Mengembangkan Budaya Keramahan

Penulis : Andreas A Yewangoe

SALAH satu topik penting yang dibicarakan dalam Sidang Raya ke-9 Dewan Gereja-gereja se-Dunia (DGD) di Porto Alegre-Brazil adalah tentang pluralitas agama-agama dalam kaitannya dengan pemahaman diri kekristenan (Religious Pluralism and Christian Self-Understanding). Sudah tidak dapat diabaikan, bahkan hampir merupakan "hukum besi" di dalam perkembangan peradaban abad ini bahwa kita hidup di dalam pluralitas masyarakat, baik kebudayaan maupun agama-agama. Tidak ada lagi ruang di dunia ini di mana hanya terdapat satu kebudayaan dan agama yang tidak dipengaruhi oleh kebudaya- an-kebudayaan dan agama- agama lainnya.

[block:views=similarterms-block_1]

Proses pluralisasi yang menguasai hampir seluruh bidang kehidupan juga mempengaruhi kehidupan keberagaman kita. Ini mengisyaratkan bahwa tidak mungkin lagi, bahkan tidak boleh agama-agama mengisolasi dirinya di dalam dinding-dinding tradisi mereka sendiri. Bahkan, munculnya sikap-sikap ekstrem di dalam agama-agama disebabkan terutama oleh sikap mengisolasi diri itu. Ada semacam sikap triomfalisme di situ yang mengesampingkan agama-agama lain. Seakan- akan para penganut agama-agama lain telah diperuntukkan bagi kebinasaan. Padahalnya kita semua, apapun agama kita, adalah peziarah bersama menuju masa depan dalam upaya kita mencapai kebenaran. Tak Seorang pun yang boleh mengklaim bahwa ia telah menggenggam kebenaran itu di dalam tangannya sendiri. Allah begitu mahakaya dan maha sempurna, sehingga tidak mungkin dapat dibahasakan secara penuh hanya oleh cara formulasi tertentu oleh tradisi agama tertentu.

Tantangan

Maka sikap yang memut- lakkan dan mengklaim kebenaran dalam tangan sendiri itu tidak dapat dipertahankan lagi. Kekristenan yang untuk waktu yang cukup lama melihat dirinya sebagai satu-satunya agama yang memiliki kebenaran, justru ditantang oleh kehadiran dari agama- agama lain itu. Kekristenan dengan demikian ditantang untuk melihat kehadiran agama-agama lain itu secara baru.

Kekristenan ditantang untuk mengakui kehadiran "yang lain" (the others) dalam perbedaan-perbedaan mereka, menyambut mereka, kendati kadang-kadang mereka mengancam kita. Dengan kata-kata lain, kita (kekristenan) ditantang untuk memperkembangkan suatu iklim spiritual (spiritual climate) dan pendekatan teologis yang menyumbang kepada terciptanya relasi-relasi yang kreatif dan positif di antara tradisi- tradisi dari agama-agama dunia.

Maka, sebagai yang melakukan ziarah bersama, kita saling memperkaya spiritualitas kita masing-masinng. Perjalanan ziarah spiritual kekristenan sendiri telah memperkaya dan membentuk perkembangannya sendiri. Kekristenan misalnya dipengaruhi oleh kehidupan Yahudi- Helenistis.

Kekristenan pun pernah mengalami apa artinya menjadi "orang asing"(stranger), dan sebagai demikian dianiaya dan ditindas. Tetapi ketika kekristenan menjadi agama dunia, maka ia pun mengalami keterpecahan di mana-mana. Keterpecahan itu tidak dapat dilepaskan dari kebudayaan yang mempengaruhinya.

Maka, dalam kaitan dengan kebudayaan ini, perlu ditegaskan, kekristenan justru dibentuk olehnya. Tapi hal yang sama dapat pula dikatakan untuk agama-agama lain. Bahkan tidak ada satu agama pun yang tidak dipengaruhi oleh agama-agama lain dalam perjalanan bersama ini.

Menghadapi kenyataan-kenyataan yang tidak terelakkan ini, maka pertanyaannya adalah bagaimanakah kekristenan menghadapinya? Satu kata penting yang dikemukakan dalam Sidang Raya itu adalah "hospitality" (keramahan). Keramahan dilihat sebagai kata kunci hermeneutis dan titik masuk ke dalam percakapan-percakapan selanjutnya. Bahkan di dalam pergaulan-pergaulan yang lebih mendalam.

Tentu saja ini mempunyai akarnya di dalam Alkitab. Allah adalah Allah semua bangsa-bangsa, demikian ditegaskan di dalam Perjanjian Lama. Ia adalah Allah yang aktif di dalam semua ciptaan, bahkan sudah sejak awal. Sedangkan di dalam Perjanjian Baru, inkarnasi (menjadi daging-Nya) Firman Allah, yang oleh rasul Paulus diartikulasikan sebagai keramahan, dan sebagai kehidupan yang mengarah kepada "orang lain". Dalam bahasa puji-pujian (doksologi), Paulus menegaskan, bahwa Ia (Kristus) berada dalam rupa Allah, namun tidak memandang kesetaraan dengan Allah itu sebagai yang dipertahankan. Sebaliknya, Ia mengosongkan dirinya dan taat hingga mati di kayu salib.

Bagi orang Kristen, pengosongan diri ini, di mana Kristus mengambil kemanusiaan kita sebagai wajah-Nya, merupakan inti (pusat) dari pengakuan iman kita. Maka tidak diragukan lagi, kita pun dipanggil untuk "mengosongkan diri" menyambut "yang lain"itu sebagai saudara. Dalam bahasa yang dipakai oleh Sidang Raya PGI yang baru lalu, Kristus adalah manusia Bagi Orang Lain. Maka risikonya adalah, gereja pun mestilah menjadi "gereja Bagi Orang Lain". Itu tidak berarti bahwa sikap seperti itu bukannya tanpa risiko. Dalam situasi dimana ketegangan-ketegangan politik dan agama terjadi, sikap-sikap keramahan membutuhkan keberanian dan ketabahan. Bisa saja sikap keramahan ini ditafsirkan lain, misalnya sebagai taktik baru untuk kristenisasi. Namun, budaya keramahan (the culture of hospitality) mesti terus diperkembangkan. Inilah yang memberi harapan bagi lestarinya kehidupan manusia (dan kemanusiaan).

Apa maknanya ini bagi kita di Indonesia ? Orang Indonesia dikenal sebagai orang- orang yang sangat ramah tamah, yang menyambut orang- orang lain, bukan sekadar sebagai tamu, tetapi sebagai keluarga sendiri. Keberbagaian para penganut agama-agama di Indonesia mestinya tidak harus merupakan alasan untuk saling curiga satu terhadap yang lainnya.

Kita adalah keluarga besar bernama Indonesia. Kita hidup bersama di dalam sebuah "rumah" bernama Indonesia. Rumah itu telah kita bangun bersa-ma dengan darah dan airma-ta Maka sebagai keluarga, keramah- tamahan mestinya menjadi budaya yang dihirupi dan yang mengarahkan kehidupan. Para penganut agama-agama yang berbeda-beda itu mestinya makin membuka diri kepada "the others", siapa pun mereka.