Ajakan untuk Mendoakan Gereja Di Italia

Sehubungan dengan semakin dekatnya jadwal pemilihan untuk referendum mengenai reproduksi buatan di Italia pada tanggal 12-13 Juni, berikut penulis melaporkan beberapa perkembangan yang terjadi di Italia, bahwa meskipun dilanda kritik di sana-sini, Gereja Katolik Italia senantiasa menganjurkan kepada umat beriman untuk tidak datang memilih demi membela kehidupan manusia.

[block:views=similarterms-block_1]

Kita pun umat Kristiani di Indonesia, atau di manapun, dapat terus mendukung tindakan Gereja dengan lebih banyak lagi mendoakan kepada Tuhan melalui Bunda Maria agar umat Kristiani (Katolik) Italia sungguh-sungguh melaksanakan tanggung jawab iman mereka dengan mematuhi ajakan Gereja. Berita ini telah diupdate ke dalam website PondokRenungan (www.pondokrenungan.com) EROPA/ITALIA Gereja berspekulasi dalam ajakan untuk memboikot referendum reproduksi buatan Italia.

Gereja di Italia sedang mengambil satu dari spekulasi politiknya yang terbesar dalam dekade-dekade. Kardinal Camillo Ruini, Kepala Konferensi Waligereja Italia, telah mengajak para umat Katolik di negara itu untuk memboikot referendum tanggal 12-13 Juni yang akan mencabut larangan-larangan tertentu mengenai reproduksi buatan dan penelitian embrio.

Namun terakhir kali Gereja mengatakan kepada masyarakat bagaimana untuk memilih, hasilnya terbagi dalam dua kekalahan yang menyesakkan. Gereja dengan keras mendukung dua referendum, satu pada tahun 1974 membuat perceraian tidak sah dan satu pada tahun 1981 membuat aborsi sebuah kejahatan. Warga Italia, yang mayoritas adalah umat Katolik, membanjiri tempat-tempat pemberian suara, tetapi bukan untuk mematuhi Gereja. Mereka meloloskan kedua referendum untuk menguatkan keabsahan perceraian dan aborsi.

Kali ini, Kardinal Ruini yang berusia 74 tahun yakin akan kemenangan Gereja. Surat kabar Vatikan, "L"Osservatore Romano", melemparkan dukungannya dibalik kampanye para uskup tanggal 25 Mei untuk "tidak memilih" ketika menerbitkan sebuah artikel di halaman depan yang mengatakan bahwa tidak mengunjungi tempat pemberian suara mencerminkan suatu tindakan yang membela kehidupan manusia.

"Tanggung jawab umat beriman tidak dapat berakhir dengan keberatan pribadi" terhadap "penurunan nilai dari kehidupan embrio manusia," yang tertulis dalam artikel, yang ditulis oleh Kardinal Dionigi Tettamanzi dari Milan, seorang teologi di bidang moral. Umat beriman memiliki "sebuah tanggung jawab yang dinamakan (melaksanakan dalam) sebuah cara yang efektif ... yaitu abstain (tidak memberi suara)," tulisnya. Sebelumnya tahun ini, Kardinal Ruini mengatakan memboikot pemberian suara "adalah bukan berarti sebuah ketidakterikatan" dari tugas-tugas seorang warga negara. "Adalah sebuah cara lebih kuat dan lebih efektif untuk melawan referendum" dengan meyakinkan bahwa pemilihan suara adalah secara keseluruhan tidak valid, katanya pada sebuah pidato tanggal 7 Maret kepada para anggota lembaga tetap Waligereja Italia.

Sementara beberapa umat Katolik mempertanyakan langkah itu, banyak pemimpin Gereja Italia berbaris dibelakang Kardinal Ruini dan mendukung ajakannya untuk abstain dari pemilihan suara. Kardinal Angelo Scola dari Venice mengatakan bahwa adalah sesuatu yang sah untuk "memutuskan untuk tidak mempertimbangkan" sebuah pengajuan referendum yang bermaksud untuk mencabut sebuah hukum. Demokrasi tidak akan dijalankan dengan baik oleh "jutaan orang yang menyatakan (pendapatnya) tentang masalah-masalah yang begitu kompleks dengan sebuah tanda �check� (check mark) sederhana di atas sebuah kartu suara," katanya kepada harian �La Repubblica� tanggal 23 Mei.

Sekeretaris Jenderal Waligereja Italia, Uskup Guiseppe Betori, mengatakan bahwa umat Katolik memiliki sebuah tugas dalam pemilihan-pemilihan umum yang "dipanggil oleh negara", referendum adalah pemilihan suara yang dibutuhkan oleh "sebuah kelompok, meskipun besar, dari warga negara." Karena sebuah quorum, atau 50 persen ditambah satu dari para pemilih yang memenuhi syarat, harus dicapai bagi sebuah hasil referendum untuk menjadi sah, tidak berpartisipasi dalam sebuah referendum dianggap sebagai sebuah cara yang sah dan alternatif untuk menunjukkan pertentangan terhadap pengajuan referendum, kata uskup kepada harian Katolik Italia, Avvenire, tanggal 16 Maret.

