Mengenal Diri

Oleh: Daniel Yosafat

Apa  yang  terlintas  di dalam  benak  Saudara  ketika mendengar  kata
empowering? Bisa jadi yang terlintas adalah Saudara sedang  menguatkan
orang lain dan  membantu mereka untuk  mencapai potensi mereka.  Namun
sebelum hal itu terjadi kita harus memahami dasar dari  meng-empowered
orang lain. Sesungguhnya yang terjadi adalah sebelum kita mengenal dan
menerima diri kita sendiri, kita  tidak akan pernah merasa secure  dan
akibatnya kita juga tidak akan pernah dapat meng-empowered orang  lain
dengan maksimal. Hubungan kita dengan orang lain akan selalu  dipenuhi
oleh motif-motif tertentu yang membuat kita tidak bebas untuk  melihat
orang lain apa adanya dan  mengasihi mereka. Oleh karena itu,  sebelum
kita  mulai  membahas  untuk  meng-empowered  orang  lain,  kita harus
belajar untuk mengenal diri kita terlebih dahulu.


Setiap orang  unik, memiliki  panggilan yang  unik, dan  diperlengkapi
dengan unik

Firman TUHAN datang  kepadaku, bunyinya: "Sebelum Aku  membentuk engkau
dalam  rahim  ibumu, Aku  telah  mengenal engkau,  dan  sebelum engkau
keluar  dari  kandungan,  Aku  telah  menguduskan  engkau,  Aku  telah
menetapkan engkau menjadi nabi bagi bangsa-bangsa."
Yeremia 1:4-5

Sebelum kita melanjutkan  pembahasan kita, berhentilah  sebentar untuk
merenungkan kebenaran ayat  di atas. Tuhan  telah mengenal kita  sejak
permulaan bahkan sebelum kita ada. Bukankah ini sesuatu hal yang  luar
biasa!  Kita  ada  di  dalam pikiran  Allah  sejak  permulaan  dan Dia
menyertai kita bahkan sebelum dunia ini dijadikan.

Saya percaya bahwa Tuhan,  sebagaimana pada kasus Yeremia,  juga telah
menetapkan kita untuk menjalankan fungsi dan peran kita di dunia  ini.
bagi Yeremia, perannya adalah  seorang nabi, namun bagi  kita perannya
mungkin berbeda. Hal ini terjadi karena setiap orang itu unik. Mengapa
bisa  unik?  Jawabannya sederhana  karena  setiap orang  diperhadapkan
kepada lingkungan  dan masalah  yang berbeda.  Mari kita  ambil contoh
sederhana:  saya  dan  Saudara berbeda  keluarga.  Dengan  satu faktor
pembeda ini  saja sudah  membuat peran  saya unik  dari peran  Saudara
karena kondisi keluarga saya  berbeda dengan kondisi keluara  Saudara.
Dengan demikian peran dan fungsi saya di dunia secara otomatis berbeda
dari Saudara.  Tapi bagaimana  dengan saudara  kandung saya?  bukankah
mereka berada dalam satu keluarga dengan saya? Ya, kita memang  berada
dalam satu  keluarga tapi  apakah itu  berarti bahwa  saya dan saudara
kandung saya memiliki peran dan fungsi yang identik di dalam  keluarga
kami? Jawabannya  adalah tidak!  Bahkan saudara  kandung pun  memiliki
peran  dan  fungsi   yang  berbeda  di   dalam  keluarga.  Kita   baru
memperhitungkan satu faktor yaitu keluarga, sekarang tambahkan  faktor
keluarga tersebut dengan faktor lainnya seperti faktor teman  sekolah,
rekan  kerja, permasalahan  yang berbeda,  dan seterusnya.  Ringkasnya
tidak ada seorang pun di dunia ini yang menghadapi persoalan yang kita
hadapi dan berada di posisi kita sekarang ini. Peran kita  benar-benar
unik dan tiada duanya.

