Sobron Aidit

Andar Ismail

Sobron Aidit, sastrawan dan pengarang buku Catatan Spiritual di Balik Sosok Sobron Aidit, langsung membuka identitasnya. Dijelaskannya bahwa ia adalah adik kandung "Dipa Nusantara Aidit - dedengkot ketua PKI itu". Kebanyakan anggota keluarga besarnya dibunuh dalam gelombang pembantaian jutaan orang pada tahun 1965-1967 setelah Peristiwa G-30-S. Sobron sendiri dengan istri dan anaknya luput karena ketika itu mereka tinggal di Beijing.

Mengenai latar belakang masa kecilnya ketika Sobron bercerita bahwa ia lahir di Belitung dalam keluarga yang taat menjalankan kewajiban agama setiap hari. Ia menggambarkan kehidupan keluarganya sebagai penganut agama "yang Soleh ... khatam ... dan berfitrah".

Buku Sobron ini yang diterbitkan oleh BPK Gunung Mulia berisi berbagai kisah jalan hidupnya mencari pegangan dan makna hidup. Kisahnya bertumpu pada konteks dua negara, yaitu Prancis dan Belanda. Di Prancis ia ditampung sebagai pengungsi dan kemudian mengelola sebuah restoran Indonesia di Paris. Di Belanda ia berkiprah sebagai sastrawan dan merasa betah dengan teman-teman asal Indonesia.

Sobron bercerita bahwa ketika ia mulai bergaul dengan orang-orang Kristen Indonesia di Eropa, ia sama sekali buta tentang agama Kristen. Tulisnya, "Saya mengira apa yang disebut Perjamuan Kudus ... adalah makan-makan besar ... Saya mengosongkan perut agar nanti di gereja dapat kesempatan makan yang enak-enak dalam Perjamuan Kudus".

Bagaimana asal usulnya Sobron mulai tertarik pada iman Kristen? Jawabnya, "Melalui buku bacaan dan kehidupan orang lain!" lalu ia mulai berdoa. Tulisannya, "Saya merasa Allah memperhatikan doa dan harapan saya, sehingga terciptalah hubungan yang dekat antara Allah dan saya".

Perhatikan ungkapan "hubungan yang dekat". Bukankah inipun kesaksian Pemazmur, "TUHAN dekat pada setiap orang yang berseru kepada-Nya" (Mzm. 145:18).

Sobron mengaku bahwa pada awalnya ia ragu-ragu. Tulisannya, "Apakah Yesus mau mendengar doa dan harapan saya? Sebab ketika itu saya belum dibaptis. Tetapi yang mengherankan, betapa baiknya Yesus. Sekalipun saya belum dibaptis, Dia tetap saja baik dan menerima saya".

Setelah sekian puluh tahun bergumul mencari pegangan hidup, akhirnya Sobron bersama Nita, putrinya, menerima baptisan. Tuturnya, "Betapa kami larut dalam kegembiraan. .. hari itu 18 Juni 2000 saya merasa seakan-akan mengalami dan memasuki dunia baru ... saya merasa ada kualitas baru dalam kehidupan ini".

Itu bukan berarti bahwa iman Kristen bisa dijalani dengan mudah. Sobron mengaku bahwa ia sulit mengucapkan kalimat Doa Bapa Kami tentang mengampuni orang yang bersalah. Sobron bersaksi, "Ketika mengucapkan kata-kata itu, saya seakan-akan merasa ada sesuatu yang menghambat kerongkongan... sepertinya saya berbohong saat mengucapkannya. Bagaimana saya mampu mengampuni orang yang sudah membunuh keluarga, teman-teman dan sahabat-sahabat saya. Abang saya telah dibunuhnya dan kuburnya pun tidak kami ketahui... sampai kini kami tidak boleh pulang dan hidup di negeri sendiri serta tidak boleh tinggal di kampung halaman sendiri".

Sobron melanjutkan, "Rasanya untuk sekarang ini saya belum mampu untuk mengucapkan kalimat dalam Doa Bapa Kami itu... Biarkan saya menanggung dan memikul dosa ini. Saya berdoa semoga Tuhan membukakan jalan dan menerangi pikiran saya untuk menyikapi semua peristiwa sejarah gelap bangsa ini".

Buku kesaksian ini merupakan pelajaran bahwa bersaksi bukanlah seperti apa yang dikira banyak orang, yaitu bermulut manis tentang iman Kristen. Kurang mampu mempraktekkan iman Kristen juga merupakan kesaksian, bahkan kesaksian yang jujur. Ini tidak mudah. Jujur terhadap diri sendiri dan orang lain adalah tidak mudah, apalagi jujur terhadap Tuhan. Sobron bersaksi tentang kejujuran ini.

Justru kejujuran mengaku diri kerdil membuat kita bertumbuh berjiwa besar. Sobron belajar bahwa pihak-pihak yang dulu saling membenci bisa berubah menjadi teman yang saling mengampuni dan saling peduli.

Ia menutup kesaksiannya dengan kisah berkenalan dan menginap di rumah seorang teman Muslim. Tulisnya, "Teman dan keluarga teman saya ini dulunya adalah pengikut atau barisan DI/TII, organisasi Darul Islam yang terkenal kejam, tukang buru dan yang membunuhi teman-teman kami, kelompok kiri dan PKI... kini menjadi tuan rumah yang sangat baik, ramah dan penuh humor... mereka tahu bahwa saya beragama Protestan ... mereka adalah keluarga Islam yang sangat soleh... bayangkan... padahal dulu mereka mengejar-ngejar dan menjadikan saya bulan-bulanan pembunuhan ..."

Lalu Sobron menyimpulkan kesaksiannya, "Saya sangat merasakan penyertaan Tuhan dalam semua perjalanan dan liku-liku kehidupan..."

Penulis Adalah Pengarang buku-buku renungan Seri Selamat