Julius Caesar

Oleh: Herlianto

Menarik menyaksikan dua film DVD panjang dalam seminggu ini, yang pertama berjudul Julius Caesar yang terdiri dari dua keping dan yang kedua berjudul Rome produksi HBOfilms yang terdiri dari empat keping yang mencakup masa tayang 12 jam secara keseluruhan. Mengumpulkan koleksi film-film berkenaan dengan sejarah para raja dan kerajaan sekitar masa kehidupan Yesus menarik untuk menjadi bahan pelajaran sejarah, sebab film-film semacam a.l. Alexander, Cleopatra, Spartacus, Attila, Caligula dan Nero memberikan kita gambaran mengenai carut- marut dunia politik yang menyangkut raja-raja dan kerajaan Romawi pada masa sekitar kelahiran kekristenan, carut-marut yang akhirnya menjadi boomerang yang menenggelamkan raja/kerajaan itu sendiri (bandingkan dengan buku SuveiPerjanjian Baru karya Merril C. Tenney yang mengupas latar belakang sejarah sekitar kelahiran kekristenan).

[block:views=similarterms-block_1]

Julius Caesar adalah tokoh paling populer dalam rangkaian cerita itu, apalagi perkawinannya dengan Cleopatra banyak dikenal. Julius Caesar mati karena dibunuh (44 sM) oleh anggota Senat termasuk temannya sendiri dengan ucapannya yang terkenal sebelum ia menghembuskan nafas terakhir: "Kau juga Brutus?" Kematiannya karena konspirasi menyebabkan Roma sempat mengalami chaos namun kemudian pada tahun 43 sM setelah para pembunuhnya satu-persatu dibinasakan oleh pendukung Caesar, posisinya digantikan oleh triumvirat Markus Antonius, Lepidus, dan Octavianus yang masih berumur 18 tahun. Pelan dan pasti kemudian Lepidus lepas dari trio ini dan setelah Markus Antonius yang kemudian mengawini Cleopatra bunuh diri maka Octavianus naik tahta tunggal dengan gelar Augustus (27sM - 14M). Agustus yang adalah kemenakan-cucu dari Julius Caesar kita kenal sebagai penyelenggara sensus yang mendorong Yusuf dan Maria pergi dari Nazaret ke Betlehem sebelum melahirkan Yesus (Lukas 2:1).

Banyak tokoh pemimpin memulai programnya dengan kerinduan untuk mendatangkan perubahan dan demokrasi, tapi sama halnya dengan Julius Caesar, banyak pemimpin ketika makin berkuasa dan kerajaannya menjadi besar, kemudian terikat jerat ambisi kekuasaan yang tak terbendung dan berakhir pada otorianisme dan tiranisme. Kekuasaan atau tahta adalah jerat kepemimpinan yang sulit dihindari manusia yang penuh ambisi seingga segala usaha dan intrik-intrik politik digunakan untuk merebutnya. Harta adalah tujuan sampingan yang melekat dalam kekuasaan dan menjadi tujuan para pemimpin karena tanpa harta kekuasaan sulit digapai dan dengan kekuasaan harta bisa direbut.

Menarik menyaksikan sejarah kekristenan awal, betapa firman Tuhan menanamkan konsep berbeda mengenai sikap kita menghadapi kekuasaan dan harta. Pelayanan para rasul yang tanpa pamrih pelan tapi pasti kemudian mulai mempengaruhi dunia perpolitikan sehingga kondisi para kaisar dan tatanan pemerintahan Romawi menjadi semakin manusiawi dimata rakyat. Kondisi ini memuncak dengan "bertobatnya" kaisar Konstantin menjadi Kristen sehingga pusat pemerintahan dipengaruhi dengan moralitas yang diajarkan oleh Yesus dan para Rasulnya.

Masuknya Konstantin menjadi Kristen sekaligus menjadi berkat tetapi juga menjadi petaka bagi kekristenan. Menjadi berkat karena kalau sebelumnya kekristenan dibungkam kemudian kekristenan dijadikan agama resmi bahkan direstui oleh kaisar, tetapi kondisi demikian sekaligus menjadi petaka bagi kekristenan, sebab masa itu dikenal sebagai masa "gereja disekularisasikan." Gereja diangkat sebagai agama resmi pemerintahan dan para pemimpinnya diberi pakaian kebesaran bak pejabat negara, demikian juga gereja dihadiahi gedung-gedung Basilika yang besar sebagai tempat ibadat. Pengaruh visual ini disusul pengaruh virtual dimana kemudian kalau sebelumnya moralitas Kristen menggarami kerajaan Romawi, sekarang kepemimpinan kristen dipengaruhi oleh moralitas dunia politik riel dengan intrik dan perebutan kekuasaan dan asset. Ketika dunia dikristenkan, ketika itu juga terjadi gereja di duniawikan.

