Analisis Teologis Terhadap Ajaran Bahasa Lidah Sebagai Bukti Fisik Baptisan Roh Kudus

Oleh: Pdt. Samuel T. Gunawan, M.Th

Berikut ini adalah bagian atau ayat-ayat Alkitab yang dijadikan dasar pengajaran Pentakostlisme bahwa bahasa roh sebagai bukti fisik dari baptisan Roh Kudus.

Ayat-ayat yang dijadikan dasar ajaran Pentakostalisme bahwa bahasa roh sebagai tanda atau bukti fisik dari baptisan Roh Kudus dapat dikelompokkan ke dalam tiga bagian: yaitu: (1) Berdasarkan peristiwa-peristiwa yang terjadi di empat tempat (Yerusalem, Samaria, Kaisarea, dan Efesus. Ini dapat disebut dengan “parhamisme” atau teori Parham, berasal dari nama Charles Fox Parham; (2) Berdasarkan pengalaman Rasul Paulus dalam Kisah Para Rasul 9:17 yang dihubungkan dengan pernyataannya dalam 1 Korintus 14:18; (3) Berdasarkan perkataan Tuhan Yesus dalam Markus 16:17.



Pertama, analisis teologis teori Parhamisme. Menyatakan bahwa bahasa lidah merupakan bukti fisik dari baptisan Roh kudus adalah sebuah kesimpulan sebenarnya tidak tepat, didasarkan peristiwa-peristiwa yang hanya disebutkan di empat bagian ayat dalam Kisah Para Rasul saja.

Berikut ini fakta-fakta yang menunjukkan bahwa bahasa lidah bukanlah bukti fisik baptisan Roh:

(1) Dari empat peristiwa baptisan Roh dalam Kisah Para Rasul tersebut, ditemukan empat respon yang berbeda: Pada peristiwa Pentakosta di Yerusalem terjadi manifestasi bahasa asing (15 macam bahasa); Pada peristiwa di Samaria tidak terjadi manifestasi apa-apa; Pada peristiwa di rumah Kornelius terjadi manifestasi bahasa roh; dan pada peristiwa di Efesus terjadi manifestasi bahasa roh dan nubuat. Berdasarkan perbedaan respon tersebut tidaklah logis menyimpulkan bahwa bahwa bahasa lidah merupakan bukti fisik dari baptisan Roh kudus, memaksa kesimpulan demikian merupakan bentuk ketidakkonsistenan. Lagi pula menjadikan sedikit ayat (hanya 4 ayat) ini sebagai sampel untuk peristiwa besar yang melibatkan banyak orang adalah kesalahan logika (logical fallacy) yang disebut dengan istilah “generalisasi terburu-buru”. [2]

(2) Dalam peristiwa baptisan Roh tersebut terjadi kepenuhan Roh Kudus yang mengakibatkan terjadinya manifestasi “bahasa asing” (Kisah Para Rasul 2:4), “bahasa roh dan memuliakan Allah” (Kisah Para Rasul 10:44-46), “bahasa roh dan nubuat” (Kisah Para Rasul 19:6). Sedangkan pada peristiwa di Samaria tidak ada manisfestasi apapun pada saat peristiwa baptisan Roh Kudus. Mengapa? Jawaban yang paling memuaskan ialah karena pada peristiwa baptisan Roh di samaria tersebut tidak terjadi kepenuhan Roh Kudus. Jadi kepenuhan Roh Kuduslah yang menyebabkan terjadinya manisfestasi “bahasa roh, nubuat, dan bahasa asing” dalam ketiga peristiwa baptisan Roh tersebut.

Kedua, analisis teologis Kisah Para Rasul 9:17. Pentakostalisme menjelaskan bahwa Paulus menerima baptisan Roh tiga hari setelah pertobatannya di tengah jalan ke Damsyik (Kisah Para Rasul 9:17) dan berbahasa Roh akibat dari Baptisan Roh tersebut yang terjadi setelah ditumpangi tangan oleh Ananias, yang dihubungkan dengan pernyatan Paulus dalam 1 Korintus 14:18. Berikut ini argumentasi yang menolak pandapat tersebut:

(1) Penumpangan tangan yang dilakukan oleh Ananias ke atas Saulus bukan merupakan baptisan Roh, melainkan pemenuhan dengan Roh Kudus atau pengurapan. Sebab Saulus sudah menerima Roh Kudus pada saat kelahiran baru di tengah jalan ke Damsyik, sesuai Kisah Para Rasul 2:38, namun belum dipenuhi (diurapi) oleh Roh Kudus sesuai dengan Efesus 5:18.