Karena peran dan fungsi kita  unik dan tiada duanya, rasanya  tidaklah
berlebihan  kalau  saya  mengatakan bahwa  panggilan  kita  pun secara
otomatis menjadi unik. Kita  didesain oleh Tuhan untuk  dapat memenuhi
peran  kita:  untuk memberikan  dampak  atau pengaruh  yang  baik bagi
keluarga, teman-teman,  dan lingkungan  di mana  kita berada  dan saya
percaya kalau  Tuhan mengutus  kita untuk  melakukan sesuatu  maka dia
akan memperlengkapi  kita untuk  dapat mengerjakan  bagian kita dengan
efektif

Tuhan memperlengkapi kita agar  kita dapat mengerjakan perbuatan  baik
yang Tuhan telah tetapkan untuk kita (Efesus 2:10). Saudara percayalah
bahwa seluruh potensi yang dapat membantu kita untuk dapat mengerjakan
tugas kita secara efektif telah Tuhan tanamkan di dalam diri kita.

Saya  memiliki sebuah  smartphone yang  cukup membantu  saya di  dalam
berkomunikasi maupun di dalam mengerjakan tugas-tugas saya yang  lain.
Saya  percaya bahwa  perusahaan smartphone  ini telah  memperhitungkan
sebelumnya  apa  yang  bisa  dilakukan  oleh  smartphone  ini.  Mereka
menentukan  segmen pasar  apa yang  dituju, apa  yang dibutuhkan  oleh
segmen pasa tersebut, dan apa yang membuat smartphone tersebut berbeda
dari  smartphone  yang   lain.  Kemudian  mereka   mendesain,  membuat
spesifikasi yang  dibutuhkan serta  memasukkan aplikasi-aplikasi  yang
dibutuhkan agar  dapat menjawab  kebutuhan segmen  pasar yang  dituju.
Fakta bahwa smartphone  ini ada di  tangan saya sekarang  adalah bukti
sudah ada desain sebelumnya dan seluruh proses di atas sudah dilalui.

Demikian juga halnya  dengan kita. Fakta  bahwa kita ada  adalah bukti
bahwa  tuhan  sudah  mendesain kita  sebelumnya  untuk  memenuhi suatu
tujuan tertentu.  Itulah panggilan  kita. Bukan  suatu kebetulan  kita
berada di  tempat kita  sekarang ini:  di tengah  keluarga kita, teman
sekolah, teman kantor, dan  lain-lain. Itu karena desain  surgawi yang
memiliki  tujuan  tertentu  dengan  menempatkan  kita  di  situ.   Dan
sebagaimana  pabrik  smartphone menaruh  spesifikasi  yang sesuai  dan
aplikasi-aplikasi  yang  tepat  untuk  dapat  mencapai  tujuan mengapa
smartphone tersebut dibuat maka saya percaya bahwa Tuhan pun merancang
kita  dengan spesifikasi  yang tepat  dan memperlengkapi  kita dengan
potensi-potensi yang sesuai agar  dapat menjalankan peran kita  secara
efektif.  Saudara  sadarlah! Saudara  memiliki  potensi untuk  menjadi
sukses karena Tuhan sudah menempatkan potensi tersebut bukan di tempat
yang jauh yang tidak dapat Saudara raih. Potensi tersebut ada di dalam
Saudara  dan  yang   kita  perlukan  hanya   mengembangkannya.  Karena
panggilan dan  peran kita  unik, maka  saya percaya  Tuhan pun menaruh
kombinasi  potensi  yang unik  juga  di dalam  hidup  kita. Tidak  ada
seorang pun  yang memiliki  kombinasi potensi  serta fasilitas seperti
kita karena Tuhan merancang semua yang kita punya untuk kasus kita dan
agar kita dapat mengerjakan panggilan kita. Tidak ada yang sesuatu pun
yang kurang di dalam diri kita, kita hanya perlu mengembangkan potensi
yang kita punya.

Ini berarti bahwa untuk dapat memenuhi panggilan Tuhan di dalam  hidup
kita,  kita hanya  harus berusaha  untuk menjadi  diri sendiri,  bukan
menjadi orang  lain, dan  mengenali serta  mengembangkan potensi  yang
Tuhan taruh di dalam hidup kita. Sekali lagi ingatlah ini: berusahalah
untuk menjadi diri sendiri (be yourself). Terimalah dan cintailah diri
kita apa  adanya, dengan  segala kelebihan  dan kekurangannya.  Karena
dengan  cara itu,  kita sedang  menempati posisi  kita untuk  memenuhi
panggilan Tuhan  di dalam  hidup kita.  Namun, ini  bukan berarti kita
pasrah dan menolak  untuk berkembang dan  berubah. Tidak seperti  itu!
Kembangkanlah  diri Saudara  seluas-luasnya sejauh  yang Saudara  bisa
namun tetaplah taruh di dalam pemikiran kita bahwa diri dan  kemampuan
kita unik, tidak sama dengan orang lain.

