Menguji Ekspektasi

Penulis : Eka Darmaputera

BERMANFAATKAH "iman" itu? Atau tidak? Taruh kata jawaban kita positif, "Ya, iman itu besar faedahnya", ini ternyata belum berarti semuanya beres. Kita masih harus menjelaskan lagi, "manfaat" yang kita maksudkan itu termasuk kategori pengertian apa. Belum jelas?

[block:views=similarterms-block_1]

Baik saya jelaskan yang saya maksudkan. Bayangkanlah andaikata ada orang bertanya, "Bermanfaatkah udara atau air atau hujan itu, menurut Anda?", maka apa jawaban Anda? Pasti "positif". "Tentu, menurut keyakinan dan pengalaman saya, udara atau air atau hujan itu amat sangat bermanfaat!". Bahkan bukan cuma "positif" sekadar "positif". Melainkan "positif" dalam pengertian "kategoris". "Positif" dalam pengertian "kategoris" artinya, positif untuk siapa saja, di mana saja, kapan saja. Pertanyaan logis selanjutnya adalah: bila ada "positif" yang "kategoris", apa itu berarti ada "positif" dengan kualifikasi yang lain? Memang ada! Itu sebabnya di atas saya bertanya, bila "iman" itu kita katakan bermanfaat, kita masih harus menjelaskan, "manfaat" dalam pengertian yang bagaimana?

DI SAMPING "manfaat" yang "kategoris", ada pula "manfaat" yang "kondisional". Apa bedanya? Kita tadi mengatakan, bahwa udara atau air atau hujan bermanfaat secara "kategoris". Artinya, siapa saja, di mana saja, kapan saja, orang menikmati serta mengakui kemanfaatannya. Tapi bagaimana bila pertanyaan kita bukanlah mengenai udara atau air atau hujan, tapi mengenai komputer atau kamera digital atau DVD-player? Saya yakin, kita akan memperoleh jawaban yang berbeda. Sebagian orang akan mengatakan, bahwa mereka tidak akan bisa "hidup" dan akan menjadi "lumpuh", tanpa benda-benda itu. Tapi bagi sebagian orang yang lain, benda-benda itu (relatif) tak ada gunanya. Seperti antena parabola atau lemari pendingin untuk rumah-rumah yang belum ada aliran listriknya. Maka kalau pun mau dimanfaatkan, antena parabola itu dipasang untuk "aksi-aksian". Dan lemari es untuk menyimpan pakaian. Komputer, kamera digital dan DVD player tentu saja "bermanfaat". Tapi bermanfaat dalam pengertian "kondisional" alias "bersyarat". Bagi Inge, tenaga eksekutif di sebuah perusahaan multi-nasional, benda-benda itu amat sangat bermanfaat. "Cannot live without it", katanya. Tapi si Cempluk, putri seorang transmigran di pedalaman Papua atau Kalimantan, malah bertanya, "Untuk apaan sih itu?" Siapakah yang benar, di antara mereka berdua? Inge atau Cempluk? Jawab saya: dalam hal yang bersifat "kondisional", tak ada soal "benar" atau "salah". "Benar" atau "salah" itu tergantung.

"TERGANTUNG"? Tergantung apa? Ini adalah sebuah pertanyaan besar! Sebab andaikata saja benar (tapi, awas, saya tidak mengatakan begitu lho!), manfaat "iman" itu bersifat "kondisional" saja, maka pertanyaan kita adalah: bermanfaat atau tidak bermanfaat itu, tergantung dari apa? Atau, tergantung pada apa? Depends on what? Pertanyaan yang wajar, bukan? Berulang-ulang, saya kira, saya telah memperingatkan Anda, janganlah sekali-kali mempercayai propaganda bahwa seolah-olah ada obat atau jamu yang bak "obat dewa", ces pleng mampu mengobati semua penyakit. Tidak ada obat serupa itu. Cuma tabib atau dukun atau sinshe pembohong atau pembual saja, yang mengiklankan diri "mampu menyembuhkan semua penyakit baik baru maupun lama". Dokter saya, seorang profesor ternama, mengatakan, "Bahkan untuk penyakit yang sama, bagi orang yang berbeda, obat yang sama belum tentu sama manjurnya".

