Peran Gereja dalam Kebuntuan

Penulis: Denni Pinontoan

Gereja tidak hadir di dunia maya. Ia nyata dan mestinya berpengapa dalam kehidupan riil dunia yang kompleks dengan persoalan. Mimbar dan khotbah-khotbah manis dan mengecam, mestinya hanyalah salah satu dari banyak instrumen gereja untuk komitmen pembebasan dan pemerdekaan yang berujung pada pemanusiaan dan pemuliaan hidup manusia dan alam dunia ini.

[block:views=similarterms-block_1]

Gereja adalah institusi ataupun sistem kepercayaan orang-orang yang mendasari aktivitas rohani, politik, sosial, ekonomi dan budayanya dengan kasih Yesus yang membebaskan dan memerdekakan: menyelamatkan. Ia mestinya hadir dan berpengapa dengan kehidupan manusia-manusia yang memprihatinkan karena dominasi kekuasaan politik negara, kapitalisme yang mengeksploitasi dan alam yang terancam rusak. Termasuk sebenarnya kritik terhadap kekakuan doktrin dan tradisinya sendiri. Harus ada sikap yang dialogis dan konstruktif untuk suatu visi. Visinya adalah keselamatan keutuhan ciptaan.

Tapi dalam usaha pencapaian visi itu, gereja akhirnya harus berhadapan dengan persoalan terjebak dan menjebakan diri dalam simbiosis mutualis dengan kepentingan penguasa yang cenderung korup dan menghisap. Buntutnya terjadilah pemandulan peran gereja dalam usaha pemerdekaan dan pembebasan. Yang terjadi belakangan adalah sikap gereja yang memperbudak diri dalam melayani kepentingan penguasa. Gereja kemudian menjadi tumpul dalam kritik.

Tapi gereja atau Kristen tidak sendiri. Islam di Indonesia juga berhadapan dengan persoalan itu. Abdurrahman Wahid, biasa disapa Gus Dur, memetahkan persoalan Islam itu dalam artikelnya di Kompas, (Rabu, 30 Agustus 2006) yang berjudul Birokratisasi Gerakan Islam. Tesis Gus Dur dalam artikelnya itu bahkan lebih luas, bahwa krisis multidimensi yang terjadi hingga sekarang salah satunya adalah karena, gerakan Islam (juga gerakan-gerakan lain) sudah terlalu jauh mengalami birokratisasi. Perhatikan kalimat dalam tanda kurung. Barangkali yang dimaksud salah satunya adalah juga gereja. Itu kalau kita memahami gereja juga sebagai sebuah gerakan.

Birokratisasi. Itu yang ditekankan oleh Gus Dur untuk menyebut sumber masalah dari pemandulan gerakan Islam. Birokratisasi yang dimaksudnya adalah keadaan yang berciri utama kepentingan birokrat menjadi ukuran. Prosesnya panjang. Kehadiran Departemen Agama adalah yang disebut oleh Gus Dur sebagai lembaga negara yang mempertegas birokratisasi gerakan Islam. Katanya, kehadiran Departemen Agama ini membuat segala hal dicoba untuk diagamakan.

Dalam konteks Kristen atau Islam, juga agama-agama lain, birokratisasi ini seolah-olah sebagai cara pemerintah (khususnya rezim Orde Baru) untuk mengontrol dan menjadikan agama sebagai alat kekuasaan. Ke dalam, di masing-masing agama itu buntutnya adalah sama, pemandulan gerakan, kritik, dan peran memajukan umat yang adalah warga negara untuk berhadap-hadapan dengan kekuasaan negara yang cederung ototriter.

