Kisah Nabot, Kisah Indonesia
Oleh: Sefnat A. Hontong
Kitab I Raj. 21:1-10 berkisah: ada seorang warga masyarakat Israel bernama Nabot. Ia mempunyai kebun anggur yang letaknya berdekatan dengan istana raja Ahab (ay 1). Pada suatu hari sang raja ingin memiliki kebun anggur itu (ay 2). Namun Nabot tidak mau memberikannya, dengan alasan karena tanah itu adalah hak warisnya (ay 3). Akibatnya sang raja menjadi stress dan tidak mau makan (ay 4). Melihat keadaan sang raja seperti itu, Izebel sang permaisuri lalu membuat surat kaleng yang isinya mengatakan Nabot telah mengutuk Allah dan raja. Tujuan Izebel adalah membawa Nabot ke pengadilan agama demi mendapatkan kebun anggur Nabot (ay 5-10). Pada gilirannya Nabot sang rakyat kecil yang tidak berdaya itu, mati dilempari dengan batu. Sedangkan Ahab bersama Izebel sang penguasa berhasil memiliki sebidang kebun anggur tersebut, dengan cara yang sangat licik (ayat 11-16).
Yang menarik dalam kisah ini ialah sikap Nabot yang mempertahankan hak warisnya. Tanah bagi Nabot ialah sesuatu yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup keluarganya dan relasinya dengan Allah. Hak pemilikkan atas tanah dalam pandangan Etika Perjanjian Lama, pertama-tama bukan dimaksudkan sebagai Hak Asasi Manusia (HAM), melainkan lebih menunjuk pada relasi tanggung jawab antara manusia dan Allah. Tanah dimanfaatkan dan dikelola dalam rangka menciptakan keberlangsungan hidup secara ekonomi, tetapi sekaligus juga untuk memuliakan Allah. Jadi, hak pemilikkan atas tanah pada satu pihak memperlihatkan adanya tanggung jawab untuk sebuah eksistensi hidup yang berkelanjutan (relasi ekonomi), tetapi juga menjadi tanda adanya hubungan yang khusus antara manusia dengan Allah (relasi iman). Memiliki sebidang tanah, sama artinya memiliki hubungan yang khusus dengan Allah. Mengolah tanah untuk mencukupkan kebutuhan hidup sehari-hari, sama artinya dengan membangun hubungan iman terhadap Allah. Maka, memberikan ataupun menggeserkan hak pemilikkan atas tanah kepada orang lain, sama artinya dengan memberikan atau menggeserkan suatu hubungan khusus yang sedang terjalin bersama Allah, kepada orang lain.
Kelihatannya pandangan etis seperti itu tidak menjadi sesuatu yang penting untuk dihormati bagi seorang raja yang memimpin secara monopoli. Akibatnya seorang warga negara seperti Nabot yang lemah, kecil, dan tidak berdaya, harus menerima resiko kematian dengan cara yang tragis, terpisah dari kehidupan dan miliknya sendiri. Tanahnya kemudian menjadi milik sang penguasa. Bersamaan dengan itu status sebagai umat Allah diganggu oleh system kekuasaan yang monopoli. Nabot telah menjadi sebuah contoh dari nasib sejumlah besar rakyat biasa yang menderita dan dirampas hak hidupnya oleh sebuah kebijakan monopoli ekonomi dan politik. Di Indonesia drama kekuasaan seperti ini sudah dan sering berlangsung.
Blog penulis: http://sefnathontong.blogspot.com/