Pasifis

Penulis : R.P Borrong

Terminologi pasifis (Inggris pacifist) berarti cinta damai. Tidak ada manusia berpikiran normal yang tidak cinta damai. Terutama di saat begitu banyak kekerasan dan permusuhan ditampilkan dan dikedepankan. Tetapi justru pada saat terjadi kekerasan dan permusuhan ada orang tertentu cenderung menolak bersikap pasifis. Sebut saja sebagai contoh adalah sikap yang ditempuh Dietrich Bonhoeffer terhadap kekerasan dan kebrutalan massal yang dilakonkan Nazi. Walaupun tidak terang-terangan, Bonhoeffer bergabung dengan komplotan Klandestin, yang berikhtiar mengakhiri kekerasan dan kebrutalan Nazi dengan jalan membunuh pemimpinnya sang Fuhrer, Adolf Hitler. Sayangnya, sebelum ikhtiar itu berhasil, komplotan tersebut keburu terbongkar. Bonhoeffer sendiri dihukum gantung oleh anggota Nazi hanya beberapa saat sebelum Hitler sendiri "tewas" dan mengakhiri kekerasan dan kebrutalan Nazi.

[block:views=similarterms-block_1]

Apa yang mendorong seseorang menghalalkan kekerasan melawan kekerasan bukanlah semata-mata karena adanya dendam kesumat dan kedengkian, tetapi juga karena keyakinan bahwa kekerasan tidak pernah dapat diakhiri dengan jalan damai atau kompromi sekalipun. Pandangan yang terakhir itulah yang menjadi keyakinan Bonhoeffer. Baginya kebrutalan dan kekerasan yang diperankan Nazi tidak mungkin dapat dihentikan dengan usaha damai atau kompromi. Sebabnya adalah adanya angkara murka dan mabuk kuasa tak terbendung dalam diri pemimpin seperti Hitler.

Dalam surat-surat rahasia Bonhoeffer yang ditulisnya dari penjara, ia mengungkapkan keprihatinannya akan sikap lunak bahkan memihak dari banyak pemimpin gereja. Sikap lunak dan memihak tersebut justru mengobarkan semangat dan nafsu membunuh dari sang Fuhrer. Kasus ini mungkin terjadi sekali saja dalam sejarah.Tiap peristiwa ada konteksnya. Tetapi peritiwa-peritiwa serupa akan terus ada.

Kekerasan sebagai perlawanan yang marak akhir-akhir ini terutama dari kelompok yang disebut sebagai teroris umumnya menghalalkan kekerasan sebagai jalan satu-satunya membendung kuasa yang menindas. Sikap ini terutama diyakini oleh mereka yang selalu merasa berada di pihak yang kalah dan tak berdaya. Ajaran agama sering kali dipakai sebagai alat pembenaran terhadap sikap nonpasifis tersebut. Seolah-olah agama mengajarkan bahwa kekerasan dapat dipergunakan untuk melawan kekerasan untuk mengakhiri kekerasan.

Benarkah demikian? Kalau kita melihat sepintas saja kepada situasi antara Israel dan Palestina, maka menjadi jelas bahwa kekerasan tidak mungkin dapat dipakai sebagai alat atau cara mengakhiri kekerasan. Sebaliknya kekerasan akan melahirkan kekerasan baru yang tak akan pernah berakhir. Itu sebabnya agama menjadikan cinta damai (pasifis) sebagai salah satu nilai tertinggi dalam relasi antar-manusia. Dalam Alkitab misalnya diajarkan bahwa "berbahagialah mereka yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah" (Matius 5:9).

Pasifis adalah sikap yang diidealkan bahkan diagungkan oleh ajaran agama terhadap relasi antar-manusia bahkan dalam relasi manusia dengan makhluk lain (Yesaya 11). Kedamaian atau shalom selalu menjadi visi keagamaan mesianistik. Karena itu, ajaran agama tidak mungkin membenarkan kekerasan sebagai alat atau cara untuk mengakhiri sebuah kekerasan. Maka ajaran agama dapat disebut sebagai sikap yang pro-pasifis.

