Perubahan Penting Setelah Pernikahan
Oleh: Pdt. Samuel T. Gunawan, M.Th
Khotbah Ibadah Raya GBAP El Shaddai Palangka Raya
Minggu, 17 Maret 2013
“Dan firman-Nya: Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia” (Matius 19:5-6)
PENDAHULUAN
Pernikahan adalah suatu lembaga yang ditetapkan Allah bagi manusia sesuai dengan kebutuhannya. Perhatikan Frase dalam “Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia” (Kejadian 2:18). Saat laki-laki (ha adam) “seorang diri saja” maka Allah menyatakan bahwa keadaan ini “tidak baik”. Jadi Allah memutuskan untuk menciptakan “ezer kenegdo” atau “seorang penolong”.
Kata Ibrani “ezer” yang diterjemahkan dengan “penolong” berarti “sesuai dengan” atau “sama dengan”. Jadi secara harfiah “seorang penolong” berarti “penolong yang sepadan atau seorang yang sepadan dengannya”. Dengan demikian jelaslah bahwa Allah sendiri yang menetapkan lembaga Pernikahan dan memberkatinya (Baca Kejadian 1:28).
Perhatikanlah saat Alkitab mengatakan “seorang pria akan meninggalkan ayat dan ibunya dan bersatu dengan istrinya. (Kejadian 2:24). Kata “meninggalkan” dan “bersatu” adalah dua kata yang penting untuk dipahami. Kata Ibrani untuk “meninggalkan” adalah “azab” yang berarti “melonggarkan, melepaskan, meninggalkan, meninggalkan sepenuhnya, secara total”. Kata Ibrani untuk “bersatu” adalah “dabaq” yang artinya “mengikat, lem, melekat, menempel, bergabung berdekatan dengan atau mengikat bersama”. Artinya jelas, bahwa dalam pernikahan seorang pria melekatkan diri kepada istrinya sendiri, sehingga “apa yang telah dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan manusia” (Matius 19:6).
Melalui pernikahan Allah menyatukan dua orang menjadi satu. Penyatuan melalui pernikahan ini menghadirkan banyak perubahan radikal. Hal yang paling tidak kasat mata dari perubahan ini terjadi dalam dunia rohani. Berikut ini tujuh area perubahan penting yang terjadi setelah pernikahan.
TUJUH PERUBAHAN PENTING SETELAH PERNIKAHAN
1. Otoritas Baru
Sebelum upacara pernikahan, seorang pria dan seorang wanita berada di bawah otoritas orang tua atau walinya. Setelah upacara pernikahan, seorang pria sebagai suami diperintahkan untuk memiliki otoritas yang lain atas seorang wanita, yaitu istrinya sendiri. Rasul Paulus mengingatkan, “Tetapi aku mau, supaya kamu mengetahui hal ini, yaitu Kepala dari tiap-tiap laki-laki ialah Kristus, kepala dari perempuan ialah laki-laki dan Kepala dari Kristus ialah Allah” (1 Korintus 11:3). Jadi, pertama-tama suami harus tunduk kepada Kristus karena kepala dari pria adalah Kristus. Kemudian, sebagaimana suami tunduk kepada Kristus demikian juga hendaknya istri tunduk kepada suaminya, dan mengizinkan suami bertanggung jawab bagi dirinya.
Selanjutnya, rasul Paulus dalam Efesus 5:22-25 menjelaskan bentuk relasi suami dan istri, “Hai isteri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan, karena suami adalah kepala isteri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat. Dialah yang menyelamatkan tubuh. Karena itu sebagaimana jemaat tunduk kepada Kristus, demikian jugalah isteri kepada suami dalam segala sesuatu. Hai suami, kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya” . Mengapa Paulus memberi perintah “istri tunduk kepada suami” dan “suami mengasihi Istri”, dan hal ini diulangi lagi dalam Kolose 3:18-19, “Hai isteri-isteri, tunduklah kepada suamimu, sebagaimana seharusnya di dalam Tuhan. Hai suami-suami, kasihilah isterimu dan janganlah berlaku kasar terhadap dia”?
Suami yang dihormati oleh istrinya akan merasa hidupnya lebih berarti. Sebaliknya, jika suami kurang dihormati oleh istrinya, maka ia merasa hidup kurang berarti. Tetapi, perkataan “istri tunduk pada suami” bukan berarti suami boleh sewanang-wenang dan berbuat sembarang terhadap istrinya melainkan disini keistimewaan yang diberikan Tuhan, yaitu kedudukannya sebagai kepala. Kata Yunani untuk untuk “kepala” adalam “kephale” yang berarti “memerintah” dan “otoritas” yang bermakna “tanggung jawab”. Tunduk pada suami adalah pengaturan yang ditetapkan Tuhan agar istri dapat memberi rasa hormat pada suaminya. Inilah yang dibutuhkan pria (Efesus 5:33).
