Egoisme Keagamaan
Penulis : Daniel Zacharias
Rasa-rasanya judul tulisan ini dapat disebut sebagai suatu kemustahilan! Apakah ada yang namanya fenomena egoisme keagamaan? Sebab rasanya tidaklah mungkin sebuah agama mengajarkan, menganut, atau memberlakukan sebuah egoisme. Agama di mana pun, baik nada maupun syairnya selalu bersifat anti egoisme, agama mana pun senantiasa mengarahkan umatnya pada suatu kepedulian yang bukan hanya mengarah pada diri mereka sendiri (ego) saja, tetapi juga pada yang bukan diri mereka sendiri. Agama mana pun senantiasa menebar suatu perhatian yang tidak memuaskan dan membahagiakan ego belaka tetapi juga pada yang bukan ego.
Namun nilai ideal bagi agama yang menjadi tolak ukur bagi segala sesuatu yang "mustahil" atau "tidak mungkin" seperti yang dimaksud di atas malah menjadi "mungkin", bahkan "lebih dimungkinkan lagi". Tak dapat dipungkiri lagi kalau kenyataan di lapangan tidak berbanding lurus dengan semua nilai-nilai yang ideal tersebut. Kenyataan di lapangan kerap kali justru berbanding terbalik dengan semua nilai-nilai mulia keagamaan.Buktinya, kerusuhan dan pertumpahan darah karena agama atau karena membela agama bukan baru terjadi di abad ini dan di negeri ini saja, tetapi sudah berlangsung berabad-abad. Perang Salib (1096-1291) misalnya, berlangsung pada masa Perang Salib I-VII, yang bertolak bukan sekedar permainan politis tetapi lebih pada sebuah lontaran yang keras dari sebuah meriam fanatisme keagamaan yang sudah memanas. Untuk menjadikan usaha ini otentik dalam pandangan agama, maka para pejuang yang karena membela agamanya gugur kemudian dijuluki dengan penghormatan tertinggi sebagai seorang martir atau syuhada. Mereka kelak akan disebut "pahlawan" di surga dan mendapat pahala yang besar. Akibatnya, siapa sih yang tak mau masuk ke surga walau resikonya harus mengorbankan nyawa sendiri padahal sebelumnya lebih dahulu mengorbankan nyawa orang lain? Di titik inilah pemikiran rasionil keagamaan sudah mengalami kompromi yang jauh melenceng! Praktis, agama sekarang menjadi kendaraan bukan untuk memperhatikan sesama lagi, tetapi suatu kendaraan yang memungkinkan seseorang meraih kentungan-keuntungan demi kepuasan dan pencapaian keinginannya yang cenderung tidak teologis tetapi egois.
Seorang Misionaris Yesuit Amerika yang tinggal di Filipina sekitar 10 tahun (sebagaimana dikutip C. S. Song) mengungkapkan keprihatinannya mengenai jangkauan misioner gereja-gereja di Barat yang sangat mencerminkan eksklusivitas klaim mengenai keselamatan dalam bukunya Spirituality of Mission dengan mengatakan, "Kebanyakan misionaris di abad-abad yang lampau mengambil sikap amat negatif atas kemungkinan keselamatan di luar Gereja" [1987, hlm. 124].
Egoisme keagamaan tak lain dan tak bukan dipicu oleh sebuah anggapan yang kemudian pada masa tertentu telah mengental menjadi sebuah doktrin, dan kemudian memadat menjadi sebuah fanatisme yang terwujud dalam sebuah egoisme yang berbaju agama. Akibatnya bila ada sebuah anggapan yang benar, maka doktrin menjadi sehat, dan fanatisme otomatis gugur, lalu secara otomatis pula egoisme keagamaan pun tak akan pernah lahir. Dalam bahasa teologi, anggapan seperti yang dimaksud di atas dapat disebut sebagai hermeneutika. Hermeneutika yang sehat melahirkan teologi yang benar dan sebaliknya.
DR. Alwi Shihab dalam wawancaranya di sebuah majalah rohani Kristen mengatakan, bahwa friksi yang terjadi antar agama sering disebabkan oleh ditampilkannya atau penekanan yang berlebihan pada teks-teks eksklusif dalam kitab suci masing-masing khususnya yang berkaitan dengan keselamatan. Keadaan ini bukan saja terjadi di dalam kelompok non-Kristen tetapi kelompok Kristen sendiri kerap senang sekali menunjukkan superioritas sendiri dan menganggap kelompok yang lain sebagai pecundang. Saya menilai hal ini merupakan faktor yang memungkinkan munculnya sikap egoisme tersebut.
