Hukum yang Terutama, Mengasihi Allah
Oleh: Nikodemus Rindin
Ketika orang-orang Farisi mendengar, bahwa Yesus telah membuat orang-orang Saduki itu bungkam, berkumpullah mereka dan seorang dari mereka, seorang ahli Taurat, bertanya untuk mencobai Dia. “Guru, hukum manakah yang terutama dalam hukum Taurat?” Jawab Yesus kepadanya: “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu, dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. (Matius 22:34-38).
Ada seorang datang kepada Yesus, dan berkata: “Guru, perbuatan baik apakah yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?” Jawab Yesus: “Apakah sebabnya engkau bertanya kepada-Ku tentang apa yang baik? Hanya satu yang baik. Tetapi jika engkau ingin masuk ke dalam hidup, turutilah segala perintah Allah.”
Kata orang itu kepada-Nya: “Perintah yang mana?” Kata Yesus: “Jangan membunuh, jangan berzinah, jangan mencuri, jangan mengucapkan saksi dusta, hormatilah ayahmu dan ibumu dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” Kata orang muda itu kepada-Nya: “semuanya itu telah kuturuti, apalagi yang masih kurang?” Kata Yesus kepada-Nya: “Jika engkau hendak sempurna, pergilah, juallah segala milikmu dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di sorga, kemudian datanglah ke mari dan ikutlah Aku.” Ketika orang muda itu mendengar perkataan itu, pergilah ia dengan sedih, sebab banyak hartanya. Matius 19:16-22.
Mengasihi Pribadi yang Lebih Tinggi daripada Kita
Pernahkah kita bertanya dalam hati, mungkinkah saya mengasihi orang yang lebih tinggi daripada saya. Baik lebih tinggi dalam hal jabatan, lebih tinggi dalam hal ekonomi, lebih tinggi dalam hal iman, lebih tinggi dalam hal pendidikan, dll. Yang pasti dia lebih tinggi derajatnya daripada kita. Memang mengasihi orang yang sederajat dengan kita, atau bahkan orang yang lebih “rendah” daripada kita, mungkin itu mudah. Karena tidak membutuhkan energi yang besar, dan kapasitas yang besar. Setidaknya, standar-standar yang dibutuhkan masih bisa kita penuhi.
Tapi untuk mengasihi Allah, apakah itu mudah. Dan bisakah kita mengasihi Dia? Bukankah kita adalah manusia yang berdosa. Yang jangankan mengasihi Allah, berakal budi dan kerinduan untuk mencari Dia pun tidak (Rm 3:9-11). Kita lebih suka hidup tanpa Tuhan, lebih suka jauh dari Dia, lebih suka hidup dalam dosa? Kita ini adalah orang yang tidak pantas! Lalu mengapa tetap diminta untuk mengasihi Allah? Bukankah mengasihi diri sendiri dan sesama manusia saja sudah sulit?
Dibutuhkan standar-standar yang lebih tinggi untuk mengasihi yang Ilahi
Orang lapar, ia akan merasa kita kasihi apabila kita memberi dia makan. Orang sakit, ia merasa kita kasihi apabila kita memberikan pertolongan agar dia bisa sembuh. Orang patah hati, ia merasa kita kasihi apabila kita bisa pengertian, perhatian, dan selalu terbuka mendengarkan dia curhat. Namun yang ilahi ingin kita kasihi dengan standar-standar yang ilahi. Apa standar ilahi:
1. Segenap, seluruh, dan semuanya (tidak tersisa dan tidak terbagi dengan yang lain)
2. Tidak terlihat olah manusia (hati, jiwa dan akal budi) hanya Tuhan yang melihatnya
Kesimpulannya: Saya dituntut memberikan yang terbaik, hanya saya dan Tuhan tidak ada yang lain.
