Paskah di Hadapan Kubur Kosong

Penulis : Martin L Sinaga

BERBEDA dengan kitab-kitab Injil lainnya, Injil menurut Markus menutup tuturannya dengan mengejutkan sekali: "Lalu mereka (para murid Yesus) keluar dan lari meninggalkan kubur (Yesus) itu, sebab gentar dan dahsyat menimpa mereka. Mereka tidak mengatakan apa-apa kepada siapa pun juga karena takut" (Mrk 16:8). Karena sedemikian mengejutkannya, sampai-sampai penyunting dan penyalin Injil Markus itu kemudian menambah ending sampai 12 setengah ayat lagi; namun para ahli Biblika bersepakat, Markus (kitab Injil tertua itu) menutup narasi hidup Yesus dengan kisah Kubur Kosong!

[block:views=similarterms-block_1]

Siasat apa yang Markus tengah rancang melalui narasinya itu? Mengapakah kisah Paskah-Kebangkitan seolah hendak dibelokkan oleh Markus menjadi kisah yang terbuka, penuh tanya, dan lalu malah diberi arah baru, bahwa murid-murid Yesus harus pergi ke Galilea (Mrk 16:7), dan harus terus menempuh jalan panjang lagi?

Juga, mengapa Markus menulis penampakan malaikat yang memberitakan kabar kebangkitan Yesus pertama-tama diungkapkan kepada para perempuan, yang dalam tradisi patriarkat Yahudi dianggap sebagai makhluk yang tidak terpercaya dan tidak objektif menangkap fakta?

Bukankah nanti Kebangkitan bisa menjadi gosip, kabar angin, dan produk sikap subjektif?

Rupanya, sang redaktur Injil itu (baca: Markus) berada di tengah krisis, dan konteks itulah yang mendorongnya melancarkan kiat sastra yang jitu saat menulis kitab Injil Markus.

Ia adalah bagian dari generasi kedua Kekristenan yang terkejut dengan deraan hidup, yang dikira semula akan usai kalau Kristus yang bangkit datang mengangkat mereka keluar dari beban sehari-hari. Sehingga, suatu iman yang mengira bisa secara penuh mengubah realitas, bagi Markus, malah akan membahayakan Kekristenan.

Bagi Markus, kebangkitan bukanlah triumfalismetotal atas kesusahan sehari-hari. Paskah bukanlah kemenangan akhir. Baginya, Paskah berarti bahwa jalan masih terbuka ("sekarang pergilah ... ke Galilea") untuk bertemu Kristus Sang Anak Manusia itu, di setiap perkara hidup.

Dan, jalan terbuka itu harus dijalani terus, apalagi semua tahu, Kristus Sang Anak Manusia baru saja berjalan dengan kepala yang berdarah.

Jangan sampai mahkota duri terlupakan, sebab melalui ketekunan menghadapi kesulitan hidup sehari-harilah Yesus dinyatakan sebagai kekasih Allah.

Hal itu perlu dicatat, sebab sejak semula para murid Yesus saat itu hanya mau melihat Yesus selaku Mesias-Penebus, yang memberi mereka makan (melalui mukjizat penggandaan lima roti dan dua ikan).

Akan tetapi, mereka buta mengenai Yesus Sang Hamba Allah yang menderita, yang memberi nyawa-Nya bagi sesama (Mrk 10:35-45).

Makanya, makin tambah penjelasan mengapa Markus menutup kisah Injil-nya dengan mendadak dalam lakon para murid yang takut, hal itu dilakukan agar kita kini -pembaca kontemporer Injil Markus- masuk dan menggantikan para murid yang tersekap dalam gentar dan kecut itu.

Kini, kita pun berdiri di hadapan kubur kosong, dan dipesankan bahwa Yesus sudah bangkit, dan malah telah mendahului kita melanjutkan lagi perjalanan memasuki setiap kelok perkara hidup sehari-hari. Dan, jalan terus terbuka, sekalipun berita kebangkitan itu lebih sebagai produk sikap subjektif iman, bukan suatu ihwal objektif yang beku.

