Bikin Diri Israel Padahal Halmahera
Oleh: Sefnat Hontong
Bacaan: Efesus 2:11-22
Saya rasa kita pasti bangga kalau disebut sebagai Umat Allah! Sebab dengan berstatus sebagai umat Allah, maka segala hak istimewa sebagai umat Allah (sebagaimana yang disaksikan dalam kitab Suci) akan kita peroleh dan nikmati dalam hidup kita, baik sekarang maupun di akhirat. Namun sampai kini saya masih punya sebuah pertanyaan yang belum terjawab, yakni: siapakah dia yang layak disebut atau bergelar sebagai umat Allah? Apakah seluruh umat manusia adalah sekaligus umat Allah? Ataukah hanya sebagian dari umat manusia adalah umat Allah (50% umat Allah, 50% bukan)? Kalau hanya sebagian saja (50%) yang akan disebut atau menjadi umat Allah, maka umat manusia yang mana? Apakah yang berkulit putih? hitam? kuning? sawo matang? Ataukah yang beragama Kristen dan Islam? Atau jangan-jangan hanya yang beragama Hindu, Budha, dan Konfuchu?
Pada jaman purba, penggolongan siapa umat Allah dan siapa yang bukan umat Allah sangat ditentukan oleh apakah ia telah menjadi bagian dari bangsa Israel atau tidak/belum. Siapa saja entah yang berkulit putih, hitam, kuning, sawo matang tetapi kalau bersedia menjadi bagian dari bangsa Israel, otomatis akan disebut dan bergelar sebagai umat Allah. Di luar itu adalah bukan umat Allah. Kalau sudah di cap sebagai bukan umat Allah, maka konsekuensinya adalah dibinasakan atau ditaklukkan oleh Israel. Jadi siap menunggu gempuran Israel.
Realitas seperti itu banyak kita baca dalam kesaksian Alkitab Perjanjian Lama. Misalnya kisah penumpasan kota Yerikho dan kota Ai yang dipimpin oleh Yosua (dalam Yosua pasal 6:1-27 dan 8:1-29). Di mana kita tahu dalam kedua kisah itu tidak seorangpun yang selamat, selain Rahab dan orang-orangnya serta raja Ai. Juga kisah Nabi Yunus ketika diutus ke kota Niniwe (Yunus 1) untuk menyampaikan berita pertobatan. Yunus tidak mau dan malah melarikan diri ke Tarsis, sebab pikirnya apa gunanya pergi ke Niniwe yang adalah bukan umat Allah?
Bagaimana kondisinya pada jaman Yesus dan Paulus? Saya kira tolok ukur yang dikenal sejak jaman Perjanjian Lama itu masih berlaku. Dalam ke-empat kitab Injil, kita banyak membaca kisah dimana Yesus bertentangan dengan para pemimpin Israel disebabkan oleh masalah sah atau tidaknya ajaran Yesus; yang dalam banyak hal bertentangan dengan undang-undang bangsa Israel (Hukum Taurat). Misalnya kisah penyembuhan orang sakit dan kisah memetik gandum pada hari Sabat, dll. Lalu apa komentar Yesus? Memang Yesus dalam pelayananNya pernah berpikir tertutup dan hanya mengutamakan identitas Israel, seperti yang Ia katakan kepada seorang perempuan dari Siro Fenesia/Kanaan dalam Matius 15:24 “Aku diutus hanya kepada domba-domba yang hilang dari umat Israel”. Tetapi sesudah kisah dengan perempuan Siro Fenesia/Kanaan ini, orientasi pelayanan dan pikiran Yesus-pun berubah dan terbuka kepada siapa saja, tanpa pandang buluh. Sehingga Ia pernah berkata dalam Matius 7:21 “Bukan setiap orang yang berseru kepadaKu: Tuhan! Tuhan! (yang) akan masuk ke dalam kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak BapaKu yang di Sorga (yang akan masuk ke dalam kerajaan Sorga)”.
Yang bisa melakukan kehendak Bapa di Sorga itu pasti tidak ada batasnya, alias siapa saja bisa. Jadi kalau seseorang entah dari suku, agama, bahasa, ras, apapun bisa melakukan kehendak Bapa, otomatis dialah yang berhak masuk dalam kerajaan Sorga atau menjadi umat Allah. Bahkan dalam Matius 3:9-10 Yesus berkata: “Dan jangalah mengira, bahwa kamu dapat berkata dalam hatimu: Abraham adalah bapa kami! Karena aku berkata kepadamu: Allah dapat menjadikan anak-anak bagi Abraham dari batu-batu ini! Kapak sudah tersedia pada akar pohon dan setiap pohon yang tidak menghasilkan buah yang baik, pasti ditebang dan dibuang ke dalam api.” Artinya menurut Yesus ukuran untuk menjadi umat Allah, bukan ditentukan karena hanya dengan menjadi keturunan Abraham atau bukan, tetapi siapa saja yang dapat melakukan kehendak Bapa atau yang telah menghasilkan buah yang baik dalam hidupnya, layak menjadi umat Allah.