Sebelum menyoroti hal ini lebih jauh, ada baiknya kita meninjau ke belakang terhadap teks-teks Alkitab sendiri sehu-bungan dengan pembahasan ini. Allah memang pernah berjanji untuk memberkati Abraham dan keturunannya [Kej 12]. Allah bahkan membentuk suatu paguyuban orang-orang beriman yang memakai panji-panji kebesaran nama Abraham dalam sebuah bangsa yang bercikal bakal dari keturunannya sendiri yang disebut Israel. Tak cukup dengan itu, Ia malah membebaskan paguyuban kesayangan-Nya itu dari tirani Firaun yang sok ilahi dan berkuasa, mengubah status mereka dari budak kerja rodi menjadi orang-orang yang otonom-teokratis serta berdaulat di atas tanah yang awalnya bukan milik mereka. Ia menyediakan bagi mereka tempat berdiam mereka laksana rumput yang hijau dan air yang tenang. Akibatnya saat mereka harus dibuang karena dosa mereka sendiri, paguyuban itu merasa tidak mungkin Allah berbuat seperti itu mengingat mereka adalah kesayangan-Nya. Apalagi ketika Allah memakai bangsa lain untuk memukul mereka, paguyuban itu tetap menganggapnya sebagai kesalahan dan kebiadaban bangsa-bangsa lain itu sendiri. Mereka tidak pernah atau bahkan tidak pernah akan percaya kalau Allah memakai bangsa lain juga. Rupanya pilihan Allah dan perlindungan Allah selama ini tidak mengarahkan mereka untuk menjadi ingat pada bangsa lain, tetapi justru mereka malah semakin berusaha mengikat dan membelenggu Allah dengan anggapan mereka sendiri sehingga fanatisme mereka menjadi begitu berlebihan. Teologi parti-kularistis muncul dengan anggapan bahwa YHWH (Adonay) adalah milik Israel dan Elohim adalah Allah bagi mereka saja. Keadaan ini menjadi semakin buruk bila melihat sikap bangsa lain yang justru membenci ibadah Israel dan menolak YHWH sebagai Tuhan, akibatnya bangsa Israel semakin eksklusif dan memeluk teologi partikularistis semakin erat.
Persoalan teologi partikularitis adalah masalah hermeneutis. Allah yang luar biasa itu, yang Salomo sendiri akui tak dapat merumahkan-Nya [II Taw 2:6], malah dikerangkeng Israel dalam sebuah teologi manusia yang penuh egoisme dan keangkuhan. Sang Ultim yang bergerak dan bekerja bebas bagi dunia universal dipersempit ruang gerak-Nya dalam kotak sempit hermeneutis Israel yang pengap dan panas lagi sesak. Pola Allah yang memberkati semesta melalui keturunan Abraham ternyata diintepretasikan Israel keliru. Allah melalui Israel dipahami menjadi Allah untuk Israel. Agaknya saya harus mempertimbangkan istilah "melalui" bila mengingat keengganan C. S. Song menggunakan "teologi perwalian" atau "teologi anak tiri" [Allah Yang Turut Menderita; 1990: 54-55, 78]. Intepretasi Israael yang keliru ini kemudian melahirkan teologi partikularistis, lalu membentuk fanatisme dan egoisme keagamaan.
Kisah di mana Allah menyelamatkan tokoh-tokoh perempuan dalam Alkitab seperti Rahab sekeluarga melalui dua orang pengintai, kemudian Rut melalui Naomi, setidaknya telah membuka sedikit jendela kemungkinan tentang ketiadaan teologi partikularistis itu di pikiran Allah sendiri.
Anggapan seperti dimaksud di atas tergambar dengan jelas dan diperkuat oleh narasi Yunus [Yunus 1:1-17; 4:1-10]. Kisah Yunus memang sering jarang sekali dipakai sebagai bahan acuan untuk masalah ini (Yesus sendiri menghubungkan kisah ini dengan konsep Kebangkitan) [Mat 12:38-42; Luk 11:29-32]. Kesulitannya terletak pada beberapa orang yang mempermasalahkan historitas kisah tersebut. Akibatnya perdebatan seputar historitas meluputkan tujuan penulisan narasi Yunus. Perlu dikomentari di sini bahwa pembuktian historitas kisah Yunus seakurat apapun tak memberi sumbangan yang berarti. Baik kisah itu historis maupun tidak, narasi Yunus ingin menampilkan suatu pandangan teologi yang anti-partikularistis. Dapat dipastikan kisah ini dimunculkan oleh mahzab yang sedikitnya sudah mampu menangkap nilai universal tindakan Allah bagi seluruh bangsa dan bukan Israel saja.
