Bruder Henk
BRUDER Henk (59) tiba-tiba memutus pembicaraan dan batal menyuap nasi. Sorot matanya tajam mengikuti gerakan benda mungil tak beraturan di sela-sela pepohonan taman di belakang sebuah rumah di kawasan Jakarta Selatan. "Itu kupu-kupu pendatang di Papua," kata dia menelisik. Bruder kelahiran Heerlen, Belanda, itu selain seorang misionaris juga dikenal sebagai pencinta serangga sejati, khususnya kupu-kupu.
KETAJAMAN matanya mengidentifikasi kupu-kupu sebaran Papua terasah sejak tahun 1974, awal pertama kali tiba di pulau tersebut. Sejak itu, seakan tiada hari tanpa observasi kupu-kupu. Hingga kini, jumlah koleksinya berkisar 40.000 ekor dengan 4.000-an jenis. Semua disimpan di ruangan khusus; gelap dan berpendingin udara. Di sana, deretan lemari berisi ribuan rak berpenutup kaca. Semua ia tangani sendiri. Baru sekitar dua tahun lalu dua dosen dan satu mahasiswa Universitas Cenderawasih (Uncen) membantu komputerisasi data. "Awalnya saya minta kiriman alat pengawet dari ayah," kata bruder yang berayah peminat serangga amatir itu. Minat yang ditularkan sang ayah itulah yang katanya membuat dirinya tak bisa berjauhan dari dunia seputar serangga, khususnya kupu-kupu. Dan, hutan-hutan Papua pun menjadi "laboratorium" alam yang tak habis-habis ia jelajahi. Beberapa seminar pun ia ikuti. Intensitas penjelajahan di pedalaman Papua membuatnya kagum atas pengetahuan masyarakat adat terhadap fenomena alam. Pengetahuan mereka terhadap jenis serangga riang ria (serangga hutan yang berbunyi) ternyata sama persis dengan data ilmiah pakar serangga di Amsterdam, Belanda. Beda penamaan saja. "Mata alam suku-suku Papua sungguh sangat mengagumkan," tutur dia. Kini, ia sangat senang karena menemukan beberapa anak muda yang mencintai ilmu dengan hati, bukan sekadar rutinitas.
PERTEMUAN dengan bruder ramah itu bersamaan dengan peluncuran buku panduan lapangan setebal 126 halaman berjudul Kupu-kupu untuk Wilayah Mamberamo sampai Pegunungan Cyclops, yang ia tulis bersama sarjana lulusan Fakultas Pertanian Uncen yang pernah ia bimbing pengerjaan skripsinya, Edy Michelis Riyanto. Buku dengan sponsor Conservation International Indonesia itu merupakan satu-satunya buku kupu-kupu daerah Papua di Indonesia. Bahkan, dunia. Sebelum menjadi buku, di sela-sela kesibukannya sebagai ekonom Keuskupan Agung Jayapura-kini bruder Henk menjabat sebagai Delegate Keuangan dan Harta Benda-dibantu beberapa dosen dan mahasiswa Jurusan Biologi dan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Uncen, ia keluar masuk hutan untuk observasi lapangan. Itu dilakukan mulai Mamberamo hingga pulau-pulau di pantai Timur, Ubrub, serta di kaki pegunungan Cyclops, Yongshu. Tarekatnya memberinya keleluasaan selama tanggung jawabnya lancar. Tak pelak, hari-hari sibuknya mengurus harta milik umat semakin dipadati observasi, membaca literatur, serta wawancara dengan para ahli serangga dari Inggris, Belanda, Jerman, dan Jepang. Asal tahu saja, identifikasi biologis bukan pekerjaan ringan. Akhirnya, setelah efektif bekerja lima tahun, buku yang didedikasikan bagi mahasiswa, akademisi, peneliti, dan pencinta kupu- kupu itu pun terbit. Bruder Henk puas karena para peminat kupu-kupu dapat memperoleh referensi lebih baik. Gratis lagi. Sebelumnya, para peneliti di lapangan umumnya harus membawa buku tebal dengan berat hingga satu kilogram. Selain berbahasa asing, harga buku-buku itu ada yang mencapai 1.500 euro. "Saya punya, tapi tidak saya kasih pinjam. Maaf ya," kata bruder yang tinggal di biara St Fransiskus, Jayapura, itu sambil tertawa. Meski memuaskan, lemahnya inventarisasi kekayaan keanekaragaman hayati Papua merupakan fakta lain. Khusus kupu-kupu, masih banyak yang belum bernama atau terdata. Beberapa di antaranya terpublikasi dalam skripsi mahasiswa bimbingannya. Bagi bruder Henk, terbitnya buku serupa hanya soal waktu seiring tumbuhnya api semangat meneliti. Sebagai indikator mutu lingkungan, hilangnya satu jenis kupu-kupu pada kurun waktu tertentu di suatu kawasan mengindikasikan terjadinya degradasi lingkungan. Di Inggris, misalnya, kepunahan satu jenis kupu-kupu ternyata disebabkan punahnya satu jenis semut yang menjadi kunci siklus hidup kupu-kupu tersebut. Para petani memusnahkan jenis semut itu karena menganggapnya musuh. "Itu hanya bisa dihindari bila sebelumnya ada informasi detail saling keterkaitan sesama penghuni alam," kata dia.
BRUDER Henk merupakan anak kedua pasangan Eef van Mastrigt, seorang arsitek dan ahli serangga (entomolog) amatir Belanda, dengan An van Doorn. Ia bernama asli Henk van Mastrigt. Ia tiba di Indonesia setelah tamat sekolah di Sekolah Tinggi Ekonomi Rotterdam tahun 1973. Ada dua pilihan pengabdian, Brasil atau Papua. "Keduanya memiliki hutan dan kekayaan alam anugerah Tuhan yang luar biasa," kata bruder yang pernah bercita-cita menjadi polisi hutan itu. Papua menjadi pilihan karena banyak masukan dari rekannya yang pernah bertugas di sana. Keseriusan, kecintaan, dan dedikasi membuat dirinya dipercaya membimbing skripsi mahasiswa Uncen sejak tahun 1996. Dan, makin intensif empat tahun kemudian. Rencananya, tahun ini ia akan melepaskan jabatannya di keuskupan dan berkonsentrasi membimbing dosen serta mahasiswa. Bila di keuskupan ia memiliki kader, di bidang penelitian kupu-kupu ia mengaku belum menemukan kader yang siap menggantikannya. "Kegiatan meneliti kupu- kupu merupakan salah satu alasan kenapa saya masih bertahan di Papua," kata dia. Ia menerima tawaran membimbing dengan syarat tidak hanya sebatas mendampingi penelitian di Jayapura. Semua mahasiswa yang ingin ia bimbing pun harus berpengalaman dua tahun meneliti di lapangan. Alasannya, menghindari kesamaan obyek penelitian. Ia menghindari meneliti sesuatu yang pernah diteliti. Bersama besarnya minat meneliti kupu-kupu dan serangga lain, hatinya gundah melihat langsung eksploitasi kekayaan alam Papua habis- habisan. Kegundahan hatinya ia tunjukkan ketika menutup pidato dalam peluncuran bukunya. Di sana ia berujar, "Syukur dan pujian kepada Tuhan semoga nyata dalam memelihara alam." Amin
Sumber: Kompas