Sikap Iman dalam Perkara Pembebasan
Oleh: Yon Maryono
Semangat ini pasti memenuhi pribadi setiap insan yang terbelengu dalam masalah, termasuk orang-orang yang berurusan dengan hukum di negara ini, khususnya mereka yang dikurung dalam jeruji besi tahanan atau penjara. Ada yang sangat tersiksa, yaitu mereka yang harus meninggalkan kenyamanan kehidupannya di luar sana, ada yang biasa-biasa saja, ada yang tertawa-tawa bertemu dengan kerabatnya.
Saudara-saudara kita yang didakwa sebagai koruptor adalah orang-orang yang umumnya sangat tersiksa menjalani kehidupan rutin dalam ruangan dan fasilitas terbatas. Mereka ada yang benar-benar menikmati suap dan uang negara, tetapi ada juga yang merasa dakwaannya direkayasa sebagai korban uforia pencitraan lembaga atau lawan politik semata. Menurut kabar bahwa pimpinan KPK saja dakwaannya bisa direkayasa, apalagi orang-orang rendahan yang tidak punya kuasa? Kalau Anda berada di dalam, seperti pernah penulis rasakan, umpatan balas dendam melalui santet, jalur politik, balas buka kebusukan, adalah guyonan yang biasa di lingkungan mereka yang ditahan. Alasannya jelas: "Omong kosong bila pejabat di negeri ini sebagai penguasa dan pengguna anggaran di unitnya tidak pernah terima imbalan."
Apa pun alasannya, yang pasti mereka ingin bebas dari kungkungan. Mereka berupaya dengan berbagai cara dari makelar kasus hingga paranormal, dari Senayan hingga jalur tertinggi di pemerintahan hanya untuk memutarbalikan fakta dari gelap dimanipulasi menjadi terang, atau ingin minta dukungan dengan retorika "yang benar katakan benar yang salah katakan salah". Berbahagialah bagi mereka yang berhasil mendapatkan kebebasan, dengan segala cara baik hubungan keluarga, uang, politik dan kekuasaan.
Mereka yang dibebaskan ini bila sempat diumpat cara pembebasannya, tanpa disadari masuk dalam lingkungan sosial yang penuh cibiran. Tetapi, orang boleh kritik apa pun, yang jelas mereka telah bebas. Orang boleh teriak pembebasan mereka bertentangan dengan semangat memberantas korupsi, siapa peduli? Toh, ada alasan pembenaran yang paling manusiawi yaitu sekarat walaupun belum minta ampun kepada rakyat, dan ada alasan pembenaran kesalahan kebijakan dan tidak ada penyalahgunaan uang negara, walaupun kekayaan mereka di mana-mana. Para ahli hukum, lembaga sosial politik boleh berdebat tetapi juban (juru bantah) pemerintah lebih berkuasa. Uang dan kekuasaan membuat orang buta hati nuraninya. Tetapi ingat, bila lawan politik ganti berkuasa akan mengingat dan tidak tertutup kemungkinan mengusiknya.
Benarlah dalil sejarawan Inggris, Lord Acton, yang menyatakan "kekuasaan cenderung membuat orang menjadi korupsi, kekuasaan absolut pasti membuat orang menjadi korupsi". Orang yang sedang berkuasa, memang bisa berbuat apa saja termasuk hukum diarahkan dan sejarah diputarbalikan sesuai dengan selera penguasa. Uang dan kekuasaan dapat menjelma sebagai perusak azas kebenaran yang dapat mengarah kebiadaban terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
Jadi bagaimana bagi mereka yang dianiaya karena kebenarannya tetapi miskin, tidak punya uang, dan tidak punya akses kekuasaan? Perkara mereka dipandang sebelah mata, mereka disudutkan sehingga kebenaran dan keadilan mereka diputarbalikan. Bukankah ini hikmat? Karena mereka ini akhirnya hanya boleh berserah kepada pertolongan Tuhan, sang Pemilik Kehidupan. Sungguh, fenomena kekuasaan sebagaimana fakta di atas dan pernyataan Lord Acton bukanlah hal yang aneh, tetapi menjadi aneh bila orang baru sadar saat ini. Makna dalil itu sudah ditulis dalam Perjanjian Lama 3400 tahun silam.
Keluaran 23:6, "Janganlah engkau memperkosa hak orang miskin di antaramu dalam perkaranya." 23:8, "Suap janganlah kauterima, sebab suap membuat buta mata orang-orang yang melihat dan memutarbalikkan perkara orang-orang yang benar." Ulangan 16:19 berbunyi senada, "Janganlah memutarbalikkan keadilan, janganlah memandang bulu dan janganlah menerima suap, sebab suap membuat buta mata orang-orang bijaksana dan memutarbalikkan perkataan orang-orang yang benar."
Merenungkan nas-nas firman Tuhan dalam Kitab Perjanjian Lama ini mengajarkan prinsip kejujuran dan kebaikan diberikan secara bersamaan dalam hukum yang diberikan Allah. Demikian pula dalam suatu kisah, sesudah Rasul Paulus ditangkap oleh orang Yahudi, ia kemudian dibawa oleh orang Romawi ke Kaisarea untuk menghadap gubernur Feliks (Kisah 21:27-23:35). Paulus dihadapkan dua pilihan antara penjara atau beri uang suap kepada penguasa, tetapi ia tidak menempuh satu langkah pun pada jalan ke arah korupsi, karena kebenaran yang ia miliki. Melalui doa dan nyanyian, Paulus dan Silas menyatakan kesaksian iman mereka bahwa Tuhan yang Mahakuasa itu berdaulat atas segala sesuatu. Hal ini kemudian dikonfirmasi oleh peristiwa gempa bumi yang membuka semua belenggu para tahanan dan pintu penjara (26). Tidak ada kuasa apa pun di dunia ini yang dapat mencegah pertolongan Tuhan kepada umat-Nya yang dianiaya oleh karena kebenaran. Paulus sungguh mengimani bahwa Tuhan di pihaknya, tidak perlu takut pada penderitaan apa pun dan tidak perlu melakukan kebodohan yang melanggar firman Tuhan. Tuhanlah yang mempunyai kuasa menghakimi orang-orang yang berbuat lalim dan tidak adil kepada sesama.
Bila kita melihat pada realitas, "... di bawah matahari: di tempat pengadilan, di situpun terdapat ketidakadilan, dan di tempat keadilan, di situpun terdapat ketidakadilan." (Pengkhotbah 3:16), mari kita arahkan pandangan kita pada kebenaran kekal firman Allah dan terus bergiat dalam pekerjaan-Nya di mana pun kita berada.