Duri-duri Pemulihan

Penulis : Ayub Yahya

PENGAMPUNAN Tuhan adalah tema yang sangat menonjol dalam Alkitab. Ingat kisah mengharukan "Si Anak Hilang" (Lukas 15:11-32)? Bagaimana Sang Ayah memeluk si bungsu dengan penuh suka. Ada luapan cinta di sana. Segala dosa dan "kekotoran" si anak hilang tidak diingatnya lagi. "Anakku yang hilang telah kembali," katanya.

[block:views=similarterms-block_1]

Cinta Sang Ayah dalam kisah tersebut adalah cinta Tuhan. Sambutan Sang Ayah adalah sambutan Tuhan. Pelukan Sang Ayah adalah pelukan Tuhan. Dan si anak hilang itu adalah para pendosa - kita semua - yang datang kepada-Nya.

Atau tentang Zakheus (Lukas 19:1-10). Ia adalah seorang pemungut cukai. Orang banyak membencinya setengah mati, menghindarinya, dan menganggapnya sebagai pendosa kelas kakap. Tetapi, kepadanya Tuhan Yesus justru berkata, "Zakheus, Aku akan menumpang di rumahmu."

Menumpangnya Tuhan Yesus di rumah Zakheus bukan sekadar menumpang. Ada makna yang lebih dalam dari itu, yaitu: Penerimaan dan pengampunan.

Ya, atas nama norma dan agama manusia bisa saja menolak, menista, atau bahkan menghukum seorang pendosa. Tetapi, di dalam Tuhan selalu tersedia penerimaan dan pengampunan. Kasih setia Tuhan melampaui pikiran manusia; kebaikan Tuhan melampaui batas-batas norma dan agama.

Seperti kepada Zakheus, seperti itulah sikap Tuhan kepada para pendosa - kepada kita semua.

Hingga pemulihan pun terjadi.

Akan tetapi, hati-hati, ada duri-duri terhadap pemulihan Tuhan ini. Duri-duri yang bukan hanya bisa menghambat, tapi juga bisa mengancurkan. Pertama, dari orang-orang yang menempatkan dirinya sebagai "polisi iman". Yaitu, mereka yang sangat peka de- ngan keburukan orang lain, tapi menu- tup mata terhadap keburukannya sendiri.

Mereka mencemooh, mencibir, menghina, merendahkan, menudingkan jari telunjuk kepada orang lain yang tergelincir ke lembah dosa. Padahal, mereka sendiri tidak bersih dari dosa.

Kepada orang-orang seperti itulah Tuhan Yesus berkata, "Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu." (Yohanes 8:7). Sesungguhnyalah, tidak ada kesalahan yang lebih buruk selain ketika kita sibuk ngurusin kesalahan orang dan lupa dengan kesalahan sendiri.

Kedua, dari dalam diri sendiri. Yaitu ketika kita merasa begitu hina, kotor, sangat tercela dan nista. Kita menghakimi dan menghukum diri kita sendiri. Seolah-olah tidak ada lagi harapan untuk memperbaiki diri; ibarat gelas sudah pecah berkeping-keping. Lalu kita hidup dalam ketelanjuran; telanjur kotor sekalian saja berbuat kotor, telanjur tercela sekalian saja berbuat tercela.

Padahal, pikiran kita bisa membentuk siapa dan bagaimana diri kita. We are what we think. Kalau kita terus berpikir bahwa kita ini kotor, hina, tercela, maka jadilah kita benar-benar kotor, hina dan tercela. Sehingga kita pun semakin jauh terjerembab ke dalam lumpur dosa.

Lalu bagaimana?

Tidak ada cara lain, kita harus mengalihkan hati kita. Dari cemoohan dan penolakan orang lain terhadap diri kita, kepada pengampunan dan penerimaan Tuhan; dari pikiran dan perasaan kita yang negatif, kepada kasih dan kebaikan Tuhan.

Tuhan mahakasih. Kasih-Nya tidak terbatas; lebih dalam dari lautan, lebih luas dari langit. Tuhan mahabaik. Tuhan mahapengampun.

Daud merasakan betul arti dipulihkan. Pada suatu masa di hidupnya Daud pernah terjerumus ke dalam dosa yang begitu kelam (2 Samuel 11:1-27). Kasih dan kebaikan Tuhanlah yang mengangkatnya kembali dari keterpurukan karena dosanya itu. Maka Daud pun bermazmur:

"Tuhan adalah pengasih dan penyayang, panjang sabar dan berlimpah kasih setia. Tidak selalu Ia menuntut, dan tidak untuk selama-lamana Ia mendendam. Tidak dilakukan-Nya kepada kita setimpal dengan dosa kita, dan tidak dibalas-Nya kepada kita setimpal dengan kesalahan kita, tetapi setinggi langit di atas bumi, demikian besarnya kasih setia-Nya atas orang-orang yang takut akan Dia; sejauh timur dari barat, demikian dijauhkan-Nya dari pada kita pelanggaran kita" (Mazmur 103:8-12).*

Sumber: Suara Pembaruan