Desember 1902
Penulis : Esther Ueberall
Hari ini hari Jumat, hari pertama kami membuka usaha kami. Dengan berseri-seri, saya (17 tahun, pengantin baru) berdiri di sebelah suami saya Solomon, di dalam toko kami yang bernama UEBERALL 3-9-19 Sen. Terletak di Brooklyn, Amerika Serikat, toko ini menjual barang-barang dengan harga pas, senilai 3, 9 atau 19 sen. Tamu pertama kami melangkah masuk. Belia u seorang Pastor Katolik muda usia, dari sebuah gereja (Katolik) kecil, namanya Pastor Caruana. Beliau berbelanja sedikit, dan mukanya gelap, semuram warna jubahnya. "Mengapa sedih Bapa?" suami saya bertanya. Pastor Katolik biasa disapa dengan sebutan Father/Bapa, Solomon tergolong orang yang sangat mudah "jatuh hati".
Pastor tersebut berbicara pelan, seolah menerawang menjawab, "Gereja kami harus ditutup...." "Mengapa?" bagi suami saya, agama adalah penyembahan dari menit ke menit. Kami menjalankan semua ritual agama kami. Keluarga Ueberall, sebagaimana sebagian besar orang-orang Yahudi, beragama Yahudi. Mereka menyembah Allah Yehovah yaitu Allah Abraham, Ishak & Yakub, dan mematuhi hukum Taurat Musa. Mereka bukan beragama Kristen Katolik. Bukan demi ritus itu semata-mata, namun kepatuhan kami kepada Allah. Pastor tersebut menjelaskan bahwa Beliau membutuhkan $500, untuk Senin mendatang. Jemaatnya miskin, dan tidak mungkin memenuhi tuntutan $500 itu. Gereja pusatnya tidak dapat membantu, dan rasanya tidak ada jalan keluar.
Suami saya mendengarkan dengan cermat, dan tangannya meremas-remas jemari saya. Saya merasakan perasaan hatinya yang terdalam.
Kami berdua ad alah orang-orang Yahudi, pindah dari Austria (suami saya) dan saya dari Rusia. Kami mencari kehidupan yang lebih aman dan baik di Amerika. Di Eropa, keadaannya kurang begitu baik untuk bangsa kami. "Tidak! tidak boleh terjadi...." Solomon menggerutu. Ia berpikir keras, dan kemudian berkata: "Jangan kawatir Bapa, kita usahakan uang itu...." Saya melotot ke arah Solomon. Nggak salah? Lima dollar saja tidak kami miliki saat ini. Pastor Caruana juga melotot memandangi suami saya. Kemudian dengan wajah tidak percaya, Beliau meninggalkan kami. Solomon menatap saya. "Esther, kita memiliki begitu banyak hadiah pernikahan. Kita gadaikan itu semua. Suatu saat kita tebus itu semua kembali, namun sekarang kita cari 500 dollar...." Solomon melepaskan jam emas beserta rant ainya yang merupakan hadiah dari ayah saya. Ia melihat kepada cincin kawin saya. Terpaksa saya buka perlahan dan menyerahkan kepadanya.
MASIH KURANG BANYAK
Solomon kembali petang itu dengan wajah kurang cerah. Ia hanya berhasil mendapatkan $250. Pada saat makan malam ia menjadi riang kembali dan berseri-seri berkata: "Saya tahu, kita pinjam! Keluarga kita besar dan kompak bukan?" Dan sepanjang hari minggu i tu, Solomon pergi mengunjungi para paman, ipar, sepupu, dan kawan kawan yang pernah ia tolong. Beberapa dengan simpatik langsung menolong. Beberapa berkeras hati. Solomon memohon-mohon, ia mengemis-ngemis, ia menghimbau, ia membangkit-bangkit, akhirnya terkumpul lagi sebesar $250.-. Sejak saat itu, tiap hari Senin, Pastor Caruana merupakan pengunjung toko kami yang paling pagi. Beliau senantiasa membawa sebuah dompet kulit, dan membayar sebagian demi sebagian. Uang tersebut adalah hasil kolekte jemaatnya. Persahabatan kami meningkat. Kemudian seluruh hutangnya terbayar lunas....
BERKAT MELIMPAH
Cincin kawin saya telah berhasil ditebus, dan semua barang-barang yang kami gadaikan kembali dengan selamat. Keberuntungan senantiasa mewarnai toko kami, dan berkat bagaikan luber tercurah. Tak lama sesudah itu kami mengganti nama toko menjadi TOKO SERBA ADA UEBERALL. Demikianpun dengan jemaat Pastor Caruana. Dengan pelan namun pasti, jemaat itu makin kuat dan makin besar. Mereka bahkan bisa membangun gereja yang lebih kokoh dan bagus, dengan nama Santa Lucia. Tahun 1919 Pastor Caruana dipanggil pulang ke Roma, dan perpisahannya dengan Solomon lebih merupakan perpisahan dua saudara kandung.
