Refleksi Teladan Kepemimpinan
Oleh: Maryono
Gembala: Pemimpin yang melayani
Kita perlu bertanya pada diri sendiri apakah kita telah menjalankan tugas pengembalaan dengan baik.
Tulisan ini adalah sebuah Refleksi dari pertanyaan tersebut diatas yakni bentuk penggembalaan atau pelayanan sebagai tugas dari Pendeta, Penatua, Diaken. Banyak kriteria dan ciri-ciri pelayanan yang berkenan di hadapan Allah berdasarkan Alkitab, antara lain:
Pertama, melayani dengan kerelaan artinya tanpa imbalan atau keinginan memperoleh jasa dan atas kemauan sendiri mengambil bagian dalam pelayanan. Seperti jemaat di Makedonia dengan kerelaan sendiri meminta dan mendesak agar beroleh kasih karunia untuk mengambil bagian dalam pelayanan kepada orang-orang kudus (2 Korintus 8:4) ;
Kedua, melayani dengan kesetiaan artinya menempatkan diri kita sebagai hamba (budak) yang harus pasrah terhadap perintah Tuannya, Yesus Kristus. Pelayan sebagai hamba yang selalu mencari kesukaan Tuannya bukan kesukaan manusia. Kata Paulus: Sekiranya aku masih mau mencoba berkenan kepada manusia, maka aku bukanlah hamba Kristus (Galatia 1:10).
Ketiga, melayani dengan ketaatan dan kepatuhan artinya segala pikiran yang menyerah dan tunduk kepada kuasa Allah, karena Allah memerintahkannya. Bahkan bila kita menghadapi pergumulan sehari-hari terhadap kehidupan sosial: Kita harus taat kepada Allah daripada kepada manusia (Kisah Rasul 5:29). Demikian pula Kristus dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati di kayu salib (Filipi 2:8).
Keempat, melayani dengan ketekunan artinya melakukan pekerjaan lebih penting dari pada status jabatan (misal penatua di Gereja) dan melaksanakan tugas bukanlah semangat yang sebentar, suam-suam kuku. Melayani Dia siang dan malam di Bait Suci-Nya (Wahyu 7:15),
Kelima, melayani dengan tulus dan rendah hati artinya pelayanan yang bersumber dari respon dan perasaan terima kasih atas anugerah yang diterima dari Allah. Sebab segala sesuatu dari Dia, kata Paulus : supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati. (Roma 12:1).
Keenam, melayani dengan sukacita, suatu ungkapan lahiriah yang bergairah dan semangat seperti Jemaat di Makedonia walaupun dicobai dengan berat dalam pelbagai penderitaan, sukacita mereka meluap dan meskipun mereka sangat miskin, namun mereka kaya dalam kemurahan (2 Korintus 8:2).
Ketujuh, melayani dengan dedikasi yang bermakna tidak terpengaruh dengan besar kecilnya bentuk pelayanan yang dilakukan, apakah melayani di kolong jembatan atau di tempat-tempat yang mewah. Paulus berkata: sebab kalau seorang menyangka, bahwa ia berarti, padahal ia sama sekali tidak berarti, ia menipu dirinya sendiri (Galatia 6: 3). Pesannya adalah jangan menganggap reputasi jabatan, status sosial kita terlalu tinggi untuk melayani saudara kita yang miskin, lemah dan tak berdaya, sebenarnya kita bukan apa-apa di hadapan Allah.
Kriteria itu semua, seharusnya stAndar jawaban pertanyaan dalam topik tulisan ini, yang menyuarakan tidak hanya suara hati tetapi juga nilai-nilai tertentu dalam kehidupan pribadi gembala atau pemimpin di lingkungannya, sehingga gembala atau pemimpin dapat diterima dan dipercaya jemaat atau pengikutnya. Kriteria itu menuntut Self Denial, penyangkalan diri, Hal inilah yang dituntut Yesus: setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku (Markus 8:34). Pengikut Yesus memberikan dirinya bukan untuk suatu imbalan, tetapi “memberi” karena itu kebenaran yang harus dilakukan. Dan inilah yang membedakan Pemimpin rohani dan pemimpin sekuler atau pemimpin sebagai panggilan atau pemimpin sebagai profesi.
Pertanyaannya, bagaimana jemaat dapat mengetahui bahwa pemimpin atau gembalanya (Pendeta, Penatua, Diaken) telah melakukan nilai-nilai tersebut di atas? Sederhana, ya, sederhana. Orang melihat, mengamati dan menilai sikap. Jemaat melihat dan menilai seorang gembala harus memunyai standar moral yang tinggi. Kalau Anda menyanyi: gembala juga manusia! Ya, benar, manusia yang memunyai standar moral lebih tinggi dari pengikutnya bahkan orang kebanyakan umumnya. Hal ini adalah nilai-nilai yang dianut oleh jemat bagi pemimpin rohani mereka. Penulis Ibrani mengingatkan: Ingatlah akan pemimpin-pemimpin kamu, yang telah menyampaikan firman Allah kepadamu. Perhatikanlah akhir hidup mereka dan contohlah iman mereka (Ibr. 13: 7 ).
Memang, Alkitab penuh dengan kata hikmat sebagai petunjuk kehidupan ataupun penggembalaan. Tetapi hanya membaca dan mengajarkan Alkitab dengan suara keras, bersemangat, berapi-api bagaikan orator ulung tidak akan membuat seorang layak menjadi gembala. Kata-kata atau pesan tidaklah cukup, karena satu hal penting yang berpengaruh terhadap pengikut atau warga jemaat adalah pemberian teladan yang menyejajarkan tindakan pribadi sesuai dengan Firman Tuhan yang diajarkannya. Ya, Jemaat atau pengikut mendengarkan pesan dalam khotbah, ceramah, atau nasehat dari gembalanya, tetapi mereka juga mengikuti jejak kaki (keteladanan) gembalanya. Oleh karena itu, hikmat dalam Kumpulan amsal-amsal Salomo mengingatkan: Siapa bersih kelakuannya, aman jalannya (Ams 10:9a).
Pelajaran apa yang dapat dipetik, apabila berkomitmen menjadi pelayan Tuhan seperti gembala atau pendeta atau majelis:
1. Kehidupan mereka adalah cermin yang memantulkan prinsip-prinsip ajaran Tuhan yang ingin diikuti pengikut atau jemaatnya.
2. Seorang yang “terpanggil” menjadi pelayan Tuhan harus bertanya: Siapa sebenarnya yang dilayani dan apakah siap menderita! Ini menuntut ketekunan, kerendahan hati dan resiko.
3. Akhirnya, apabila kita berkomitmen menjadi Pelayan, antara lain dapat direnungkan :
Apakah kita konsisten antara tindakan dan ajaran Firman Tuhan sebagai petunjuk kehidupan orang percaya ? karena fungsi sebagai “panutan”, Jangan mengajarkan sesuatu yang tidak Anda miliki.
Bagaimana cara menghabiskan waktu kita sehari-hari dalam pelayanan? Artinya apabila waktu kita masih terlalu sibuk dengan lebih mementingkan pribadi, pekerjaan, atau seorang Majelis ternyata lebih banyak dirumah menonton TV dari pada kunjungan ke warga, mungkin perlu direnungkan keterlibatan kita dalam pelayanan.
John Maxwell dalam bukunya The 21 Irrefitable Laws of Leadership memberitahu kita untuk: “Memproses diri sendiri lebih dulu sebelum memproses orang lain". Oleh karena faktanya, lebih mudah mengajarkan apa yang benar dibanding melakukan apa yang benar
Selamat Melayani.