Istri lebih mementingkan cinta kasih, itu sebabnya diperintahkan agar “suami mengasihi istri”. Cinta adalah segala-galanya bagi istri, melebihi apapun; tetapi bukan berarti ia tidak memerlukan hormat atau penghargaan. Seorang wanita merasa dihargai, apabila suaminya mencintainya. Dapat dikatakan bahwa cinta kasih merupakan seluruh hidup dari istri, tetapi hanya sebagian dari hidup pria. Ini bukan berarti pria tidak memerlukan cinta, atau bukan berarti cinta seorang pria (suami) boleh dibagi kepada beberapa orang, tetapi justru seutuhnya dari yang sebagian ini hanya diberikan kepada istrinya.
Jadi kita melihat, bahwa dibutuhkan pria adalah dihormati, sedang bagi wanita yang dibutuhkan adalah diperhatikan dan disayangi. Dan kebutuhan ini bisa di dapat dari pasangan masing-masing. Sebab itu suami dan istri masing-masing bisa mengoreksi diri. Istri perlu bertanya “apakah aku telah memngormati suamiku dalam segala hal?” dan suami perlu bertanya “apakah aku telah menyayangi istriku dengan sepenuhnya? “
2. Relasi dan Tanggung Jawab Baru
Sebagaimana telah dijelaskan diatas, pria lebih mementingkan otoritas atau wibawa, sedang wanita lebih mementingkan cinta kasih. Masing-masing ini adalah kelebihan, ciri khas, dan juga menjadi kelemahannya. Suami yang tidak dihormati oleh istrinya cenderung “menyalahgunaan otoritas” atau bahkan “membagi” cintanya pada wanita yang lain. Istri yang tidak dicintai suaminya cenderung berusaha mengambil “kendali”. Atau, jika ia tidak mendapatkan cinta dari suaminya, maka ia berusaha mendapatkan perhatian dari pria lain. Disinilah bahayanya jika suami-istri tidak memahami dan tidak mengerti hal ini!
Pernyataan rasul Paulus tentang bentuk relasi antara suami dan istri, sesuai Efesus 5:22-23 dan Kolose 3:18-19, dapat diringkas sebagai berikut, “suami mengasihi istri dan tidak boleh berlaku kasar pada istrinya; sedangkan istri tunduk dan taat kepada suami dalam segala hal”. Istri tunduk kepada suami bukan didorong oleh rasa takut tetapi oleh rasa hormat. Suami dierintahkan untuk mengasihi istri sama seprti Kristus mengasihi jemaat. Kasih Kristus kepada jemaat adalah kasih yang penuh pengorbanan. Demikian juga suami harus mengasihi istrinya dengan kasih yang penuh pengorbanan.
Berdasarkan relasi di atas, suami maupun istri memiliki tanggung jawab masing-masing yang harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Tanggung jawab suami terhadap istri yang berhubungan dengan mengasihinya ialah: Memberi perhatian dan menyayangi istrinya; memelihara dan melindungi istri; menerima dan menghargai istri; peduli dan penuh penegretian; memimpin istri dan berkorban baginya. Tanggung jawab istri terhadap suami yang berhubungan dengan tunduk kepadanya ialah: mendukung dan menolong suami; menerima dan mengagumi suami; mempercayai dan menaati suami ; menghormati dan lebih menghormati suami. Selanjutnya relasi ini dapat dikembangkan oleh suami dan istri dengan cara: menjadi teman dan sahabat; saling melayani dan merawat; dan mengatur seisi rumah; rendah hati dan murah hati; memperhatikan pertumbuhan pribadi lebih dari hal lahiriah; dan sebagainya (bandingkan 1 Korintus 13:1-8; 1 Petrus 3:1-7).