Untuk memenuhi standar ilahi, maka kita harus mengasihi Tuhan dengan tiga hal:
Perlu hati yang besar
Mengasihi orang yang lebih agung daripada kita, perlu hati yang besar. Dengan kata lain tidak gampang ciut. Ibarat orang yang sedang jatuh cinta, meski cintanya ditolak bertubi-tubi, dia tetap berbunga-bunga untuk mendapatkan sang idolanya. Meskipun secara bodi, secara kelas, dan secara gaya, secara selera bahkan secara bahasa kita jauh bangat ketinggalan dengan si dia. Dia naik mobil kita naik motor, dia bicara soal sturbuck coffee, kita bicara tentang kopi kapal api. Dia bicara tentang apartemen, kita bicara soal kost-kostan. Dia bicara tentang makanan di restoran kita bicara tentang makanan di warteg. Nah parahnya nih, dia pintar berbahasa inggris, kita hanya pintar berbahasa Indonesia. Dia update status di facebook, besok makan di mana? Kita updatenya besok mau makan apa? Memang sepertinya semuanya, serasa sejauh langit dari bumi. Seperti kisah si kaya dan Lazarus. Namun, karena hati yang besar maka kita berkata, “Tak apalah semuanya itu terjadi, gunung tinggi akan ku daki, lautan luas akan kuseberangi, topan badai kuhadapi.” Dengan kata lain kita harus tetap mempunyai hati yang besar untuk meraih yang lebih dari ukuran kemampuan kita.
Bila hubungan suami istri menjadi pudar. Dulunya begitu terang seperti matahari bahkan sampai mengeluarkan sengatannya. Yang rasanya kita geli mendengar kata-kata romantis yang menghujam ditelinga. Yang katanya “I Love you mom! Kaulah segalanya! Kamu terlihat sangat cantik lebih dari wanita manapun di dunia! Namun sekarang begitu redup, pudar, luntur bahkan hampir padam. Kasihnya bukan lagi seperti sengatan matahari, tetapi seperti sengatan listrik, yang kadang perkataannya membuat hati kita bergetar-getar. Dulunya perkataannya membuat telinga kita terbuka lebar dan mengembang. Namun kini, telinga menjadi ciut dan hati tersayat-sayat karena perkataan yang menyakitkan. Dalam menyingkapi hal yang demikian, kita tidak hanya perlu telinga yang terbuka lebar, tetapi juga perlu hati yang besar.
Hati yang besar menghasilkan, kasih yang besar, dan kasih yang besar bersumber dari Pribadi yang besar, yaitu Allah sendiri (Yoh. 3:6). Sumber yang besar itulah yang akan mengalirkan kasih-Nya kepada kita. Dan kasih yang besar menghasilkan tindakan dan pengorbanan yang besar. Allah dan Abraham adalah sosok pribadi yang mempunyai kasih yang besar. Allah mengasihi dunia ini, sementara Abraham mengasihi Allah. Sehingga tindakan yang Allah dan Abraham lakukan adalah pengorbanan yang besar, yaitu dengan menyerahkan “anak” yang tunggal untuk kepentingan orang yang dikasihi. Namun bedanya mereka adalah, Allah memberikan karena kerelaan-Nya tetapi Abraham karena mengikuti perintah Tuhan. Mengasihi Allah itu adalah perintah.
Agar kita bisa memiliki kasih itu, maka Allah sendiri dengan sengaja telah mencurahkan, meletakan, memberikan kasih yang besar itu di dalam hati kita (Rm 5:5). Alkitab berkata, kasih yang besar itu diberikan kepada kita pada saat kita masih lemah (Rm. 5:6), masih berdosa (Rm. 5:8), bahkan masih seteru dengan Allah (Rm. 5:10). Dengan demikian tidak mustahil untuk kita mengasihi Allah. Karena Ia telah lebih dahulu mengasihi kita (1 Yoh.4:19). Bahkan Ia telah meletakan kasih yang besar itu di dalam hati kita.
Bila kita menganggap bahwa kita terlalu mustahil untuk mengasihi Allah karena dosa kita terlalu besar. Maka ingatlah bahwa di dalam hati kita ada kasih Allah yang besar. Ia sanggup mencurahkan kasih itu di dalam hati kita, masakan Dia tidak sanggup untuk menerima kasih kita? Ingatlah, bahwa karena tindakan Yesus yang menebus dosa kita, membuat kita menjadi ciptaan yang baru. Allah telah menerima kita karena Tuhan Yesus. Ia menerima hidup kita bahkan menerima kasih kita. Di dalam Kristus Allah menerima kita menjadi anak-anak-Nya. Jadi di dalam Kristuslah kita tahu bahwa kasih kita telah di persamakan, disejajarkan. Dan karena Kristuslah Allah meletakkan kasih itu di dalam hati kita. Yaitu kasih yang besar. Sehingga hati kita dengan hati Allah menjadi cocok atau sepadan.