Dengan menyadari bahwa diri dan panggilan kita unik serta potensi yang
Tuhan berikan kepada  kita juga unik,  kita sebenarnya telah  setengah
melangkah untuk mengatasi  persoalan yang menghantui  empowered people
around: tidak rela  melihat orang lain  lebih berhasil daripada  kita.
Mengapa  ini  menjadi  masalah?  Karena  selama  persoalan  ini  masih
menyangkut di benak kita, kita  tidak akan membantu orang lain  dengan
sepenuh hati karena kita takut, dia akan lebih sukses dari kita.

Kompetisi vs koordinasi

Karena tubuh juga tidak terdiri dari satu anggota, tetapi atas  banyak
anggota. Andaikata kaki berkata:  "Karena aku bukan tangan,  aku tidak
termasuk tubuh", jadi benarkah ia tidak termasuk tubuh? Dan  andaikata
telinga berkata: "Karena  aku bukan mata,  aku tidak termasuk  tubuh",
jadi  benarkah ia  tidak termasuk  tubuh? Andaikata  tubuh seluruhnya
adalah  mata,  di  manakah  pendengaran?  Andaikata  seluruhnya adalah
telinga, di  manakah penciuman?  Tetapi Allah  telah memberikan kepada
anggota, masing-masing secara khusus, suatu tempat pada tubuh, seperti
yang  dikehendaki-Nya.  Andaikata  semuanya  adalah  satu  anggota, di
manakah tubuh?  Memang ada  banyak anggota,  tetapi hanya  satu tubuh.
Jadi mata tidak  dapat berkata kepada  tangan: "Aku tidak  membutuhkan
engkau."  Dan  kepala  tidak dapat  berkata  kepada  kaki: "Aku  tidak
membutuhkan engkau." I Kor 12:14-21

Apakah Saudara pernah mendengar tentang kisah teman dekat Saudara pada
waktu sekolah atau  kuliah sekarang telah  menjadi orang yang  sukses,
terkenal, punya banyak uang  padahal pada waktu menjadi  teman Saudara
beberapa waktu lalu kondisinya  “lebih rendah” daripada Saudara?  Saya
ingin Saudara berhenti sebentar untuk mengingat kembali saat itu.  Apa
yang Saudara  rasakan ketik  mendengar kisah  tersebut? Apakah Saudara
merasa  cemburu,  marah,  merasa  kalah,  mengasihani  diri,  atau ada
perasaan campur aduk yang berkecamuk di dalam hati Saudara yang  tidak
dapat Saudara jelaskan?

Kalau  Saudara  merasakan  perasaan-perasaan  tadi  pikirkanlah betapa
lucunya perasaan tersebut. Teman yang “sukses” tadi adalah teman  yang
pernah kita temui di salah satu masa hidup kita, entah di sekolah atau
kuliah, dan  sekarang bisa  jadi tidak  berhubungan langsung  terhadap
hidup kita namun kesuksesannya  dapat membuat hati kita  terganggu. Ga
nyambung! Kalau kita meminjam istilah sehari-hari. Apa yang sebenarnya
terjadi pada hidup kita?

Saya  tidak  menyalahkan  Saudara  jika  merasakan   perasaan-perasaan
tersebut karena saya juga  merasakan perasaan tersebut dan  sebenarnya
hal  ini dapat  dimaklumi. Kita  dididik di  dunia yang  penuh dengan
kompetisi, bahkan semenjak kecil, kita diajar untuk berkompetisi.

