Bileam
Oleh: Imelda Seloadji
Kegelapan malam turun ke rumah-rumah orang Moab. Kegelapan juga turun menyelimuti hati Balak, raja dari bangsa keturunan Lot, kemenakan Abraham. Para pengawal dan penasihat di dekatnya dapat mendengar gemeletuk gigi sang raja, bukan karena hawa dingin yang memang seperti menusuk tulang, tetapi getar kemarahan dan ketakutan akan sesuatu yang sedang datang mendekat. Kabar telah sampai kepada telinganya, bahwa bangsa yang datang ini telah mengalahkan bangsa Amori.
Dari jauh, tampak cahaya dari perkemahan orang Israel. Balak melihat sendiri api aneh menyerupai bentuk tiang besar yang ada di tengah-tengah perkemahan tersebut, menyala-nyala seperti membelah langit yang gelap namun tidak menyambar kemah-kemah tersebut. Cahaya itu begitu terang sehingga kemah-kemah Israel terlihat jelas malam itu. Balak tak bisa menyembunyikan keresahannya. Bangsa ini bukan seperti bangsa-bangsa barbar lain yang telah berhasil ditaklukkannya. "Lihatlah mereka begitu banyak seperti menutup bumi! Mereka akan membabat habis kita, seperti kawanan lembu yang memakan habis seluruh padang rumput!" seru Balak. Para penasehatnya diam tak bereaksi.
"Apa yang harus kulakukan? Kurasa bantuan dari Midian pun tak cukup untuk menghadapi mereka." Salah seorang penasihat memberikan jawaban, "Bukankah ada seorang Pelihat, Bileam, anak Beor yang tinggal di Petor, di tanah orang Midian, di tepi sungai Efrat? Ia mampu melihat hal-hal yang tidak dapat dilihat oleh orang biasa. Dia bisa berbicara kepada yang dibalik langit."
"Mungkin saja, dia juga bisa berbicara kepada Allah Israel. Betul, aku ingat tentang Bileam anak Beor ini. Ya, kita minta dia mengutuki Israel, karena apa yang dia kutuki menjadi terkutuk dan apa yang dia berkati menjadi terberkati. "
Sang Penasihat memberi isyarat kepada dua orang utusan. Mereka tahu apa yang harus dilakukan. Saat itu juga, mereka bergegas, memulai perjalanan menuju rumah Bileam anak Beor.
Suatu malam pintu rumah Bileam Sang Pelihat digedor. Bileam terjaga. Ia baru saja bermimpi aneh. Dalam mimpinya, ia berdiri di puncak gunung, ketika siang sedang beralih menuju gelap, dari puncak gunung itu ia melihat suatu hamparan dengan kemah-kemah berwarna coklat kemerahan. Ada orang-orang berwajah asing keluar masuk kemah-kemah tersebut, dan seorang pria berjubah merah bergaris putih dan hitam, wajahnya bercahaya. Lalu di gunung itu, ia berjumpa dua sosok, yang entah kenapa, dari pandangan mata yang fana, sama indahnya, namun dari mata hati, sungguh berbeda, yaitu Malaikat Tuhan dan Setan. Malaikat itu berjubah putih bersih, bercahaya terang hampir seterang sinar matahari. Ada kedamaian yang lembut ketika memandangnya. Sorot matanya memancarkan keteduhan. Setan berdiri tak jauh dari situ, mengenakan jubah warna-warni dengan kilau keemasan. Oh, dia tampan, tak bertaring dan bertanduk seperti lukisan tentang dirinya di dinding-dinding gua.
Namun ketika Setan tersenyum, seperti ada hawa dingin yang sangat kuat, membekukan apa saja di sekeliling dan di dalam dirinya, dan sesaat kemudian berganti menjadi panas yang luar biasa, seperti membakar apa saja. Malaikat itu sepertinya mengatakan sesuatu, dan Setan itu juga berusaha membisikkan sesuatu. Namun entah apa, Bileam sudah terjaga oleh suara pintu yang digedor.