3. Arah dan Tujuan Baru
Banyak orang memahami bahwa arah dan tujuan dari berkeluarga adalah anak. Ini adalah salah paham yang harus diperbaiki. Anak adalah anugerah, tetapi tidak menjamin kebahagiaan dan kelanggengan pernikahan. Fokus yang sebenarnya adalah pernikahan itu sendiri, bukan pada anak. Justru dengan mengalihkan fokus pernikahan menjadi fokus pada anak akan merusak kesatuan maupun kesepakatan suami istri. Anak membutuhkan rasa aman, dan rasa aman bagi anak-anak diperoleh dari ayah dan ibu mereka yang saling mengasihi serta menerapkan prinsip-prinsip Tuhan dalam pernikahan. Tugas suami dan tanggung jawab sebagai orang tua akan selesai setelah anak menjadi dewasa, menikah, dan meninggalkan rumah. Tetapi, tugas dan tanggung jawab sebagai suami dan istri akan terus berlanjut hingga kematian yang memisahkan. Banyak pasangan suami istri yang tidak lagi memiliki hubungan setelah anak-anak dewasa karena fokus mereka yang keliru.
Karena itu, suami dan istri perlu sehati dalam arah dan tujuan pernikahan dengan memfokuskan pernikahan mereka agar tetap langgeng. Ada tiga hal yang perlu dikembangkan suami dan istri secara terus menerus, yaitu: Pertama, saling memberi kebahagiaan dengan cara berkata dan bertindak dalam memnuat pasangan bahagia. Kedua, menghadirkan kepuasan bagi pasangan dengan membuat hidup pasangan menjadi berarti. Ketiga, menghayati makna “kesatuan yang komplementer” dan menjadi lengkap dengan saling melengkapi satu sama lain.
Allah selalu membuat yang baik dan menginginkan yang terbaik (bandingkan Yakobus 1:17). Dia ciptakan semua dalam kondisi baik, Dia ciptakan Adam sungguh amat baik; Ketika Adam sendirian Tuhan melihat tidak baik, sehingga Ia ciptakan hawa (Kejadian 2:18-24). Demikian pula dalam pernikahan, suami dan istri menempatkan semua yang terbaik dan membahagiakan pasangan di atas segalanya. Berusahalah untuk membuat istri atau suami menjadi bahagia. Rasul Paulus mengingatkan,: “Hendaklah kamu saling mengasihi sebagai saudara dan saling mendahului dalam memberi hormat” (Roma 12:10).
4. Relasi dan Tanggung Jawab yang Meluas
Pernikahan akan membawa suami dan istri pada relasi yang lebih luas. Pernikahan tidak hanya menyatukan pria dan wanita tetapi juga melibatkan relasi dengan keluarga mereka masing-masing. Bentuk dari relasi ini antara lain: relasi mertua dan menantu, relasi antar besan, dan relasi dengan paman dan bibi, relasi dengan ipar, dan sebagainya.
Bentuk relasi lainnya adalah relasi pertemanan atau persahabatan. Sebelum menikah pria dan wanita masing-masing mempunyai relasi pertemanannya sendiri-sendiri, tetapi setelah menikah suami dan istri perlu melibatkan diri dan mengenal teman atau sahabat pasangannya dan menerima pertemanan yang dihadirkan dalam pernikahan. Jadi, pernikahan membawa relasi yang lebih luas lagi dalam pertemanan dan persahabatan.
Secara khusus, dengan hadirnya anak sebagai karunia dari Tuhan, relasi suami istri dalam pernikahan akan bertambah. Kehadiran anak akan membentuk relasi orang tua dengan anak. Suami dan istri yang telah mempunyai anak, kini menjadi orang tua. Relasi ini disertai suatu tanggung jawab, yaitu tanggung jawab orang tua terhadap anak dan tanggung jawab anak-anak terhadap orang tua. Rasul Paulus mengingatkan, “Hai anak-anak, taatilah orang tuamu di dalam Tuhan, karena haruslah demikian. Hormatilah ayahmu dan ibumu -- ini adalah suatu perintah yang penting, seperti yang nyata dari janji ini: supaya kamu berbahagia dan panjang umurmu di bumi. Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan. (Efesus 6:1-4). Hal yang sama disampaikan rasul Paulus dalam Kolose 3:20-21, “Hai anak-anak, taatilah orang tuamu dalam segala hal, karena itulah yang indah di dalam Tuhan. Hai bapa-bapa, janganlah sakiti hati anakmu, supaya jangan tawar hatinya”.
Tanggung Jawab orang tua terhadap anak-anaknya antara lain: merencanakan masa depan mereka; merawat dan memelihara mereka; mengasuh dan mencukupi kebutuhan mereka; mengasihi mereka; mengajar, mendidik, dan membimbing mereka; memberi teladan dan bersaksi bagi mereka. Tanggung jawab anak terhadap orang tua antara lain: membantu orang tua dalam memelihara seisi rumah; mengerjakan tugas-tugas yang diberikan orang tua; dan belajar dibawah bimbingan orang tua.