Sikap Yunus menggambarkan betapa hermeneutikanya terhadap tindakan Allah sangat sempit. Koreksi Allah terhadap hermeneutika Yunus terlihat dari kisah "pemaksaan" melalui "badai" (1:4, gambaran dari pembatalan terhadap pola hermeneutika Yunus) dan "ikan" (1:17, gambaran dari pencapaian makna tindakan Allah yang sebenarnya).
Posisi hermeneutika seperti Yunus anehnya masih saja dianut dan dikerjakan orang beragama manapun. Fanatisme selalu menjadi masalah. Fanatisme merupakan pengkhianatan terhadap ajaran agama itu sendiri. Fanatisme merupakan pembuktian kurang luasnya seseorang memahami perbuatan Allah atau ajaran agamanya. Fanatisme secara hakiki adalah egoisme yang berbulu agama. C. S. Song dalam keprihatinan yang sama menonjolkan teolog Deutero Yesaya dalam menguraikan tentang Hamba Yang Menderita [Yes 53]. Melalui konsep ini teolog Deutero Yesaya mengambil langkah berani dari sentrisme Israel ke pandangan yang jauh lebih tentang bangsa-bangsa [1990: hlm. 69]. Selanjutnya ia mengatakan bahwa siapapun diri Hamba yang Menderita itu, ia bukan lagi suatu tokoh nasional yang dikurung dalam batas-batas Israel [Yes 42:1, 4: 49:6, 53:9]. Hamba yang Menderita itu tak dapat dijelaskan oleh Israel saja. Ia melompat keluar kotak iman dan kehidupan sempit yang telah memberi Israel jatidiri nasional dan keagamaannya [1990: hlm. 70-71].
Pada akhirnya C. S. Song dengan tegas mengatakan, "Allah tampaknya bersifat rahasia hanya bagi mereka yang ingin memonopoli dan menguasai Allah. Mereka merasa tertipu ketika Allah juga berkenan dengan bangsa-bangsa lain dan memihak lawan-lawan mereka" [1990: hlm. 79].
Akhir-akhir ini kita diperhadapkan pada suatu pertikaian yang berbau SARA (khususnya agama -- saat tulisan ini dibuat Ambon bergolak kembali). Baik di kalangan Islam maupun Kristen masing-masing (walaupun tidak diakui terang-terangan, namun dalam tindakan dan sikapnya terlihat dengan jelas) masih menyimpan egoisme keagamaan. Superioritas yang menganggap agamanya sebagai satu-satunya yang menyimpan dan mewarisi "kebenaran" dan "keselamatan" membuat eksklusivitas (sikap separatis) makin kentara bahkan menjadi-jadi.Kritik bagi gereja sebenarnya sudah cukup banyak. Sikap gereja yang berusaha menerima kepelbagaian dalam segi iman terkadang masih plin-plan. Masih ada anggapan dari pihak gereja sendiri bahwa di luar gereja tidak ada keselamatan. Orang Kristen juga hampir meniru tindakan orang Israel dalam memperlakukan Allah. Untuk urusan dalam kepelbagian antar denominasi di kalangan Protestan saja seringkali tidak ada kesepakatan. Sikap eksklusif yang tadinya hanya untuk antar agama saja ternyata makin menyempit ke dalam konteks antar denominasi. Bayangkan! Maka janganlah kita heran bila sikap ekumenis dari beberapa gereja tertentu seringkali ditanggapi sebagai sekedar kertas-kertas kerja dan semboyan saja. Berapa gereja sih sebenarnya yang masih bisa saling memperhatikan? Berapa gereja yang justru tidak peduli satu sama lain? Berapa? Dan sejauh mana?
