Pertobatan: Hidup Baru dalam Kasih Allah

Penulis: Noven M.D.N. Loasana

Apakah ada orang yang belum pernah berbuat dosa? Belum pernah terjatuh dalam dosa?. Baik itu tua-muda, besar-kecil, pria-wanita ataupun statusnya besar baik itu pemegang tampuk pemerintah sampai rakyat kecil serta baik itu kaum klerus maupun kaum awam. Pasti pernah mengalami pengalaman jatuh dalam dosa, entah itu dosa berat maupun dosa yang ringan. Namun apakah kita menyadari pengalaman jatuh dalam dosa itu. Ataukah kita merasa diri kita begitu dekat dengan Tuhan, kita menganggap diri kita suci. Ini semacam suatu ideologi pribadi yang nantinya akan menjadi sebuah habitus. Ketika di mana sudah melakukan kesalahan tidak mengakui kesalahan itu malah menuduh orang lain yang membuat kesalahan. Kegemaran yang menyalahkan orang lain ini akan menggiring kita pada sikap saling men-judge atau menuduh sesama. Hingga pada sikap ingin -- merajam -- sesama yang melakukan kesalahan. Kesalahan orang lain dipertontonkan sedangkan kesalahan kita, kita tutup serapat mungkin.

Barangkali kita memosisikan diri kita sebagai orang suci dan orang lain tidak. Merasa diri tidak pernah berbuat dosa. Sehingga ketika melihat sesama berbuat dosa langsung tumbuh hasrat untuk menghakimi. Kita tidak beda jauh dari orang-orang Farisi dan Ahli-ahli Taurat: -Ya Allah, aku mengucap syukur kepada-Mu, karena aku tidak sama seperti semua orang lain, bukan perampok, bukan orang zalim, bukan pezina dan bukan juga seperti pemungut cukai ini- (Luk. 18:11). Situasi ini akan membawa kita jatuh pada kesombongan rohani.[1]

Situasi yang membawa kita jatuh pada kesombongan rohani ini hendaknya menjadi bahan perenungan kita di masa pra-paskah ini, momentum yang baik bagi kita membawa kita untuk flashback. Melihat kembali apa saja perbuatan yang sudah kita lakukan. Pertanyaan ini akan membantu kita untuk lebih melihat kembali kedalam diri kita, maupun sesama yakni pada injil Yoh. 18:1-11 tentang perempuan yang berzina.

Yoh. 8:1-11 merupakan kisah yang konfrontasi antara Yesus dan orang-orang Farisi dan Ahli-ahli Taurat mengenai soal apakah perempuan yang kedapatan berzina harus dihukum mati dengan dirajam sampai mati ataukah tidak. Perempuan itu dipermalukan depan umum oleh orang Farisi dan ahli Taurat yang selalu merasa diri orang suci. Perempuan itu dijadikan alat untuk mencobai Yesus. Akan tetapi Yesus tahu semua rencana busuk mereka. Ia tidak langsung merespons, malahan Yesus membungkuk lalu menulis dengan jari-Nya ke tanah. Lalu apa yang ditulis oleh Yesus di tanah? Mungkin Yesus menulis bahwa manusia itu bukanlah Allah atau mungkin juga Yesus menulis manusia berasal dari debu dan kembali ke debu. Ini mau mengatakan bahwa manusia harus memiliki sikap kerendahan hati, sikap saling mengampuni sesama yang berbuat dosa. Paus Fransiskus menjelaskan bahwa reaksi Yesus terhadap -- ujian -- itu adalah tetap tenang, membungkuk untuk menulis di tanah, seolah-olah bahwa satu-satunya hakim dan legislator itu adalah Tuhan bukan manusia, yang telah menulis hukum di atas batu. -Barang siapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu.- Seketika perkataan Yesus ini, orang-orang yang sudah memegang batu untuk merajam perempuan itu langsung undur diri, mulai dari yang tertua meninggalkan meninggalkan Yesus dan perempuan itu.

Pada situasi ini kita sebagai umat kristiani yang beriman kepada Tuhan, hendaknya menyadari perbuatan kita melalui Injil Yoh. 8:1-11. Kita harus tahu diri sebagai manusia yang lemah dan tak berdaya dihadapan Tuhan, yang selalu jatuh dalam kelemahan manusiawi kita. Memang menyadari keberdosaan kita bukanlah hal yang simpel atau mudah. Jika kita hanya mengandalkan diri kita sendiri. Maka dari itu dibutuhkan keterbukaan hati pada bimbingan Roh Allah yang memampukan kita untuk berintrospeksi.

Introspeksi diri adalah tindakan untuk melihat ke dalam diri (pikiran dan perasaan). Melihat kembali segala tindakan yang salah dan serta menyesal dengan perbuatan kita dan mau merubah diri. Sadar akan segala dosa menghantar kita pada pertobatan sebagai pembaharuan diri dari yang hitam menjadi putih, dari yang jahat menjadi baik. Pertobatan merupakan tindakan penyadaran diri serta penyesalan.