Allah memang pribadi yang agung, yang suci, dan yang mulia. Mustahil bagi kita untuk mengasihi Dia dengan kekuatan manusia. Dan mustahil bagi Allah untuk menerima kasih kita yang terbatas. Tetapi tidaklah demikian, ketika kita percaya kepada Tuhan Yesus. Kita mampu mengasihinya dengan segenap hati, karena ada kasih-Nya yang telah Ia letakkan di dalam hidup kita. Kualitas kasih yang diberikan-Nya kepada kita, mampu membawa kita untuk meraih kasih Allah yang lebih tinggi dari kasih kita.
Perlu berjiwa besar
Kata jiwa di dalam bahasa Ibrani dan Yunani kerap kali di artikan sebagai napas, psikis, mental dan nyawa. Namun saya tidak menemukan arti khusus dari kata jiwa yang tercantum di dalam bagian Matius 22 ini. Namun saya mencoba menyimpulkan apa yang dimaksudkan dengan segenap jiwa, berdasarkan apa yang sedang dibicarakan di dalam Matius 22. Secara keseluruhan saya sendiri melihat baik nafas, psikis dan nyawa. Semuanya mereka libatkan sepenuhnya untuk mencari kesalahan orang lain. Dan kesenangan mereka adalah bila bertemu dengan orang yang berbuat kesalahan.
Orang-orang Farisi dan orang Saduki adalah orang yang beragama. Mereka begitu sering beribadah. Senang datang ke Bait Allah dan Sinagoge. Mereka adalah orang yang sangat taat melakukan Hukum Taurat. Namun nafas rohani mereka selalu terkesan negative. Karena mereka cenderung mencari kesalahan orang lain. Bila orang ketangkap basah berdosa, mereka tidak segan-segan mengadilinya di depan orang banyak. Seperti perempuan yang ketahuan berbuat zinah. Mereka hadapkan kepada Yesus, karena mereka ingin mencobai-Nya. Kata mereka kepada Yesus, “Musa dalam hukum Taurat memerintahkan kita untuk melempari perempuan-perempuan yang demikian. Apakah pendapat-Mu tentang hal itu?" Jawab Yesus "Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu." Mendengar perkataan Yesus, pergilah mereka seorang demi seorang, mulai dari yang tertua. Akhirnya tinggallah Yesus seorang diri dengan perempuan itu yang tetap di tempatnya. Kata Yesus kepada perempuan itu, "Hai perempuan, di manakah mereka? Tidak adakah seorang yang menghukum engkau?" Jawabnya: "Tidak ada, Tuhan." Lalu kata Yesus: “Aku pun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang.”
Orang Farisi memang sering bertanya kepada Yesus, bukan untuk mengetahui kebenaran tetapi untuk mencobainya. Mereka berupaya mencari cara bagaimana menjerat Yesus dengan sebuah pertanyaan. Alhasil, mereka gagal. Di dalam Matius 22, sebenarnya orang Farisi sudah dua kali bertanya kepada Tuhan Yesus dan tujuan bertanya sama, bukan untuk mengetahui kebenaran tetapi, untuk mencari cara bagaimana bisa menjatuhkannya. Orang seperti ini saya sebut sebagai orang yang benyali tipis. Atau berjiwa kecil.
Bukankah di dalam kekristenan kita banyak orang yang berjiwa tipis. Yang senangnya melihat kesalahan orang lain. Bila bertemu dengan orang yang berbuat salah, kita rasanya ingin segera menjadi hakim atasnya, memberikan sidang, bahkan menjatuhkan vonis atasnya. Lupakah kita bahwa kita adalah manusia yang bisa berbuat dosa, yang juga bisa berbuat kesalahan yang kecil maupun yang besar.
Yesus ingin menyadarkan kita, bahwa mengasihi Tuhan dengan segenap jiwa harus dengan jiwa yang luas. Jiwa yang tipis hanya mampu membawa kita melihat ruang yang sempit. Mencari kesalahan, mengadili, menjatuhkan hukuman tanpa belas kasihan. Tetapi jiwa yang besar mampu membuat kita bertindak seperti Yesus yang bukan hanya tidak menghukum orang berdosa tetapi justru mengangkatnya. Manusia tipe Yesuslah yang dibutuhkan dunia dan kerajaan Allah. Sehingga Dia di utus untuk datang ke dunia. Mengangkat yang berdosa menjadi suci, yang hina menjadi mulia, dan yang tidak layak menjadi layak dihadapan Allah. Dan itulah yang Yesus kerjakan selama ada di dunia ini.