5. Kebersamaan Mengelola Keuangan dan Harta Milik
Dalam rancangan Allah sejak semula, pernikahan adalah antara satu orang pria dengan satu orang wanita yang menjadi satu. Sejak semula Allah hanya menciptakan dua gender manusia, yaitu laki-laki Pernikahan adalah hal yang paling misterius tetapi serius. Karena, “keduanya akan menjadi satu”. Artinya, secara praktis keduanya akan beralih “dari aku dan kau menjadi kita” dan “dari saya dan dia menjadi kami”. Persatuan ini mencakup segalanya, disatukan secara fisik, emosional, intelektual, dan spiritual. Suami dan istri tidak lagi berpusat pada diri sendiri, masing-masing akan memberi dirinya dalam berbagai area, baik rohani, jiwani, maupun jasmani.
Uang dan harta milik (seperti kendaraan, perabotan, aset dan lainnya) masing-masing perlu diserahkan menjadi milik bersama dan dikelola bersama untuk kepentingan bersama satu sama lainnya. Karena itu, perlu membuatlah rencana yang terbaik, dimulai dengan merencanakan anggaran belanja (Amsal 21:5). Dalam bentuk yang sederhana, sebuah anggaran belanja adalah cara untuk melacak uang yang masuk dan keluar.
Berikut ini prinsip-prinsip pengelolaan keuangan yang dianjurkan. Pertama, pahami kondisi keuangan yang ada. Perlu untuk mengetahui jumlah pendapatan dan pengeluaran setiap bulannya. Ini bertujuan untuk menghindari ”lebih besar pasak dari pada tiangnya”. Kedua, Buat buku anggaran yaitu catatan penerimaan dan catatan pengeluaran. Tujuannya adalah untuk mengetahui dari mana datangnya pendapatan keuangan dan mengetahui kemana atau untuk keperluan apa pengeluaran keuangan tersebut. Ketiga, menentukan prioritas dengan cara membedakan pengeluaran menurut kepentingannya, yaitu (1) kewajiban-kewajiban, yaitu kewajiban kepada Allah seperti buah sulung, persepuluhan dan persembahan lainnya; kewajiban kepada pemerintah dan kewajiban lainnya seperti pajak, listrik, PDAM, telpon, pembayaran utang atau cicilaan kredit, iuran, dan lainnya. (2) Kebutuhan pokok yaitu kebutuhan yang harus terpenuhi sepert: pangan atau makanan; sandang atau pakaian; papan atau rumah tempat tinggal; biaya transport; biaya pendidikan; biaya kesehatan. (3) Keinginan yaitu sesuatu yang kurang begitu penting, yang tidak akan mempengaruhi apapun jika tidak dipenuhi. Keinginan lebih banyak berkenaan dengan gaya hidup seseorang, bukan kebutuhan mendasar, yaitu: rekreasi; jajan; handphone, kendaraan atau mobil mewah.
6. Program Bersama dan Perubahan Jadwal
Seorang pria dan wanita yang memutuskan untuk menikah akan mengalami perubahan besar yang terjadi khususnya dalam lingkungan dan jadwal. Mereka harus membiasakan diri untuk hidup bersama. Ini berarti baik suami maupun istri, mereka harus memangkas dari jadwal mereka hal-hal yang kurang bermanfaat yang dapat menghilangkan kebersamaan mereka. Ini berarti suami dan istri perlu memberi batasan terhadap pergaulan, hobi, dan kesenangannya sendiri. Mereka harus meluangkan waktu lebih banyak untuk saling memahami, memberi dan memerima satu dengan yang lain. Hal ini perlu mengingat, pernikahan menyatukan dua pribadi yang berbeda. Pria dan wanita memiliki kodrat yang tidak sama baik secara fisik, perasaan, maupun perilaku. Ditambah lagi perbedaan dalam kebiasaan, adat istiadat, budaya, pendidikan, sikap dan pembawaan.
Pernikahan adalah kesempatan yang diberikan Allah kepada kepada laki-laki dan perempuan untuk hidup bersama. Karena itu, untuk menjaga kebersamaan dalam keluarga maka perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut: 1) Menyembah dan melayani Tuhan bersama-sama di gereja lokal; 2) Berdoa bersama-sama atau mezbah keluarga; 3) Mengatur keuangan bersama-sama; 4) mengerjakan dan menyelesaikan pekerjaan rumah bersama; 5) membuat dan menetapkan rencana untuk masa depan bersama-sama; 6) Membiasakan makan bersama-sama; 7) Melaksanakan peran dan tanggung jawab masing-masing dengan sebaik-baiknya; 8) dan lain sebagianya.