Kemanusiaan

Kekerasan, khususnya perang tidak mendapat tempat dalam agama, walaupun dalam Kitab Suci, misalnya Alkitab, perang dipakai sebagai salah satu cara untuk mencegah pengaruh buruk kejahatan. Dalam konteks masyarakat purba di mana kemanusiaan dipahami secara sempit sebatas sesama suku atau sesama agama, pembenaran perang sebagai cara mengatasi kejahatan atau perilaku tidak adil dari kelompok yang menjadi musuh, ataupun pemimpin yang berbuat lalim, dapat dipahami dan diterima dan dibenarkan oleh moral pada saat itu.

Juga dalam konteks kekerasan sebagai alat �putih hama� (karantina) untuk mencegah berjangkitnya kejahatan, kekerasan dalam arti perang dan pemusnahan, dapat dibenarkan secara moral oleh suku tersebut. Israel sebagai suatu suku dibenarkan memerangi suku lain yang dapat menjadi ancaman keberadaan dan kesucian agama mereka. Dalam pemahaman seperti itu, TUHAN dipahami membenarkan kekerasan sebagai alat mencegah pengaruh buruk kejahatan atau dosa.

Contoh penghukuman terhadap dosa manusia yang diceritakan dalam Alkitab (Kejadian 6-9) dan penghukuman terhadap Sodom dan Gomora (Kejadian 19) dapat dibenarkan sesuai konteks pencegahan menularnya kejahatan dalam konteks suku yang menganut paham keagamaan homogen.

Dalam kekristenan dikenal apa yang disebut sebagai perang untuk keadilan (just war). Paham itu diwarisi dari Yudaisme. Hukum Yahudi membolehkan dua bentuk perang untuk keadilan (just war) yaitu agama (religious war) dan perang biasa (optional war) untuk kepentingan sosial-politik. Perang agama dipahami sebagai perang untuk membela kebenaran keyakinan agama. Sedangkan perang yang opsional dapat dilakukan kalau dianggap perlu untuk membela kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Perang semacam itu harus mendapatkan penetapan dari para pemimpin agama atau Sanhedrin. Yudaisme modern menjadikan kedua bentuk perang tersebut untuk melegitimasi kekerasan yang ditampilkan terutama dalam konteks politik dan yang ditafsirkan sebagai kebajikan yang terkait dengan agama.

Pencampuradukan ini menyebabkan seolah-olah agama mendukung penggunaan kekerasan dalam pencapaian tujuan agama maupun politik. Dalam faksi Islam tertentu paham mengenai perang suci (holy war) atau jihad kurang lebih dipahami seperti perang agama sebagai kewajiban dalam Yudaisme, yaitu perang sebagai panggilan demi mempertahankan dan membela aqidah atau agama. Konsep jihad (perang suci) dibenarkan oleh faksi tertentu, misalnya oleh Hamas di Palestina, baik untuk tujuan agama maupun untuk tujuan politik.

Pada hakikatnya Yudaisme, Islam dan Kristen adalah agama yang pro-pasifis. Kekerasan dan perang hanya diizinkan untuk hal-hal yang sangat khusus dan yang terkait dengan ancaman terhadap keyakinan agama. Tetapi dalam kehidupan modern, pengecualian-pengecualian itu kadang-kadang dipakai sebagai pembenaran umum penggunaan kekerasan dalam mengatasi konflik antar bangsa, khususnya yang bernuansa agama.

Mudah dipahami, ketika terjadi sentimen bernuansa agama dalam masyarakat, gampang sekali ia menjelma menjadi permusuhan yang menghalalkan kekerasan sebagai alat penyelesaian sentimen tersebut. Hal seperti ini bisa dipahami secara psikhologis dan sosiologis karena bidang paling sensitif dari kehidupan manusia adalah bidang agama. Ketika kepentingan politik dicampurkan atau memperalat sentimen agama, maka sangat mudah meledakkan kekerasan.

