Antara Materialisme dan Spiritualisme

Oleh: Yosi Rorimpandei

Arus deras globalisasi yang melipat dunia menjadi global village (kampung global) hampir tak bisa dielakkan lagi memengaruhi setiap lini kehidupan manusia abad ini. Kepungan pengaruhnya menjulur dari ruang paling privat kita di kamar mandi hingga cara pandang dan cara berpikir kita terhadap realitas.

[block:views=similarterms-block_1]

Dalam wilayah pemenuhan kebutuhannya, manusia yang sebelumnya mengonsumsi dengan niat memenuhi kebutuhan primer mereka-sandang, pangan, papan-sekarang tidak lagi tercukupi, bahkan dengan tambahan kebutuhan sekunder maupun tersiernya an sich.

Lebih dari itu, manusia modern mengonsumsi demi kepentingan "hasrat" (pleasure) libidonial" terdalamnya yang nyata-nyata tak pernah terbatas. Manusia mengonsumsi "materi" lebih sebagai gengsi sosial, kepuasan, kenikmatan, prestis, dan mengejar pengakuan diri sebagai manusia modern! Pada titik inilah gaung globalisasi lebih mononjol pada sisi buruk/negatifnya berbentuk lahan subur konsumerisme...! (tanpa menafikan sisi positif globalisasi yang telah membantu kemajuan peradaban manusia)

Pengaruh materialisme juga merambah pada ranah agama. Aroma orientasi bisnisisasi agama telah menjadi tren umum, untuk tidak mengatakan membiasa, tidak hanya melalui tayangan di layar kaca, tetapi juga melalui kegiatan religius dan "pesta rohani" yang marak belakangan ini, yang justru membuktikan bahwa agama sering ditampilkan melalui pertimbangan kepentingan konsumen/pasar daripada pada sisi esensi dan nilai profetik (pembebasan, pencerahan) kesadaran umat. Tak heran sinetron dan tayangan religius yang bernuansa "menakut-nakuti" lebih digemari dan dominan daripada tampilan dan kegiatan agama yang memberi pencerahan dan penyadaran umat.

Jika terus berlanjut, bukan tidak mungkin agama akan terseret pada wilayah kemasan pragmatis bisnis media, yang tak beda sebagaimana berita dan infotainment lainnya. Prinsipnya, selama pasar menghendaki program akan tetap jalan, esensi pesan dan nilai, edukasi, hanyalah sebagai lipstik yang setiap waktu gampang untuk dikompromikan, bahkan mungkin bisa diabaikan, demi kepentingan konsumen!

Padahal di tengah semakin tingginya kebutuhan manusia mencari sandaran kepastian dan ketenangan jiwa menghadapi perubahan tantangan hidup, agama akhir-akhir ini justru menampakkan wajahnya yang keras dan jahat . Sehingga jurang kesenjangan semakin dalam antara pesan esensial-universal agama sebagai penyampai kabar damai, kasih dan rahmat bagi semesta alam, dengan praktek nyata manusia beragama yang menyenangi kekerasan dan intoleransi pada sesamanya.

Hasil pemahaman pribadi, kelompok, organisasi menjumpai teks suci dipaksakan menjadi milik publik, bukan sebaliknya, nilai-nilai universal agama (kedamaian, kerukunan, kasih, toleran, inklusif, dst) dalam teks suci yang mestinya menjadi norma publik dan menjiwai pengalaman atau pengalaman pribadi. Keterbalikan ini mengakibatkan relasi antar-agama yang terbangun hanya sampai pada "kami" dengan "mereka" belum beranjak menjadi "tentang kita".

Pengaruh terjauh dari materialisme ini adalah semakin tersingkirnya ruang nilai-nilai yang bersifat transenden (non-materi) yang sebenarnya juga menjadi kebutuhan dasar batin dan jiwa manusia. Sebab, tanpanya keseimbangan hidup manusia akan timpang-untuk tidak mengatakan kekeringan-kebutuhan itu adalah spiritualitas.

Spiritualitas yang memperkaya keimanan dapat dicapai melalui kesediaan diri melihat realitas keduniawian secara relatif, hanya sebagai jembatan untuk jalan yang lebih panjang dan abadi setelah mati. Bukan sekedar ingin "membangunkan mummi", mengultuskan konsep keberagamaan masa lampau yang diklaim rigid, yang asli , yang awal , tak tersentuh perubahan, padahal perubahan itu sendiri adalah keniscayaan sejarah yang terus terjadi.

Dalam hitungan sejarah agama yang bersandar pada wahyu secara tradisional telah mengalami masa pencerahan berkali-kali agar lebih menyapa pada tuntutan manusia modern. Namun di sisi lain, perkembangan modernisme semakin hari justru menggerus pesan dasar dan nilai terdalam dari agama yang ingin memberi arah kepastian keselamatan, membekali jiwa manusia menghadapi hidup dan setelah hidup secara harmoni.

Maka, jika spiritualitas agama hari ini hendak dimunculkan kembali, maka ia mesti diposisikan sebagai solusi, sekali lagi bukan untuk "membangkitkan mummi". Ia harus bisa menerima kesadaran aktualnya tanpa hendak terseret untuk mengabaikan esensi pesan universalnya.

Sangat mungkin, menguatnya budaya materialisme akan serentak diimbangi dengan kuatnya kerinduan manusia akan spiritualisme. Sebab, pada hakikatnya manusia selalu ingin hidup seimbang dan harmoni. Sekarang tinggal kita, mau memakai spiritualisme pada makna yang mana: yang penuh pencerahan akal budi atau yang mudah menina-bobokan kesadaran rasional?