Perlu berpikir secara Ilahi
Waktu kita masih kanak-kanak kita berpikirnya kekanak-kanakan. Namun kalau kita sudah dewasa kita berpikirnya selevel dengan pemikiran orang dewasa. Sifat kekanak-kanakan kita kita tinggalkan. Itulah yang disampaikan Paulus kepada orang Korintus (1 Kor. 13:11). Waktu kita belum mengenal Tuhan Yesus pikiran kita masih duniawi (Yak. 2:4), tetapi setelah di dalam Tuhan Yesus pikiran kita harus sepadan dengan pikiran Kristus (1 Kor. 2:16). Pikiran yang lama harus kita tinggalkan dan diperbaharui dengan pikiran yang baru (Ef. 4:23). Dengan kata lain bahwa pemikiran kita harus bertumbuh seiring dengan kedewasaan rohani kita.
Mengasihi Tuhan dengan segenap hati itu tidak gampang. Karena kita harus mengenakan manusia baru. Kita harus menjadi dewasa. Kita harus berpikir secara Ilahi. Mengikuti kehendak Allah. Kita harus mengabaikan kenyamanan kita, memikirkan kehidupan orang lain (1 Ptr.4:1). Menaruh Allah dan orang lain dalam pikiran kita. Itulah Paulus, itulah yang dikerjakan Yesus, itulah yang dikerjakan nabi-nabi dan para rasul. Memang tidak mudah. Tetapi itulah standar Ilahi.
Apa yang ada dalam pikiran kita, pikiran Kristuskah atau pikiran duniawi? Bila pikiran Kristus maka saya ingin berkata Puji Tuhan, tetapi bila pikiran duniawi segeralah ditinggalkan. Kenakan pikiran Kristus. Bersikaplah dewasa secara rohani. Dan segera berpikir seperti Kristus, agar memenuhi standar akal budi yang Ilahi. Pikirkanlah perkara diatas (1 Kol. 3:2).
Saya ingin berkata kepada orang pintar, bila anda pintar tundukanlah kepintaran kita dibawah pikiran Kristus? Jangan justru kita pakai untuk melawan-Nya, seperti orang Farisi dan Saduki.
Membuang Berhala Kesayangan Kita
Sebelum kita masuk lebih jauh marilah kita melihat isi 10 perintah Allah terlebih dahulu.
1. Jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku.
2. Jangan membuat bagimu patung atau sujud menyembah kepadanya atau beribadah kepadanya.
3. Jangan menyebut nama TUHAN, Allahmu, dengan sembarangan.
4. Ingatlah dan kuduskanlah hari Sabat.
5. Hormatilah ayahmu dan ibumu.
6. Jangan membunuh.
7. Jangan berzinah.
8. Jangan mencuri.
9. Jangan mengucapkan saksi dusta tentang sesamamu.
10. Jangan mengingini rumah sesamamu; jangan mengingini isterinya, atau apapun yang dipunyai sesamamu.
Bicara tentang buang-membuang itu bukanlah hobi kita bukan? Karena kita semua berbakat mengkoleksi segala sesuatu, bahkan Allah pun kalau bisa IA kita jadikan koleksi. Sehingga tidak heran kalau orang lebih senang memilih agama yang berallah banyak.
Kisah orang muda yang kaya memberitahukan kepada kita bahwa dia gagal mengikuti Tuhan bukan karena kurang baik, kurang bermoral atau jahat. Tetapi karena dia berkeberatan untuk menjual dan membagikan hartanya kepada orang miskin. Melakukan hukum yang pertama tanpa melakukan hukum yang kedua itu tidak sempurna di mata Tuhan Yesus. Begitu juga sebaliknya, karena dua hukum sangat berkaitan satu sama lain, tak terpisahkan. Memisahkan keduanya itu berarti pencemaran hukum dan melanggar hak cipta. Melakukan hukum yang pertama dan melakukan hukum yang kedua secara setengah-setengah (menurut cara manusia, itupun tidak sempurna dimata Tuhan).