Di dalam keluarga, kita diajar untuk berkompetisi. Saya pernah  datang
ke suatu acara ulang tahun  seorang anak dimana anak tersebut  bersama
dengan adiknya diminta untuk bernyanyi  di depan para tamu. Pada  saat
bernyanyi,  ternyata  adiknya  lebih  keras  menyanyi  disertai dengan
gerakan-gerakan yang lucu yang membuat para undangan tertawa  terbahak
-bahak, sedangkan kakaknya yang  berulang tahun lebih banyak  diam dan
menyanyi  dengan  perlahan.  Di  akhir  dari  lagu  tersebut,  si adik
seketika  mendapat  perhatian  dari  para  undangan  dengan mengatakan
betapa lucu dan pintarnya dia.  Kemudian ada seorang ibu yang  berkata
kepada si kakak,”Kamu nyanyinya biar kenceng dong tuh lihat adik  kamu
nyanyinya kenceng  pake gerakan  lagi. Kalo  dia bisa  kamu juga pasti
bisa.” Saya hanya bisa merenung dalam hati dan bertanya-tanya apa yang
dirasakan oleh si kakak ketika dia dibandingkan secara langsung dengan
adiknya  itu.  Ini  hanyalah satu  contoh  kasus,  saya percaya  bahwa
Saudara bisa menyebutkan kasus-kasus yang lain dimana orangtua memakai
keberhasilan  satu  anak  untuk  “memotivasi”  anak  yang  lain  untuk
mencapai keberhasilan yang sama  malah jangan-jangan kita pun  memakai
tehnik ini  untuk memotivasi  anak kita.  Sukar untuk  disangkal bahwa
kebanyakan dari kita belajar  untuk berkompetisi semenjak dari  kecil,
di keluarga kita.

Di sekolah  pun kondisinya  tidak jauh  berbeda. Murid  yang menduduki
peringkat  pertama  dijadikan  contoh di  kelas  dengan  tujuan supaya
murid-murid yang lain mengikuti jejaknya. Di sekolah pun, kita  diajar
untuk berkompetisi. Jika Saudara adalah lulusan SLTA pada saat membaca
buku  ini,   itu  berarti   Saudara  setidaknya   telah  diajar  untuk
berkompetisi selama  12 tahun  di sekolah.  Bagaimana dengan  di dunia
kerja?

Di dunia kerja pun kondisinya tidak jauh berbeda. Satu jabatan manajer
bisa diperebutkan oleh empat orang asisten manajer. Jenjang karir yang
semakin lama semakin mengerucut  memaksa para karyawan untuk  bersaing
dengan temannya untuk mencapai posisi tersebut. Ya, kita diajar  untuk
berkompetisi di dunia kerja. Bagaimana dengan di gereja? Setidaknya di
gereja tidak ada kompetisi bukan?

Saya tidak  akan menutupi  fakta bahwa  di gereja  pun kita  bisa jadi
diajar untuk berkompetisi. Di  sekolah minggu, anak kita  dibandingkan
dengan anak lain  yang lebih pintar  menggambar, lebih pintar  menari,
dan seterusnya. Kelompok vokal group kita dibandingkan dengan kelompok
yang lain dan daftar ini bisa semakin panjang.

Singkatnya,  di  hampir  seluruh bidang  kehidupan  kita  diajar untuk
berkompetisi.  Ini  terjadi  karena  banyak  yang  berpandangan  bahwa
kompetisi itu baik bahkan  diperlukan untuk memotivasi seseorang  agar
orang tersebut dapat maju. Saya tidak menyangkal bahwa ada hal positif
yang kita dapatkan dari  kompetisi. Kompetisi dapat membuat  seseorang
termotivasi untuk  maju tetapi  kompetisi juga  memiliki efek  samping
yang merugikan: kita membandingkan diri kita dengan orang lain. Jangan
salah  paham! Membandingkan  diri kita  dengan orang  lain tidak  sama
dengan belajar  dari orang  lain. Kita  harus belajar  dari orang lain
bahkan  meminta pertolongan  dari orang  lain agar  potensi yang  kita
miliki semakin  bertambah maju.  Tetapi kompetisi  bergerak pada  arah
yang berbeda. kita tidak rela dikalahkan oleh orang lain, dan  jikalau
di  salah  satu bidang  orang  lain mengalahkan  kita  maka kita  akan
belajar  untuk mengalahkan  orang itu.  Permasalahannya adalah  secara
tidak sadar, sebagai hasil  didikan selama berpuluh-puluh tahun,  kita
menjadi tidak suka jika orang  lain lebih “hebat” daripada kita.  Kita
terusik  ketika orang  lain lebih  “disorot” keberhasilannya  daripada
kita dan secara tidak  sadar kita menganggap orang  tersebut “saingan”
kita.  Kita  tidak  merasa secure  akibatnya  adalah  kita tidak  akan
membantu orang tersebut untuk mencapai keberhasilannya.