Kita yang berdiri di hadapan jalan yang terbuka itu -sambil menemukan inspirasi dari kisah Paskah menurut Injil Markus - perlu juga terus ikut mengambil langkah menemukan makna kisah Paskah ini bagi kita. Paskah-Kebangkitan tampaknya serentak adalah suatu tindakan Allah dan juga langkah manusia.

"Kebangkitan Yesus Anak Manusia yang mati di salib" itu kini menjadi suatu metafora rohani, suatu pesan akan keserbamungkinan untuk tetap melangkah dan tidak tersekap dalam fatigue (kelelahan buntu) hidup sehari-hari di negeri yang mencoba bertransisi ini.

Dan, tampaknya memang hari-hari kita sudah lelah pasca-tumbangnya rezim Soeharto: mulai dari kerusuhan, konflik horizontal, kekerasan konspiratif aparat negara, sampai kegalauan menghadapi kebijakan kenaikan BBM yang tampak angkuh dan tak perduli dengan hidup sehari-hari rakyat kecil.

Tetapi, justru kita tidak boleh berlindung pada agama di tengah-tengah semua itu, tidak juga kita boleh mengungsi kepada Tuhan. Paskah bukan tentang jaminan bahwa semua hal akan dibereskan oleh Tuhan, bukan pula semua kesulitan akan lenyap.

Paskah, bagaimanapun, bukan perayaan akhir zaman. Namun, Paskah adalah undangan bagi manusia -yang kalau mau memakai mata hati imannya - untuk terus melangkah, bekerja dengan mata yang terarah ke depan. Ia kiranya sudi bekerja dalam detail-detail keseharian, dan mencoba memantapkan kakinya, walau tahu bahwa arah hidup bersama di Indonesia ini serba tidak menentu.

*

Dan, kiranya ia juga melihat bahwa Allah adalah horizon harapan itu sendiri, yang entah mengapa, membuatnya tidak menghindar lari dari musim pancaroba yang panjang di negeri ini. Juga, dalam perspektif Paskah sedemikian inilah kita perlu memerikan ihwal besar, namun tetap tampak tak terpahami, yang melanda bangsa kita, yaitu tsunami Desember lalu.

Mungkin sebelum ke soal tsunami Aceh-Nias itu, ada pengalaman lain yang juga tak terperikan, yang dialami anak-anak Yahudi, yaitu peristiwa shoah (holocaust, pembasmian besar-besaran) di zaman Nazi-Hitler itu. Bahkan seorang seperti Ulrich E Simon (yang menulis A Theology of Auschwitz) mengatakan, tanpa Kebangkitan (Yesus) shoah betul-betul neraka.

Baginya, peristiwa yang tak terpahami di masa lalu hanya bisa dihapuskan oleh peristiwa di masa depan. Dengan demikian makna Paskah berarti juga bahwa jejak kebangkitan telah mulai menjejas di jalan kita, dan di hadapan kita terbentang penyingkapan baru yang akan menjelaskan makna peristiwa yang membingungkan sekalipun.

Dan, sikap atas tsunami kiranya sama: kita memang tak paham mengapa hal itu terjadi di Aceh-Nias, dan agama-agama yang hanya bermodalkan teologi "hukuman-berkat" tidak akan mampu lagi menjelaskan soal itu. Tak mungkin dikatakan bahwa Tsunami adalah hukuman Ilahi, tak juga ada yang berani mendedah bahwa kita yang lolos darinya diberkati Tuhan.

Dengan berita Paskah, kita umat beragama diingatkan akan kebangkitan, dan itu berarti kemungkinan hidup masih terbuka di depan kita semua. Kalau begitu, hanya kerja demi masa depan yang baik yang maksimal kita bisa percayai sebagai pesan Tuhan bagi bangsa kita saat ini.

Memang -sekali lagi - kita harus terus berjalan dan pergi ke "Galilea", suatu kota simbolik di masa depan, di mana umat yang lelah berjalan tetap giat bekerja membangun komunitas bersama yang baru.