X-Fellowship
Penulis : Donny A. Wiguna
Ada berapa banyak gereja yang dapat kita jumpai saat ini? Banyak. Di kota Bandung saja, ada sebuah jalan yang terisi gereja di kiri dan kanannya sampai belasan, bila kita menyusuri jalan itu dari ujung ke ujung. Ada berbagai macam denominasi, berbagai cara dan gaya ibadah, hanya di satu jalan saja. Bagaimana dengan kota Anda? Tapi, mari kita simpan sebentar hal ini. Mari kita lihat, bagaimana permasalahan terjadi di dalam gereja.
Ada gereja yang bermasalah dengan kurangnya pemain musik. Ada yang bermasalah dengan kurangnya pengajar-pengajar Alkitab. Ada yang bermasalah dengan kurangnya sumber dana, walau banyak jemaatnya memiliki bakat. Ada yang bermasalah dengan organisasi dan administrasi. Ya, kita tahu di setiap gereja selalu saja ada masalah kurang ini dan itu, bahkan dalam gereja yang cukup besar. Rasanya cukup sering terdengar seruan untuk berdoa kepada Tuhan dan memohon agar diberikan pengerja untuk ini dan itu, bukan?
Jika kita menggabungkan kedua kenyataan di atas, apa yang terlintas dalam benak kita? Ada begitu banyak gereja. Ada begitu banyak masalah. Lalu bagaimana gereja-gereja menyelesaikan masalah-masalah ini?
Beberapa waktu yang lalu, saya pernah menulis sebuah artikel tentang keberadaan berbagai macam gereja. Waktu itu pembahasannya berangkat dari posisi bahwa satu gereja dan gereja lain saling berlomba, seperti yang diarahkan dalam surat Ibrani. Setiap orang, juga setiap gereja, harus berjuang seperti dalam perlombaan yang diwajibkan Tuhan, untuk memberikan yang terbaik. Dibutuhkan suatu kesadaran untuk menata segala sesuatunya agar gereja dapat bergerak maju dalam perlombaan itu.
Tetapi saat itu, yang terpikir oleh saya adalah kenyataan bahwa setiap gereja cenderung bergerak dengan kekuatannya sendiri. Perlombaan gereja adalah seperti perlombaan perahu layar, di mana setiap perahu memiliki awak masing-masing yang tidak berinteraksi dengan perahu lain. Jika ada kelebihan orang, di simpan sendiri. Jika ada kekurangan orang, di tanggung sendiri. Karena ini perlombaan, maka setiap gereja membuat acaranya masing-masing, yang sedapat mungkin menarik banyak orang. Di sini ada semacam perlombaan pula untuk mengadakan acara paling baik. Maka, bila ada sebuah gereja yang berhasil menyusun sesuatu yang baik dan menarik, ada kecenderungan gereja lain meniru acara atau program yang berhasil ini, dengan harapan gerejanya dapat melaju pula dan jemaat tidak perlu jajan ke gereja lain.
Masalahnya, seringkali sebuah program yang berhasil merupakan puncak dari kerjasama berbagai faktor, baik orang, tempat, atau fasilitas, yang tersusun sedemikian rupa sehingga memungkinkan acara yang menarik. Program dan rencana program bisa ditiru, tetapi infrastrukturnya tidak semudah itu disediakan. Perlombaan gereja menjadi ajang adu cepat memperoleh sumber-sumber yang bisa diandalkan masing-masing gereja untuk membangun infrastruktur masing-masing. Dan di sini sering muncul jalan buntu, karena ternyata Tuhan tidak senantiasa memberikan orang-orang yang paling kompeten kepada setiap gereja dan lembaga yang meminta kepada-Nya.
Sebaliknya, jika kita perhatikan benar-benar, gereja-gereja terbentuk dengan suatu kapasitas khusus yang berbeda-beda. Ada yang muncul sebagai gereja yang sanggup menghadirkan program Pemahaman Alkitab yang berhasil. Gereja lain amat menonjol dalam bidang musik dan penyembahan. Yang lain mempunyai program yang kuat dalam konseling dan pelayanan pastoral. Yang lain lagi menonjol dalam pelayanan sosial. Malah kalau diperhatikan benar, rasanya tidak ada satu gereja pun yang kompeten dalam segala bidang, atau memiliki setiap alternatif fasilitas. Yang ada adalah gereja-gereja dengan keterbatasan dan kelebihan masing-masing.