Padahal sebagaimana telah kita  bahas sebelumnya kita itu  unik, tidak
ada  duanya  dan  orang  lain  itu  pun  unik.  Bagaimana  kita   bisa
membandingkan  dua  hal  yang  unik,  yang  berbeda  satu  dengan yang
lainnya? Penilaian model apakah yang bisa kita pakai? Di sinilah letak
kesalahan  banyak orang,  termasuk saya,  karena memberikan  penilaian
yang  sempit untuk  membandingkan orang  lain. Kita  sering mendengar
perkataan,”Kalau  orang lain  bisa, kamu  pun pasti  bisa” sebenarnya
semakin  saya  merenungkan perkataan  tersebut  menjadi semakin  tidak
masuk akal jadinya,  terutama di dalam  konteks bahasan kita  sekarang
ini. Untuk memudahkan mari kita memakai analogi yang dipergunakan oleh
Paulus untuk menggambarkan sebuah jemaat yaitu anggota tubuh.

Pada suatu  waktu, seluruh  anggota tubuh  berkumpul untuk  menentukan
siapa yang  terbaik di  antara mereka.  Karena di  dalam diskusi  yang
panas, mereka tidak mencapai konsensus siapa yang terbaik maka  mereka
memutuskan  untuk mengadakan  perlombaan untuk  menentukan siapa  yang
terbaik. Agar penilaian dapat berlangsung secara jujur dan adil,  maka
para anggota tubuh meminta seekor burung hantu yang terkenal bijaksana
untuk menjadi juri  pada pertandingan tersebut.  Mengetahui permintaan
yang  aneh  ini, burung  hantu  menimbang-nimbang apa  yang  harus dia
lakukan. Setelah  berpikir semalaman,  dia mendapat  jalan keluar yang
baik. Di hadapan  semua anggota tubuh,  burung hantu menekankan  bahwa
dia harus berhati-hati untuk memilih  ketua yang baik oleh karena  itu
dia  akan  mengadakan  puluhan  perlombaan  untuk  mencari  siapa yang
terbaik. Anggota tubuh yang berhasil memenangkan semuanya, dialah yang
terbaik.  Seluruh  anggota  tubuh setuju  dengan  pemikiran  si burung
hantu. Maka disiapkanlah perlombaan-perlombaan untuk menentukan  siapa
yang terbaik.  Perlombaan pertama  adalah perlombaan  melihat dan saya
yakin  Saudara tahu  siapa yang  menjadi pemenang  di perlombaan  ini:
mata.  Perlombaan kedua  adalah perlombaan  siapa yang  dapat berlari
lebih  cepat dan  pemenangnya adalah  kaki. Perlombaan  ketiga adalah
perlombaan  siapa  yang  dapat mendengar  lebih  baik  dan pemenangnya
adalah telinga. Perlombaan keempat adalah siapa yang dapat menggenggam
lebih  erat,  dan pemenangnya  adalah  tangan. Demikianlah  seterusnya
hingga  seluruh anggota  tubuh memenangkan  sesuatu karena  si burung
hantu  dengan  jeli  melihat  kelebihan  anggota  tubuh  tertentu lalu
mengadakan  perlombaan untuk  membuat anggota  tubuh tersebut  menjadi
juara. Di  akhir perlombaan,  seluruh anggota  tubuh memenangkan  satu
pertandingan, pertandingan dimana potensi mereka yang terbaiklah  yang
menjadi unsur  penilaian. Melalui  perlombaan ini,  para anggota tubuh
menyadari  bahwa mereka  tidak dapat  melakukan semuanya  sendiri dan
mereka saling membutuhkan satu sama lain.

