The Passion Of The Christ
Setahun sudah film "The Passion" yang disutradarai Mel Gibson yang resmi diputar pada Februari 2004 setelah dirilis terbatas pada tahun 2003. Banyak kalangan mengelu-elukan diputarnya film ini, Billy Graham menyebutnya "a lifetime of sermons in one movie" sedangkan Paus John Paul II menyebutnya "as it is" (pernyataan ini kemudian ditarik oleh sekertaris Paus), bahkan ada penginjil tenar Indonesia yang menyeminarkannya dan menyebut film ini tepat karena menyebut "The Christ." Film ini memang laris manis karena dengan modal 25 juta dolar laku 600 juta dolar, ini terutama berkat dukungan banyak pendeta yang ikut mempromosikannya bahkan banyak gereja memborong tiket film ini dan banyak yang memutarnya di gedung gereja atau nonton berkali-kali. Memang tragis bahwa banyak pendeta/penginjil justru menjadi promotor aktif film ini padahal mereka harus membayar, lagipula jubir perusahaan film pembuatnya mengaku bahwa: "promotion of the Passion to religious leaders as more in the interest of marketing than evangelism."
Film ini kontroversial sebab sebelum diputar untuk umum sudah menerima banyak kritik, kritik utama adalah "ceritanya tidak sesuai Injil, mengobarkan sadisme, dan bersikap memojokkan orang Yahudi." Kritik demikian memang tidak keliru karena memang Gibson mencampurkan Injil dengan visiun Anne Catherine Emerich yang dibukukan sebagai "The Dolorous Passion of Our Lord Jesus."
Banyak adegan non-Injil diputar di film ini, a.l.: Yesus ditemui Iblis di Taman Getsemane; Iblis berkali-kali ditampakkan misalnya dalam adegan Yudas dianiaya geng anak-anak yang kesetanan; Maria Magdalena diidentikkan dengan pelacur; Simon Kireni mengaku tidak bersalah dan terpaksa mengangkut salib terhukum; Yesus diolok tentara sebagai "king of worms"; mata penjahat dipatok burung; Mezbah Bait Allah terbelah. Belum lagi banyak adegan sadistik yang tidak tercatat Alkitab.
Film ini mengumbar sadisme. Sejak Yesus ditangkap ia dipukuli dan ditampar sampai babak belur sampai mata bengkak, sekujur tubuhnya dibuat berbilur-bilur. Proses penyaliban benar-benar dibuat sangat sadis, sampai Chicago Sun Times menyebutnya "the most violent film." Ketika ditanya mengenai adegan sadis yang keterlaluan, Gibson tidak menjawab tentang kebenaran melainkan mengaku mendramatisir film itu untuk mendorong penonton sampai "over the edge."
Anti Yahudi memang terasa dalam film ini karena kebencian, kemarahan, bahkan ringan tangannya orang Yahudi bahkan para imam yang memukuli Yesus, dibuat dalam porsi yang jauh melebihi catatan Alkitab. Memang film ini banyak diputar di bioskop di negara-negara Arab, namun sayangnya film ini bukan memberitakan Injil kepada mereka tetapi disuka kalangan Arab/Islam karena mereka dapat mengidentifikasikan diri sebagai korban kebengisan musuh bebuyutan "Yahudi."
Soal porsi sadisme yang keterlaluan memang tidak lepas dari sutradara dan pemain yang mampu menjiwainya. Gibson populer dalam film action keras, serial "Mad Max" (1979;81;85) diwakili ucapan dalam film itu: "They kill us, we kill them! Kill them! Kill!" Film "Galipoli" (1981) disebut Amazone.com sebagai "This brutally antiwar movie." Debut sadismenya dilanjutkan dengan sukses dalam serial "Lethal Weapon" (1987;89;92;98). Belum lagi film-film "Braveheart (1995), Ransom (1995), & Patriot (2000)" menunjukkan bakat sadisme Mel yang diluar batas.
Film ini mengumbar sadisme sepanjang 2 jam lamanya tetapi hanya mengalokasikan Yesus yang bangkit selama hanya 30 detik saja. Berita Injil dilandaskan Yesus yang bangkit dan bukan Yesus yang berdarah-darah. Pengungkapan kesadisan yang ditimpakan kepada Yesus di luar porsinya lebih merupakan pemberitaan kebohongan dan merupakan ungkapan jiwa yang sadistik (merasa nikmat kalau jiwa sadismenya tersalur melalui peran yang dilihat) dan masochistik (merasa nikmat kalau ikut kesakitan melihat peran yang dilihatnya kesakitan).
