Kuat Versus Lemah
Oleh: Sujud Prasetio
Ada seorang anak kecil yang membutuhkan uang Rp. 300.000 untuk membeli sepeda baru. Ia sudah berhari-hari berdoa, tetapi belum ada jawaban. Akhirnya, dia memutuskan untuk menulis surat permintaan dan mengirimkannya kepada Tuhan. Pada sampul surat dia menuliskan "Kepada Yth. TUHAN di sorga." Tentu saja alamat ini membingungkan Pak Pos. Akhirnya, Pak Pos memutuskan untuk meneruskan surat itu kepada Presiden. Saat membaca surat itu, Presiden merasa terharu. Dia lalu memerintahkan stafnya untuk memenuhi permintaan itu. Tetapi staf Presiden memutuskan hanya akan memberi uang Rp. 100.000, mereka menilai bahwa uang sejumlah itu sudah cukup banyak untuk ukuran anak kecil.
Seminggu kemudian, Presiden kembali menerima surat dari anak itu yang juga di tujukan kepada TUHAN di sorga. Surat itu berbunyi, "Terima kasih Tuhan karena sudah mengabulkan doaku. Tetapi, lain kali kalau mengirimkan uang, jangan lewat pemerintah, ya. Seperti biasa, mereka mengkorupsi uang. Saya yakin bahwa engkau mengirim uang Rp. 300.000, tetapi saya hanya menerima Rp. 100.000. (di sadur dari Purnawan Kristanto.)
Kisah di atas hanya cerita fiksi, tetapi di dalamnya terdapat pelajaran yang berharga bagi kita. Kecenderungan orang ketika ia mulai berkuasa, itulah kesempatan untuk berbuat seenaknya tanpa memikirkan kesusahan orang lain. Hukum alam mengajar siapa yang kuat itulah yang akan menjadi penguasa. Dan tidak sedikit orang yang bertindak dengan semena-mena terhadap orang-orang yang lemah. Bahkan lebih lagi ada yang berusaha mengambil keuntungan dari orang-orang yang lemah. Mungkin ada yang tidak memanfaatkan orang lemah untuk kepentingannya sendiri, tetapi memandang rendah dan lebih memilih untuk menghakimi dan merendahkan orang lemah dari pada menolong dan memberkati. Sikap-sikap seperti ini bertolak belakang dengan ajaran Tuhan Yesus, siapa yang ingin menjadi pemimpin harus mau menjadi pelayan.
Paulus menasihatkan suatu pelajaran yang mulia bagi kita semua. "Kita yang kuat wajib menanggung kelemahan orang yang tidak kuat dan jangan kita mencari kesenangan kita sendiri. Setiap orang di antara kita harus mencari kesenangan sesama kita demi kebaikannya untuk membangunnya." (Rm. 15:1-2). Hal ini mengingatkan kita pada ajaran Tuhan Yesus yang berkata: "kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri." Bagian ayat yang di sampaikan oleh Paulus memberi pelajaran kepada kita mengenai dua hal. Pertama kita jangan menutup mata dengan kesusahan orang lain. Ada banyak orang bersikap acuh tak acuh dengan penderitaan orang lain. Tidak peduli terhadap orang-orang yang sedang membutuhkan bantuan. Bahkan kadang dengan teman dan saudara sendiri pun tidak mau tahu. Apakah ini menjadi sikap orang percaya? Betapa sedihnya Tuhan Yesus ketika Ia melihat kita sebagai anak-anakNya menutup mata dengan kesusahan orang lain. Amsal menasihatkan demikian: "Janganlah menahan kebaikan dari pada orang-orang yang berhak menerimanya, padahal engkau mampu melakukannya. Janganlah engkau berkata kepada sesamamu:"pergilah dan kembalilah, besok akan ku beri," sedangkan yang di minta ada padamu." (Ams. 3:27-28).
Tuhan sudah memberkati kita dengan kekayaan, ketrampilan, karunia-karunia. Jikalau kita mau membagikan anugerah yang sudah Tuhan berikan kepada orang lain yang membuat orang di bangun, bukankah hal itu perbuatan mulia? Tidak ada sesuatu yang berarti, kecuali kita menjadi sebab baik bagi orang lain. Dengan tegas Yakubus juga berkata: "Jadi jika seorang tahu bagaimana ia harus berbuat baik, tetapi ia tidak melakukannya, ia berdosa." (Yak. 4:17). Marilah kita peka dengan kelemahan-kelemahan dan kekurangan-kekurangan orang lain. Berbuat baik adalah merupakan kesempatan. Saya percaya akan ada saatnya kita ingin berbuat baik, tetapi sudah tidak ada waktu lagi. Untuk itu marilah kita gunakan kesempatan-kesempatan yang ada untuk berbuat baik dengan sungguh-sungguh dan segenap hati.
Yang kedua kita belajar agar tidak mementingkan diri sendiri. Senangkah kita jika ada orang berkata kepada kita seperti ini:"dasar orang egois?" Tentunya kita akan tersinggung dan mungkin bisa marah. Predikat "egois" hanya pantas di berikan kepada orang yang tidak peduli terhadap kesusahan orang lain, orang yang pelit, orang yang mencari keuntungannya sendiri, orang yang mementingkan diri sendiri, orang yang selalu ingin menang sendiri, orang yang ingin mendapatkan apa yang di inginkannya dengan menghalalkan segala cara, orang yang tidak mau berkorban, orang yang tidak mau di rugikan. Dan intinya adalah orang yang memusatkan hidupnya kepada dirinya sendiri itulah orang yang "egois."
Saya tertarik dengan filosofi hidup orang Jawa. Menurut falsafah hidup orang Jawa, seseorang akan di sebut lengkap/sempurna hidupnya, jika sudah memiliki lima hal. Lima hal tersebut jika di singkat dan di terjemahkan dalam bahasa Indonesia adalah seperti ini:
- Memiliki pasangan hidup
- Mempunyai rumah/tempat tinggal
- Mendapatkan intelektual;
- Mempunyai Kekuasaan; dan yang terakhir adalah
- harus bisa membagikan pengalaman hidup kepada orang lain.
Pelajaran yang sungguh berharga jika kita mau menerapkan bagian yang terakhir dari filosofi orang Jawa. Kalau saudara tidak ingin mendapat predikat sebagai "orang segois" bagikanlah apa yang saudara miliki. Tidak harus uang. Tetapi ketrampilan-ketrampilan yang ada, agar orang-orang yang saudara bagi dapat dibangun, dan akhirnya dapat bertumbuh bersama-sama. Jadi pada dasarnya adalah marilah kita belajar untuk memikirkan kesenangan orang lain, agar kita menjadi berkat bagi sesama. Jika saudara merasa orang yang kuat, maka itu adalah kesempatan untuk menolong yang lemah. Tuhan Yesus memberkati!!