Pelajaran  apakah  yang  bisa  kita tarik  dari  kisah  di  atas? Yang
pertama,  kita  tidak dapat  dan  tidak bisa  membandingkan  diri kita
dengan orang lain. Kita  tidak dapat membandingkan orang  secara apple
to apple.  Setiap orang  memiliki kombinasi  kelebihan tersendiri yang
tidak  dimiliki  oleh  orang   lain.  Dengan  demikian  standar   yang
dipergunakan untuk  menilai akan  membuat seseorang  yang handal dalam
standar tersebut  akan menjadi  pemenangnya. Seperti  cerita di  atas,
jikalau perlombaan  yang dipertandingkan  adalah melihat  maka matalah
yang akan  menjadi pemenangnya  demikian seterusnya  tetapi sebenarnya
itu tidak menjadikan mata menjadi yang terbaik.

Permasalahannya  adalah  kita   seringkali  terlalu  menekankan   satu
penilaian  seakan-akan  hanya  penilaian  itulah  yang  penting. Ambil
contoh di sekolah, mereka yang memiliki kelebihan secara akademis akan
unggul dalam bidang ini tetapi sebenarnya itu tidak menjadikan  mereka
yang  handal  dalam olahraga  atau  seni atau  linguistik  tidak baik.
Mereka   kelihatan  tidak   unggul  karena   standar  penilaian   yang
dipergunakan. Jikalau  standar yang  dipakai adalah  seni, maka mereka
yang unggul dalam bidang  senilah yang menonjol, demikian  seterusnya.
Oleh  karena  itu,  penilaian  mengenai  siapa  yang  terbaik bersifat
subyektif.

Yang kedua adalah sebagaimana  dijelaskan oleh Paulus, di  dalam tubuh
kristus, tidak  ada kompetisi,  yang ada  hanya kerjasama  antara yang
satu  dengan yang  lain karena  sebagaimana anggota  tubuh, yang  satu
melengkapi yang lain. Tuhan telah memberikan kepada kita masing-masing
tempat  secara khusus  agar kita  dapat menunaikan  tugas kita  dengan
efektif. Lagipula kita semua bertanding di jalan kita sendiri-sendiri.

Kita bertanding di pertandingan kita sendiri

Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai  garis
akhir dan aku  telah memelihara iman.  Sekarang telah tersedia  bagiku
mahkota kebenaran  yang akan  dikaruniakan kepadaku  oleh Tuhan, Hakim
yang adil, pada hari-Nya; tetapi bukan hanya kepadaku, melainkan  juga
kepada semua orang yang merindukan kedatangan-Nya. II Timotius 4:7-8

Pada  akhir   masa  hidupnya,   Paulus  mengatakan   bahwa  dia  telah
menyelesaikan  pertandingan  dengan  baik dan  saya  percaya  yang dia
maksud dengan  pertandingan di  sini bukanlah  perlombaan antara  dia,
Petrus, Apolos  atau Yohanes  tetapi pertandingan  hidup dia  sendiri.
Mari kita mengulang  sedikit apa yang  telah kita pelajari:  kita unik
dan karena kita  unik, peran dan  panggilan kita pun  unik, dan karena
peran dan panggilan kita  unik, Tuhan memperlengkapi kita  juga secara
unik agar  kita dapat  menjalankan panggilan  kita secara  efektif dan
karena semua itu,  pertandingan kita juga  secara otomatis unik.  Kita
bertanding di pertandingan kita sendiri, tidak ada saingan.