Pengalaman saya berkeliling di beberapa pelosok Nusantara ini menunjukkan fenomena ini ternyata bukan rekaan saja. Gereja yang satu dapat menjadi "sandungan" bagi gereja lain. Gereja satu menertawakan organisasi atau teologi gereja lain. Seolah-olah gereja yang sudah "lama" berdiri, di dalamnya penuh dengan anggota-anggota senior yang turut mendirikan, pelayannya lulusan sekolah-sekolah teologi atau seminari luar negeri yang berstrata magister sampai doktoral, dan telah menjadi anggota kelompok ekumenis tertentu (saya kuatir kalau yang satu ini adalah wujud eksklusivisme baru), dapat disebut pewaris ortodoksi dan gereja lain tidak! Di sisi lain gereja-gereja yang "baru" berdiri, entah karena memang benar-benar baru, atau kepingan-kepingan dari yang pernah ada lalu pecah, atau pelarian dari gereja-gereja sebelumnya, menghembuskan asap pandangan yang mengesankan seolah-olah upaya yang "baru" itu sebagai suatu upaya pembaruan atau kritik terhadap yang "lama". Kelompok yang mengatakan dirinya sudah "lama" itu menganggap dirinya sudah matang dan mewarisi suatu yang sudah lama yakni ortodoksi tulen yang mungkin sudah berdebu dalam kotak wasiat yang tersimpan berabad-abad dengan didukung oleh dokumen-dokumen yang otentik. Sedangkan yang "baru" menganggap dirinyalah yang membawa kembali atau menemukan ortodoksi yang sudah lama hilang dan mencoba melakukan pembaruan di sana sini sekaligus menggemboskan yang "lama". Kedua kelompok ini punya sekolah teologi sendiri-sendiri. Lulusan dari yang "lama" sulit diterima sebagai seorang pendeta di gereja "baru" dengan alasan yang sudah basi: "liberalis dan cenderung rasionalis" dan lulusan yang "baru" juga mengalami kesulitan memasuki benteng tua gereja "lama" dengan alasan yang sama basinya: "tidak seazas dan berkesan fundamentalis-karismatis-pietis". Bayangkan!
Eka Darmaputera selaku penyunting buku Festchrift HUT ke-70 DR. PD. Latuihamallo yang dikerjakan secara keroyokan itu [Konteks Berteologi Di Indonesia; 1991: hlm. 4] mengungkapkan adanya polarisasi (?) mulai dari tingkat sinodal bahkan tingkat nasional. Saya menduga kalau polarisasi itu merupakan suatu bentuk ekslusivitas baru yang disebabkan adanya perbedaan pada masalah siapa yang lebih tepat hermeneutikanya sehingga ajaran gerejanyalah yang sedikit banyak atau mungkin sama dengan ajaran ortodoks. Dan mereka menganggap diri mereka sebagai pewaris "sui generis" ortodoksi. Padahal bila kita membaca James G. Dunn dalam bukunya yang berjudul Unity and Diversity in New Testament [1977: hlm. 1-7] maka kita akan menjumpai di sana bahwa tak satu gereja atau denominasi pun yang dapat menobatkan dirinya sebagai yang mewarisi ortodoksi (baca: satu-satunya kebenaran). Dari sini kita dapat menarik kesimpulan sementara bahwa kita tidak dapat terhindar dari egoisme keagamaan bila kita tidak segera keluar dari sana. Baiklah kita coba untuk mengajukan suatu praanggapan sekarang. Masalahnya adalah kalau ternyata agama selama berabad-abad justru menjadi bungkus yang membedakan manusia dengan yang lain dan turut menjadi alasan untuk membinasakan mereka yang berbungkus lain, mengapa agama masih tetap dipertahankan? Bukankah tanpa agama pun seseorang dapat sampai kepada Allah? Mengapakah iman kita pada Allah harus dikerangkeng oleh suatu merek agama tertentu? Manusia yang sudah terkondisi dengan kebanggaan agama merek tertentu tidak segan-segan untuk memihak dan menjadi kurang obyektif dalam memandang karya keselamatan yang Allah sediakan secara universal.
Memang agama tak bersalah, tetapi manusia yang memperlakukan agama itulah yang salah. Di mata saya agama hanyalah suatu sistem relasi vertikal serentak horisontal. Bila sistem agama ini tak berjalan baik mengapa harus dipertahankan? Atau mengapa tidak mereformasi saja (atau bahkan membuang?) sistem yang sudah tak fungsional lagi. Sebab mempertahankan suatu paradigma yang terlanjur terkotak-kotak dan malah menimbulkan nilai-nilai egoisme, sama saja artinya dengan suatu upaya mempertahankan status quo belaka.
