Dulu Aku Hanya Seorang Pengemis

Kesaksian: Suparno

Dari kolong sebuh jembatan, Suparno dan kelima adiknya dibesarkan. Ia berasal dari keluarga yang turun-temurun bekerja sebagai pengemis. Karena keadaannya Suparno sepertinya tidak memiliki harapan untuk mengubah nasibnya.

Saya turun ke jalanan sejak umur lima tahun. Saya sekolah dari kelas satu SD sampai kelas enam saja. Saya dibiayai dari hasil bapak saya mengemis. Waktu saya kelas satu kelas dua saya punya cita-cita menjadi polisi. Bapak saya pernah bilang: "Kita orang susah, kita orang miskin, jangan neko-nekolah (macam-macam)". Kata-kata semacam itu tertanam dalam pikiran saya. Cita-cita itu musnah dalam hidup saya. Bahkan saya pernah berpikir saya tidak layak di dunia ini.

[block:views=similarterms-block_1]

Bukan sekedar melemahkan semangat, orang tua Suparno juga melakukan kekerasan yang mengerikan pada dirinya. Dari kecil saya tidak pernah merasakan kasih sayang dari orang tua saya. Hari-hari saya dipukuli ibu saya. Saat saya sekolah, telat sedikit saya disiram air. Kalau melakukan kesalahan, kaki saya di-tang dan kuku saya dicabut. Dendam dan kepahitan hidup terbentuk dalam batin Suparno. Waktu itu saya hanya punya perasaan dendam dan punya pikiran kalau saya sudah besar dan menjadi "orang", saya pasti balas perlakuan mereka. Saya beranggapan saya sudah tidak punya orang tua lagi. Saya ingin kabur dari rumah.

Perlakuan keras orang tuanya dan realita yang terjadi dalam kehidupannya membuat Suparno merasa inilah takdirnya sebagai orang miskin yang tidak berpengharapan. Semenjak saya putus sekolah saya melakukan pekerjaan mengemis, dan orang tua saya juga mendorong saya untuk melakukannya. Perasaan saya waktu itu hancur, saya kecewa pada mereka. Pernah mereka bilang : "Kamu ganti baju yang jelek aja, muka kamu hitam-hitamin. Muka kamu dibuat untuk belas kasihan. Kamu bikin luka-luka bohongan. Mereka juga berikan saya obat-obatan terlarang untuk saya konsumsi untuk menghilangkan rasa malu saya.

Untuk memancing iba dan belas kasihan untuk mendapatkan uang yang lebih banyak, Suparno menuruti saran ayahnya agar dia membakar kakinya sendiri. Bapak saya pernah bilang : "No, kaki kamu bakar aja". Terus saya berpikir, benar juga ide itu. Kurang lebih tiga hari kemudian, kaki ini saya bakar dan saya kapuri. Saya minum obat, minum-minuman keras supaya disaat saya kasih kapur dan saya bakar kaki saya, saya tidak merasakan sakit. Walau penghasilan meningkat namun tubuhnya menjadi rusak. Sebelum membakar kaki, penghasilan saya sehari 30-50 ribu rupiah. Setelah membakar kaki penghasilan saya bisa 100-200 ribu. Dan setiap dua bulan sekali saya melakukan hal itu (membakar kaki), itu terus saya lakukan. Suatu saat Suparno berjumpa dengan seseorang yang mengubah paradigma hidup Suparno, Melchior, seorang yang menyadarkan Suparno bahwa ia adalah umat yang memiliki harkat dan berharga di mata Tuhan.

Waktu saya tinggal di kolong jembatan, ada satu pribadi yang mau peduli dengan saya. Kak Melchior setiap hari selalu menasehati saya. Dia juga setiap hari mencukupi kebutuhan saya. Dia tinggal di kolong jembatan selama tiga bulan. Dia bekerja menarik gerobak dan menjadi pemulung. Itu membuat saya bertanya: "Siapa sih ini orang?". Waktu datang, dia menyadarkan saya dengan mengatakan: "No, kamu sadar nggak sih, kamu ini orang sehat?. Kamu ini orang yang tidak cacat, apa kamu mau bekerja seperti ini selamanya?." Sampai suatu hari dia bilang : "No, kamu tinggal dengan saya aja di rumah singgah".

Dua hari saya dengan dia, dia mengajari saya menarik gerobak, ternyata ini pekerjaan yang berat. Disitu timbul lagi pikiran yang negatif dalam hidup saya : "Buat apa sih saya harus menarik gerobak seperti ini?, harus mengeluarkan keringat segala macam?. Penghasilan saya mengemis juga lebih besar kok!?". Itu yang menguatkan saya untuk keluar dari rumah singgah.