Dalam konteks Kristen di daerah ini misalnya, entah pejabat gereja kita sadar atau tidak, yang jelas apa yang disebut oleh Gus Dur itu, tampak di hadapan kita sekarang bukan lagi usaha sengaja secara sepihak oleh negara yang memakai instrumen pemerintah (yang di dalamnya antara lain ada kaum birokrat). Tapi, ini kemudian menjadi seolah-seolah usaha saling mencari keutungan. Berbaik hati dengan penguasa untuk bantuan uang, semen, pasir, besi, dan lain-lain demi kantor Sinode yang megah, harus dilakukan oleh institusi gereja terbesar di Tanah Minahasa yaitu GMIM. Tidak pusing bantuan itu halal atau haram, hasil keringat sendiri atau korupsi, yang penting kantor sinode sebagai lambang kemegahan juga keberhasilan kehadiran GMIM di tanah ini bisa selesai untuk dipakai berkantor. Udara sejuk kota Tomohon lebih membuat yang memakainya terlena dengan kemegahan. Semenrtara, anggota jemaat yang miskin di desa yang jauh, sekolah berlogo GMIM yang hampir roboh karena keadaan bangunan yang sudah rapuh, soal keadilan dan kebenaran, harus dilupakan dulu.

Antara gereja dan penguasa akhirnya menjadi mitra untuk usaha mencapai kepentingannya masing-masing. Saya memberi ini padamu, tapi kau harus berbaik hati padaku. Kalau perlu kau juga harus mendoakan uang korupsi ku agar menjadi suci di hadapan rakyat. Kalau dihadapan Tuhan, itu nanti. Gereja kepada penguasa (negara) tidak lagi menjadi mitra kritis. Padahal, Kristen Protestan lahir dan berkembang berawal dari gugatan atas perselingkuhan yang sangat mesra antara gereja dan penguasa (negara) di abad-abad pertengahan. Gereja mestinya adalah kritik itu sendiri.

Bukan tidak tahu sejarah, tapi sengaja tidak ingat.

Persoalan ini sebenarnya kompleks. Antara lain, karena gereja agaknya tidak ingin berusaha untuk mandiri secara dana maupun ideologi. Berikut, mental dan paradigma berteologi gereja yang cenderung mengarah ke teologi sukses. Ada duit, ada sorga. Gereja akhirnya menjadi seolah manusia yang punya keinginan terlalu tinggi; ingin beli mobil, ingin bikin rumah bertingkat sepuluh dan lain-lain, padahal dana tidak cukup. Maka, yang dilakukan adalah berhutang di sana sini, atau juga gadai ini dan itu. Hasilnya, adalah ketergantungan dan pengadaian idealisme. Karena sudah tak mampu mengembalikan hutang, maka diripun dijadikan jaminan. Hasilnya adalah penghambaan idealisme dan lembaga. Kini derajatnya menjadi sangat rendah. Seperti sapi, tali kekang kanannya di tarik ke kanan, maka dia ke kanan, ke kiri, ya dia kiri. Kalau di tarik kedua-duanya, maka dia berhenti. Uh, kasihan!!!

Hasil terakhirnya, gereja mengalami kebuntuan dalam usaha pemerdekaan dan pembebasan apalagi pencapaian visi keselamatan. Bagaimana tidak, dari segi dana dan berteologi sudah tidak merdeka, apalagi ingin memerdekakan dan membebaskan ciptaan Tuhan. Gereja sudah sangat lain dari semangat awal lahirnya sebagai gerakan spiritual dan moral yang mandiri dan bebas dari pengaruh negara dan kepentingan institusi manapun.

Ini terjadi antara lain karena kita salah menilai orang. Karena, bicara paradigma berteologi, sistem dan manajemen institusi kita juga harus bicara siapa orang-orang yang berperan di sana . Artinya, antara dua hal ini sangat terkait. Hal berikut, karena gereja akhirnya telah melembaga. Beda dengan komunitas awal Kekristenan. Bukankah institusi, termasuk gereja juga merupakan ladang pertarungan kepentingan?

Tidak bisakah gereja menjadi gerakan untuk pemanusiaan dan pemuliaan manusia dan alam yang independen, bebas dan tidak terikat dengan segala macam kepentingan negara?

Ternyata usaha pemerdekaan dan pembebasan harus mulai dari dalam!

Tomohon, 31 Agustus 2006

Sumber: Harian Komentar