Jakarta.
Zuck, Roy B, editor., 2010. A Biblical of Theology The Old Testament.
Terjemahan, Penerbit Gandum Mas: Malang.
_____________, editor., 2011. A Biblical of Theology The New
Testament. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas: Malang.
Sumber: Artikel Pribadi