Dan karena Paulus berbicara  mengenai pertandingan, mari kita  memakai
analogi dalam bidang  olahraga. Seandainya saja  ada dua orang,  sebut
saja A dan B. Si A terpanggil menjadi pemain bulutangkis sedangkan  si
B  menjadi pemain  sepakbola. Karena  si A  terpanggil menjadi  pemain
bulutangkis  maka  Tuhan  memperlengkapi dia  dengan  kok,  raket, dan
lapangan yang sesuai  dengan perannya. Sedangkan  si B sebagai  pemain
sepakbola akan diperlengkapi oleh Tuhan dengan sepatu bola, bola sepak
dan lapangan  yang cukup  besar untuk  bermain sepakbola.  Sebagaimana
yang sudah kita bahas di atas, Tuhan sudah memperlengkapi kita  dengan
apa yang kita  butuhkan sebagaimana Tuhan  memperlengkapi si A  dan B.
Yang  menjadi masalah  adalah ketika  si A,  pemain bulutangkis  mulai
melihat ke  si B,  lalu mulai  mengeluh kepada  Tuhan karena dia hanya
diberikan  kok bukannya  bola sepak  dan lapangan  tempat bermain  dia
kecil  tidak  seperti lapangan  sepakbola.  Begitu juga  dengan  si B,
ketika dia melihat si A, si B mulai merasa iri karena si A punya raket
sedangkan dia tidak. Bagaimana kalau Tuhan “iseng” dan mengabulkan doa
si  A  dan  B. Tahukah  Saudara  betapa  sulitnya bermain  bulutangkis
jikalau koknya adalah  bola sepak dan  bermain di lapangan  sepakbola?
Sama sulitnya  dengan bermain  sepakbola dengan  tangan memegang raket
bulutangkis. Ingatlah  ini, orang  yang iri  terhadap sesamanya adalah
seperti  atlit  bulutangkis yang  ingin  punya bola  sepak  atau atlit
sepakbola  ingin memiliki  raket. Padahal  Tuhan sudah  memperlengkapi
kita dengan apa yang kita  butuhkan agar dapat menjalankan tugas  kita
dengan efektif, potensinya  sudah ada di  dalam diri kita,  kita hanya
perlu  mengembangkannya.  Oleh  karena  itu,  jikalau  ada  si  C yang
berkata,”mengapa saya tidak  terlahir ganteng/cantik dan  kaya seperti
dia?” jawabannya adalah karena dia memerlukan amunisi tambahan  berupa
wajah  yang  rupawan  dan kekayaan  untuk  dapat  menjalankan tugasnya
dengan  efektif  sedangkan  si  C dengan  wajah  yang  biasa  saja dan
penghasilan  yang  cukup dapat  menjalankan  perannya dengan  efektif.
Jikalau  si D  berkata,”Mengapa saya  tidak sepintar  dia” jawabannya
adalah karena dia  perlu kepintaran model  itu agar dapat  menjalankan
perannya di dunia ini sedangkan  si D diberikan oleh Tuhan  kepintaran
yang lain.

Yang  juga menjadi  masalah adalah  ketika si  A, pemain  bulutangkis,
tidak  rela  menjadi  pemain  bulutangkis  dan  ingin  menjadi  pemain
sepakbola  sehingga  dia  menyesali  diri,  tidak  menerima keadaannya
sekarang  ini. Saudara,  iri dengan  keadaan orang  lain bahkan  ingin
berada di posisi orang lain tidak akan membantu kita untuk menjalankan
fungsi kita  secara efektif.  Terimalah diri  kita apa  adanya, jangan
membandingkan diri kita  dengan orang lain  karena kita bertanding  di
jalan kita sendiri bukan di jalan orang lain.

Meng-empowered others

Nah,  kalau  Saudara  mengerti  bahwa  setiap  orang  unik  dan   kita
bertanding di jalan kita sendiri  maka sekarang kita lebih siap  untuk
meng-empowered orang lain. Kita  tidak akan iri terhadap  keberhasilan
orang lain bahkan sebaliknya kita akan bersukacita melihat orang  lain
berhasil karena orang tersebut telah menjadi sukses di pertandingannya
dan kita yang bertanding di jalan kita sendiri akan termotivasi  untuk
sukses di pertandingan kita sendiri.

Sekarang lihatlah dari  sudut pandang yang  berbeda, ketika kita  meng
-empowered orang lain, kita  sesungguhnya sedang membantu satu  bagian
tubuh Kristus mencapai potensi  maksimalnya. Dan apabila dia  mencapai
potensi maksimalnya, seluruh tubuh Kristus memperoleh manfaatnya.

Namun jangan  keliru, walaupun  kita unik,  kita dipanggil  oleh Tuhan
untuk  hidup  berkomunitas.  Kita  adalah  satu  bagian  puzzle   yang
melengkapi bagian tubuh Kristus.

Sumber:
Situs Anda:
danielyosafat.blogspot.com

Tags: