Prinsip-Prinsip Ideal (Absolut) Bagi Pernikahan KristenPRINSIP-PRINSIP IDEAL (ABSOLUT) BAGI PERNIKAHAN KRISTEN

Oleh: Pdt. Samuel T. Gunawan, SE M.Th

Khotbah Ibadah Raya GBAP El Shaddai Palangka Raya
Minggu, 04 Agustus 2013

“Jawab Yesus: "Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang menciptakan manusia sejak semula menjadikan
mereka laki-laki dan perempuan? Dan firman-Nya: Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia”
(Matius 19:4-6)

“Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya.
Sebab persamaan apakah terdapat antara kebenaran dan kedurhakaan? Atau bagaimanakah
terang dapat bersatu dengan gelap”
(2 Korintus 6:14)


PENDAHULUAN

Pernikahan merupakan ide Tuhan untuk mempersatukan seorang pria dan wanita. Pernikahan adalah suatu lembaga yang ditetapkan Allah bagi manusia sesuai dengan kebutuhannya. Perhatikan Frase dalam “Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia” (Kejadian 2:18). Saat laki-laki (ha adam) “seorang diri saja” maka Allah menyatakan bahwa keadaan ini “tidak baik”. Jadi Allah memutuskan untuk menciptakan “ezer kenegdo” atau “seorang penolong”. Kata Ibrani “ezer” yang diterjemahkan dengan “penolong” berarti “sesuai dengan” atau “sama dengan”. Jadi secara harfiah “seorang penolong” berarti “penolong yang sepadan atau seorang yang sepadan dengannya”. Dengan demikian jelaslah bahwa Allah sendiri yang menetapkan lembaga Pernikahan dan memberkatinya (Baca Kejadian 1:28).

Pernikahan adalah hal mulia, yang dikaruniakan Tuhan, sejak manusia belum jatuh ke dalam dosa. Kejadian 1:28 mencatat bagaimana Tuhan memberkati Adam dan Hawa sebelum mereka diperintahkan untuk beranak cucu. Karena itu, pernikahan harus ditempuh dengan rukun, sehati, setujuan, penuh kasih sayang, percaya seorang akan yang lain, dan bersandar kepada kasih karunia Tuhan. Pernikahan tidak boleh ditempuh atau dimasuki dengan sembarangan, dirusak oleh karena kurang bijaksana, dinista atau dinajiskan; melainkan hendaklah hal itu dihormati dan dijunjung tinggi dengan takut akan Tuhan serta mengingat maksud Allah dalam pernikahan itu.

Kita seharusnya prihatin dengan tingginya angka perceraian seperti dilansir REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA yang menuliskan, “Angka perceraian pasangan di Indonesia terus meningkat drastis. Badan Urusan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung (MA) mencatat selama periode 2005 hingga 2010 terjadi peningkatan perceraian hingga 70 persen. Dirjen Badilag MA, Wahyu Widiana, mengatakan tingkat perceraian sejak 2005 terus meningkat di atas 10 persen setiap tahunnya. Data jumlah perceraian tahun 2011 belum bisa dipastikan sebab masih menunggu proses rekapitulasi dari 33 pengadilan tinggi agama se-Indonesia. Meski begitu, pihaknya tidak menyangkal terjadi kenaikan perceraian di atas 10 persen dibanding angka tahun 2010. “Perceraian naiknya terus-terusan, begitu juga pada 2011,” ujar Wahyu kepada Republika, Selasa (24/1). Pada tahun 2010, terjadi 285.184 perceraian di seluruh Indonesia. Penyebab pisahnya pasangan jika diurutkan tiga besar paling banyak akibat faktor ketidakharmonisan sebanyak 91.841 perkara, tidak ada tanggungjawab 78.407 perkara, dan masalah ekonomi 67.891 perkara. Sedangkan tahun sebelumnya, tingkat perceraian nasional masih di angka 216.286 perkara. Angka faktor penyebabnya terdiri atas ketidakharmonisan 72.274 perkara, tidak ada tanggungjawab 61.128 perkara, dan faktor ekonomi 43.309 perkara”.

Tingginya angka perceraian di atas membuat kita bertanya, mengapa begitu banyak pasangan suami-isteri yang mengakhiri hubungan mereka dengan perceraian? Karena itu memahami prinsip-prisip ideal tentang pernikahan seperti yang dirancang dan ditetapkan Allah sangatlah penting bagi kelanggengan hubungan pernikahan. Karena itu kita akan memperhatikan pengajaran Tuhan Yesus mengenai pernikahan dalam Matius 19:4-10 dan pasal-pasal pararel lainnya. Tetapi, pertama-tama kita akan melihat definisi Pernikahan dan kemudian memperhatikan prinsip-prisip ideal dari pernikahan itu. Pernikahan dapat didefisinisikan sebagai berikut: “pernikahan merupakan hubungan eksklusif antara satu laki-laki dan satu perempuan, dimana keduanya menjadi “satu daging”, disatukan secara fisik, emosional, intelektual, dan spiritual; dijamin melalui sumpah sakral dan ikatan perjanjian serta dimaksudkan untuk seumur hidup”. Definisi ini didasarkan pada pernyataan Alkitab dalam Kejadian 1:24; Matius 19:5; Markus 10:7; Efesus 5:31.