(2) Penumpangan tangan yang dilakukan Ananias pada Saulus adalah cara Tuhan untuk menyembuhkan penglihatan Saulus (ayat 12, 17) dan untuk kepenuhan Roh atau pengurapan Paulus yang dipanggil ke dalam pelayanan, kepada Ananias Tuhan berkata “sebab orang ini adalah alat pilihan bagi-Ku untuk memberitakan nama-Ku kepada bangsa-bangsa lain serta raja-raja dan orang-orang Israel. Aku sendiri akan menunjukkan kepadanya, betapa banyak penderitaan yang harus ia tanggung oleh karena nama-Ku” (Kisah Para Rasul 9:15-16).

(3) Tidak disebutkan bahwa Paulus berkata-kata dalam bahasa roh pada peristiwa dimana Ananias meletakkan tangan ke atasnya. Memang kemudian hari dalam1 Korintus 14:18 Paulus menyatakan bahwa ia berbahasa roh, tetapi menyimpulkan bahwa peristiwa itu terjadi pada saat Ananias meletakkan tangan ke atasnya, merupakan anggapan yang tidak didukung bukti-bukti yang cukup.

Kedua, analisis teologis Markus 16:17. Menurut ajaran Pentakostalisme, frase “berbicara dalam bahasa-bahasa yang baru bagi mereka” dalam ayat itu, diartikan sebagai janji Tuhan Yesus akan adanya bahasa Roh. Di sini perlu ditegaskan bahwa:

(1) Interpretasi ayat ini harus sesuai konteks yang berbicara tentang pekabaran Injil keseluruh bumi. Dalam dunia penginjilan lazim terjadi hal-hal seperti: utusan injil mengusir roh-roh jahat, memegang ular berbisa, dan menggunakan bahasa-bahasa pribumi dari suku-suku yang diinjili. Pemakaian bahasa-bahasa pribumi dari suku-suku yang diinjili pasti akan merupakan “bahasa-bahasa yang baru” bagi mereka. Oleh karena itu, istilah “bahasa-bahasa baru” dalam ayat di atas tidak mesti menunjuk pada “bahasa Roh”.

(2) Kita yakin bahwa ayat-ayat firman Allah dalam Alkitab, memang menunjuk adanya bahasa roh. Eksistensi dari bahasa Roh adalah pasti karena Alkitab yang mengatakannya. Namun, harus dipertanyakan dengan hati-hati: bahasa roh dengan “status” mana yang dimaksud oleh Alkitab? Apakah status “bahasa roh” yang diperoleh melalui usaha manusia atau status bahasa Roh yang dikaruniakan oleh Allah?

Footnote:
[1] Pencetus “teori” bahasa roh sebagai bukti fisik baptisan Roh ini adalah Charles Fox Parham, rektor Sekolah Alkitab di Topeka, negara bagian Kansas. Pandangan Parham ini pada umumnya diikuti para penganut Pentakostalisme sebagai dasar untuk menunjukkan bahasa lidah sebagai tanda atau bukti fisik baptisan Roh Kudus, yaitu: (1) Peristiwa Pentakosta di Yerusalem dalam Kisah Para Rasul 2:4; (2) Peristiwa di Samaria dalam Kisah Para Rasul 8:14-17; (3) Peristiwa di rumah Kornelius di Kaisaria dalam Kisah Para Rasul 10:46; (4) Peristiwa di Efesus dalam Kisah Para Rasul 19:6).
[2] Generalisasi adalah suatu kesimpulan atau pernyataan umum terhadap orang atau sesuatu berdasarkan sampel. Generalisasi terburu-buru adalah adalah kesalahan logika yang dilakukan saat mengambil kesimpulan atau membuat pernyataan berdasarkan: (1) sampel yang sedikit dan atau kecil dan (2) bukan sampel yang mewakili.