"Siapa?" tanya Bileam. "Wahai Pelihat, Kami utusan Raja Balak, anak Zippor. Biarkan kami masuk," terdengar suara dari luar. Bileam membukakan pintu. "Hal penting apa yang membuat tuan-tuan datang menembus terik matahari, juga kegelapan dan hawa dingin malam, datang kepada hamba?" "Ada permintaan khusus dari sang raja. Sudah sampaikah berita kedatangan sebuah bangsa, jumlahnya besar, seperti menutup bumi? Mereka keluar dari Mesir, dan kini mereka sangat dekat dengan negeri kami. Raja kami ingin engkau mengutuki mereka baginya, supaya jika kita berperang dengan mereka, kita akan menang."
Bileam tercenung. Sejenak ia ingat pada mimpinya, sesuatu sedang terjadi."Kiranya tuan-tuan bersedia bermalam di sini, besok akan kuberi jawaban. Aku perlu mencari tahu kehendak Tuhan. "Kedua utusan Moab itu bermalam di rumah Bileam. Mereka tertidur lelap ketika malam sudah sangat larut, namun Sang Pelihat masih terjaga di sotoh rumahnya. Keheningan membalut dirinya, matanya menatap langit malam yang cerah. Ia sedang menelusuri lorong hatinya, berupaya menemukan jawaban akan perintah yang ia tahu tak mungkin dilaksanakan sekehendak dirinya. Jiwanya seperti mengembara, meraba dinding-dinding gua yang gelap, hingga suatu Suara datang kepadanya.
"Wahai Bileam, siapakah yang datang kepadamu tadi?" Suara itu begitu nyata, memecah keheningan. Bileam terkejut. Kebijaksanaannya memberi tahu kepadanya, ia sedang berbicara kepada Allah Israel. "Mereka adalah utusan Balak anak Zippor, raja orang Moab. Mereka memintaku mengutuki Israel." "Jangan pergi dengan mereka. Jangan engkau kutuki bangsa itu, sebab mereka telah diberkati," suara itu berkata dengan tegas.
Pagi harinya, Bileam mendesak agar para utusan Moab tersebut pulang, karena Tuhan tidak mengijinkan ia pergi bersama mereka. Lalu pulanglah para utusan Moab itu dan mengatakan kepada Balak bahwa Bileam telah menolak pergi. Balak belum putus asa, diutusnya para pemuka yang lebih tinggi jabatannya. Mereka pun pergi menemui Bileam Sang Pelihat.
Sesampai di rumah Bileam, para pemuka Moab menyampaikan pesan raja mereka, "Wahai Bileam, Raja Balak anak Zippor mengatakan begini:"Jangan biarkan dirimu merasa dihalangi untuk datang padaku, sebab aku akan memberimu banyak upah, dan apapun yang kauminta padaku, akan aku kabulkan. Datanglah, dan serapahlah bangsa itu bagiku."
"Sekalipun Balak memberikan kepadaku emas dan perak seistana penuh, aku tidak akan sanggup berbuat apapun, yang kecil atau yang besar, yang melanggar titah Tuhan," jawab Bileam. Mereka terus mendesaknya. Hati Bileam mulai goyah dengan janji upah yang tak pernah diterimanya dari siapapun sebelumnya. Balak adalah seorang raja, kata-katanya bukan omong kosong belaka. Tawaran yang sungguh mempesona. Ia tak menyadari, Dia Yang Maha Tahu telah menilik hatinya yang mulai tergoda dengan kemilau tawaran Balak. Hatinya tak cukup mengasihi-Nya untuk tahu apa yang menjadi keinginan-Nya. "Baiklah, tinggallah di sini malam ini, supaya aku tahu, apa yang akan difirmankan Tuhan kepadaku," lanjut Bileam.