Kembali kepada masalah semula, antara begitu banyak gereja dan begitu banyak kebutuhan, mari kita pikirkan satu hal ini: apakah memang setiap gereja HARUS menyediakan semua program dan fasilitas yang dibutuhkan? Apakah sebuah gereja harus menjadi seperti sebuah hypermart yang mempunyai segala macam barang yang mungkin diperlukan dalam sebuah rumah?
Keadaan kadang-kadang begitu mendesak, sehingga muncul suatu kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi sendiri. Apa yang dilakukan? Ada gereja yang kemudian berpaling ke luar, untuk mendapatkan semua kebutuhan dengan uang. Yang bekerja bisa siapa saja, dan tidak jarang mereka bukan orang Kristen. Ironisnya, tak jauh dari gereja itu ada gereja lain yang telah memiliki keunggulan dalam bidang yang dibutuhkan tersebut. Hanya saja, tidak ada orang yang pernah cukup dekat untuk menyadari keadaan, dan gereja-gereja benar-benar terpisah satu sama lain walau jarak fisiknya tidak lebih dari 5 km.
Sekarang, mari kita melihat apa yang dituliskan oleh Rasul Paulus tentang persekutuan atau fellowship:
1 Kor 12:12 Karena sama seperti tubuh itu satu dan anggota-anggotanya banyak, dan segala anggota itu, sekalipun banyak, merupakan satu tubuh, demikian pula Kristus.
Nah, konteks ayat ini adalah pengungkapan pekerjaan Roh Kudus dalam kehidupan orang percaya. Ada yang diberi karunia secara khusus dan berbeda, sesuai kehendak Allah. Perhatikan: keberadaan jumlah yang banyak tidak mencerminkan perpecahan atau keberadaan kekristenan yang terpecah belah, sebaliknya justru meneguhkan bahwa semuanya adalah bagian dari SATU tubuh yang sama, yaitu Kristus. Karena tubuh senantiasa terdiri dari berbagai-bagai anggota yang berbeda-beda, yang terspesialisasi untuk melakukan sesuatu, tetapi untuk melayani satu tujuan yang sama.
Kita bisa mengatakan hal yang sama atas begitu banyaknya gereja. Ada banyak gereja, tetapi keberagaman ini mencerminkan satu tubuh Kristus yang utuh dan tidak terbagi. Setiap gereja merupakan BAGIAN dari satu kumpulan tubuh yang besar dan meliputi seluruh dunia, yaitu satu tubuh Kristus. Jadi, bagaimana dengan masalah kekurangan tadi? Mungkin sekarang nampak betapa anehnya keadaan ini: setiap gereja berusaha menjadi segala-galanya bagi jemaat, sementara pengajaran dan pengakuan imannya mengatakan bahwa gereja adalah kudus dan AM. Mengapa tidak saling membuka diri?
Terpesialisasi Kalau dilihat lebih mendalam, banyak denominasi yang dicirikan oleh talenta tertentu yang dominan di dalamnya. Ya, ini memang bukan suatu penggolongan yang umum, melainkan suatu cara praktis untuk membedakan gereja. Misalnya begini: jika kita menemukan ada gereja yang mempunyai program penyembahan dan puji-pujian yang baik - nampak dari keseriusan latihan musik, penggemblengan song leader dan backing vocal, serta lagu-lagu yang kontemporer, mungkin kita sudah memiliki satu bayangan tentang gereja pentakosta atau kharismatik.
Lain lagi jika kita menemukan ada program pembinaan teologia yang terarah, kelas-kelas Sekolah Alkitab Malam misalnya, serta kegiatan penginjilan yang terstruktur dan intensif berdasarkan pemahaman Alkitab. Bayangan yang kita miliki adalah tentang gereja injili atau gereja misionaris-reformis.
Dan jika kita menemukan adanya program sosial serta organisasi sosial yang terstruktur dengan baik, dengan dukungan penuh atas kegiatan kemasyarakatan untuk mewujudkan kasih Allah secara sosial bagi siapa saja, mungkin kita memiliki gambaran tentang gereja-gereja prebyterian mainstream, seperti umumnya gereja protestan tradisional di Indonesia.
Kita lihat, ini hanyalah contoh. Tentu ada banyak sekali variasi, misalnya ada saja gereja Pentakosta yang mempunyai kegiatan sosial yang intensif, tetapi hal itu lebih merupakan kekhususan, suatu diferensiasi. Malah mungkin akan nampak agak mengherankan, daripada dipahami sebagai sesuatu yang normatif untuk dilakukan. Bahkan mungkin, gereja Pentakosta yang melakukan itu tidak lagi dianggap sebagai gereja Pentakosta, apalagi jika namanya sudah tidak menunjukkan denominasi tertentu.
Sekarang, apakah sebuah gereja cukup baik bila hanya kuat dalam pujian dan penyembahan saja? Atau hanya dalam program-program PA? Atau hanya dalam kegiatan sosial? Tentu, kesadaran hampir semua pihak mengatakan: tidak. Karena itu gereja-gereja sibuk memperlengkapi diri untuk mampu di segala bidang, tanpa melihat ke kiri dan ke kanan lagi. Tetapi kenyataan bahwa talenta yang Tuhan berikan menjadi suatu pokok yang terspesialisasi, tetap tidak dapat dilepaskan. Jadinya ya seperti itu tadi: menjadi bagian tubuh yang aneh dari Kristus.
X-Fellowship Sudah waktunya, kesadaran gereja-gereja dibuka. Saat ini ada tiga hal yang menjadi faktor kunci, yang mungkin tidak kita temukan dahulu. Keseluruhannya menuju kepada suatu persekutuan, yang saya sebut X-Fellowship (baca: cross-fellowship). Mari kita lihat:
Yang pertama, ada faktor teknologi komputer dan komunikasi yang kita kenal sebagai internet, yang dahulu tidak ada. Di masa lalu, komunikasi antar gereja kebanyakan merupakan kegiatan surat-menyurat, yang terbatas pada sekelompok kecil orang di gereja di dalam hubungan ecumenical. Tetapi saat ini internet memungkinkan informasi dari gereja yang satu dapat disampaikan ke gereja yang lain dalam hitungan detik. Dan hal ini bukannya tidak terjadi: buktinya, saat ini sudah ada puluhan milis Kristen Indonesia, dalam berbagai denomi110i dan pembahasan, yang meliputi seluruh dunia. Ada yang di Eropa, ada yang di Amerika, dan kebanyakan tentu saja di Indonesia.
Begitu banyak milis, dengan anggota RIBUAN orang, tetapi kenapa tidak ada satu pun milis yang menjadi sumber informasi dan kerjasama antar GEREJA? Selain milis, ada lagi fasilitas web yang saat ini sudah mempunyai kemampuan interaksi yang amat baik, murah, dan relatif mudah dilakukan. Semua ini sebenarnya menyediakan jalan untuk membentuk suatu sistem saraf bagi kekristenan, di mana setiap gereja dapat mengambil bagian di dalamnya. Bisa terlibat dan berperan, tanpa perlu harus mengubah apa-apa, selain kesediaan untuk bersekutu dengan gereja lain yang berbeda.
Yang kedua, ada faktor pluralisme, yang di saat yang sama justru menjadikan gereja lebih mudah melewati tembok-tembok denominasi. Coba perhatikan: saat ini, sudah ada tingkat penerimaan yang lebih besar antara jemaat yang satu dengan jemaat yang lain. Semakin banyak persekutuan antar-denominasi diadakan, bahkan dalam program-program bersama seperti yang diadakan Equip yang mengajarkan kepemimpinan. Jika dahulu jemaat "injili" tidak mau bergaul dengan jemaat "kharismatik" dan sebaliknya, hari ini penerimaan sudah lebih terbuka lebar satu sama lain.
Di saat yang sama, kebersatuan antar-jemaat telah mengembalikan dasar-dasar kekristenan. Kini yang penting bukan lagi cara atau gaya dalam beribadah dan bergereja, melainkan ketaatan kepada Alkitab. Kita bisa melihat gerakan ini serupa dengan gerakan fundamentalisme yang terjadi awal abad 20, tetapi kini terjadi pada banyak denominasi. Mungkin ini adalah akibat langsung dari runtuhnya liberalisme dan modernisme, yang disusul oleh pandangan post-modern dan post-liberal. Tetapi filsafat serba-relatif seperti ini sama sekali tidak mempunyai dasar yang meyakinkan, dan jemaat kembali ke dasar-dasar keyakinan iman (dan fenomena ini sebenarnya terjadi di hampir semua agama, termasuk islam. Karena itu, kita saat ini melihat juga kebangkitan fundamentalisme Islam di Indonesia).