Kita mengasihi Tuhan saja, bukankah itu yang disebut roh agamawi? Mengasihi manusia saja itu disebut sosial dan moral. Tetapi Tuhan memiliki standar yang lebih agung! Yakni, AKU dan engkau, engkau dan sesame manusia, dilakukan dengan sungguh-sungguh (dengan segenap hati, jiwa dan akal budi). Inilah yang disebut sempurna. Secara sepintas kita sepertinya melihat orang kaya ini cukup baik, karena seperti melakukan hukum yang pertama, tetapi bila kita perhatikan tuntutan Tuhan dari kasih manusia yang meminta segenap hati, segenap jiwa dan segenap akal budi, maka orang muda kaya raya ini adalah orang yang jahat dimata Allah. Sebab orang muda kaya raya ini, dia bukan hanya tidak melakukan hukum yang pertama, tetapi dia juga tidak melakukan hukum yang kedua. Malah dia melanggar kedua-duanya. Dan jatuh ke bawah, mencintai pemberian Tuhan. Ketika diminta mengikuti Yesus tidak mau, memberikan seluruh hartanya kepada orang miskin tidak mau.
Malah dia mengasihi hartanya. Firman Tuhan berkata, hatinya sedih! Padahal harta bukan Allahnya, dan harta juga bukan sesamanya. Allahnya Yesus, sesamanya manusia. Di sinilah letak persoalannya, bagi orang kaya ini harta bukanlah merupakan berkat Tuhan, harta bukanlah hanya titipan Tuhan, tetapi harta itu telah menjadi BERHALA. Mengapa saya berani berkata demikian, karena dia lebih baik hidup tanpa Yesus daripada hidup tanpa harta. Karena dia lebih baik menabung hartanya daripada diberikan kepada orang miskin.
Pertanyaan saya, kenapa Tuhan minta semuanya bukan 1/10, bukan 1/5 atau 1/4? Tetapi diminta semuanya. Untuk menunjukan kepada kita bahwa hartanya itu benar-benar telah menjadi berhala atas hidupnya. Untuk menunjukan kepada kita bahwa kasih Allah tidak boleh terbagi dengan yang lain. Untuk menunjukan kepada kita bahwa harta atau hal apapun yang kita sukai tidak boleh menjadi berhala atas hidup kita.
Kata patung yang disebutkan dalam butir pertama Dasatitah, “jangan ada padamu Allah lain dihdapan-Ku. Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apapun yang ada dilangit di atas bumi, di bawah, atau yang ada di dalam air di bawah bumi. Jangan sujud menyembah atau beribadah kepadanya” (Keluaran 20:3-5). Dalam bahasa Ibraninya adalah Pesel, umumnya mengacu kepada patung pahatan berupa orang, binatang, atau dalam bentuk-bentuk lainnya.
Di dalam Perjanjian Baru penyembahan seperti itu tidak lagi dilakukan oleh orang Yahudi. Penyembahan berhala sudah tidak berupa patung pahatan, tetapi justru berupa sesuatu yang dipahat di dalam hati.
Menurut Luther, berhala adalah segala sesuatu yang bukan ALLAH tetapi darinya kita memberi hati, kepercayaan, kasih, pengharapan, pikiran, tenaga, dan seluruh orientasi hidup.
Dalam kisah orang kaya ini, dia menjadikan hartanya mengambil posisi Allah yang dianggap jauh lebih tinggi, jauh lebih mulia, jauh lebih menguntungkan dari pada ALLAH yang memberikan harta itu kepadanya.
Apa berhala masing-masing kita? Yang kepadanya kita menaruh: hati, kepercayaan, kasih, pengharapan, pikiran, tenaga, dan seluruh orientasi hidup. Bila itu ada pada kita masing-masing, segeralah buang berhala itu agar tidak menguasi hidup kita. Dan sembahlah Allah kita yang hidup, jadikan DIA PENGUASA tunggal dalam hidup kita. Bila ada orang yang menyimpan sesembahan dirumahnya dan didalam hatinya selain Allah sebagai penguasa, maka Tuhan perintahkan kita untuk membuangnya. Bila kita memiliki harta yang banyak, berlimpah ruah, jangan menyimpannya digudang kehidupan kita sehingga kepadanya kita menaruh masa hati, kepercayaan, kasih, pengharapan, pikiran, tenaga, dan seluruh orientasi hidup. Kalau hal itu yang sedang terjadi maka segera berbagi harta kekayaan dengan orang lain sebelum harta yang kita miliki berubah menjadi BERHALA.
Saya ingin katakan kepada kita semua, begitu banyak orang yang ingin ikut Tuhan jika DIA mau diduakan, tapi sayangnya, DIA bukanlah ALLAH yang demikian. IA adalah ALLAH yang cemburu, yang tidak menginginkan kasih kita kepada-Nya terbagi kepada yang lain.
Blog penulis: www.nikodemusrindin.blogspot.com/