Mengapa Aku Menangis? Mengapa Aku Tertawa?

Oleh: Sion Antonius

Kami menonton sebuah film yang temanya sangat jarang diungkapkan, yaitu mengenai orang-orang yang ditugaskan untuk menyampaikan pesan. Menariknya dalam film tersebut, pesan yang harus disampaikan adalah pesan dukacita. Orang-orang ini harus menyampaikan kabar kepada para keluarga perihal kematian orang-orang yang dikasihinya.

Cerita film adalah mengenai tentara Amerika yang mendapatkan tugas pada bagian penyampai kabar untuk keluarga yang anggota keluarganya meninggal dalam tugas militer. Kematian mereka bisa karena pertempuran ataupun kecelakaan dalam tugas, dan untuk hal tersebut perlu petugas khusus sebagai penyampai resmi dari kemiliteran.

Dalam film tersebut terpilih seorang sersan dan seorang kapten. Sebagai kapten, maka dia bertindak menjadi atasannya. Sebelum memulai tugas si kapten memberikan wejangan sekaligus sebagai aturan, yaitu pada intinya mereka tidak boleh melibatkan sisi emosional (keharuan, kesedihan dan semacamnya) dirinya dengan para keluarga yang berduka. Mereka hanya menyampaikan berita dengan tegas dan dingin, apabila berita sudah disampaikan maka selesailah tugasnya.

[block:views=similarterms-block_1]

Pada awalnya si sersan bisa mengikuti aturan tersebut namun perlahan tapi pasti, sisi emosional dari si sersan mulai tidak bisa berkompromi. Secara kejiwaan malah dia mengalami tekanan mental, mulai merasa bersalah karena tidak bisa menunjukkan simpati dan empati kepada orang-orang yang sedang berduka cita. Puncaknya, dia berani melawan perintah si kapten dengan cara menunjukkan sikap simpati pada saat harus menyampaikan sebuah kabar dukacita. Dia mendapat hinaan dan marah dari si kapten, dianggap sebagai orang yang lemah. Namun dia tidak bergeming, malah merasa persoalan mentalnya justru menjadi dapat terselesaikan, dengan pembangkangan tersebut.

Manusia didorong untuk bisa menyalurkan sikap emosional secara wajar. Manusia diharapkan bisa menangis dengan orang yang menangis dan tertawa dengan orang yang tertawa. Tujuannya adalah supaya secara sosial manusia itu bisa menempatkan dirinya sedemikian rupa dalam hubungan antar sesama. Ketika manusia itu tidak mau merasakan perasaan orang lain dalam hubungan sosialnya, maka lambat laun orang tersebut akan menghadapi masalah dengan dirinya sendiri.

Jadi ada saatnya kita memang harus bisa bergembira dalam kegembiraan yang orang lain dapatkan, dan juga bisa ikut merasakan kesedihan tatkala orang lain mengalami suatu kedukaan. Sikap ini bukan untuk kepentingan orang lain, tetapi justru akan sangat membantu kesehatan jiwa kita.

Marilah kita memiliki jiwa yang sehat, dengan menjadi orang yang bisa bersimpati dan berempati kepada orang lain dengan tulus dan jujur.