Seseorang, dalam praanggapan ini, dapat saja datang pada Allah yang hidup tanpa harus memakai baju agama. Bagi saya beragama memang harus ber-Allah, tetapi untuk ber-Allah seseorang tak harus beragama. Sebab baik dengan maupun dalam agama tidak ada suatu jaminan yang membuat seseorang benar-benar ber-Allah. Apakah Allah pernah menyuruh seseorang beragama atau menganut agama tertentu? Setahu saya Allah hanya pernah memerintahkan agar manusia percaya dan taat pada-Nya saja. Namun bila ada yang tak setuju dengan saya, maka saya pun tetap menghargainya. Namun berhati-hatilah agar agama yang anda anut tidak menendang keluar Allah dari posisi-Nya, atau malah membelenggu-Nya seolah-olah Allah punya agama favorit, atau agama tertentulah yang lulus dari akreditasi Allah, atau dengan istilah agama tertentulah maka sebuah agama dapat disebut sebagai agamanya Allah.
Fakta-fakta di lapangan menunjukkan bahwa tidak sedikit agama yang dengan arogan menyebut dirinya benar dan kemudian menunjukkan keeksklusifannya sekaligus keberingasannya. Ini memang nyata, tetapi masalahnya koq mengapa ada agama yang beringas? Apa memang ada agama yang karakternya beringas? Atau doktrinnya mengajarkan keberingasan sebagai sesuatu yang etis? Saya tak membantah realitas di atas, malah semakin mempertajam anggapan saya terhadap praanggapan perlu tidaknya agama itu dipertahankan. C. S. Song masih dalam buku yang sama mengatakan bahwa, "Agama Taurat inilah yang ditantang oleh Yesus. Dan agama yang sama ini pula yang belakangan mengirim-Nya ke kayu salib" [1990, hlm. 52].
Bagi saya sebaiknya agama yang tak mau mengadakan rekoreksi tidak perlu dipertahankan. Biarlah seseorang sampai pada Allah yang diyakininya tanpa harus terbungkus dalam agama tertentu, termasuk Kristen. Tak beragama sama sekali berbeda dengan tidak ber-Allah. Yesus dalam kehadiran-Nya di dunia sama sekali tidak mengubah agama Yahudi ke agama Kristen. Yesus menjadi besar dalam lingkungan Yahudi dan sinagoge. Ia memang tidak memprotes agama Yahudi lalu membentuk agama Kristen. Ia memang memprotes orang-orang Farisi dan para ahli Taurat, tetapi pada soal hidup keagamaan orang Yahudi. Namun sampai Yesus terangkat ke sorga pun agama maupun hidup keagamaan orang-orang Yahudi tak menjadi lebih baik. Yesus pernah memperingatkan para murid-Nya agar hidup keagamaan mereka harus lebih benar dari hidup keagamaan orang Farisi dan ahli Taurat [Mat 5:20]. Menurut Henk ten Napel peringatan Yesus disebut sebagai upaya mengajukan sebuah "kebenaran yang lebih benar" [Jalan Yang Lebih Utama Lagi; 1990, hlm. 79]. Saya ingin menyoroti istilah Henk ten Napel secara pribadi. Bila orang Farisi dan ahli Taurat merasa bahwa apa yang mereka "anggap" (hermeneutika Farisi dan ahli Taurat) baik dalam praktek dan ajaran itu sudah "benar" dan ternyata di "mata Yesus" (hermeneutika Yesus) hal itu masih "salah", ini berarti salah satu dari kebenaran itu palsu dan yang lain tulen. Istilah Henk ten Napel ini mengisyaratkan kita untuk berwaspada pada klaim kebenaran-kebenaran yang kita buat dan kita anggap itu sudah benar.
Peringatan Yesus dalam masalah di atas ini dapat bersisi ganda. Dapat berarti Yesus mengecam cara beragama atau agama itu sendiri tak lagi berperan. Tetapi di sini kelihatannya yang lebih mungkin adalah Yesus mengecam sikap keagamaan itu sendiri. Kelompok semi-separatis seperti orang Farisi yang mengka-tegorikan dirinya sebagai orang yang tidak tercemar hal-hal sekuler dan duniawi masih dianggap Yesus sebagai cara hidup keagamaan yang masih perlu dikoreksi. Artinya sikap keagamaan yang masih memupuk keegoisan dan masih berorientasi pada diri sendiri akan tetap menjadi suatu sandungan bagi perdamaian dan pemahaman antar manusia dalam jagad yang semakin renta ini.