Saya kira, rasul Paulus dalam beberapa tulisannya juga mengembangkan dan menegaskan apa yang diajarkan oleh Yesus tentang siapa umat Allah itu. Hal mana jelas dalam teks Efesus 2:11-22. Memang harus kita katakan bahwa pandangan Paulus dalam teks ini sangat Kristosentris, artinya sangat berpusat kepada Kristus. Hal seperti ini bukanlah sesuatu yang salah. Bahwa Kristus adalah pusat dari seluruh karya Allah untuk menyelamatkan dunia ini adalah sesuatu yang Alkitabia. Asal saja kita tidak bersikap Kristensentris (bahwa seluruh karya Allah hanya berpusat kepada yang Kristen) dan menutup karya Kristus hanya kepada orang Kristen. Sambil menganggap orang lain yang bukan Kristen sebagai orang yang tidak termasuk dalam karya Kristus. Menurut Paulus, semua orang tanpa pandang identitasnya, alias tidak ada lagi pendatang dan orang asing, melainkan (semua) telah menjadi kawan sewarga dari orang-orang kudus dan anggota-anggota keluarga Allah, yang dibangun di atas dasar para rasul dan para nabi, dengan Yesus Kristus sebagai batu penjuru (ayat 19-20). Entah yang sunat atau tidak, entah yang Yahudi atau bukan, entah yang merasa diri ‘dekat’ atau yang dianggap ‘jauh’, semuanya telah dipersatukan dan diperdamaikan oleh Allah di dalam karya Kristus di kayu Salib (ayat 11-14). Bahkan sama-sama telah memperoleh jalan masuk kepada Bapa (ayat 18). Tidak ada yang kelas satu, kelas dua, atau kelas tiga, tetapi semua telah menjadi satu dalam manusia baru atas nama Kristus (ayat 15).
Tetapi dalam realitas beriman orang Kristen, tolok ukur yang ada sejak jaman purba tadi masih saja mendominasi pikiran dan pelayanan gereja, bahkan dalam tulisan serta khotbah-khotbah gereja. Kita lupa bahwa karya Allah dalam diri Kristus adalah karya untuk semua dan karya untuk seisi dunia ini. Kita sering membuat karya Allah menjadi sempit seolah-olah berlaku hanya untuk orang yang beragama Kristen, sambil menganggap orang yang bukan Kristen adalah orang-orang yang layak dibinasakan atau ditaklukkan oleh Allah atau oleh kita. Contoh paling jelas adalah ketika terjadi bencana alam di beberapa daerah yang mayoritas penduduknya beragama Islam di Indonesia, seperti di Aceh, Padang Pariaman, Situ Bondo dan beberapa daerah lain. Atas dasar karena populasi kependudukan mereka yang ditimpa bencana itu adalah orang-orang yang beragama Islam, kita (sebagai orang Kristen) lalu berkesimpulan bahwa bencana alam itu terjadi sebagai sebuah hukuman Tuhan kepada orang-orang yang bukan umat Allah.
Sikap seperti itulah yang saya sebut dengan ‘bikin diri Israel, padahal cuma orang Halmahera’. Artinya kita terlalu sering bersikap seperti orang Israel yang menganggap diri sebagai umat Allah dan menganggap orang lain yang bukan Kristen adalah bukan umat Allah. Menurut kita, mereka yang bukan Kristen adalah orang-orang yang wajar ditimpa kesulitan dan kebinasaan, seperti bencana alam dan hal-hal yang serupa dengan itu. Pertanyaan saya ialah: bagaimana jika hal yang serupa itu tiba-tiba menimpa hidup kita, seperti: peristiwa konflik kekerasan yang terjadi pada tahun 1999 dan 2000 yang lalu? Maka orang lain akan mengatakan kepada kita pernyataan yang sama ‘itu adalah hukuman Tuhan kepada orang-orang yang bukan umat Allah’. Apakah kita setuju? Pasti kita marah besar, karena memang kita selalu ‘bikin diri seperti Israel’.
Situs penulis: http://sefnathontong.blogspot.com/