Berkawan dengan Anak Jalanan Perempuan

Oleh : Kelompok Kerja Inasswasti

Berangkat dari pengalaman melihat realitas, mendengar dari para pakar dan membaca dari pemberitaan media bahwa masalah yang dihadapi anak jalanan sangat kompleks dan rumit. Dari latar belakang mereka ke jalan, situasi yang penuh ancaman kehidupan jalanan, serta berbagai bentuk depresi sosial ekonomi, kultural dan psikologis. Semua itu saling terkait membangun pola perilaku dan kematangan emosi bagi anak- anak. Masyarakat umumnya melihat anak jalanan adalah predikat dengan sejumlah stigma sosial yang sudah menempatkan mereka pada posisi yang tersudut. Bagi anak jalanan perempuan, disamping ia menerima sederet karakter yang diberikan masyarakat juga tidak bisa melepaskan diri dari statusnya sebagai perempuan. Sebagai gadis jalanan dengan kodratnya sebagai perempuan (menstruasi, hamil dan melahirkan), ia sangat rentan dengan tindak kekerasan, perkosaan dan pelecehan seksual.

[block:views=similarterms-block_1]

Abstraksi ini tidak akan mengupas secara teoritis keberadaan anak jalanan perempuan. Tetapi adalah awal bercerita tentang pergaulan dengan anak-anak jalanan perempuan di Kodya Yogyakarta. Barangkali terlalu jauh kalau diberi label penanganan terhadap anak jalanan perempuan, oleh karena itu bahasa yang kami gunakan adalah berkawan dengan “anak jalan perempuan .

Untuk mengungkap pengalaman kami dengan gadis-gadis jalanan, sangat sedikit yang dapat kami utarakan. Hal ini karena rentang waktu bergaul dengan mereka yang relatif masih terlalu dini bila dibandingkan dengan pergaulan yang dilakukan oleh Girli dengan anak jalanan laki-laki. Bisa dikatakan bahwa ini adalah permulaan untuk menapaki proses bersama dengan gadis-gadis jalanan yang sering mendapat predikat “Rendan (kere dandan).

Sebagai langkah permulaan untuk berkawan lebih dekat dengan mereka adalah menjalin persahabatan dan pertemanan sebagaimana umumnya terjadi. Adalah hal yang wajar bila kemudian dalam perkawanan, masing- masing terlibat dalam perbincangan diseputar kehidupan mereka, latar belakang mereka, dan perisiwa-peristiwa yang mereka alami. Hingga akhirnya dapat kami ketahui mengapa mereka ke jalanan. Pada umumnya mereka berangkat dari ketidak harmonisan dalam keluarga, percekcokan orangtua, salah satu dari orangtua meninggal sehingga harus menikah lagi, perceraian, situasi kemiskinan, anak kesulitan menyesuaikan diri. Beberapa anak berangkat dari kekecewaan hubungan lawan jenis yang terlanjur. Juga karena pergaulan dengan anak jalanan yang akhirnya membawa mereka ke kehidupan jalanan.

Bagaimana kehidupan mereka di jalan?

Mereka menganggap jalanan adalah komunitas mereka, bagian dari kehidupan mereka. Toh demikian, tidak dapat dipastikan juga dimana mereka selalu berada, mereka sering berpindah-pindah tempat. Ada beberapa tempat sebagai alternatif mereka mangkal. Toilet umum didepan Hotel Mutiara, Pom bensin jalan Mangkubumi, Taman kawasan Shopping, alun-alun utara dan Purawisata. Beberapa diantara mereka sering mangkal di Pantai Samas.

Pada umumnya mereka dipelihara oleh orang laki-laki atau anak- laki- laki yang hidup disekitar tempat mereka mangkal. Biasanya laki-laki akan membayar makan dan minum gadis-gadis jalanan. Bahkan beberapa dari mereka menawarkan untuk membiayai sekolah bila mereka kembali ke sekolah. Hubungan antara gadis-gadis jalanan dengan laki-laki yang memberi mereka makan, atau yang berstatus pacar tidak menutup kemungkinan terjadinya hubungan seksual. Seks menawarkan dua hal bagi mereka; kenikmatan hubungan dan pemeliharaan.

Sebelum ada open house gadis jalanan siang hari mereka berbaring tidur-tiduran diatas peti di pasar Beringharjo lantai II, menyanyi dan bergitar bersama. Kadang-kadang main kerumah temannya atau pergi ke tempat lain diluar pasar. Sebagian mereka bergerombol dengan anak laki-laki di taman Jalan Senopati. Ketika senja hari minum alkohol, ngepil, kalau mereka strees gadis-gadis menggores-gores tangan mereka dengan guilette. Karena pada sore hari pasar tutup, anak-anak biasanya pergi ketempat lain, ke Purawisata atau ke alun-alun selatan. Sebagian dari mereka tidur di "kotakan shopping". Setelah dibuka "Rumah terbuka" pada pagi hari sebagian dari mereka datang ke Open House untuk tidur, mencuci atau sekedar singgah sebelum pergi ke suatu tempat yang lain.

Dari gambaran singkat mengenai tingkah laku, pola pergaulan di jalanan, pergaulan dengan lawan jenis tersebut, kami mencoba melihat masalah-masalah yang sering dihadapi oleh anak jalanan perempuan adalah:

Hal-hal yang berkaitan dengan fungsi reproduksinya; bahaya kehamilan, aborsi, atau terjangkitnya penyakit kelamin. Kekurangan uang, kebanyakan mereka tidak memiliki pekerjaan seperti anak jalanan laki- laki. Kesulitan untuk kembali ke kehidupan bersama karena masa lampaunya dijalanan, mereka dianggap sebagai orang yang berdosa dan masih sukar untuk diterima. Bahaya penggunaan alkohol dan pil yang berlebihan. Melukai diri sendiri, ketika mereka stress. Diskriminasi dan penolakan dari kehidupan masyarakat. Merespon permasalahan tersebut diatas, bukanlah kerja mudah yang dapat diselesaikan dalam jangka waktu tertentu. Karena bukan saja melibatkan anak jalanan sendiri tetapi melibatkan keterbukaan masyarakat pada umumnya. Biasanya ketika mendengar kata "anak jalanan" masyarakat pada umumnya sudah membawa seperangkat asumsi yang negatif dengan mereka. Sehingga untuk membuka rumah terbuka sebagai tempat singgah bagi gadis-gadis jalanan harus berhadapan dengan sejumlah alasan untuk menolak kehadiran gadis-gadis jalanan di tengah-tengah komunitas mereka. Bila demikian, kemudian dimana mereka bisa diterima? Karena jalanan juga sarat dengan segudang kekerasan. garukan dari pihak keamanan dengan alasan stabilitas ataupun kebersihan kota ternyata tidak menyelesaikan. Tipuan-tipuan yang mengatas namakan pihak keamanan memaksa mereka menerima pukulan-pukulan atau penganiayaan. Perkosaan dan pelecehan seksual juga sering dialami gadis-gadis jalanan. Apa yang dilakukan oleh Inasswasti dengan gadis-gadis jalanan sebatas mencoba membuka "rumah terbuka" sebagai alternatif rumah singgah bagi mereka. Dan mencoba membangun, memberi makna perkawanan, persahabatan dengan gadis-gadis jalanan dalam rangka membuka katub-katub yang selama ini tersumbat.