TUJUH PRINSIP IDEAL (ABSOLUT) BAGI PERNIKAHAN KRISTEN

Walau pun dalam hal jodoh, manusia diberi kebebasan untuk memilih, tetapi semuanya itu berada dalam atau sesuai dengan ketetapan Tuhan yang permisif (mengijinkan). Tuhan telah memberikan prinsip-prinsip ideal (absolut) dalam memilih pasangan hidup dan membangun sebuah keluarga yang harmonis dan bahagia. Siapapun orangnya, apabila sungguh-sungguh menaati prinsip-prinsip firman Tuhan tersebut, keluarganya akan bahagia. Kebahagiaan pernikahan tidak bergantung kepada “teologi takdir” ataupun “teologi kebebasan” dalam memilih jodoh, tetapi pada ketaatan terhadap prinsip-prinsip yang ditentukan Tuhan sebagaimana yang tertulis di dalam Alkitab. Prinsip-prinsip absolut yang dimaksud bagi pernikahan Kristen adalah sebagai berikut :

Prinsip 1: Pernikahan Harus Bersifat Monogami.

Pernikahan, khususnya pernikahan Kristen itu bersifat monogami. Dalam Kejadian 1:27 dikatakan “Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki (ish) dan perempuan (ishsha) diciptakan-Nya mereka”. Kristus menegaskan kembali hal ini dalam Matius 19:4, dikatakan, “Jawab Yesus: “Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang menciptakan manusia (antrophos) sejak semula (ap’arches) menjadikan mereka laki-laki (aner) dan perempuan (gyne)?”. Kata Yunani “ap’arches” atau “sejak semula” yang disebutkan Yesus dalam Matius 19:4, pastilah merujuk pada Kejadian Pasal 2, karena kalimat selanjutnya “Dan firman-Nya: Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging”, yang diucapkan Yesus dalam ayat 5 adalah kutipan dari Kejadian 2:24. Jadi, pernikahan Alkitabiah adalah antara seorang pria biologis dengan seorangan wanita biologis. Karena itu, pernikahan dengan sesama jenis (homosexual) atau pun pernikahan dengan hewan bukanlah pernikahan, melainkan penyimpangan dari ketetapan Tuhan.

Karakteristik paling mendasar dari pernikahan adalah bahwa pernikahan merupakan satu kesatuan antara seorang pria dan seorang wanita. Rasul Paulus berkata “baiklah setiap laki-laki (bentuk tunggal) mempunyai isterinya sendiri (bentuk tunggal) dan setiap perempuan mempunyai suaminya sendiri” (1 Korintus 7:2). Monogami bukan hanya ajaran Perjanjian Baru, tetapi merupakan ajaran Perjanjian Lama. Monogami adalah rancangan Tuhan “sejak semula”, yaitu ketika Allah menciptakan satu laki-laki (Adam) dan memberi dia hanya satu istri (Hawa). Fakta bahwa Allah mengijinkan poligami dalam Perjanjian Lama tidaklah membuktikan bahwa Dia memerintahkannya. Poligami, sebagaimana perceraian bukanlah ideal (rancangan) Allah. Poligami adalah konsensi bukan konstitusi; diijinkan bukan diperintahkan. Hal ini terjadi karena ketegaran (kekerasan) hati, tetapi sejak semula tidaklah demikian (Matius 19:8).

Prinsip 2: Pernikahan Harus Antara yang Seiman

Rasul Paulus menasehati, “Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya. Sebab persamaan apakah terdapat antara kebenaran dan kedurhakaan? Atau bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap? Persamaan apakah yang terdapat antara Kristus dan Belial? Apakah bagian bersama orang-orang percaya dengan orang-orang tak percaya?” (2 Korintus 6: 14-15). Ketika Rasul Paulus menuliskan kata-kata tersebut, ia memang tidak secara khusus berbicara tentang pernikahan, tetapi prinsip yang terkandung di dalamnya tepat dan dapat diterapkan dalam hal pernikahan. Seseorang yang menaruh imannya dalam Kristus sudah dilahirkan kembali (Yohanes 3:3-16), dan “siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru” (2 Korintus 5: 17). Perubahan yang demikian mendasar dalam kehidupan rohani kita seharusnya berdampak sangat kuat terhadap prioritas, tujuan, gaya hidup dan hubungan antar pribadi kita, termasuk dalam hal memilih pasangan hidup.