Satu hari kemudian, dia datang lagi ke kolong dan berkata: "Suparno, kamu diciptakan bukan untuk menjadi pengemis tapi untuk menjadi orang yang sukses dalam Tuhan!". Saya nggak mengerti waktu itu, Tuhan itu apa sih?!. Tuhan itu seperti apa? Makanan apa Tuhan itu?. Beberapa pertanyaan menghujani pikiran Suparno. Siapakah pribadi Tuhan yang dimaksud?. Pertanyaan ini telah mengarahkan Suparno kembali ke rumah singgah.

Setelah itu saya kembali lagi ke rumah singgah. Saya diajari lagi bekerja. Saya taat dengan kembali memulung setiap hari. Saya mengambil barang-barang bekas untuk dijual kembali, kak Melchior juga setiap hari menguatkan saya : "Kalau kamu mau, kamu tidak akan pernah menjadi seorang pemulung terus karena Tuhan juga tidak menciptakan hanya pemulung". Sampai-sampai suatu saat kak Melchior memanggil saya dan mengatakan: "Mulai besok kamu tidak perlu menjadi pemulung lagi, kamu yang jadi penjaga lapak. Kamu yang bertanggung jawab, semua orang yang ada di tempat ini jualnya ke kamu".

Dari kepercayaan yang kecil yang dipercayakan kepadanya, semua dikerjakan dengan penuh tanggung jawab. Suparno mendapatkan tanggung jawab yang lebih besar menjadi kepala lapak, sopir mobil bahkan mengelola mobil angkutan kota yang menjadi miliknya sendiri. Kak Melchior bilang: "No, kamu bisa nyopir nggak?". Saya bilang bisa. "Kamu mau nggak kakak beliin mobil?, uang mukanya kakak kasih dan angsurannya kamu usahain sendiri?". Itu sangat berat buat saya karena saya takut, saya takut karena angsuran bulanannya nggak sedikit, sangat besar buat saya, 4,5 juta dan uang mukanya 30 juta. Andaikata saya tidak bayar angsuran maka uang muka akan hilang dan mobil juga akan hilang. Tapi saya bertekad untuk membayar uang mukanya dari kak Milchior yang 30 juta dalam satu tahun.

Dengan ketekunan dan semangat kerja yang tinggi, bertanggung jawab, jujur dan dapat dipercaya, menjadi karakter yang melekat dalam diri Suparno. Itu semua adalah karakter Tuhan yang memampukan dia lepas dari kehidupan jalanan yang tiada berpengharapan menjadi hidup yang penuh harapan.

Ahmad Yani, adik Suparno bersaksi atar perubahan hidup kakaknya. Saya mau mengikut abang saya itu karena saya melihat perubahan. Dulunya ia orangnya jahat. Kerja di jalanan setahu saya mana mungkin bisa berubah. Tapi sekarang mas Parno memotivasi saya untuk mau belajar, mas Parno sekarang mau memasukkan saya ke angkatan darat.

Sedikit demi sedikit Suparno belajar tentang nilai-nilai kehidupan. Kak Melchior selalu menenamkan dalam diri saya: "Parno jangan pernah minder, kamu jangan pernah menyerah karena Tuhan Yesus selalu bersama kamu, karena Tuhan Yesus selalu ada di dalam diri kamu. Karena Tuhan Yesus selalu mengasihi kamu. Kamu jangan pernah menyerah dalam segala hal, apapun itu. Jangan pernah kalah dengan keadaan."

Suparno telah berubah dan kini ia dapat melihat siapa Tuhan itu. Di dalam Yesus ada kebahagiaan karena didalam Yesus itu ada kasih. Saya baru pertama kali itu merasakan kasih yang begitu luar biasa yang selama ini belum pernah saya rasakan. Saya bersyukur pada Tuhan karena Tuhanlah yang mengubah hidup saya. Tuhan menjadikan saya memiliki pengharapan, yang tadinya saya tidak punya pengharapan, Tuhan memberikan pengharapan itu pada diri saya. Saya sangat bangga dan bersyukur pada Tuhan.

Saya bahkan mau menyerahkan hidup saya pada Dia, firman-Nya: "Janganlah ingat-ingat hal-hal yang dahulu, dan janganlah perhatikan hal-hal yang dari zaman purbakala! Lihat, Aku hendak membuat sesuatu yang baru, yang sekarang sudah tumbuh, belumkah kamu mengetahuinya? Ya, Aku hendak membuat jalan di padang gurun dan sungai-sungai di padang belantara. (Yesaya 43:18-19)

JAWABAN.com.