7. Minat yang Lebih Luas
Banyak penelitian menunjukkan bahwa rata-rata orang memiliki antara 500 sampai 700 keterampilan dan kemampuan yang berbeda. Ini mungkin jauh lebih banyak daripada yang disadari. Berikut ini hanya beberapa dari yang disebutkan dalam Alkitab: kemampuan artistik, kemampuan arsitektur, melayani, membuat roti, membuat perahu, membuat permen, berdebat, merancang, merempah-rempahi, menenun, memahat, bertani, nelayan, berkebun, memimpin, mengelola, tukang batu, menggubah musik, membuat senjata, jahit-menjahit, melukis, menanam, berfilsafat, mekanika, menciptakan, tukang kayu, berlayar, memasarkan, menjadi tentara, menjahit, mengajar, menulis sastra dan puisi, dan lain sebagainya.
Ketika suami dan istri menaruh minat dan dapat menerima kemampuan dan kecakapan pasangannya, hal ini akan memberi manfaat bagi mereka. Setiap pasangan adalah sebuah kajian hidup seumur hidup. Suami dan istri perlu mengkaji pasangannya untuk mengenal dan memahami kebutuhan. Penyatuan seorang pria dan wanita dalam pernikahan bukan bermaksud menghilangkan jati dirinya. Kesatuan ini adalah kesatuan yang komplementer yaitu kesatuan yang saling mengisi dan melengkapi. Karena itu, manit harus menghasilkan manfaat bagi keduanya.
PENUTUP
Pernikahan adalah hal mulia, yang dikaruniakan Tuhan, sejak manusia belum jatuh ke dalam dosa, yaitu suatu bayangan yang melukiskan persekutuan antara Kristus dan gerejaNya (Efesus 5:22-33). Dalam pernikahan suami dan istri mengikat diri dalam suatu tujuan yang kudus, untuk membangun rumah tangga bahagia dan harmonis. Karena itu, janganlah pernikahan ditempuh atau dimasuki dengan sembarangan, dirusak oleh karena kurang bijaksana, dinista atau dinajiskan; melainkan hendaklah hal itu dihormati dan dijunjung tinggi dengan takut akan Tuhan serta mengingat maksud Allah dalam pernikahan itu.
Allah telah menciptakan laki-laki dan perempuan untuk hidup bersama. Pernikahan mempersatukan kedua hati, mempersatukan kasih dan pengharapan dalam suatu kehidupan bersama. Dengan demikian Allah memberi kesempatan kepada laki-laki dan perempuan untuk hidup bersama. Kehidupan bersama laki-laki dan perempuan harus didasarkan atas kasih karunia. Sebagaimana Yesus Kristus mengasihi satu gereja dan gereja itu mengasihi satu Tuhan, demikian laki-laki dipanggil mengasihi satu perempuan dan perempuan mengasihi satu laki-laki. Karena itu hendaklah pernikahan ditempuh dengan rukun, sehati, setujuan, penuh kasih sayang, percaya seorang akan yang lain, dan bersandar kepada kasih karuniaTuhan. Hanya dengan cara yang demikian kehidupan bersama ini dapat bertahan dan menjadi berkat. Amin
REFERENSI
Burke, Dale., 2000. Dua Perbedaan dalam Satu Tujuan. Terjemahan Indonesia (2007), Penerbit Metanoia Publising : Jakarta.
Clinton, Tim., 2010. Sex and Relationship. Baker Book, Grand Rapids. Terjemahan Indonesia (2012), Penerbit ANDI : Yogyakarta.
Douglas, J.D., ed, 1988. The New Bible Dictionary. Universities and Colleges Christian Fellowship, Leicester, England. Edisi Indonesia dengan judul Ensiklopedia Alkitab Masa Kini, 2 Jilid, diterjemahkan (1993), Yayasan Komunikasi Bina Kasih : Jakarta.
Drewes, B.F, Wilfrid Haubech & Heinrich Vin Siebenthal., 2008. Kunci Bahasa Yunani Perjanjian Baru. Jilid 1 & 2. Penerbit BPK Gunung Mulia : Jakarta.