Meskipun Rasul Paulus dan Petrus membicarakan kemungkinan memenangkan pasangan yang tidak seiman sehingga percaya pada Tuhan, lebih baik menganggap hal tersebut sebagai kekecualiaan dan bukan medus (1 Korintus 7:12-16; 1 Petrus 3:1-2). Tidaklah bijak untuk memutuskan menikah dengan seseorang yang tidak seiman, karena hal ini akan lebih rumit dan membawa banyak masalah. Seorang Kristen yang menikah dengan orang yang bukan Kristen, mungkin akan menghadapi masalah rohani seumur hidup dan pergumulan bagi kesejahteraan rohani anak-anak mereka. Karena itu, orang yang akan dipilih sebagai pasangan hidup haruslah: (1) Percaya dan menyembah Kristus serta memiliki komitmen pada iman tersebut (Baca: 2 Korintus 6:14-18; Efesus 4:17 - 5:20; Filipi 3:7 -16; I Yohanes 2: 15-17); (2) Memiliki keyakinan yang benar. Jangan menikah dengan seorang penganut bidat atau ajaran sesat! Anda tidak harus sepaham dalam hal-hal yang tidak pokok (esensi), tetapi pastikan bahwa Anda memegang doktrin yang Alkitabiah (1 Yohanes 4: 1-6); (3) Komitmen untuk bergereja. Allah tidak memaksudkan hidup Kekristenan sebagai cara untuk hidup menyendiri. Dia merancang gereja untuk memenuhi kebutuhan dan sebagai wadah kita melayani sesama. Anda harus setuju dalam masalah ini dengan pasangan Anda (Efesus 4: 1-16; Ibrani 10:24-25).

Prinsip 3: Bertekad Mengikat Perjanjian Dihadapan Tuhan

Sebuah kovenan menurut Alkitab, adalah sebuah hubungan yang sakral antara dua pihak, disaksikan oleh Allah, sanagat mengikat, dan tidak dapat dibatalkan. Kedua belah pihak bersedia berjanji untuk menjalani kehidupan sesuai dengan butir-butir perjanjian itu. Kata Ibrani yang digunakan untuk “kovenan” adalah “berit” dan kata Yunaninya adalah “diathêkê”. Istilah kovenan yang seperti inilah yang digunakan Alkitab untuk melukiskan sifat hubungan pernikahan. Jelas bahwa pernikahan merupakan suatu kesatuan yang dilahirkan dari satu perjanjian dari janji-janji yang timbal balik. Kovenan pernikahan ini dinyatakan dengan gamblang oleh nabi Maleakhi ketika ia menulis “TUHAN telah menjadi saksi antara engkau dan isteri masa mudamu yang kepadanya engkau telah tidak setia, padahal dialah teman sekutumu dan isteri seperjanjianmu” (Maleakhi 2:14). Kitab Amsal juga berbicara tentang penikahan sebagai suatu “kovenan” atau “perjanjian” satu sama lain. Kitab ini mengutuk seorang yang berzinah “yang meninggalkan teman hidup masa mudanya dan melupakan perjanjian Allahnya” (Amsal 2:17).

Perhatikanlah saat Alkitab mengatakan “seorang pria akan meninggalkan ayat dan ibunya dan bersatu dengan istrinya. (Kejadian 2:24). Kata “meninggalkan” dan “bersatu” adalah dua kata yang penting untuk dipahami. Kata Ibrani untuk “meninggalkan” adalah “azab” yang berarti “melonggarkan, melepaskan, meninggalkan, meninggalkan sepenuhnya, secara total”. Kata Ibrani untuk “bersatu” adalah “dabaq” yang artinya “mengikat, lem, melekat, menempel, bergabung berdekatan dengan atau mengikat bersama”. Artinya jelas, bahwa dalam pernikahan seorang pria melekatkan diri kepada istrinya sendiri, sehingga “apa yang telah dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan manusia” (Matius 19:6).

Jadi, pernikahan adalah suatu perjanjian pada satu peristiwa dimana Allah menjadi saksi. Allahlah yang mengadakan pernikahan dan Dialah yang menyaksikan janji-janji tersebut benar-benar dibuat “dihadapan Allah”. Kristus menegaskan bahwa Allahlah yang benar-benar menyatukan dua manusia bersama-sama di dalam pernikahan dengan mengatakan, “Apa yang telah disatukan Allah, tidak boleh diceraikan oleh manusia” (Markus 10:19).

Prinsip 4: Bertekad Memelihara Kekudusan dan Kesetiaan Seumur Hidup
Apa Pun Yang Terjadi

Menurut Alkitab, merupakan kehendak Allah bahwa pernikahan sebagai komitmen seumur hidup. Permanennya suatu pernikahan, dengan jelas dan tegas dikatakan Kristus, “Apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia” (Matius 19:6). Jadi Allah dari sejak semula menetapkan bahwa pernikahan sebagai ikatan yang permanen, yang berakhir hanya ketika salah satu pasangannya meninggal (bandingkan Roma 7:1-3; 1 Korintus 7:10-11). Paulus juga menegaskan hal ini ketika ia berkata “Sebab seorang isteri terikat oleh hukum kepada suaminya selama suaminya itu hidup. Akan tetapi apabila suaminya itu mati, bebaslah ia dari hukum yang mengikatnya kepada suaminya itu. Jadi selama suaminya hidup ia dianggap berzinah, kalau ia menjadi isteri laki-laki lain; tetapi jika suaminya telah mati, ia bebas dari hukum, sehingga ia bukanlah berzinah, kalau ia menjadi isteri laki-laki lain” (Roma 7:2-3).