Bukan Cuma Mel Gibson, pemain Yesus "James Caviezel" dipakai karena mampu menjiwai film balas dendam "The Lord of the Monte Cristo" dimana digambarkan setiap tahun ia dicambuki selama 13 tahun berada dipenjara Chatteu Dif, kemudian ia membalas dendam dengan mengejar para musuhnya satu persatu dan menghancurkan kehidupan mereka. Tiga pemain film porno dilibatkan Mel dalam film ini. Tepat kritik "wayoflife" yang menyebut film ini: "intimately associated with the moral vileness of those involved in its production." Tidak salah kalau Dorothy Marx, dosen Etika ITB itu berujar: "Siapakah yang layak memainkan peran Yesus?" Memang patut dipertanyakan "benarkah promosi para pendeta dan penginjil yang mengatakan bahwa Mel Gibson bertobat karena film ini?"
Keuntungan besar yang diperoleh dan penderitaan Yesus tidak mengubah hidup dan hobi sadisme Mel, sebab keuntungan besar yang diperolehnya digunakan untuk membuat film sadis berikutnya yang justru menunjukkan bagaimana iman Mel. Ia membuat film berikutnya berjudul "Savage" (liar, ganas, biadab) dengan mengajak jagoan sadis "David Carradine." David terkenal sebagai jago silat dalam serial film "Kungfu" yang penuh perkelahian. Film-filmnya bukan sekedar film keras tetapi juga "anti Kristen." Dalam salah satu adegan episode berjudul "The Praying Manthis" ia mengkritik orang kristen dengan mengatakan "Orang Kristen itu seperti The Praying Manthis (walangkadung) yang berdoa sebelum membunuh." Film barunya adalah serial "Kill Bill" (2003;04).
Sungguh tidak bisa dimengerti bagaimana para pendeta/penginjil bisa ditobatkan oleh selebriti untuk mendukung filmnya dan bukannya sebaliknya. Tepat apa yang dikatakan majalah Christianity Today tentang dukungan kalangan evangelicals ini dengan komentar: "a distinction evangelicals evidently no longer recognized," maksudnya adalah bahwa mereka tanpa sadar telah diperalat untuk membuat film itu laku. Penulis lain "Film Forum Christianity Today" juga menyebut: "I have been fascinated by the lack of critical voices among conservative Christians."
Memang ada yang menyebut bahwa ada yang merasa disegarkan setelah menonton film "The Passion". Havelock Ellis dalam "Psychology of Sex" menyebut sadisme sebagai "sexual emotion associated with the wish to inflict pain, physical or moral, on the object of emotion." Ia juga mengatakan bahwa "love of blood and murder was an irresistible obsession, and its gratification produced immense emotional relief." Ellis juga menyebut bahwa orang yang merasa terangsang dengan melakukan kekerasan biasa disebut "sadis" sedangkan mereka yang "massochist" adalah mereka yang secara naluri merasa senang atau dipuaskan kalau mereka merasakan sebagai korban sadisme itu atau mengindentifikasikan diri dengan kesengsaraan orang lain yang dilihatnya. Gagnon & Simon dalam buku "Sexual Defience" menyebut hal-hal berbau kekerasan yang disebutnya "aggressiveness or assault offenses" tergolong "pathological deviance."
Pada tahun yang sama (2003) juga dibuat film tentang Injil yang berjudul "The Gospel of John." Film ini dibuat dengan setia bahkan secara harfiah mengikuti setiap kata Injil Yohanes menurut "Good News Bible" dan dijuluki: "This film is a faithful representation of that Gospel." Dibandingkan film "The Passion" yang banyak mengambil sumber non-biblical seperti visiun dan jiwa sadistik pembuatnya, film "The Gospel of John" setia pada isi Injil yang ayat-ayatnya dinarasikan oleh Christopher Plummer, pemeran Kapten dalam film "The Sound of Music." Dua fasal terakhir "The Gospel of John" memberitakan "Yesus yang bangkit" dan Film ini juga dibuat secara profesional pula.
Sayang film "The Gospel of John" yang injili itu jauh kalah populer dengan film "The Passion" yang apokrifal itu, dan tragis bahwa nyaris pendeta dan penginjil yang dahulu mempopulerkan "The Passion" pada umumnya bungkam dengan kehadiran film "The Gospel of John." Bahkan, film ini nyaris diabaikan dalam kehidupan gereja dan gereja tidak memborong tiketnya, apalagi memutarnya di gedung gereja mereka.
Sudah tiba saatnya umat Kristen menjauhi film-film yang sadistik dan mulai membuka diri agar makin peka akan "damai sejahtera dan kasih Kristus" melalui adegan-adegan film yang mereka tonton seperti film "The Gospel of John." Penulis "The Gospel of John" yang semula berperilaku sebagai "anak guruh" setelah bertemu Yesus disebut sebagai "Rasul Kasih."