Perjalanan gereja selanjutnya sampai sekitar satu melenium menghasilkan masa kegelapan (abad-5-15) dalam sejarah Eropah, dimana kekuasaan gereja menjadi-jadi dan menjadi penguasa lahir batin atas rakyatnya. Sejarah Eropah diisi oleh sejarah gereja yang penuh lika- liku perpolitikan. Perang salib (abad-11-13) lebih merupakan perang politik daripada perang keyakinan, demikian juga Inquisisi pada abad pertengahan dan perang Hugenot pada masa Reformasi lebih menggambarkan pergesekan politik negara-negara daripada urusan kegerejaan. Sejarah gereja abad kegelapan mengungkapkan kepada kita bahwa gereja tidak rentan terhadap pengaruh dunia politik yang penuh dengan intrik-intrik dan interes berebut kekuasaan dan asset (lihat VCD "History of Christianity" dan DVD "Christianity, The First Thousand Years" dan "Christianity, The Second Thousand Years."

Riak-riak "politik masuk gereja" masih ada sampai sekarang. Kita bukan saja telah melihat perebutan kekuasaan antar keuskupan di Eropah pada masa kegelapan (seperti kasus The Templar yang disinggung dalam The Da Vinci Code), tetapi masakini pun perebutan mencapai kedudukan ketua sinoda juga masih sering diisi ambisi-ambisi akan kursi dan uang yang menyedihkan Tuhan. Kedudukan pendeta jemaat pun masakini banyak diisi dengan ambisi yang lebih mempermalukan Tuhan daripada memuliakann-Nya!

Memang banyak pendeta melayani dengan tulus sehingga ketika pensiun (emiritat) banyak jemaat masih merindukannya dan tetap bernostalgia akan pelayanan tanpa pamrih pendetanya itu. Tetapi perlu banyak didoakan karena di gereja-gereja tertentu persaingan antar pendeta tidak jarang terjadi. Kalau ada dua pendeta maka timbullah fraksi- fraksi yang mendukung masing-masing pendeta. Belum lagi kalau harus menyerahkan estafet kepemimpinan, tidak jarang timbul hal-hal yang tidak kasih, sehingga timbullah "demam Julius" mengenai "pewaris kekuasaan" yang sering dicapai dengan tidak kasih atau bahkan nepotisme dengan diangkatnya putra mahkota yaitu anak sendiri sebagai penerus kerajaan pelayanan.

Dalam gereja-gereja yang berpola "presbyterian" (jemaat dipimpin para penatua), sekalipun kemungkinan pergeseran pelayanan kearah kekuasaan lebih kecil tapi "demam Julius" juga acap kali terjadi, apalgi di jemaat-jemaat yang berpola "konggregasional" (jemaat setempat) sering kali terjadi bahkan majelis jemaatpun kalau ada, bisa tidak bergigi dan keuangan gereja dikuasai pendetanya dan bahkan ada yang majelis dan jemaatnya tidak mempunyai akses sama sekali untuk mengontrolnya.

Di tengah dunia yang makin sekuler dimana "demam Julius" dimana kekuasaan dan keuangan menjadi prioritas yang dikejar, dunia gereja berada dalam bahaya demam yang sama. Sudah saatnya gereja-gereja dan khususnya para jemaat mendoakan dengan benar perilaku para pemimpin gereja, agar mereka kembali bermental "melayani" dan bukannya "memerintah." Rasul Petrus yang begitu ambisius dan temperamental, ketika makin dewasa imannya menulis surat:

"Aku menasehatkan para penatua diantara kamu, aku sebagai teman penatua dan saksi penderitaan Kristus, yang juga akan mendapat bagian dalam kemuliaan yang akan dinyatakan kelak. Gembalakanlah kawanan domba Allah yang ada padamu, jangan dengan paksa, tetapi dengan sukarela sesuai dengan kehendak Allah, dan jangan karena mau mencari keuntungan, tetapi dengan pengabdian diri. Janganlah kami berbuat seolah-olah kamu mau memerintah atas mereka yang dipercayakan kepadamu, tetapi hendaklah menjadi teladan bagi kawanan domba itu." (1Petrus 5:1-3).