Allah telah menetapkan pernikahan dari sejak semula, dan Allah adalah saksi dari seluruh pernikahan, baik diundang maupun tidak. Karena itu pernikahan wajib dihormati oleh semua orang (Ibrani 13:4). Pernikahan bukanlah hal yang boleh diremehkan! Pernikahan tidak boleh ditempuh atau dimasuki dengan sembarangan, dirusak oleh karena kurang bijaksana, dinista atau dinajiskan; melainkan hendaklah hal itu dihormati dan dijunjung tinggi dengan takut akan Tuhan serta mengingat maksud Allah dalam pernikahan itu.

Pernikahan adalah hal yang paling misterius tetapi serius. Karena, “keduanya akan menjadi satu”. Artinya, secara praktis keduanya akan beralih “dari aku dan kau menjadi kita” dan “dari saya dan dia menjadi kami”. Persatuan ini mencakup segalanya “disatukan secara fisik, emosional, intelektual, dan spiritual”. Perhatikanlah saat Alkitab mengatakan “seorang pria akan meninggalkan ayat dan ibunya dan bersatu dengan istrinya. (Kejadian 2:24). Kata “meninggalkan” dan “bersatu” adalah dua kata yang penting untuk dipahami. Kata Ibrani untuk “meninggalkan” adalah “azab” yang berarti “melonggarkan, melepaskan, meninggalkan, meninggalkan sepenuhnya, secara total”. Kata Ibrani untuk “bersatu” adalah “dabaq” yang artinya “mengikat, lem, melekat, menempel, bergabung berdekatan dengan atau mengikat bersama”. Artinya jelas, bahwa dalam pernikahan seorang pria melekatkan diri kepada istrinya sendiri, sehingga “apa yang telah dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan manusia” (Matius 19:6).

Secara khusus, pernikahan juga melibatkan kesatuan seksual antara pria dan wanita. Perhatikan frase “satu daging” dalam ayat-ayat Kejadian 1:24; Matius 19:5; Markus 10:7; Efesus 5:31. Ada tiga tujuan relasi seksual dalam pernikahan, yaitu: penyatuan (Kejadian 2:24), perkembang biakan (Kejadian 1:28), dan rekreasi (Amsal 5:18-19). Tetapi, hubungan seksual sebelum pernikahan disebut percabulan (Kisah Para Rasul 15:20; 1 Korintus 6:18) dan hubungan seksual diluar pernikahan disebut perzinahan (Keluaran 20:14; Matius 19:9). Percabulan maupun perzinahan, sangat dilarang di dalam Alkitab. Dalam Perjanjian Lama, dibawah Hukum Taurat, mereka yang melakukan persetubuhan sebelum menikah diwajibkan untuk menikah (Ulangan 22:28-29). Hal ini penting sebab, seks dikuduskan oleh Allah hanya untuk pernikahan bukan sebelum pernikahan. Karena itu setiap orang wajib menghormati pernikahan (1 Korintus 7:2; Ibrani 13:4).

Prinsip 5: Suami Harus Mengasihi Istri, Dan Istri Tunduk Kepada Suami

Sebelum upacara pernikahan, seorang pria dan seorang wanita berada di bawah otoritas orang tua atau walinya. Setelah upacara pernikahan, seorang pria sebagai suami diperintahkan untuk memiliki otoritas yang lain atas seorang wanita, yaitu istrinya sendiri. Rasul Paulus mengingatkan, “Tetapi aku mau, supaya kamu mengetahui hal ini, yaitu Kepala dari tiap-tiap laki-laki ialah Kristus, kepala dari perempuan ialah laki-laki dan Kepala dari Kristus ialah Allah” (1 Korintus 11:3). Jadi, pertama-tama suami harus tunduk kepada Kristus karena kepala dari pria adalah Kristus. Kemudian, sebagaimana suami tunduk kepada Kristus demikian juga hendaknya istri tunduk kepada suaminya, dan mengizinkan suami bertanggung jawab bagi dirinya.

Selanjutnya, rasul Paulus dalam Efesus 5:22-25 menjelaskan bentuk relasi suami dan istri, “Hai isteri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan, karena suami adalah kepala isteri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat. Dialah yang menyelamatkan tubuh. Karena itu sebagaimana jemaat tunduk kepada Kristus, demikian jugalah isteri kepada suami dalam segala sesuatu. Hai suami, kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya” . Mengapa Paulus memberi perintah “istri tunduk kepada suami” dan “suami mengasihi Istri”, dan hal ini diulangi lagi dalam Kolose 3:18-19, “Hai isteri-isteri, tunduklah kepada suamimu, sebagaimana seharusnya di dalam Tuhan. Hai suami-suami, kasihilah isterimu dan janganlah berlaku kasar terhadap dia”?

Suami yang dihormati oleh istrinya akan merasa hidupnya lebih berarti. Sebaliknya, jika suami kurang dihormati oleh istrinya, maka ia merasa hidup kurang berarti. Tetapi, perkataan “istri tunduk pada suami” bukan berarti suami boleh sewenang-wenang dan berbuat sembarang terhadap istrinya melainkan disini keistimewaan yang diberikan Tuhan, yaitu kedudukannya sebagai kepala. Kata Yunani untuk untuk “kepala” adalah “kephale” yang berarti “memerintah” dan “otoritas” yang bermakna “tanggung jawab”. Tunduk pada suami adalah pengaturan yang ditetapkan Tuhan agar istri dapat memberi rasa hormat pada suaminya. Inilah yang dibutuhkan pria (Efesus 5:33).

