Peka Budaya
Penulis : Lesminingtyas
Sekitar satu jam sehari, hampir bisa dipastikan saya berada dalam sebuah komunitas yang beranggotakan orang-orang Kristen, Katolik dan Islam. Sebagian besar dari kami telah berkeluarga dan beberapa yang lainnya masih single alias jomblo. Kami sangat akrab satu sama lain. Bila salah satu atau beberapa anggota memiliki makanan, semua ikut makan. Kalau salah satu anggota sedang sakit, kami selalu bersama-sama menjenguknya.
Teman laki-laki yang sering mendominasi pembicaraan paling suka menggunakan nama pengganti untuk kami yang perempuan. Si ibu yang gendut, mereka namai Praty, si ibu yang sexy dinamai Inul, sedangkan si nona jelita dinamai Tessa Kaunang. Saya sendiri mereka namai Angel Banget (dibaca : Enjel Benjet), bukan Angel Ibrahim atau Angel yang lain. Semula saya heran, mengapa mereka memberikan lebel kepada saya seperti itu. Selidik punya selidik, ternyata sebutan tersebut diberikan karena kaum lelaki itu menganggap saya sebagai orang "angel" (sulit).
Mengapa mereka memandang saya sebagai orang "angel"? Memang saya akui, dalam banyak hal saya kuat dalam berprinsip dan kadang-kadang tidak mau kompromi lagi. Seperti misalnya, sebagian besar teman membiasakan diri untuk bersalaman dan "cipika-cipiki" (cium pipi kanan, cium pipi kiri). Saya memang menolak "cipika-cipiki" dan menggantinya dengan memberi salam gaya sunda. Kira-kira masih dalam jarak 3-2 meter, saya sudah memberikan salam dengan merapatkan kedua telapak tangan saya tepat di depan dada saya. Hal ini saya lakukan terlebih dahulu, supaya teman laki-laki tidak menarik tangan saya sambil "cipika-cipiki"
Sebagian teman mengatakan bahwa saya terlalu kuno dan tidak mengikuti perkembangan jaman. Saya pu hanya menjawab "Semoderen apapun dunia ini, saya tidak akan melakukan hal-hal yang tidak membuat hati saya nyaman dan damai". Ada juga teman yang mengkritik bahwa saya terlalu dingin dan tidak menyayangi teman. Tetapi saya bisa meyakinkan bahwa saya pun bisa bergaul hangat dan menunjukkan kasih sayang tanpa harus "cipika-cipiki"
Yang lebih mengherankan, seorang teman Kristen yang sesuku dengan saya pun ikut mengkritik dan menasehati demikian "Sebagai orang Jawa sekaligus orang Kristen, seharusnya kita bisa "manjing ajur ajer", menyesuaikan diri dengan lingkungan kita. Kalau kita bertemu dengan orang kaya, kita jangan sampai kelihatan miskin. Kalau ketemu dengan orang pintar, kita jangan sampai kelihatan bodoh. Kalu ketemu sama orang gedean, jangan sampai kita kelihatan seperti rakyat jelata. Dan..."
"Dan.kalau ketemu orang gila, kita jangan sampai kelihatan waras.kalau ketemu sama orang biadab, jangan sampai kita kelihatan beradab. Begitu khan maksudmu?" saya memotong pembicaraan teman sambil tertawa. "Kita memang harus menempatkan diri, tetapi tidak untuk menyesuaikan diri. Menempatkan diri, berarti tidak membuat jurang perbedaan, tetapi tetap berpegang pada prinsip kita sendiri" lanjut saya.
Teman saya pun mulai menyalahtafsirkan perintah Tuhan kepada kita untuk menjadi garam. "Kalau kita menjadi garam, berarti kita harus melebur dengan yang digarami, supaya yang kita garami menjadi asin. Tetapi supaya bisa mengasinkan, garam tidak lagi berbentuk garam, tetapi sudah menjadi sama-sama cair" kata teman saya.
Dengan kalem saya pun menjawab "Kalau kita meleburkan diri dan menjadi sama dengan lingkungan, itu namanya bukan menggarami dunia, tetapi digarami dunia. Kalau sudah menjadi sama dengan lingkungan, berarti tidak special lagi dan sebagai garam kita tidak asin lagi. Kalau garam sudah menjadi tawar, maka sudah tidak ada gunanya lagi dan hanya akan diinjak-injak dan dibuang" kata saya
"Sebagai ilustrasi, ada seorang pendeta yang hendak menginjili kaum Nudis yang masih telanjang. Karena ingin menyesuaikan diri dengan lingkungan yang dilayani, si pendeta itu pun datang dengan telanjang bulat. Di luar perkiraan pendeta, ternyata hari itu kaum Nudis justru berpakaian untuk menyambut kedatangan pendeta. Nah, pendeta bisa seperti itu karena ia sedang menyesuaikan diri, bukan menempatkan diri. Jadi, seharusnya kita tetap memegang nilai-nilai yang kita yakini, tanpa harus membuat perbedaan yang menyolok dengan lingkungan kita" lanjut saya.