KARENA itu saya tertawa geli melihat, pada suatu pagi, A Fung marah- marah. Pasalnya karena, walau telah berkutat setengah mati, ia tak juga dapat membuka pintu tokonya. "Dasar kunci brengsek! Kunci murahan!", begitu ia mengumpat. Padahal, apa penyebab sebenarnya? Karena A Fung memakai kunci yang salah. Ya mana pintu bisa terbuka, bukan?! Kemudian saya juga cuma dapat menggeleng-gelengkan kepala, mendengar Ferdinand mengumbar sumpah serapah. Penyebabnya, mobil mewah eks- impor yang baru seminggu dibelinya dengan harga hampir semilyar rupiah, tak dapat ia pakai untuk ber"lintas-alam" naik gunung di tengah-tengah musim penghujan. Malah slip, terperosok ke kubangan lumpur tanah liat. "Nyesel bener gua beli mobil ini! Masih mending jip tua gua!" demikian tak habis-habisnya ia menggerutu. Saya menggeleng-gelengkan kepala, karena agaknya Ferdinand tidak menyadari, bahwa semakin mahal harga atau semakin mewah sebuah mobil, sama sekali tidak otomatis berarti semakin serba-guna pula. Tidak! Di jalan yang mulus, mobil mewah itu memang tak tertandingi. Tapi untuk menembus kubangan lumpur tanah liat di jalan yang terjal menanjak? Sebuah jip Willys tua pasti masih jauh lebih berguna. Dengan perkataan lain, masing-masing benda ada peruntukannya sendiri- sendiri. Yang ingin saya katakan adalah, bila orang mengatakan "iman" itu bermanfaat, atau sebaliknya telah memvonisnya sebagai tidak bermanfaat, ada pertanyaan krusial yang harus dijawab terlebih dahulu. Yakni, apa harapan atau tolok ukur yang dipakai untuk mengatakan itu?

MISTER Templeton, Anda mengatakan bahwa "iman" tak ada manfaatnya?!. Wah, wah, wah! Pada satu pihak, tentu, ini adalah hak dan kebebasan Anda sepenuhnya. Tapi, Mister, kalau Anda mau orang lain mengacuhkan dan mempertimbangkan pendapat Anda itu, maka Anda harus menjelaskan, apa sebenarnya yang Anda harapkan dari "iman", sehingga Anda tiba pada kesimpulan Anda itu? Apa ekspektasi Anda yang tak terpenuhi? Maka dari situlah nanti kami akan menilai keabsahan pernyataan Anda. Yaitu, apakah ekspektasi Anda itu wajar atau berlebih-lebihan. Sebab bila "harapan" Anda itulah yang salah, ya jangan "iman" yang Anda persalahkan atau permasalahkan. Bayangkanlah sebilah parang yang panjang dan tajam. Bermanfaatkah ia? Sebenarnya orang tidak boleh cepat-cepat menjawab "bermanfaat" atau "tidak bermanfaat". Tapi sebaiknya bertanya terlebih dahulu, "Bermanfaat untuk apa?" Bila parang itu Anda mau pakai untuk memotong bambu atau membelah kayu maka, ya, positif. Parang itu bermanfaat. Sebab memang itulah peruntukannya. Tapi jangan Anda katakan benda itu mubazir, sia-sia, atau tak ada gunanya, sebab Anda ingin memotong kuku, atau menggergaji kayu, atau menggunting kain dengannya! Sebab bukan untuk itu, bung, guna sebilah parang itu!

YANG ingin saya katakan adalah, banyak kesimpulan yang salah mengenai apa manfaat "iman" bagi kehidupan. Ini disebabkan harapan- harapan yang salah dibubuhkan di atas bahu "iman". Bagaimana mungkin berhasil, mengobati sakit perut dengan meneteskan obat mata? Bagaimana berharap dapat memperoleh yang kita harapkan dari "iman", bila harapan kita saja sudah salah? Sebab itu betapa pentingnya kita menjernihkan serta meluruskan terlebih dahulu "pemahaman" atau "konsepsi" kita, sebelum kita menyatakan "harapan" atau "ekspektasi" kita! "Harapan" atau "ekspektasi" mungkin dapat kita katakan adalah wilayah kebebasan pribadi orang-per-orang. Si A punya harapan begini, dan si B punya harapan begitu. Tapi "pemahaman" atau "konsepsi" adalah masalah semua orang. Anda tidak mempunyai kebebasan untuk mengatakan "2x2=5", sebab bagi semua orang "2X2=4" adalah kebenaran yang bersifat kategoris, tidak kondisional. Templeton berhak mengatakan, bagi dirinya, bahwa iman itu tidak bermanfaat. Tapi kita pun berhak untuk menilai keabsahan pilihannya itu. Benarkah pemahamannya, tatkala ia mengatakan bahwa tak mungkin ada Allah yang Pengasih, ketika seorang ibu di Afrika Utara dibiarkan mati kehausan karena musim kering yang berkepanjangan? Dan apa gunanya mengimani "Allah" yang berkuasa, namun tak bersedia, menurunkan hujan, guna menyelamatkan ribuan nyawa dari kematian yang sia-sia? Benarkah "konsepsi" Templeton, bahwa Allah-lah yang berada di balik tragedi kemanusiaan tersebut? Bahwa karena itu, Ia pula yang harus bertanggungjawab sepenuhnya? Bahwa Allah, adalah Sang Pembawa Mala Petaka? Bukan hanya "konsepsi" Templeton yang negatif tentang "iman" yang harus kita telisik, tapi juga "konsepsi" orang-orang kristen semacam Tomi Blablabla, yang dengan enteng mengatakan betapa bermanfaatnya "iman" bagi keperluan hidupnya yang nyata. Benarkah pemahamannya tentang "Allah", yang bak sinterklas menebar hadiah dengan mudah dan murahnya? Karena itu, saudara, "perjalanan ziarah" kita masih jauh.

Sumber: Sinar Harapan