Istri lebih mementingkan cinta kasih, itu sebabnya dieprintahkan agar “suami mengasihi istri”. Cinta adalah segala-galanya bagi istri, melebihi apapun; tetapi bukan berarti ia tidak memerlukan hormat atau penghargaan. Seorang wanita merasa dihargai, apabila suaminya mencintainya. Dapat dikatakan bahwa cinta kasih merupakan seluruh hidup dari istri, tetapi hanya sebagian dari hidup pria. Ini bukan berarti pria tidak memerlukan cinta, atau bukan berarti cinta seorang pria (suami) boleh dibagi kepada beberapa orang, tetapi justru seutuhnya dari yang sebagian ini hanya diberikan kepada istrinya.

Jadi kita melihat, bahwa yang dibutuhkan pria adalah dihormati, sedang bagi wanita yang dibutuhkan adalah diperhatikan dan disayangi. Dan kebutuhan ini bisa di berikan oleh pasangan masing-masing. Sebab itu suami dan istri masing-masing bisa mengoreksi diri. Istri perlu bertanya “apakah aku telah memngormati suamiku dalam segala hal?” dan suami perlu bertanya “apakah aku telah menyayangi istriku dengan sepenuhnya? “

Karena pria lebih mementingkan otoritas atau wibawa, sedang wanita lebih mementingkan cinta kasih maka masing-masing ini menjadi kelebihan, ciri khas, dan juga menjadi kelemahannya. Suami yang tidak dihormati oleh istrinya cenderung “menyalahgunaan otoritas” atau bahkan “membagi” cintanya pada wanita yang lain. Istri yang tidak dicintai suaminya cenderung berusaha mengambil “kendali”. Atau, jika ia tidak mendapatkan cinta dari suaminya, maka ia berusaha mendapatkan perhatian dari pria lain. Disinilah bahayanya jika suami-istri tidak memahami dan tidak mengerti hal ini!

Berdasarkan relasi di atas, suami dan istri memiliki tanggung jawab masing-masing yang harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Tanggung jawab suami terhadap istri yang berhubungan dengan mengasihinya ialah: Memberi perhatian dan menyayangi istrinya; memelihara dan melindungi istri; menerima dan menghargai istri; peduli dan penuh penegretian; memimpin istri dan berkorban baginya. Tanggung jawab istri terhadap suami yang berhubungan dengan tunduk kepadanya ialah: mendukung dan menolong suami; menerima dan mengagumi suami; mempercayai dan menaati suami ; menghormati dan lebih menghormati suami. Selanjutnya relasi ini dapat dikembangkan oleh suami dan istri dengan cara: menjadi teman dan sahabat; saling melayani dan merawat; dan mengatur seisi rumah; rendah hati dan murah hati; memperhatikan pertumbuhan pribadi lebih dari hal lahiriah; dan sebagainya (bandingkan 1 Korintus 13:1-8; 1 Petrus 3:1-7).

Prinsip 6: Bertekad Untuk Mendidik Anak-Anak Sesuai Dengan Ajaran Dan Nasihat Tuhan

Secara khusus, dengan hadirnya anak sebagai karunia dari Tuhan, relasi suami istri dalam pernikahan akan bertambah. Kehadiran anak akan membentuk relasi orang tua dengan anak. Suami dan istri yang telah mempunyai anak, kini menjadi orang tua. Relasi ini disertai suatu tanggung jawab, yaitu tanggung jawab orang tua terhadap anak dan tanggung jawab anak-anak terhadap orang tua. Rasul Paulus mengingatkan, “Hai anak-anak, taatilah orang tuamu di dalam Tuhan, karena haruslah demikian. Hormatilah ayahmu dan ibumu -- ini adalah suatu perintah yang penting, seperti yang nyata dari janji ini: supaya kamu berbahagia dan panjang umurmu di bumi. Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan. (Efesus 6:1-4; Bandingkan Ulangan 6:5-9). Hal yang sama disampaikan rasul Paulus dalam Kolose 3:20-21, “Hai anak-anak, taatilah orang tuamu dalam segala hal, karena itulah yang indah di dalam Tuhan. Hai bapa-bapa, janganlah sakiti hati anakmu, supaya jangan tawar hatinya”.

Tanggung jawab orang tua terhadap anak-anaknya antara lain: merencanakan masa depan mereka; merawat dan memelihara mereka; mengasuh dan mencukupi kebutuhan mereka; mengasihi mereka; mengajar, mendidik, dan membimbing mereka; memberi teladan dan bersaksi bagi mereka. Tanggung jawab anak terhadap orang tua antara lain: menghormati dan menaati orang tua, membantu orang tua dalam memelihara seisi rumah; mengerjakan tugas-tugas yang diberikan orang tua; dan belajar dibawah bimbingan orang tua.

Prinsip 7: Semua Persoalan Diselesaikan Berdasarkan Kebenaran Firman Tuhan

Keluarga bahagia bukan keluarga yang tanpa masalah tetapi keluarga yang dapat menyelesaikan masalah berdasarkan prinsip firman Tuhan. Karena itu, suami dan istri serta seluruh anggota keluarga harus berpusat pada Allah (theocentric family) dan menjadikan firman Tuhan (Alkitab) sebagai prinsip utama dalam mengatur dan menjalankan rumah tangga (bible oriented family). Jika suami dan istri, serta semua anggota keluarga taat kepada Kristus dan menjalankan prinsip firman Tuhan, maka hasilnya Tuhan akan menganugerahkan kebahagiaan sejati (Bandingkan 2 Timotius 3:14-17).

Setiap keputusan dan tindakan yang diambil bukan merupakan keputusan emosional tetapi berdasarkan pertimbangan yang cukup berdasarkan kebenaran firman Tuhan. Mengapa demikian? Karena pikiran kita berperan penting dalam menentukan apa yang benar. Manusia merasa dan berpikir, karena Allah merancangnya demikian. Perasaan atau emosi kita diekspresikan dalam sukacita, kemarahan, penyesalan, dan perasaan-perasaan lainnya. Emosi merupakan sesuatu yang baik, kita marah terhadap kejahatan, kita sedih terhadap kemiskinan dan penderitaan, serta lain sebagainya. Tetapi, emosi harus tetap dijaga dalam konteks dan ekspresi yang benar. Yang harus diingat, emosi tidak dapat menentukan kebenaran atau memutuskan kebenaran dari kesalahan. Merasa baik misalnya, tidak mengindikasikan bahwa sesuatu itu benar, dan merasa buruk tidak mengindikasikan kesalahannya. Emosi adalah bagian dari jiwa yang menghargai dan merespon kepada hidup. Menghargai emosi untuk mengidentifikasi kebenaran adalah seperti meminta telinga kita untuk mencium sebuah bunga. Telinga itu tidak dapat melakukannya karena telinga tidak diciptakan untuk mencium. Emosi tidak memiliki muatan dan informasi dimana kita dapat mengevaluasi kebenaran atau kesalahan. Kapasitas pikiran kitalah yang melakukan fungsi ini.

Kekristenan yang benar mengajarkan kita untuk tidak membuat keputusan atau mengambil tindakan berdasarkan perasaan. Mengambil keputusan dan bertindak berdasarkan bagaimana kita merasa bisa membawa kepada bahaya, karena emosi tidak dapat mengenali benar atau salah lebih daripada kemampuan pikiran untuk mengenalinya. Emosi memang mempengaruhi pikiran, tetapi seharusnya tidak menjadi faktor penentu. Ketika kebenaran dan kesalahan diidentifikasi, perasaan dapat dan harus menemani keputusan. Kemampuan atau kapasitas pikiran kita harus digunakan untuk membuat keputusan-keputusan mengenai kebenaran dan moral. Pikiran yang terlatih dalam firman Allah memimpin kita dalam jalan Allah “FirmanMu itu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku” (Mazmur 119:105).

Manusia yang mencoba membangun rumah tangga tanpa mengandalkan Tuhan dan firmanNya, akan mengalami kehancuran. Karena semua yang menjadi idaman manusia dan diinginkan ada dalam rumah tangga, seperti: keharmonisan, kesetiaan, cinta kasih, sukacita, damai sejahtera, anak-anak yang taat, kesehatan jasmani, berkat materi; sesungguhnya terletak dalam tangan Tuhan. Siapa yang bersandar dan berharap kepadaNya akan dikaruniakan semuanya itu.

Ringkasnya: Semua prinsip di atas adalah absolut (mutlak). Artinya, siapapun, baik pria maupun wanita, yang telah memenuhi prinsip-prinsip mutlak firman Tuhan di atas, Tuhan pasti menjamin kebahagiaan hidup dalam pernikahan dan keluarganya.

PENTINGNYA KEBERSAMAAN

Seorang pria dan wanita yang memutuskan untuk menikah akan mengalami perubahan besar yang terjadi khususnya dalam lingkungan dan jadwal. Mereka harus membiasakan diri untuk hidup bersama. Ini berarti baik suami maupun istri, mereka harus memangkas dari jadwal mereka hal-hal yang kurang bermanfaat yang dapat menghilangkan kebersamaan mereka. Ini berarti suami dan istri perlu memberi batasan terhadap pergaulan, hobi, dan kesenangannya sendiri. Mereka harus meluangkan waktu lebih banyak untuk saling memahami, memberi dan memerima satu dengan yang lain. Hal ini perlu mengingat, pernikahan menyatukan dua pribadi yang berbeda. Pria dan wanita memiliki kodrat yang tidak sama baik secara fisik, perasaan, maupun perilaku. Ditambah lagi perbedaan dalam kebiasaan, adat istiadat, budaya, pendidikan, sikap dan pembawaan.

Jadi pernikahan adalah kesempatan yang diberikan Allah kepada kepada laki-laki dan perempuan untuk hidup bersama. Keluarga adalah suatu lembaga atau unit yang paling kecil dalam masyarakat. Sebuah keluarga adalah suatu tim dalam persekutuan hidup bersama antara ayah, ibu, dan anak-anak. Persekutuan bersama dalam keluarga bersifat dinamis dan harus dijaga keharmonisannya. Karena itu, untuk menjaga kebersamaan dalam keluarga maka perlu memperhatikan dan mengembangakan hal-hal sebagai berikut: 1) Menyembah dan melayani Tuhan bersama-sama di gereja lokal; 2) Berdoa bersama-sama atau mezbah keluarga dalam ketekunan; 3) Mengatur keuangan bersama-sama; 4) Mengerjakan dan menyelesaikan pekerjaan rumah bersama; 5) membuat dan menetapkan rencana untuk masa depan bersama-sama; 6) Membiasakan makan bersama-sama; 7) Melaksanakan peran dan tanggung jawab masing-masing dengan sebaik-baiknya; 8) Komunikasi yang baik dengan tegur sapa; 9) Kejujuran dengan menceritakan apa adanya; Rasa saling mempercayai dengan tidak mengatakan kebohongan; 10) Senyum dan tertawa dalam kebersamaan; 11) Menjalin persahabatan dengan semua anggota keluarga; 12) Saling memaafkan kesalahan; 13) Menyatakan cinta dan kasih sayang dengan perkataan dan perbuatan yang baik; 14) Saling menghargai ketika ada yang telah melakukan sesuatu untuk kebaikan; 15) Lembut dan tidak kasar terhadap semua anggota keluarga.

Secara khusus waktu yang disediakan untuk mezbah keluarga sangat penting dan indah. Karena pada saat itu semua anggota keluarga berkumpul bersama. Hal ini merupakan sarana untuk membangun iman, kerohanian, pengetahuan dan pengenalan akan Tuhan dan firmanNya, mengembangkan kasih dan komunikasi dengan Tuhan dan sesama anggota keluarga. Karena Tuhan dan keluarga kita penting, mengapa kita tidak memulai mezbah keluarga di dalam keluarga kita segera mungkin? Jadi, bertekad dan komitmenlah seperti Yosus yang berkata, “Tetapi aku dan seisi rumahku, kami akan beribadah kepada TUHAN!” (Yosua 24:15b).

PENUTUP

Pernikahan adalah hal mulia, yang dikaruniakan Tuhan, sejak manusia belum jatuh ke dalam dosa, yaitu suatu bayangan yang melukiskan persekutuan antara Kristus dan gerejaNya (Efesus 5:22-33). Melalui pernikahan Allah memberi kesempatan kepada pria dan wanita untuk hidup bersama. Kehidupan bersama pria dan wanita ini harus didasarkan atas kasih karunia. Pernikahan sebagai sebuah lembaga, ditetapkan oleh Allah sendiri (Kejadian 2:24), dan melukiskan persekutuan antara Kristus dan gerejaNya (Efesus 5:31-32). Dalam pernikahan suami dan istri mengikat diri dalam suatu tujuan yang kudus, untuk membangun rumah tangga bahagia dan harmonis. Sebagaimana Yesus Kristus mengasihi satu gereja dan gereja itu mengasihi satu Tuhan, demikian seorang pria dipanggil mengasihi satu wanita dan wanita mengasihi satu pria.

Dalam pernikahan suami dan istri mengikat diri dalam suatu tujuan yang kudus, untuk membangun rumah tangga bahagia dan harmonis. Pernikahan mempersatukan kedua hati, mempersatukan kasih dan pengharapan dalam suatu kehidupan bersama. Karena itu, janganlah pernikahan ditempuh atau dimasuki dengan sembarangan, dirusak oleh karena kurang bijaksana, dinista atau dinajiskan; melainkan hendaklah hal itu dihormati dan dijunjung tinggi dengan takut akan Tuhan serta mengingat maksud Allah dalam pernikahan itu. Karena itu hendaklah pernikahan ditempuh dengan rukun, sehati, setujuan, penuh kasih sayang, percaya seorang akan yang lain, dan bersandar kepada kasih karuniaTuhan. Hanya dengan cara yang demikian kehidupan bersama ini dapat bertahan dan menjadi berkat. Amin

Profil : Pdt. Samuel T. Gunawan, memposisikan diri sebagai teolog Protestan-Kharismatik,
Pendeta dan Gembala di GBAP Jemaat El Shaddai; mengajar Filsafat dan Apologetika Kharismatik di STT AIMI, Solo, dan Pengajar di beberapa STT Lainnya. Memperoleh gelar Sarjana Ekonomi (SE) dari Universitas Negeri Palangka Raya; S.Th (Christian Education); M.Th in Christian Leadership (2007) dan M.Th in Systematic Theology (2009) dari STT-ITC Trinity, Tangerang. Setelah mempelajari Alkitab lebih dari 15 tahun menyimpulkan tiga keyakinannya terhadap Alkitab yaitu : (1) Alkitab berasal dari Allah. Ini mengkonfirmasikan kembali bahwa Alkitab adalah wahyu Allah yang tanpa kesalahan dan Alkitab diinspirasikan Allah; (2) Alkitab dapat dimengerti dan dapat dipahami oleh pikiran manusia dengan cara yang rasional melalui iluminasi Roh Kudus; dan (3) Alkitab dapat dijelaskan dengan cara yang teratur dan sistematis.


