Iman, Apa Manfaatnya?

Penulis : Eka Darmaputera

Selama beberapa kali berturut-turut, kita pernah membahas tema "Yang Sulit-sulit Dari Pernyataan Yesus". Ingat? Rangkaian renungan tersebut kini bahkan telah dibukukan dengan judul, "Iman Yang Memindahkan Gunung" (Yogyakarta: Kairos, 2005). Kini, begitu saya berpikir, senyampang kita akan memulai sebuah seri pembahasan yang baru, mengapa kita tidak kembali membahas isu-isu yang "sulit", tapi dari arah yang sebaliknya? Maksud saya, tidak lagi membahas "pernyataan-pernyataan" yang berasal dari "Yesus" (kepada "dunia"), melainkan "pertanyaan-pertanyaan" yang berasal dari "dunia" (kepada "Yesus"). Hanya saja, mengingat kondisi kesehatan saya yang akhir-akhir ini kian tak menentu, perkenankanlah sebelumnya saya memohon dukungan doa Anda secara khusus. Yaitu, agar Tuhan memperkenankan saya mengerjakan dan menyelesaikan pekerjaan ini sampai akhir. Dan Anda menikmati berkat dari padanyabetapa pun kecil.

[block:views=similarterms-block_1]

"ZONA sulit" pertama yang akan kita jelajahi, adalah beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan masalah "iman". Mengapa? Mengapa "iman"? Apanya yang "sulit" di situ? Saya memilih "iman" sebagai topik perdana kita karena, menurut Firman Tuhan sendiri, inilah "denyut jantung" seluruh kekristenan kita. Bak tubuh kita. Minus "denyut jantung", bisa saja kita mengenakan pakaian raja-raja, berbaring di atas ranjang kencana, dikawal sepasukan tentara, dan dengan jasad nampak utuh sempurna. Namun tanpa-nya? Kita tanpa daya. Tak berarti apa-apa. Mari pertama-tama kita segarkan ingatan kita lagi, mengenai betapa "super-sentral"-nya "iman" itu! Misalnya sabda Yesus ini, "Sekiranya kamu mempunyai iman sebesar biji sesawi saja, kamu dapat berkata kepada gunung ini: Pindah dari tempat ini ke sana, maka guinung ini akan pindah, dan takkan ada yang mustahil bagimu!" (Matius 17:20; 21:21). Jelas. Tegas. Karena itu sebagai konsekuensinya, tutur Paulus, "hidup (kita) adalah hidup karena percaya, bukan karena melihat" (2 Korintus 5:7). Tidak bisa tidak! Sebab "segala sesuatu yang tidak berdasarkan iman, adalah dosa!" (Roma 14:23) Kemudian kita juga akrab dengan ajaran tentang "pembenaran oleh iman". Perhatikan baik-baik, yang dikatakan di sini sebenarnya bukan hanya dibenarkan "oleh iman". Tapi oleh "iman" saja! Sola fide! "Kami yakin," tulis Paulus, "bahwa manusia dibenarkan karena iman, dan bukan karena ia melakukan hukum Taurat" (Roma 3:28). Inilah, saudara, jawaban Tuhan atas pendapat, "Yang penting `kan berbuat baik. Agama tidak penting". Berbuat baik memang penting, tapi sayang sekali, ia tidak menyelamatkan. Manusia diselamatkan hanya karena "iman, bukan karena "perbuatan". Tapi ini jangan lalu membuat kita beranggapan, bahwa "agama" adalah segala-galanya. Menganggapnya sebagai yang berhak menerima seluruh loyalitas dan ketaatan mutlak kita. Tidak! Manusia diselamatkan hanya karena "iman", bukan karena "agama".

***

SETELAH mudah-mudahan itu jelas, jelas pula kiranya mengapa "iman" kita pilih untuk kita bahas pertama-tama. Tapi di mana "sulit"nya? Bukankah bagi bangsa se"religius" Indonesia, itu sudah kita andaikan taken for granted? "Pertanyaan sulit" apa sih yang bisa diajukan oleh "dunia" berkenaan dengan soal "iman" ini? Menurut pengamatan saya, "kesulitan" tersebut terletak pada dua tataran. Pada tataran yang pertama, kesulitannya adalah "kesulitan konseptual". Untuk menjelaskan apa itu "kesulitan konseptual", saya ambil saja pertanyaan Yesus ini sebagai contoh. Yakni ketika Ia berkata " Jika Anak Manusia itu datang, adakah Ia mendapati iman di bumi?" (Lukas 18:8). Astaga! Apakah yang Ia bayangkan atau maksudkan ketika Ia memakai istilah "iman" di situ? Benarkah bahwa yang Ia bayangkan adalah, bahwa nanti seluruh dunia akan tersekularisasi dengan sempurna, sehingga "iman" (baca: "agama") lenyap seluruhnya? Sudah pasti tidak. Lalu, kalau begitu, apa maksud-Nya? Apakah "iman" menurut pemahaman Yesus? Inilah, saudara, yang saya maksudkan dengan "kesulitan konseptual". Orang dapat menyebutkan istilah yang sama, tapi dengan konsep pemahaman yang berbeda, mereka sebenarnya menunjuk pada dua hal yang berbeda. Itu sebabnya, Kim Yong Il atau Mugabe atau Pinochet, yang amat tiran dan otoriter, bisa dengan tanpa risih sedikit pun berbicara tentang "demokrasi" atau HAM. Dan para teroris, itu pembunuh- pembunuh keji yang tanpa hati nurani, dapat melumuri tangannya dengan darah sesama sambil berdoa dengan khusyuknya, serta memberi kuliah tentang "missi suci". Nah, yang ingin saya katakan adalah bahwa sekarang ini dengan suara lantang, dunia sebenarnya sedang menantang, "Tuhan sudah mati! Agama adalah masa lalu! Dan iman adalah ketakhayulan!" Mereka juga menyertakan argumentasi mereka, acap kali dengan "bukti-bukti" yang meyakinkan. Dan kita mulai terpikat. Tapi jangan terjebak! Sebab kita mesti terlebih dahulu mempertanyakan, apa sebenarnya konsep mereka ketika mereka "cas-cis- cus" mengucapkan kata "Tuhan", "agama", "iman" itu? Apakah kita berbicara dengan bahasa yang sama?