Selanjutnya melalui tulisan ini, kita selaku orang yang beragama diharapkan secara kritis mempertanyakan dan mengkaji ulang hidup keagamaan kita. Pendidikan Agama Kristen (selan jutnya PAK) sebenarnya sudah cukup makan asam garam ditunggangi oleh pikiran-pikiran teologi. Harold W. Burges [An Invitation To Religious Education, 1975: 15] secara jelas menyatakan bahwa dasar teologi yang dipilih secara sadar maupun tidak menentukan rumusan atau pengertian tentang (1) tujuan PAK, (2) isi PAK, (3) guru, (4) naradidik, (5) lingkungan pembelajaran, (6) evaluasi. R. C. Miller malah secara terang-terangan menyebut teologi itu sebagai "the Clue" buat PAK. Agaknya kini tiba saatnya PAK memberikan sumbangsih pemikirannya sendiri dalam telaah kritis terhadap teologi yang menjadi dasar yang tidak bisa tidak harus berkaitan dengan agama itu sendiri dan diri PAK sendiri.
Saya tertarik pada apa yang dikatakan C. S. Song bahwa tugas teologi saat ini bagi kita di Asia adalah berjumpa dan menemui Allah yang mungkin ada di "tempat-tempat tersembunyi" dari bangsa-bangsa dan orang-orang, agama-agama dan budaya-budayanya [1990: 48]. DR. Kadarmanto Hardjowasito sudah merintis ini dalam konteks PAK di Indonesia dalam tulisannya yang berjudul "Pendidikan Agama Kristen Dalam Konteks Masyarakat Indonesia Yang Majemuk" dengan tujuan tidak untuk mengecilkan fungsi gereja tetapi untuk menemukan dan merumuskan makna panggilan kehadiran gereja dalam konteks yang majemuk [Berakar di atas Dia dan Bertumbuh di Dalam Dia; 1998: 107-123]. Dalam kuliahnya beliau tetap konsisten, ia sangat menekankan keprihatinannya pada buku-buku teks pelajaran agama di sekolah-sekolah menengah baik yang diterbitkan dalam kalangan Protestan dan Islam yang belum sama sekali memasukan ide "saling memahami dan menerima" antara penganut agama satu dengan lainnya dalam konteks Indonesia yang majemuk. Akibatnya generasi muda tetap akan terkondisi dengan bahaya "egoisme keagamaan". Generasi muda yang tidak disiapkan sejak dini tak dapat dituntut kelak akan bersikap "menerima kemajemukan" secara otomatis.
Saya sempat kaget ketika pertama kali membaca artikel-artikel filosofis seputar pertengkaran agama dalam Burung Berkicau-nya Anthony de Mello yang dengan sinis menyajikan Yesus yang sangat "terganggu" dengan sikap ekshibisonis agama-agama dalam "Pasar Malam Agama" [1984: 180] dan bagaimana Yesus sendiri tidak memihak di satu agama pun dalam "Yesus Menonton Pertandingan Sepak Bola" [1984: 182]. Hal ini mencerminkan betapa egoisme keagamaan memang bukan hanya keprihatinan belaka.
Kalau memang kita (juga orang-orang PAK) tidak segera dengan kritis mengadakan reintepretasi sekaligus rekoreksi terhadap hidup keagamaan atau bahkan agama yang kita anut maka kita akan menerima situasi yang lebih buruk atau paling buruk. Atau kita mulai menilik kembali pola hermeneutis yang baru yang sungguh-sungguh kontekstual (bukan cuma sampai bentuk tesis dan disertasi atau contoh-contoh dalam kelas). Konteks kita benar-benar majemuk. Banyak yang ragu seputar siapa yang akan memulai. Pihak gereja atau yang lain?
Dalam pertemuan Departemen Agama dan Dosen-dosen PAK serta mahasiswa S-2 PAK di Cisarua, DR. Kadarmanto menjawab masalah ini dengan mengatakan, "Bahwa untuk memulai sesuatu yang baik kita tidak perlu menunggu orang berbuat yang baik terlebih dahulu". Maka demi tercapainya suatu maksud soteriologi Allah yang universal dan demi kebaikan dan perdamaian dalam kehidupan umat manusia sejagad maka sebaiknya mulailah berbuat yang baik dengan kita mengoreksi ketidakpedulian dan kekurangan-kekurangan kita lebih dahulu. Mengapa tidak? The Decision is depend on us!