Reinterpretasi

Contoh-contoh dilakukannya kekerasan dalam Kitab Suci, misalnya dalam Alkitab, seperti yang disebutkan di atas mestinya direinterpretasi dan tidak begitu saja dijadikan sebagai acuan untuk menganggap bahwa agama membenarkan kekerasan atau anti-pasifis. Dalam paham Kristen, Yesus diyakini sebagai seorang pasifis. Dalam khotbah-khotbah-Nya, Tuhan Yesus sangat mene- kankan prinsip pasifis, bukan saja terhadap sesama suku atau sesama agama melainkan terhadap musuh. "Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu" (Matius 5:44). Pandangan Yesus ini merupakan koreksi terhadap hukum balas dendam "gigi ganti gigi, mata ganti mata" (lex talionis) dalam tafsiran Torah Yahudi pada saat itu.

Tidak membalas, merupakan sikap sejati yang diajarkan Tuhan Yesus. Tuhan Yesus adalah seorang pasifis sejati, bukan hanya dalam ajaran-ajaran-Nya tetapi terutama melalui sikap hidup-Nya sendiri. Kepada orang-orang yang menfitnah dan menganiayanya Ia berdoa supaya TUHAN mengampuni mereka sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat (Lukas 23:34).

Ajaran dan teladan Yesus ini diikuti oleh gereja sepanjang abad, walaupun dalam teologi Kristen kekerasan atau perang dibenarkan sebagai alat untuk menegakkan keadilan. Perang seperti itu harus benar-benar dapat menjamin bahwa hanya sedikit orang akan terbunuh untuk menyelamatkan lebih banyak nyawa yang terancam oleh musuh atau oleh regim represif-otoriter dan sewenang-wenang.

Agustinus, seorang bapa gereja dan teolog klasik berpendirian bahwa perang untuk keadilan haruslah memenuhi dua syarat yaitu proporsionalitas yaitu bahwa lebih banyak nyawa terselamatkan dari pada nyawa yang hilang dan legitim yaitu bahwa penggunaan kekerasan itu harus didukung oleh otoritas yang resmi.

Para teolog modern di Amerika Serikat, terutama Yoder dan Niebuhr membela bahwa iman Kristen mengajarkan dan menganjurkan sikap hidup pasifis. Mengenai penggunaan kekerasan untuk tujuan mengusahakan keadilan dan mencegah ketidak-adilan, keduanya berpendirian bahwa hal itu harus digunakan secara sangat cermat. Mengutip Luther, perang atau kekerasan haruslah dipandang sebagai pisau bedah untuk menyembuhkan dan karena itu penggunaan perang untuk keadilan haruslah setangkas pisau ahli bedah. Adanya contoh kekerasan dalam sejarah kehidupan Kristen haruslah dipahami sebagai penyimpangan dan interpretasi yang salah terhadap anjuran Kitab Suci. Para agamawan diharapkan menjadi para pemimpin yang menganjurkan dan meneladankan sikap pro-pasifis sebagai sikap beragama yang sejati sebagaimana diajarkan oleh Kitab Suci.

Dalam konteks dunia modern bahkan post-modern, ketika umat manusia semakin menyatu tanpa sekat suku, bangsa maupun agama; kekerasan atau perang tidak mungkin lagi dapat diterima oleh akal sehat dan tidak mungkin lagi dapat dibenarkan secara moral. Manusia modern dan post-modern adalah manusia yang sungguh-sungguh telah dewasa dan menerima kemanusiaannya secara universal dan global. Itu sebabnya nilai-nilai kemanusiaan universal haruslah mencegah kita menggunakan kekerasan untuk mengatasi perbedaan.

Segala sesuatu mestinya bisa dibicarakan dan diatasi secara damai dan dengan akal sehat. Dalam konteks agama, manusia modern harus kembali kepada pesan orisinal agama yaitu bahwa agama tidak mendukung kekerasan dalam mengatasi perbedaan paham antar manusia karena agama pada hakekatnya memuliakan TUHAN yang memberi damai dan yang mengajarkan kedamaian kepada umat manusia. Pesan orisinal agama inilah yang seharusnya terus dikedepankan dan ditonjolkan dalam membangun rlasi antar-manusia dan antar-bangsa, sihingga dunia kita ini benar-benar menjadi dunia pasifis, dunia cinta damai.

Sumber: Suara Pembaruan Daily