Pawang Ternalem: Kisah Orang Terbuang
Penulis : Martin L. Peranginangin
Banyak jalan menuju Roma. Itu ungkapan diketahui oleh banyak orang. Tapi tidak banyak yang tahu siapa yang mula-mula membangun kota Roma. Kisahnya, kira-kira tahun 753 SM, Romulus dan saudaranya Remus membangun permukiman Palatine di Italia. Dan itulah cikal bakal kota Romawi. Bila saja mereka hidup sekarang, pastilah mereka takjub melihat kemegahan kota Roma. Salah satu kota pusat peradaban dunia, pusat pemerintahan, dan belakangan menjadi pusat perhatian dunia berhubungan dengan Vatikan. Menurut sejarah Romulus dan saudaranya adalah orang buangan. Mereka dibuang ke hutan oleh ibunya, dan konon mereka disusui oleh serigala sehingga akhirnya ditemukan dan diasuh oleh Faustulus seorang penggembala sampai akhirnya mereka dewasa.
Kisah ini hampir sama dengan Pawang Ternalem, kisah anak buangan yang kemudian menjadi pawang (orang hebat) versi drama Karo yang dikarang seniman besar Karo tahun 1980-an, Hendri Bangun. Cerita ini ternyata diangkat dari kisah nyata kehidupan masyarakat Karo tempo doeloe. Cerita itu mengisahkan seorang bayi yang dibuang karena ibunya meninggal ketika melahirkannya. Paradigma orang Karo kala itu, bayi itu harus dibuang, karena bila diasuh maka akan membawa sial bagi keluarganya. Seperti kisahnya Pawang Ternalem, kematian ibunya kemudian disusul oleh ayahnya. Yang akhirnya ia dibuang di bawah kolong rumah (teruh karang). Ia kemudian hidup dan menyusui pada anjing dan babi.
Cerita rakyat Karo menunjukkan bahwa kelahiran bayi yang membawa kematian ibunya adalah bayi sial. Bayi ini dianggap pembawa malapetaka atau disebut `tendi nunda". Kebiasaan jaman dahulu, bayi- bayi seperti Pawang Ternalem ditaruh disisi mayat ibu nya seolah-olah menyusui pada ibunya kemudian ditelungkupkan sehingga mayat ibu menindih si bayi sehingga ia pun mati. Biasanya hal ini dilakukan secara diam-diam. Atau biasa juga di taruh di pintu gerbang kampung sehingga meninggal terinjak rubia-rubia. Bila pihak keluarga tidak tega melakukan hal yang tergolong `pelanggaran HAM" berat itu, paling- paling si bayi di taruh di teruh karang.
Tragedi itu sudah berlalu ratusan tahun yang lalu, sebelum terjadi pencerahan yang dimotori oleh para Missionaris yang datang ke Tanah Karo. Suatu ketika, peristiwa ini dialami sendiri oleh Pendeta J.K. Wijngaarden di daerah pelayanannya sekitar tahun 1920-an. Selain sebagai seorang pendeta, ia juga seorang mantri yang sering mengobati orang. Keahlian di bidang kesehatan adalah entry point baginya untuk menarik minat masyarakat belajar tentang agama. Sebab dataran tinggi Karo waktu itu sering sekali diserang wabah kolera dan kusta yang tidak man jur diobati oleh Guru Mbelin. Dalam peristiwa itu, ia melihat bagaimana pihak keluarga tidak mengharapkan kehadiran bayi `sial" itu. Lantas, atas persetujuan semua pihak, Wijngaarden kemudian mengadopsi anak itu lalu ia beri nama Sangap. Akhirnya beberapa waktu kemudian Sangap pun dibabtis, dan terakhir ia kemudian menjadi guru agama. Untuk menanggulangi kasus seperti Sangap, tahun 1925 Rumah Sakit Zending mendirikan panti penitipan bayi. Pada tahun 1926 terdapat lebih 100 orang bayi dirawat ditempat ini. Artinya, banyak sekali terjadi kasus ibu yang meninggal di saat melahirkan.
Ketika Sangap sang pawang ternalem menjadi guru agama, ia tidak menjadi berita besar seumpama Romulus dan adiknya. Tetapi ia telah menjadi icon perubahan besar bagi orang Karo. Perubahan paradigma! Bahwa ibu yang meninggal tidak ada hubungannya dengan takdir seseorang melainkan faktor kesehatan. Pergolakan itu sangatlah besar. Missionaris b erperang dengan roh-roh para dukun, dan gunjingan orang yang belum memahami tentang itu.
Suatu kali dalam kehidupan kita, mungkin bertemu dengan situasi yang dialami Romulus atau Sangap dalam versi yang berbeda. Kita merasa terbuang. Diabaikan. Merasa ditentang dari semua penjuru. Seperti lagu Karo, layam-layam si tangke ndoli: "Naktak pe la lit si ngulihisa, mombak pe la lit si nangkapsa". Hidup sepertinya tanpa makna. Namun sebagai orang yang percaya, Tuhan tidak pernah meninggalkan perbuatan tangannya. Kita ada di dunia karena Tuhan punya rencana yang besar. Bila kita memiliki iman, rancangan Tuhan tidak pernah meleset. Kini kita tidak mengerti, kelak kita disadarkan oleh kenyataan.