Peran Ayah dalam Mendidik Anak
Penulis : Pdt. Paul Gunadi, Ph.D.
Peran ayah dalam pendidikan, dalam bahasa Inggris, ialah "to father". Di dalam bahasa Inggris terdapat tiga istilah yang berhubungan dengan tugas mendidik anak, yaitu "mothering", "fathering", dan "parenting". Meskipun semuanya membicarakan tentang tugas mendidik anak, namun ada keunikan masing-masing dalam konteks sumbangsih ayah dan ibu dalam mendidik anak. Salah satu tugas ayah kristiani ialah:
"Kamu harus mengajarkannya (perintah Tuhan) kepada anak-anakmu dengan membicarakannya, apabila engkau duduk di rumahmu dan apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun;" (Ulangan 11:19) Dengan jelas Tuhan menghendaki agar kita mengajarkan perintah Tuhan dengan cara membicarakannya. Apabila Anda seperti saya, mungkin Anda juga mengalami kesulitan membicarakan, apalagi mengajarkan perintah Tuhan kepada anak-anak Anda. Saya kira membicarakan dan mengajarkan bukanlah perkara yang terlalu sulit, yang terlebih sukar adalah membicarakan dan mengajarkan secara tepat dan pada waktu yang tepat sehingga dapat dicerna oleh anak kita. Ada satu peristiwa yang Tuhan berikan kepada isteri dan saya dimana kami berkesempatan mengajarkan dan membicarakan Firman Tuhan kepada salah satu anak kami. Pelajaran yang kami sampaikan berasal dari Matius 7:12 dan wahana penyampaiannya, tak lain tak bukan, bola basket.
Saya percaya bahwa salah satu alasan mengapa Matius 7:12 mendapat julukan "Hukum Emas" (The Golden Rule) adalah karena nilai yang terkandung di dalamnya bak emas yang sangat berharga. Hukum ini mengatur relasi kita dengan sesama secara agung sekaligus praktis. Perhatikan apa yang Tuhan Yesus katakan, "Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka. Itulah isi seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi." Berbahagialah orang yang mampu menerapkan Firman Tuhan. Apabila seseorang memperlakukan orang lain sama seperti ia ingin diperlakukan, ia sudah memiliki "emas" yang tak ternilai. Sebagai orang tua kami pun rindu agar anak-anak kami mempunyai "emas" yang tak ternilai itu dan Tuhan telah menyediakan sarananya.
Suatu hari ibu guru salah seorang anak kami yang berumur hampir 9 tahun menelepon isteri saya untuk memberitahukan bahwa tadi anak kami menangis di sekolah. Menurut ibu guru tersebut, anak kami ingin bermain bola basket dengan kawan-kawannya namun mereka tidak mengizinkannya bermain dengan mereka. Ia merasa perlu memberitahukan kami sebab ia merasa prihatin melihat kesedihan anak kami yang mendalam itu. Pada sore harinya isteri saya menceritakan kepada saya perihal anak kami itu. Sebelumnya isteri saya sudah menanyakan anak kami dan ia bercerita bahwa memang benar ia menangis karena tidak diajak bermain bola basket. Reaksi alamiah kami adalah rasa iba sebab kami menyadari bahwa anak kami itu memang senang bermain basket. Penolakan teman-temannya sudah tentu mendukakan hatinya.
Mendengar peristiwa tersebut, dengan didorong oleh rasa iba dan hasrat untuk menghiburnya, saya bergegas memanggil anak kami itu dan mengajaknya bermain bola basket di halaman rumah. Melalui permainan itulah akhirnya Tuhan menyadarkan saya akan salah satu tugas mendidik selain dari menghibur anak, yakni mengajarkan Firman Tuhan. Tuhan membukakan mata saya terhadap hal-hal tersembunyi yang jauh lebih hakiki daripada sekadar menghibur anak. Pada saat bermain itulah baru saya memahami mengapa teman-temannya enggan mengajaknya bermain. Alasannya tidak lain tidak bukan adalah ia bermain curang! Naluri keayahan saya mendorong saya bertindak sebagai pahlawan yang ingin membela anak kami, seolah-olah dengan mengajaknya bermain saya berkata, "Biar semua orang tidak mau bermain denganmu, saya akan selalu siap bermain denganmu." Namun, ternyata dia jugalah pemicu perlakuan teman-temannya.