TAHUN - TAHUN KEMUDIAN
Solomon secara tiba tiba dipanggil Allah pulang, meninggalkan saya dan dua anak anak. Pukulan keras ini berdampak dua tahun. Saya kemudian bekerja sendiri, dan melatih putera saya mengambil alih usaha. Secara pelan-pelan, ingatan akan Pastor Caruana menghilang dari pikiran saya. Perang dunia II meletus, dan Hitler menderap masuk Austria. Kesulitan besar terjadi di sana, dan kami menerima surat-surat permohonan dari saudara serta kerabat Solomon, yang ingin disponsori untuk pindah ke Amerika. Tanpa kepindahan ini, kamp-kamp konsentrasi dan maut menanti mereka. Saya berusaha keras menolong. Namun pemerintah Amerika kemudian menutup kemungkinan migrasi dengan memberlakukan sebuah kuota. Surat-surat permintaan terus masuk. Tiap menerima sebuah, terasa satu tikaman di ulu hati saya. Saya akan bersandar di dinding dan menangis: "Oh Solomon, kalau saja engkau masih hidup...."
Akhirnya saya menghubungi Departemen Perburuhan di Washington, dan mereka menyarankan agar saya membiayai para pelarian masuk Cuba. (Saat itu Cuba masih bersahabat dgn Amerika Serikat). Syaratnya, harus ada tokoh kuat di Cuba yang bisa mensponsori, dan menjamin akan kelangsungan hidup di sana. Siapa? Saya tak kenal seorang pun di Cuba. Terbersit sebuah ilham. Cuba negara Katholik, mungkin gereja Santa Lucia bisa menolong. Seorang Pastor muda langsung mengirim kawat (telex) kepada pimpinan Gereja Katholik di Havana memberi kabar kedatangan saya.
HAVANA INTERNATIONAL AIRPORT, CUBA, 2 HARI KEMUDIAN...
Turun dari pesawat terbang, udara hangat menerpawajah. Seorang anak laki-laki kecil berlari-lari menemui saya di tangga pesawat dengan sebuah buket kembang mawar. Saya mencium pipi anak kecil ini, terheran heran akan penyambutan VIP macam ini. Pelan pelan saya melihat sepasang sepatu coklat di sisi anak itu. Mata saya naik ke atas, terpandang sebuah gaun beludru berwarna merah darah dengan rumbai-rumbai kuning. Mata saya terangkat lagi ke atas, dan melihat langsung kepada sepasang mata ramah, berkeriput, yang memandang dalam-dalam, dengan riak-riak gelombang hangat di dalamnya. Orang itu tersenyum kepada saya. Saya memusatkan perhatian. Tangannya terulur kepada saya, dan berkata pelan: "Esther Ueberall... tidak ingatkah kau pada saya?" Pastor Caruana!! Saya berenang dalam air mata....Di dalam mobil menuju pusat kota, Pastor Caruana bercerita bagaimana Beliau kemudian ditugaskan Roma di Cuba, dan menjadi Bishop Kepala (Uskup Agung?) di sana.
Dengan pertolongannya, dua lusin keluarga kami melarikan diri dari cengkeraman Hitler, dan tiba di Cuba. Mereka menantikan dibukanya kuota imigrasi Amerika, dan tidak diperkenankan bekerja. Namun, gereja Katolik Cuba melindungi mereka, memberi makanan, pakaian, sayur mayur segar dari kebun-kebun sendiri, daging, dan enam bulan kemudian mereka telah aman di Amerika.
KEMBALI KE AMERIKA SERIKAT
Sejak saat itu, saya dan Pastor Caruana berkirim-kiriman surat. Beliau kemudiah jatuh sakit dan dirawat di kota Philadelphia, Amerika Serikat. Beberapa kali saya menyempatkan diri menengok, dan dalam tiap doa.... saya selalu ingat keadaan beliau.
Suatu hari, sebuah surat tiba di meja kerja saya, dari pimpinan Gereja Katolik Philadelphia, dan isinya mengatakan bahwa keadaan Pastor Caruana sangat gawat.
Beliau tidak ingin ditemui oleh siapapun, namun terus menerus memanggil-manggil nama saya. 3 jam kemudian saya telah tiba di sana, dan duduk dengan diam di sisi tempat tidurnya. Beliau tampak kurus, lemah, dan tidak berdaya...
"Esther....", katanya memegang tangan saya. Kami berdiam diri disana, saling memand ang. Saya tahu, bahwa Beliau sebentar lagi akan "berangkat".
Kemudian Beliau berkata: "Esther, jaga diri baik-baik, saya selalu berdoa untukmu dan untuk keluargamu" Kemudian, dengan banyak kesulitan, Beliau mengeluarkan dari bawah bantalnya sesuatu yang diletakkan dalam genggaman tangan saya. Beliau memberikan kepada saya sebuah bros perak yang selalu dikenakannya.
Air mata yang panas membanjiri saya, dan sambil memegang tangannya erat-erat. Pergilah dengan tenang Bapa, KENANGAN akan engkau sangat MANIS di dalam hati saya. Lambang dari suatu hubungan yang manis, dari sekian banyak perbedaan-perbedaan umat manusia, namun...saling berbuat baik, karena kenal DIA!! Ini adalah terjemahan bahasa Indonesia, riwayat kehidupan Esther Ueberall ini, dimuat dua kali dalam majalah Guideposts, Februari 1974 dan Mei 1987.
Pesan dari PHW : " Di tengah ketidakadilan yang semakin sering umat Kristen alami di negeri ini, marilah kita menyingkirkan semua perbedaan kita dan saling membantu satu sama lain sebagai umat yang mengenal Allah...."