Masa Penghayatan Penderitaan Kristus
Oleh: Yon Maryono
Pada saat seorang pendoa dalam doanya mengucapkan kami tolak menderita, tolak sakit ginjal, tolak kemiskinan, tolak kegagalan dan sebagainya. Timbul pertanyaan pada diri saya, kalau menderita atau dianiaya oleh karena kebenaran Tuhan (Mat 5:10), bagaimana? Setiap manusia pasti pernah menderita. Ada banyak sebab manusia menderita: akibat perbuatan dosa, akibat perbuatan bodoh, atau karena hal itu merupakan realitas hidup di dunia yang berdosa ini. Namun, ada juga orang yang menderita karena kehendak Allah untuk menunaikan misi-Nya, termasuk para Rasul Yeus yang akhir hidupnya mati karena dianiaya, disiksa, disalib bahkan dipenggal kepalanya seperti Rasul Paulus. Dalam fakta kehidupan, manusia tidak bisa berbuat lain kecuali menghadapinya. Oleh karena itu, pemahanan makna penderitaan yang salah dapat menimbulkan sikap rohani yang salah pula. Seseorang dapat menyalahkan diri sendiri, bila ia tidak berhasil atau gagal atau terserang penyakit. Biasanya pertanyaan yang muncul: Apa dosa saya kepada Tuhan? Padahal sakit gatal karena tidak pernah mandi, dianggap penyakitnya terjadi karena dosa, atau di PHK karena krisis ekonomi akibat dosanya. Bukankah Nabi Elia juga terkena dampaknya ketika terjadi kekeringan (I Raja-raja 17:5-6)?
Oleh karena itu, merenungkan makna penderitaan adalah penting, karena karena penderitaan itu merupakan fakta yang tidak dapat kita hindarkan. Justru di dalam dunia sekuler diyakini No Crisis No Growth. Inilah salah satu maksud penetapan perayaan minggu-minggu sengsara, yang dikenal masa Pra-Paskah, dalam kalender gerejawi. Sebuah penghayatan terhadap penderitaan Yesus untuk direnungkan dan dihayati maknanya dalam kehidupan kita.
Mengapa Yesus mau menderita?
Dalam Perjanjian Lama, Kitab Yesaya 53, yang ditulis 600-700 SM, menubuatkan bahwa melalui penderitaan-Nya banyak orang akan diampuni, dibenarkan, ditebus, dan disembuhkan. Penderitaan-Nya juga akan menghasilkan pengangungan dan pemuliaan-Nya. Tidak ada seorang pun manusia yang dapat menanggung beban penderitaan seberat itu. Siapakah hamba Allah ini yang disebut dalam nubuatan Nabi Yesaya? Dalam Perjanjian Baru dan sampai sekarang hanya Yesus satu-satunya yang menggenapi nubuatan Nabi Yesaya. Dia adalah Anak Allah, sebagai pendamai manusia dan Allah, yang patut menerima pujian, hormat, dan sembah semua umat tebusan Allah.
Dalam Lukas 9:51 “ketika hampir genap waktunya Yesus diangkat ke sorga, Ia mengarahkan pandangan-Nya ke Yerusalem”. Yesus tahu bahwa di Yerusalem akan menghadapi konflik dalam situasi yang membahayakan diri-Nya. Namun, Dia tetap bersiap menuju kesana. Yesus mengalami penderitaan bukan karena kesialan, bukan pula karena nasib buruk. Tapi memang inilah jalan yang ditentukan oleh Bapa bagi-Nya sejak semula. Yesus telah datang ke dalam dunia ini dengan tujuan “mati” demi menebus dosa manusia. Dia sadar bahwa di sanalah Dia akan menggenapkan rencana Bapa-Nya. Kekuatan Yesus adalah kekuatan ketaatan yang bulat kepada kehendak Allah, Bapa-Nya.
Pengajaran apa yang dapat kita renungkan dalam perjalanan menuju penderitaan Yesus?
Pertama : Yesus menderita dan mati untuk menebus dosa manusia. Yesus sebagai Juru Damai antara Allah dan manusia. Dia sebagai Juru Selamat atas murka Allah, karena dosa manusia telah ditebus dan ditanggungkan kepada-Nya. Manusia seharusnya menyadari hutang budi yang tidak terukur kepada-Nya dan seharusnya membalas dengan persembahan tubuh dan jiwanya kepada Yesus Kristus (bdk Roma 12:1). Kedua, pengajaran kasih dalam hal menangani konflik : “Masukkan pedang itu kembali kedalam sarungnya, sebab orang yang menggunakan pedang, akan binasa oleh pedang …” (Mat 26:52). Penggunaan alat yang keliru dalam menyelesaikan masalah dalam menghadapi tekanan penderitaan justru akan menghancurkan tujuan.. Kekerasan tidak pernah efektif untuk menyelesaikan masalah. Tetapi kekuatan moral spiritual dalam wujud kasih yang tulus, kejahatan dibalas kebaikan, kesabaran, kemurahan hati, selalu berpengharapan dalam Tuhan, dengan tidak memandang dari kelompok manapun. justru akan menciptakan persatuan, kesehatian dan kedamaian,. Kita percayakan pembalasan ada ditangan Tuhan (bdk Roma 12: 12-21). Ketiga, penderitaan membawa kedewasaan rohani (Roma 5:3-5; Yak 1:2-4).. Penderitaan adalah bagian dari proses menghayati pengharapan kristiani (IPet 4:13; 5:1, 10). No crisis no growth. Dalam penderitaan kita semakin bertumbuh, dekat dan semakin mencintai Tuhan.
Bagaimana sikap kita hadapi penderitaan?
Di samping sikap kasih yang tulus, sabar dan murah hati, Yesus menambahkan peringatan: Vigilate et orate “berjagalah dan berdoalah” (Mat. 26:41) yang ditujukan kepada murid-murid yang mendampingi-Nya di Taman Getsemani, tetapi saat itu murid Yesus tidak kuasa menahan rasa kantuknya. Perintah itu sungguh masih relevan ketika kita hadapi pergumulan dalam kehidupan saat ini. Perintah ini mengajak kita untuk “tidak mengantuk” tetap waspada dan berjaga terhadap segala kemungkinan cobaan iblis, memiliki kepekaan terhadap hal-hal yang berakibat dosa, dan selalu intim dengan Tuhan melalui doa. Demikianlah rasul Paulus mengingatkan kita bahwa semua penderitaan yang kita hadapi di zaman sekarang ini tidaklah sebanding dengan kemuliaan yang akan kita nikmati kelak sebagai anak-anak Allah (Rom:8:18). Karena itu, tetaplah bertekun dalam doa dam selalu berpengharapan dalam Tuhan.
Tuhan memberkati kita semua.