Ferguson, B. Sinclair, David F. Wright, J.I. Packer., 1988. New Dictionary Of Theology. Inter-Varsity Press, Leicester. Edisi Indonesia, jilid 1, diterjemahkan (2008), Penerbit Literatur SAAT : Malang.
Geisler, Norman L., 2000. Christian Ethics: Options and Issues. Edisi Indonesia dengan judul Etika Kristen: Pilihan dan Isu, Terjemahan, Penerbit Literatur SAAT : Jakarta.
Gutrie, Donald., ed, 1976. The New Bible Commentary. Intervarsity Press, Leicester, England. Edisi Indonesia dengan judul Tafsiran Alkitab Masa Kini, Jilid 3, diterjemahkan (1981), Yayasan Komunikasi Bina Kasih : Jakarta.
Gutrie, Donald., 1981 New Tastament Theology, . Intervarsity Press, Leicester, England. Edisi Indonesia dengan judul Teologi Perjanjian Baru, 3 Jilid, diterjemahkan (1991), BPK Gunung Mulia : Jakarta.
Ladd, George Eldon., 1974. A Theology of the New Tastament, Grand Rapids. Edisi Indonesia dengan Judul Teologi Perjanjian Baru. 2 Jilid, diterjemahkan (1999), Penerbit Kalam Hidup : Bandung.
Lewis, C.S., 2006. Mere Christianity. Terjemahan, Penerbit Pionir Jaya : Bandung
Morris, Leon., 2006. New Testamant Theology. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas : Malang.
Newman, Barclay M., 1993. Kamus Yunani – Indonesia Untuk Perjanjian Baru, terjemahkan, BPK Gunung Mulia : Jakarta.
Pfeiffer, Charles F & Eferett F. Herrison., ed, 1962. The Wycliffe Bible Commentary. Edisi Indonesia dengan judul Tafsiran Alkitab Wycliffe Perjanjian Baru, volume 3, diterjemahkan (2004), Penerbit Gandum Mas : Malang.
Piper, John & Justin Taylor, ed., 2005. Kingdom Sex and the Supremacy of Christ. Edisi Indonesia dengan judul Seks dan Supremasi Kristus, Terjemahan (2011), Penerbit Momentum : Jakarta.
Prokopchak, Stave and Mary., 2009. Called Together. Destiny image, USA,. Terjemahan Indonesia (2011), Penerbit ANDI : Yogyakarta.
Schafer, Ruth., 2004. Belajar Bahasa Yunani Koine: Panduan Memahami dan Menerjemahkan Teks Perjanjian Baru. Penerbit BPK Gunung Mulia : Jakarta.
Sproul, R.C., 1997. Essential Truths of the Christian Faith. diterjemahkan, Penerbit Literatur SAAT : Malang.
Stassen, Glen & David Gushee., 2003. Kingdom Ethics: Following Jesus in Contemporary Contex. Edisi Indonesia dengan judul Etika Kerajaan: Mengikut Yesus dalam Konteks Masa Kini, Terjemahan (2008), Penerbit Momentum : Jakarta.
Stamps, Donald C., ed, 1995. Alkitab Penuntun Hidup Berkelimpahan. Terj, Penerbit Gandum Mas : Malang.
Susanto, Hasan., 2003.Perjanjian Baru Interlinier Yunani-Indonesia dan Konkordansi Perjanjian Baru, jilid 1 dan 2. Terjemahan, Penerbit Literatur SAAT : Malang.
Tong. Stephen., 1991. Keluarga Bahagia. Cetakan kesebelas (2010), Penerbit Momentum : Jakarta.
(Penulis, seorang Protestan-Kharismatik, Pendeta dan Gembala di GBAP Jemaat El Shaddai; Pengajar di STT IKAT dan STT Lainnya. Menyandang gelar Sarjana Ekonomi (SE) dari Universitas Palangka Raya; S.Th in Christian Education; M.Th in Christian Leadership (2007) dan M.Th in Systematic Theology (2009) dari STT-ITC Trinity. Setelah mempelajari Alkitab selama ± 15 tahun menyimpulkan tiga keyakinannya terhadap Alkitab yaitu : 1) Alkitab berasal dari Allah. Ini mengkonfirmasikan kembali bahwa Alkitab adalah wahyu Allah yang tanpa kesalahan dan Alkitab diinspirasikan Allah; 2) Alkitab dapat dimengerti dan dapat dipahami oleh pikiran manusia dengan cara yang rasional melalui iluminasi Roh Kudus; dan 3) Alkitab dapat dijelaskan dengan cara yang teratur dan sistematis.