Pada waktu kami sedang bermain, kakaknya juga turut melempar-lempar bola ke basket. Adakalanya bola yang sedang dilemparnya bersentuhan dengan bola basket kakaknya dan ia pun dengan segera meminta mengulang ... dengan bola di tangannya lagi. Namun pada suatu ketika, bola itu bertabrakan dengan bola yang dilempar kakaknya, tetapi kebetulan saat itu, sayalah yang sedang melempar bola. Dengan serta merta ia mengambil bola dari tangan saya dan "menghukum" saya dengan cara memberinya hak untuk melempar bola ke basket dua kali. Saya berusaha menerangkannya bahwa keputusannya itu keliru namun ia tidak peduli dan malah mogok bermain. Dengan bersimpuh di tanah sambil menduduki bola itu ia bersikeras bahwa sayalah yang salah dan selayaknya menerima hukuman.
Saya mencoba untuk menjelaskan bahwa ia telah bertindak tidak adil sebab pada waktu hal yang sama terjadi pada dirinya bukan saja ia tidak menghukum dirinya, ia malah menghadiahi dirinya. Ia tetap tidak menerima penjelasan saya dan menolak untuk mengakui ketidakkonsistenannya. Di dalam ketidakkonsistenannya itu saya jelaskan padanya bahwa jika ia tetap berbuat demikian maka tidak akan ada orang yang ingin bermain lagi dengannya dan saya tidak ingin melihat ia menjadi orang yang tidak mempunyai teman. Setelah mengatakan hal itu, saya lalu memeluknya dan ia pun mulai meneteskan air mata. Kemudian saya menanyakan kembali, dan sekarang ia siap mengakui ketidakadilannya itu. Sesudah itu saya mengajaknya bermain lagi dan ia pun bermain jujur dan adil.
Saya berterima kasih kepada Tuhan yang tidak membiarkan saya melewati kesempatan emas yang tak ternilai itu. Betapa mudahnya bagi saya melakukan tugas keayahan saya dengan cara menghibur anak kami namun kehilangan pelajaran yang sangat berharga. Melalui peristiwa tersebut ada empat hal yang saya pelajari yang berfaedah bagi tugas keayahan:
- Tugas mendidik menuntut waktu.
- Tugas mendidik membutuhkan kesediaan untuk melihat kelemahan anak kita.
- Tugas mendidik lebih mendahulukan pendekatan kasih daripada konfrontasi.
- Tugas mendidik yang kristiani menuntut kita menjadi ayah yang mengenal Firman Tuhan.
Sudah tentu keinginan atau kerinduan menjadi ayah yang baik adalah penting, namun tekad tersebut haruslah diwujudkan dalam bentuk waktu yang diberikan bagi anak kita. Tanpa waktu, tidak akan ada kesempatan "mengajarkan dengan cara membicarakan" pedoman hidup yang berasal dari Firman Tuhan. Jika saya tidak menyediakan waktu untuk bermain basket dengan anak kami, tidak akan ada peluang untuk menyaksikan kelakuannya dan sekaligus mengoreksi sikapnya.
Kita perlu terbuka untuk menerima kenyataan bahwa anak kita bukan saja tidak sempurna, namun akibat dosa, ia pun berpotensi merugikan orang lain. Adakalanya sulit bagi kita untuk mengakui kelemahan anak kita karena kelemahannya sedikit banyak merefleksikan kekurangan kita pula.
Kadang kita perlu memperhadapkan anak kita dengan perbuatannya secara tegas; sekali-sekali kita perlu menghukumnya. Namun yang harus lebih sering dan diutamakan adalah menegurnya dengan kasih. Makin keras saya menegurnya, makin bersikeras ia menyangkalnya. Sebaliknya, tatkala dengan lemah lembut saya menegurnya, ia pun luluh dan bersedia menerima perkataan saya.
Tanpa pengenalan akan Firman Tuhan, kita tidak bisa mendidiknya seturut dengan Firman Tuhan. Hukum Emas dari Matius 7:12 sangatlah penting, tetapi masih banyak kebenaran Firman-Nya yang perlu kita sampaikan kepada anak kita.
Sumber: Parakaleo IV/2 April - Juni 1997