ANAK INGUSAN BERTANI
oleh: Yvonne Sumilat
Apakah engkau pernah bertani?
Aku pernah.... Ha.. Ha...
Tetapi itu dulu sekali... Sekitar 40 tahun lalu.
Ketika itu aku harafiah anak ingusan.
Siang ketika papiku usai mengajar, dia mengajakku ke dusun tetangga. Menurutku itu agak jaoh karena aku tidak pernah keluyuran sejauh itu.
Kami melewati pasar lalu ada jalan yang menurun curam menuju dusun sebelah.
Singkat cerita tugasku di kebun itu yaitu menanam benih lalu benihnya dikubur. Sepertinya benih buncis.
Bukan asal mengubur benih tetapi papiku sudah memberi tanda di tanah. Jadi benih itu ditanam membentuk barisan yang sama jaraknya dan lurus.
Entahlah bagaimana ceritanya aku hanya ingat sepotong saja.
Perasaanku waktu itu... membantu bertani itu tidak bedanya dengan bermain... Ha... Ha...
Sedang papiku yang berada di kebun itu juga, dia mencangkul. Tiada senyum. Mungkin demikianlah jika jadi ayah dengan 4 orang anak. Senyum seorang ayah bersembunyi, bersembunyi di mana.... entahlah... yang terlihat kasat mata hanyalah kerja keras.
Di lain waktu aku membantu menanam kentang.
Kebun tetangga penuh dengan bunga putih kehijauan yang besar. Itulah sayur kubis atau disebut juga sayur kol... Bukan bunga tapi sayur.
Suatu sore ketika kami asyik bertani. Tanpa rasa apa-apa sebagaimana hari biasa saja berjalan apa adanya dan seadanya. Kami dijemput dengan nada perintah harus cepat pulang.
Sesampai di rumah ada Oom Freddy yang adalah adik mamiku datang dari Surabaya ke pelosok itu. Ada berita duka bahwa emakku (nenekku) meninggal dunia.
Maka kami berangkat ke Surabaya ke rumah duka tempat jenazah emakku disemayamkan.
Si bungsu yang masih bayi ditinggal bersama embok di rumah kayu itu.
Di pagi hari kerjaku keluyuran di desa itu...
Kalau musim nangka ada banyak biji nangka yang tercecer di halaman sekolah SD Inpres. Aku pungutin biji-biji itu lalu aku bawa pulang.
Mamiku mencuci biji nangka itu hingga bersih lalu dikukus. Makan biji nangka di sore hari adalah salah satu alternatif mengisi hidup....
Tiada boneka di rumah. Bola juga tak punya.
Sore lain adalah duduk-duduk di sekitar pawon atau perapian. Ada tungku di sana. Asap kayu bakar tak punya rasa sungkan untuk menabrak mata kami atau sekedar melewati rambut kami.
Di pawon itulah kami mengubur kentang kecil di abu kayu bakar. Setelah sekian menit maka dibantu ranting pohon kami membongkar abu itu dan mencari kentang dengan perhitungan bahwa kentang itu telah matang. Hanya menunggu sedikit dingin maka kami menguliti kentang hangat itu untuk disantap.
Sekarang hanya pegang HP dan mouse.... Sebelum kerja akrab dengan bawang dan garam. Kalo malam berteman dengan jarum dan benang.
Tanah dan benih hanyalah sepotong tempo di tempo dulu.
Yvonne Sumilat
anak ingusan bertani
#papiku guru di desa
5 April 2017