Pertobatan (Converse) pada dasarnya merupakan panggilan dan anugerah dari Allah kepada orang yang berdosa. Definisi pertobatan dalam pengakuan iman Westminster mengatakan: -Pertobatan adalah suatu anugerah penyelamatan, di mana orang berdosa,- dengan menyadari makna dosa dan anugerah Allah ... serta dengan penyesalan dan kebencian akan dosa-dosa -, benar-benar meninggalkan dosa-dosa itu dan kembali kepada Allah, dengan maksud dan usaha yang sungguh-sungguh untuk sepenuhnya memberlakukan ketataan baru-.[2] Allah menghendaki kita supaya untuk bertobat, keluar dari penjara dosa yang mematikan. Sadar akan dosa adalah kesadaran batin bahwa diri kita merupakan manusia yang tak berdaya dan rapuh. Roh Kudus membantu kita untuk menyadari dosa kita. Proses pertobatan harus dimulai dengan kesadaran akan kebebasan diri yang sedang hilang. -Lalu ia menyadari keadaannya, katanya: Betapa banyaknya orang upahan bapaku yang berlimpah-limpah makanannya, tetapi aku di sini mati kelaparan- (Luk. 15:17). Kesadaran dan keyakinan kita ini harus sungguh kuat tertanam dalam diri kita. sehingga pertobatan kita tidak sia-sia. Paus Fransikus dalam renungan Angelus-nya mengatakan bahwa; -Setiap pertobatan diarahkan kepada masa depan yang baru, hidup yang baru, yang indah, yang bebas dari dosa dan murah hati-. Lebih lanjut Paus menyampaikan pesan bahwa masa pra-paskah ini menjadi momen disaat umat Katolik dipanggil untuk mengakui keberdosaan dan meminta pengampunan dari Tuhan. Dan pengampunan akan memberikan kedamaian, memampukan kita untuk memulai hidup yang baru. Hidup yang baru itu tidak lain harus bersumber dari Kasih Allah.

Allah adalah kasih (Deus Caritas Est) yang sejati. Kasih Allah tidak sedikit pun berkurang karena dosa-dosa kita atau memudar (seperti warna baju yang memudar karena sering dicuci dan dijemur di terik matahari). Allah tidak pernah meninggalkan kita manusia yang berdosa ini, yang menyadari dosa dan mau bertobat. Dia pasti akan datang menjamah dan mengampuni dosa kita. seperti yang Ia lakukan terhadap perempuan yang berzina itu: -Hai perempuan, di manakah mereka? Tidak adakah seorang yang menghukum engkau? Aku pun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang.- (Yoh. 8:10-11). Bukti kasih Allah ini merupakan kepenuhan kerahiman yang mengampuni setiap orang yang bertobat. -Janganlah berbuat dosa lagi mulai dari sekarang-. Itu merupakan kasih Allah dan juga sebagai pesan untuk pemurnian diri. Kasih Allah ini terwujud dalam sesama kita. Ada sekian banyak orang yang menjadi -- salvator -- atau -- malaikat -- yang menjadi penolong, serta penghibur bagi kita.

Dengan demikian di masa pra-paskah ini, sebagai umat Katolik, ini merupakan momentum yang baik untuk introspeksi diri, melihat kembali sudah sejauh mana kita menyadari segala dosa dan salah kita dan sudah sedalam mana kita mau berubah dan bertobat. Apakah hanya sedangkal saja kita menyadari tindakan itu. Apakah kita sudah sungguh-sungguh mau bertobat? Semua itu harus disadari dan kembali kepada jalan yang benar. Dengan menyadari dan mendekatkan diri pada Allah sumber kasih. Sebab Allah menciptakan kita dengan kasih. Dan oleh kasih-Nya itu Ia tidak akan membiarkan kita binasa. Santo Yohanes Paulus II menegaskan bahwa -- Keselamatan berarti pembebasan dari kejahatan, dan oleh karena itu erat berhubungan dengan persoalan tentang penderitaan- (SD 14). Maka dari itu -- Pertobatan yang dilakukan dengan sungguh-sungguh akan membawa kita kepada kehidupan baru yang bersumber pada Kasih Allah-. Sehingga hari kebangkitan Tuhan nanti kita rayakan dengan hati yang penuh kegembiraan, sebab Tuhan bangkit membawa segala dosa kita dan kita pun diselamatkan oleh-Nya-. SALVE

Sumber:

  1. Rm. Fransiskus Katino, Derita yang Membebaskan (Yogyakarta: Pohon Cahaya,2019), hlm 64.

  2. William Barclay, Pemahaman Alkitab Setiap Hari(Jakarta: BPK Gunung Mulia,2008), hlm 86-87.