Teman saya pun masih belum mau kalah "Lho, dengan cara kamu menolak cium pipi, itu sama saja sudah membuat perbedaan yang menyolok!" "Begitu kita memutuskan untuk mengikut Kristus, berarti kita harus siap berbeda dengan dunia. Hanya saja, kita tidak perlu menggembar-gemborkan perbedaan itu, supaya kehadiran kita tidak meresahkan dan ditolak orang-orang yang belum percaya" jawab saya "Tapi, cium pipi khan tidak dilarang oleh Tuhan" teman saya membela diri. "Tapi juga bukan keharusan khan?" bantah saya. "Ya, tapi cium pipi khan untuk menunjukkan kasih" teman saya masih ngotot. "Coba tolong tunjukkan ayat yang mana yang mengatakan begitu" bisik saya lirih "Kalau kamu memang mau mengungkapkan rasa kasih dengan cium pipi, silakan saja..saya nggak melarang kok. Tapi jangan paksa saya untuk melakukan hal yang sama. Biarkan saya mengasihi teman-teman dengan cara saya sendiri. Saya lebih suka mendengarkan keluh kesah, memberi saran, meminjami buku atau yang lain sebagai perwujudan kasih sayang, dari pada sekedar "cipika-cipiki" yang tidak jelas maksud dan tujuannya" kata saya.
Ketika teman saya kembali mengkritik bahwa saya terpengaruh budaya Islam, saya pun berusaha meyakinkan bahwa "cipika-cipiki" juga bukan budaya Kristen, tetapi budaya global. Ketika teman saya menuduh bahwa saya anti globalisasi karena menolak "cipika-cipiki", saya pun dengan santai menjawab "Apakah semua budaya global harus kita ikuti? Saya hanya akan melakukan cipika-cipiki kalau jelas maksud dan tujuannya. Kalau memang dengan cipika-cipiki itu nama Tuhan semakin dipermuliakan, ya tentu saja saya akan melakukannya. Kalau tidak ada manfaatnya sedikitpun untuk kehidupan iman saya, ngapain saya harus mengorbankan pipi saya?!"
Teman saya yang hampir kehabisan kata-kata itupun hanya berkata "Dasar, Enjel Benjet.sok jual mahal! Apa sih istimewanya pipi kamu? Sok lu, pipi nggak ada istimewanya saja kok sampai dibela-belain. Kalau kamu bisa sedikit santai, nggak ada masalah kok dengan cium pipi. Toh sama-sama kulit!"
Supaya teman saya tidak tegang, saya pasang muka cengengesan sambil bertanya "Mas, kamu mau nggak cium kulit duren, kayak cium pipi cewek?" "Yo.moh! Ngapin cium-cium kulit duren?" jawabnya ketus "Santai lah Mas..tadi kamu bilang, kalau sama-sama kulit khan nggak masalah!" "Emang yang namanya Enjel Bejet, ya mau diapain tetap saja Enjel Benjet..." kata teman saya sambil tersenyum kecut.
Ketika teman saya yang muslim ikut-ikutan mengolok-olok saya sebagai orang aneh, saya pun menjawab "Ini tanah pasundan..bukan Amrik, Mang!". Saya masih terus meyakinkan bahwa dengan mengganti "cipika-cipiki" dengan salam gaya Sunda, saya sedang menempatkan diri dalam masyarakat dan budaya setempat. Memang tidak semua budaya Sunda merasuki kehidupan saya. Hanya saja, saya sedang belajar supaya bisa memiliki kepekaan terhadap budaya setempat (local culture sensitive).
Dengan kepekaan terhadap budaya setempat, saya berharap kehadiran saya bisa diterima, bukan hanya sebagai "tamu" tetapi sebagai "keluarga". Kalau masyarakat telah menerima saya sebagai bagian mereka, maka kesaksian dan pelayanan saya tidak lagi mereka curigai atau dianggap sebagai upaya Kristenisasi. Jadi, walaupun "cipika-cipiki" tidak dilarang oleh agama, tetapi kalau dilakukan di tengah-tengah masyarakat yang belum bisa menerimanya, hal tersebut bisa menghambat tugas kesaksian dan pelayanan. Sadarkah, bahwa banyak orang di sekeliling kita menolak ajaran Kristen, bukan karena mereka tidak menyukai Kristus? Sadarkan bahwa banyak orang tidak menyukai ajaran Kristus, karena kita telah gagal menghadirkan kebaikan-kebaikan Kristus kepada mereka?