REFERENSI

Burke, Dale., 2000. Dua Perbedaan dalam Satu Tujuan. Terjemahan Indonesia (2007), Penerbit Metanoia Publising : Jakarta.
Clinton, Tim., 2010. Sex and Relationship. Baker Book, Grand Rapids. Terjemahan Indonesia (2012), Penerbit ANDI : Yogyakarta.
Cornish, Rick., 2007. Five Minute Apologist. Terjemahan, Penerbit Pionir Jaya : Bandung.
Douglas, J.D., ed, 1988. The New Bible Dictionary. Terjemahan Indonesia: Ensiklopedia Alkitab Masa Kini, 2 Jilid, diterjemahkan (1993), Yayasan Komunikasi Bina Kasih : Jakarta.
Ferguson, B. Sinclair, David F. Wright, J.I. Packer., 1988. New Dictionary Of Theology. Inter-Varsity Press, Leicester. Edisi Indonesia, jilid 1, diterjemahkan (2008), Penerbit Literatur SAAT : Malang.
Geisler, Norman L., 2000. Christian Ethics: Options and Issues. Edisi Indonesia dengan judul Etika Kristen: Pilihan dan Isu, Terjemahan, Penerbit Literatur SAAT : Jakarta.
Gutrie, Donald., ed, 1976. The New Bible Commentary. Intervarsity Press, Leicester, England. Edisi Indonesia dengan judul Tafsiran Alkitab Masa Kini, Jilid 3, diterjemahkan (1981), Yayasan Komunikasi Bina Kasih : Jakarta.
Gutrie, Donald., 1981 New Tastament Theology, . Intervarsity Press, Leicester, England. Edisi Indonesia dengan judul Teologi Perjanjian Baru, 3 Jilid, diterjemahkan (1991), BPK Gunung Mulia : Jakarta.
G.P, Harianto, Pendidikan Agama Kristen Dalam Alkitab dan Dunia Pendidikan Masa Kini. Penerbit, Andi Offset, Yokyakarta bekerjasana dengan STT Bethany, Surabaya, 2012.
Homrighausen, E.G dan Enklaar, Pendidikan Agama Kristen, Cetakan ke IV, Penerbit BPK Gunung Mulia, Jakarta 2001.
Kristianto, Paulus L, Prinsip dan Praktik Pendidikan Agama Kristen. Penerbit Andi Offset, Yokyakarta, 2006.
Ladd, George Eldon., 1974. A Theology of the New Tastament, Grand Rapids. Edisi Indonesia dengan Judul Teologi Perjanjian Baru. 2 Jilid, diterjemahkan (1999), Penerbit Kalam Hidup : Bandung.
Lewis, C.S., 2006. Mere Christianity. Terjemahan, Penerbit Pionir Jaya : Bandung
Morris, Leon., 2006. New Testamant Theology. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas : Malang.
Newman, Barclay M., 1993. Kamus Yunani – Indonesia Untuk Perjanjian Baru, terjemahkan, BPK Gunung Mulia : Jakarta.
Pfeiffer, Charles F & Eferett F. Herrison., ed, 1962. The Wycliffe Bible Commentary. Edisi Indonesia dengan judul Tafsiran Alkitab Wycliffe Perjanjian Baru, volume 3, diterjemahkan (2004), Penerbit Gandum Mas : Malang.
Piper, John & Justin Taylor, ed., 2005. Kingdom Sex and the Supremacy of Christ. Edisi Indonesia dengan judul Seks dan Supremasi Kristus, Terjemahan (2011), Penerbit Momentum : Jakarta.
Prokopchak, Stave and Mary., 2009. Called Together. Destiny image, USA,. Terjemahan Indonesia (2011), Penerbit ANDI : Yogyakarta.
Sijabat, B. Samuel, Membesarkan Anak Dengan Kreatif, Penerbit Yayasan ANDI, Yogyakarta, 2008.
Sproul, R.C., 1997. Essential Truths of the Christian Faith. diterjemahkan, Penerbit Literatur SAAT : Malang.
Stassen, Glen & David Gushee., 2003. Kingdom Ethics: Following Jesus in Contemporary Contex. Edisi Indonesia dengan judul Etika Kerajaan: Mengikut Yesus dalam Konteks Masa Kini, Terjemahan (2008), Penerbit Momentum : Jakarta.
Stamps, Donald C., ed, 1995. Alkitab Penuntun Hidup Berkelimpahan. Terj, Penerbit Gandum Mas : Malang.
Susanto, Hasan., 2003.Perjanjian Baru Interlinier Yunani-Indonesia dan Konkordansi Perjanjian Baru, jilid 1 dan 2. Terjemahan, Penerbit Literatur SAAT : Malang.
Tong. Stephen., 1991. Keluarga Bahagia. Cetakan kesebelas (2010), Penerbit Momentum: Jakarta.