***

PADA tataran yang kedua, ada "kesulitan" lain. Kesulitan ini lebih kongkret, lebih praktis, lebih teknis. Yaitu, tatkala dunia dengan tak kurang lantangnya bertanya dan menjawab "Bagi manusia yang rasional, iman itu apa manfaatnya?" Seperti ditegaskan oleh George H. Smith, "Iman teisme kristiani harus ditolak oleh siapa pun, yang sedikit saja punya penghargaan terhadap akal". "Beriman" barangkali tidak serta merta mendatangkan celaka. Tapi yang pasti, ia sia-sia. Sebagian besar orang Kristen, saya kira, sedikit banyak pasti mengenal "Billy Graham". Paling sedikit namanya. Seorang penginjil besar yang amat diberkati. Yang melalui pelayanannya, memungkinkan Injil menembus hati jutaan manusia, melintasi Tirai Besi, dan masuk ke istana kepala-kepala pemerintahan. Tapi menurut perkiraan saya, tak banyak yang mengenal nama "Charles Templeton". Padahal keduanya Graham dan Templeton pernah menjadi rekan sejawat dalam memberitakan Injil ke mana-mana. Tak jarang, berbagi mimbar. Beberapa orang bahkan meramalkan, bahwa Templeton akan menjadi "pendeta besar" melebihi Graham. Tapi agaknya pengalaman hidup masing-masing telah membawa mereka mengambil jalan yang berbeda, bahkan berseberangan. Di masa tua, yang mempersatukan mereka hanyalah penyakit. Graham menderita Parkinson, Templeton mengidap Alzheimer. Hanya saja, dalam usianya yang 80 tahun lebih, walau dengan tangan dan lutut gemetar, Billy Graham tetap setia kepada Tuhannya. Tetap konsisten dengan pesan Injil yang "itu-itu" juga. Sedang Templeton? Di tengah jalan, ia berbalik arah. Dengan sadar, ia memutuskan untuk menolak beriman kepada Tuhan.

***

KEPADA Lee Strobel yang mewancarainya, Templeton memberi kesaksian yang jujur. Tatkala ditanya, apakah ada satu hal yang secara khusus yang membuat ia kehilangan "iman"-nya kepada Tuhan, Templeton tidak menutup-nutupinya. "Sebuah foto di majalah LIFE", demikian ia menjawab. "Sebuah foto? Bagaimana bisa sampai demikian?", tanya Strobel. Templeton agak memejamkan mata-nya. Berusaha membuat gambar itu kembali hidup di depan matanya. "Foto itu adalah gambar seorang perempuan kulit hitam di Afrika Utara. Mereka sedang mengalami musim kering yang luar biasa waktu itu, Perempuan itu menggendong bayinya yang telah mati, seraya menatap ke atas dengan ekspresi wajah yang sangat berarti." Saya menatap ke gambar itu, dan berfikir, "Mungkinkah percaya bahwa ada Seorang Pencipta yang maha kasih dan maha peduli, sementara yang perempuan ini butuhkan hanyalah "hujan"?" Templeton menekankan kata "hujan". "Bagaimana mungkin seorang "Allah" yang konon maha pengasih berbuat seperti ini kepada perempuan malang itu? Siapa yang mengendalikan hujan? Saya tidak. Anda juga tidak. Ia yang mengendalikannya. Karena itu, begitu saya melihat foto tersebut, seketika itu pula saya tahu, bahwa mustahil ini bisa terjadi bila benar ada "Allah" yang pengasih. Tak bisa lain. Siapa yang tega berbuat sekejam itu, membunuh seorang bayi dengan kehausan, dan sekaligus membunuh ibunya dengan "agony"sementara yang mereka butuhkan hanyalah hujan?" Begtulah antara lain dunia bertanya. Katakanlah iman itu penting, bahkan super-penting, oke, tapi jelaskanlah apa manfaatnya. Baik, tapi ini tidak mungkin kita lakukan sekarang. Minggu depan, dengan perkenan Tuhan, kita akan coba membahasnya. ***

Sumber: Sinar Harapan Sabtu, 28 Mei 2005