Dengan berdiri di atas dasar yang sama, yang sudah lama tidak terjadi, persekutuan X-Fellowship mempunyai momentum yang besar, yang terjadi secara alami di mana-mana. Bagian kitalah untuk membuat gerakan ini menjadi lebih efektif, menciptakan sinergi yang tidak pernah terjadi sebelumnya.
Yang ketiga, ada faktor tekanan ekonomi dan politik, yang menghapuskan pandangan-pandangan yang menyesatkan. Teologi kemakmuran, misalnya, yang mendapatkan landasan di saat booming ekonomi antara tahun 1988-1997, kini telah kehilangan dayanya. Orang Kristen jelas tidak menjadi lebih makmur daripada kebanyakan orang lainnya, sebaliknya tidak sedikit yang justru jatuh miskin! Demikian juga dengan teologi liberal, yang sebenarnya telah runtuh sejak Karl Barth mengeluarkan tafsiran surat Roma, juga kehilangan pendukung. Teologi post-liberal yang tidak jelas malah lebih sukar lagi diterima jemaat secara umum. Kebutuhan mendasar manusia di tengah-tengah kesulitan adalah mendapatkan kepastian keselamatan, sekalipun keselamatan itu belum nampak di dunia ini. Orang harus menginjak bumi, sekaligus melihat langit.
Ada yang mengatakan, bahwa dari jaman ke jaman selalu saja ada tekanan. Tetapi saya ingin menunjukkan, bahwa kali ini tekanannya berbeda, karena saat ini terjadi globalisasi -- suatu hal yang belum pernah ada sebelumnya. Ada kadar intensitas, kompleksitas, dan periode yang terus menerus, menciptakan tekanan dari segala penjuru tanpa ada penyelesaian yang jelas. Perubahan terjadi amat cepat, melebihi waktu-waktu sebelumnya, menciptakan suatu kondisi hypercompetition di mana keunggulan dihancurkan sendiri oleh penciptanya demi membuat keunggulan baru.
Tekanan-tekanan ini mendesak setiap gereja untuk memikirkan opsi X-Fellowship, karena sekarang tidak dapat lagi berjalan sendiri. Tak ada gereja yang dapat mengabaikan kerja sama dengan gereja lain. Maka, X-Fellowship bukan lagi pilihan, melainkan menjadi suatu keharusan!
Implementasi Bagaimana melakukan X-Fellowship? Ini dapat menjadi pembahasan yang panjang. Sebenarnya harapan saya adalah suatu gerakan untuk mewujudkannya...dan sambil berjalan, kita memikirkan bagaimana melakukannya. Yang terpikir sekarang ini barulah tentang infrastruktur, tentang bagaimana membangun sebuah Pusat Data yang dapat diakses oleh gereja apa saja.
Bayangkan, sebuah gereja kharismatik dapat membuka kelas pelatihan musik dan song leader bagi jemaat-jemaat dari gereja injili. Lalu ada gereja injili yang membuka kelas-kelas teologi dan PA bagi gereja kharismatik. Bidangnya bisa diperluas: materi sekolah minggu, pelayanan kesehatan (ada banyak dokter juga di gereja), kelas-kelas bimbingan sekolah untuk anak dan remaja, konseling dan terapi, bahkan termasuk bantuan untuk membuat arsitektur bangunan gereja! Semua ini menjadi bagian dari informasi -- ada gereja yang menawarkan dan ada yang membutuhkan, di mana yang memberi dan menerima bisa dipertemukan dengan sekejap mata.
Tidak lagi sukar untuk mendapatkan tenaga-tenaga terspesialisasi -- selama setiap orang menghormati cara dan gaya orang lainnya. Seperti tubuh yang sesungguhnya, setiap bagian bisa bekerja melayani bagian lain tanpa harus berubah dari keadaannya sendiri, untuk melayani Tubuh Kristus berdasarkan Kepala yang sama - Tuhan Yesus Kristus.