Sebuah Kisah Tentang Keberanian untuk Hidup
Oleh: Job Palar
Judul : Melewati Lembah Air Mata
Pengarang : Mundhi Sabda Hardiningtyas
Penerbit : Gradien Books
Cetakan : Cetakan Pertama, 1 Juni 2006
Hal : 200 halaman
Dengan rendah hati sang penulis buku ini memulai kisah hidupnya dengan menyatakan secara lansung ke pembacanya, Ini adalah sebuah kesalahan yang saya lakukan dalam hidup saya . Sebuah pengakuan pribadi di awal kisah tentu menempatkan dirinya dalam posisi genting , dipersalahkan pembaca. Tapi pembaca sebetulnya sudah tidak perlu berepot-repot menyalahkan Mbak Ning sapaan akrab dari si penulis buku, Mundhi Sabda Hardiningtyas selama membaca fragmen kehidupan ini. Sudah banyak perwakilan untuk posisi pencemooh Mbak Ning, daftar itu bisa dimulai dari teman-teman pelayanan dan rohaniwan yang terlibat dalam kehidupannya, berikutnya barangkali adalah masyarakat sekitar, lalu bisa keluarga dekat, dan seterusnya.
Sementara itu, salah satu tokoh utama dalam kisah ini, sang Arjuna, berperan sebagai penggenap kesalahan yang dilakukan Mbak Ning. Ia berfungsi menghadirkan teror, duka, dan nestapa dalam rumah tangga Mbak Ning. Sang Arjuna, bukan nama sebenarnya, adalah suami yang dipilih oleh Mbak Ning untuk menjadi suaminya. Sang Arjuna memang menggenapi kasus kekerasan dalam rumah tangga yang dialami Mbak Ning dan anaknya, Dika. Sebenarnya ada dua lagi anak kandung Mbak Ning, namun hanya peran anak tertua Dika yang patut dicatat dalam bahasan ini.
Sang Arjuna, dikisahkan, menghancurkan Mbak Ning baik secara psikis maupun fisik. Kisah ini diceritakan dengan gamblang. Sebuah perceraian sebenarnya sudah bisa menjadi jalan keluar. Namun, iman Mbak Ning menyatakan itu bukan jalan keluar. Jelas, dia tak ingin sebuah kesalahan di awal harus diakhiri dengan kesalahan lainnya.
Kisah-kisah pelarian yang mencekam dialami ibu dan anak di tengah keganasan sang suami. Namun, sepertinya ada kisah pelarian yang tidak pada tempatnya , di halaman 111, penulis buku ini lebih tepat menuliskan mengajak anak-anak ke Pontianak bukan membawa anak-anak lari ke Pontianak karena saat itu tidak ada tekanan apa pun dari suaminya, sang Arjuna, yang telah minggat entah ke mana.
Ini kerancuan yang wajar saja, karena memang suasana yang sedang terbangun menggambarkan ketegangan yang luar biasa dari para tokohnya. Semua kisah tentu datang dari sudut pandang Mbak Ning, barangkali ada pandangan berbeda dari orang-orang yg terlibat, tapi tak bisa tampil di buku ini karena buku ini memang sebuah pengalaman pribadi, bukan tentang orang lain.
Yang menarik, penulis juga menyadari ada sikap egosentris dirinya. Ini terlihat dari bab Kepahitan Dika . Mbak Ning mengakui diri terlalu mengasihani diri sendiri, terlalu asyik dengan derita dan ketegangan diri sendiri. Ia lupa masih ada Dika, sang anak pertama, yang masih butuh kehadirannya. Buku ini tidak hanya berkisah tentang derita demi derita. Sebuah titik balik kerohanian yang dialami Mbak Ning patut dicermati dan bisa mengilhami banyak orang yang memiliki masalah yang serupa. Sikap mengampuni sang suami menemukan arahnya.
Pertentangan antara kehidupan nyata dan tataran rohani ideal menjadi muncul saat Mbak Ning berkisah tentang perceraian dan hak pertanggungan anak. Kehidupan nyata itu bisa diwakili oleh para konsultan hukum yang didatanginya yang dengan tegas menyatakan harus terjadi perceraian dan minta perwalian untuk mengasuh anak. Sementara itu, para rohaniwan masih bermain di daerah abu-abu, berdoa dan berdoa untuk meminta kembalinya sang Arjuna.
Seandainya Arjuna kembali, apakah lalu masalah menjadi selesai? Apakah setelah itu harus kabur dari rumah lagi, dan fragmen-fragmen kehidupan berulang kembali? Apakah yang diharapkan oleh para pendoa itu adalah Arjunanya Mbak Ning datang dengan tabiat yang telah berubah dan penuh sesal serta bersumpah setia ingin kembali membina hubungan rumah tangga yang ideal? Pertanyaan yang menggelitik karena keadaan itu cuma bisa hadir dengan mulus di sinetron-sinetron taubat di televisi.
Mbak Ning mulai memiliki titik pandang berbeda terhadap persepsi masyarakat padanya. Ia dikelilingi para sahabat yang sangat berpengaruh dalam alur hidupnya. Arti seorang sahabat menjadi sangat penting untuk Mbak Ning. Jalinan persahabatan yang tidak hanya dilandasi oleh kesamaan dasar iman, tapi empati yang mendalam membuat hidup menjadi lebih baik.
Perceraian dilihat sebagai sebuah kegagalan dalam rumah tangga adalah benar, tapi rumah tangga yang penuh derita jangan-jangan memang membutuhkan perceraian untuk terjadi. Riwayat Mbak Ning benar-benar memperlihatkan keteguhan visi seorang hamba tuhan. Ia tetap bersikukuh bahwa ada yang salah pada dirinya jika sebuah perceraian harus terjadi, namun memiliki pandangan jauh ke depan bahwa yang ideal itu bukan semata-mata bentuk keluarga secara fisik, tetapi peran sesungguhnya dalam keluarga, walaupun sebagai orang tua tunggal. Ini jauh lebih penting.
Jika seorang ayah jasmani sudah tidak bisa dianggap baik lagi kehadirannya, Mbak Ning berani mengambil posisi sebagai ayah jasmani maupun rohani untuk anak-anaknya. Jelas, buku ini akan mendorong pembacanya untuk kuat dan berani menghadapi berbagai gejolak hidup. Mbak Ning mendemonstrasikan kekuatan Tuhan dalam perjalanan hidupnya lewat buku ini. Kekuatan itu bukan kekuatan menghukum atau menyakiti, apalagi menyiksa, tetapi kekuatan mengampuni, kekuatan melihat susu setitik di antara nila sebelanga , melihat yang terbaik di antara yang terburuk sekalipun. Di sini juga kita bisa memaknai sikap si penulis, Mbak Ning. Ketika banyak orang yang berani mati untuk membela keyakinannya, Mbak Ning memilih berani hidup untuk menjalani keyakinan dan imannya.