Harapan Seorang Pemabuk
Berikut ini adalah kesaksian dari salah seorang misionaris (pendeta dari Korea) yang melakukan pelayanannya di Afrika Selatan.
Ladang misiku adalah suatu wilayah di Naral, yang ada di bagian timur Afrika Selatan. Saat ini, aku bekerja di dua tempat yaitu di suatu daerah perkotaan bernama Kwamashu dan daerah pertanian bernama Ruganda.
Sehubungan dengan kebijaksanaan apartheid yang diberlakukan di Afrika Selatan, banyak daerah perkotaan -- terdiri atas kota- kota mono-ethnis yang didiami orang-orang "campuran" (keturunan dari pasangan yang berbeda ras), orang-orang Indian dan orang-orang berkulit hitam -- berkembang pesat di daerah-daerah pinggiran kota- kota, tempat di mana penduduk asli Afrika (keturunan Eropa) tinggal. Kota Kwamashu terkenal dengan tindak-tindak kekerasan yang terjadi hampir setiap hari sebelum dilangsungkannya pemilihan bersejarah di negara Afrika yang melibatkan setiap ras yang ada di negara tersebut, tepatnya pada tanggal 28 April 1994.
Menyadari resiko yang harus dihadapi karena situasi kekerasan yang ada di Kwamashu, beberapa peristiwa tertentu terus menguatkanku untuk meneruskan pelayanan misi di kota tersebut. Salah satu dari peristiwa-peristiwa tersebut terjadi ketika aku sedang melakukan penginjilan dari rumah ke rumah di sebuah desa di Kwamashu. Pada sebuah rumah yang aku kunjungi, aku menjumpai dua orang pria sedang minum bersama. Kami mulai berbincang-bincang dan aku memperkenalkan diri kepada mereka sebagai pendeta Korea. Nampaknya mereka tertarik dengan pembicaraan tentang gereja dan mereka mulai melontarkan banyak pertanyaan yang berkaitan dengan kekristenan. Untuk menanggapi rasa ingin tahu mereka, aku mulai mensharingkan Injil -- berita keselamatan yang diberikan kepada mereka melalui pengorbanan Yesus Kristus. Selain itu aku juga mensharingkan tentang pentingnya berpartisipasi dalam kehidupan bergereja untuk menguatkan dan menumbuhkan ke kedewasaan mereka dalam iman. Meskipun kedua pria tersebut dalam keadaan benar-benar mabuk, mereka mengundangku untuk datang lagi, sebagai ungkapan kerinduan mereka untuk mengetahui lebih banyak lagi tentang Injil. Setelah menyelesaikan kunjungan di desa tersebut, aku kembali ke gereja untuk mengadakan PA bersama-sama anggota-anggota gereja lainnya. Begitu aku bersiap-siap hendak pulang setelah PA, salah satu dari dua orang pria peminum yang aku kunjungi tadi datang menghampiriku.
"Misionaris Kim," katanya memanggilku, "Apakah anda memiliki waktu luang malam ini?" "Saya ingin anda menceritakan lebih banyak lagi tentang Injil kepada saya dan tunangan saya," lanjutnya menjelaskan. Salah satu anggota gereja yang kebetulan ikut mendengarnya sangat terkejut. Demikian pula aku yang merasa ragu karena Kwamashu bukanlah kota yang aman. Namun demikian, aku terima juga undangan tersebut.
Matahari telah terbenam dan hembusan angin mengantarkan kami memasuki Wilayah "J" di kota Kwamashu -- wilayah yang paling berbahaya di kota Kwamashu. Setelah kami tiba di rumah pria pemabuk itu, dia mulai memperkenalkan anggota keluarganya yaitu ibu, adik, kakak, dan juga tunangannya. "Ini tunangan saya," katanya kepada saya, "Dulu ia biasa pergi ke gereja yang dipimpin oleh misionaris dari Barat. Bahkan waktu dia kecil, dia juga pernah mengikuti Sekolah Minggu. Tetapi sekarang ia tidak mau melakukannya lagi. Tolong sharingkan Injil kepadanya dan bantulah dia untuk memulai kehidupan kristennya lagi." Begitu mendengar permintaan tersebut, sebuah doa terucap dalam hatiku, "Oh Tuhan, Engkau sungguh Allah yang Mahakuasa." Aku benar-benar heran saat melihat bagaimana Allah membuat diriku memiliki keberanian untuk memasuki daerah berbahaya tersebut, sehingga seorang pemabuk dan tunangannya dapat mendengar berita Injil. Aku berdoa memuji Tuhan yang telah mengatur dunia dengan kuasa-Nya.
Sumber: Living Life, Volume 3, Number 12 Judul Artikel: The Drunkard´s Wish