Namun seperti yang tidak disetujui dengan sengit oleh Parlemen Italia tentang bagian dari larangan-larangan tahun lalu mengenai reproduksi buatan, warga Katolik negara itu mengalami sebuah perpecahan yang serupa. Kardinal Fiorenzo Angelini, pensiunan kepala Lembaga Kepausan untuk para Pekerja Perawatan Kesehatan, mengatakan bahwa "umat Katolik yang sesungguhnya melakukan apa yang dikatakan oleh Waligereja Italia," seperti yang dilaporkan oleh harian "Corriere della Sera", tanggal 11 Mei.

Perbincangan seperti "orang baik/orang buruk" itu memicu kemarahan dalam beberapa lingkaran-lingkaran keagamaan; banyak yang memprotes seruan para uskup yang mereka gambarkan sebagai suatu perburuan penyihir. Ernesto Preziosi, wakil kepala "Catholic Action" di Italia, mengatakan bahwa kelompoknya tidak ingin memberikan seruan kardinal "sebuah ikatan dogma" atau pukulan "dari Perang Salib". "Kami ingin berdialog dengan kesadaran masyarakat, menghormati ide-ide dan situasi masyarakat," katanya kepada "La Repubblica" tanggal 17 Mei.

Enrica Belli, kepala dari Federasi Universitas Katolik Italia, mengatakan dalam laporan surat kabar yang sama bahwa asosiasi itu mendukung ajakan Kardinal Ruini, "namun anggota-anggota kami bebas untuk memilih apa yang harus dilakukan." Perselisihan diantara umat Katolik itu bukan difokuskan kepada membebaskan hukum; melainkan dipusatkan kepada Gereja yang mengajak masyarakat untuk tidak memilih. "Tugas uskup adalah menekankan nilai-nilai, bukan memaksakan kepada umat yang percaya pilihan-pilihan yang berkompetisi dengan kesadaran diri dan iman mereka," kata sebuah seruan yang ditandatangani oleh lebih dari 700 orang, termasuk lusinan laki-laki dan wanita beriman. Seruan itu diterbitkan dalam web site dari agen berita Italia, "Adista". Pesan itu berkata, "Jika setiap orang memiliki hukum Tuhan yang tertulis dalam hati dan pikiran mereka, mengapa tidak mempercayakan laki-laki dan wanita" untuk memperkecil jarak antara "hukum manusi yang tidak sempurna dan hukum Tuhan yang sempurna" melalui "partisipasi demokrasi"?

Namun dalam meyakinkan umat Katolik untuk menjauhi tempat pemberian suara, kebanyakan pemimpin Gereja berusaha untuk menyerukan pertimbangan masyarakat dan mengingatkan mereka bahwa semua kehidupan manusia adalah suci, lebih daripada mengancam mereka dengan sensor atau pengucilan. Uskup Agung Serafino Sprovieri dari Benevento mengajak "semua orang untuk menjadi konsisten dengan iman mereka dan dengan pertimbangan yang jelas."

Kardinal Tettamanzi, yang juga adalah seorang ahli dalam bidang bioetik, mengatakan bahwa memboikot referendum adalah cara terbaik untuk menjaga hukum yang telah ada. Ia mengatakan kepada "La Repubblica" tanggal 17 Mei bahwa umat Katolik harus "mencegah segala bentuk ... dari sensor" terhadap mereka yang memilih. Umat Katolik yang mencerca umat Katolik lainnya akan menjadi sebuah "percobaan setan" yang akan membawa "perpecahan yang berbahaya dan tak berdasar" kepada Gereja, katanya.

Dalam 20 tahun terakhir, hampir semua proposal referendum di Italia telah gagal menarik sebuah quorum pemberian suara, sehingga para pendukung referendum telah memfokuskan semua tenaga mereka untuk menganjurkan masyarakat untuk memilih. Kampanye "pergilah memilih" mereka telah difokuskan bukan hanya mengenai pencabutan hukum yang berlaku, melainkan juga sebagai jalan untuk menegaskan pemisahan antara Gereja dan negara. Jika sejumlah pemilih yang mencukupi tidak datang memilih, pembelaan Gereja akan larangan-larangan di dalam hukum yang berlaku akan dikuatkan, namun para uskup sedang berspekulasi bahwa tindakan abstain yang luas akan lebih terlihat sebagai dukungan untuk posisi mereka daripada sebagai contoh lain dari berkembangnya kelesuan pemilih.

Sumber: Konferensi Waligereja Italia, L´Osservatore Romano, Corriere della Sera, La Repubblica, Avvenire, Az