Tuhan pun menguji Bileam. Malam itu, Ia berfirman kepada Bileam," Jikalau orang-orang itu memang sudah datang untuk memanggil engkau, bangunlah, pergilah bersama-sama dengan mereka tetapi hanya apa yang Kufirmankan kepadamu harus kaulakukan." Matahari menjelang terbit. Langit berwarna ungu kemerahan dan angin pagi berhembus menebar semerbak wangi galbanum. Bileam mengenakan jubahnya dan bersiap pergi. Para pemuka Moab telah dimintanya berangkat lebih dulu selagi ia menyiapkan bekalnya dan memasang pelana pada keledai betina miliknya. Bileam berangkat bersama dua orang pesuruhnya. Ada kegembiraan di hatinya bahwa Allah mengijinkannya pergi. Setan yang muncul dalam mimpinya mulai mempengaruhi pikirannya. Ia berpikir, mungkin Allah juga akan mengijinkan dia mengutuki Israel untuk Balak. Sebagai orang Midian, tak ada sedikitpun simpati dirinya kepada bangsa Israel, meskipun pemimpin besar mereka adalah menantu Yithro alias Rehuel, guru yang sangat dihormatinya. Bukankah umat itu, sepanjang ia tahu, telah cukup menyusahkan Tuhan? Cukup masuk akal jika Allah mengijinkannya mengutuki umat yang keras kepala itu, ya, itu masuk akal.
Tuhan tahu segala hal yang tersembunyi, termasuk lubuk hati Bileam yang paling dalam. Seorang Malaikat berdiri menghadang Bileam di jalan dengan menghunuskan pedang. Anehnya, Bileam yang malam-malam sebelumnya bisa mendengar suara Tuhan, tak bisa melihat kehadiran malaikat tersebut. Mata rohaninya telah digelapkan oleh dahaga pada harta. Keledainya yang tanpa dosa, justru mampu memandang Malaikat Maut dengan pedang terhunus itu. Berniat menyelamatkan tuannya, keledai itu keluar dari jalan dan masuk ke ladang. Bileam memukul keledai itu agar kembali ke jalurnya.
Ketika mereka memasuki jalan sempit yang memisahkan kebun-kebun anggur dengan tembok di kiri dan kanan, malaikat Tuhan kembali menghadang di situ, dan keledai itu melihat malaikat tersebut. Ia berjalan merapat ke dinding untuk menyelamatkan tuannya dari pedang Malaikat Maut itu. Kaki Bileam terjepit. Bileam marah, dipukulnya keledai itu. Mereka berjalan lagi, dan malaikat itu terus mengikuti mereka. Kali ini di jalan yang sangat sempit, malaikat itu menghadang di depan. Sadar tak mungkin merepat ke kanan maupun ke kiri, keledai itu hanya dapat bertiarap untuk menyelamatkan nyawa tuannya. Kali ini Bileam sangat kesal. Dipukulnya keledai itu dengan tongkatnya.
Kali ini Tuhan membuka mulut keledai itu. Hewan itu kini dapat berbicara kepada sang tuan, "Apakah yang telah kulakukan padamu, hingga engkau memukul aku tiga kali?" Bileam pun menjawab,"Karena engkau mempermainkan aku. Jika saat ini ada pedang di tanganku, engkau pasti sudah kubunuh."
"Bukankah aku telah mengabdi kepada Tuan sepanjang hayatku? Pernahkah aku mempermainkan Tuan?" jawab keledai itu. Lalu terbukalah mata Bileam, dilihatnya Sang Malaikat dengan pedang terhunus. Bileam terkejut, ia segera bersujud.
"Mengapa engkau memukul keledaimu sampai tiga kali? Lihat, aku keluar sebagai lawanmu, sebab jalan ini pada pemandanganku menuju kepada kebinasaan. Ketika keledai ini melihat aku, telah tiga kali ia menyimpang dari hadapanku, jika ia tidak menghindar, tentu engkau telah kubunuh pada waktu itu dan ia yang kubiarkan hidup."
Mendengar perkataan Malaikat itu, Bileam gemetar ketakutan. Bileam berkata,"Aku telah berdosa, karena aku tidak mengetahui bahwa engkau berdiri di jalan menentang aku. Maka sekarang, jika hal itu jahat di matamu, aku mau pulang." Tetapi malaikat itu berkata lagi," Pergilah bersama-sama dengan orang-orang itu, hanya perkataan yang kukatakan kepadamu, itulah yang harus kaukatakan."
Bileam meneruskan perjalanan bersama dua pesuruhnya yang bertanya-tanya apa sebenarnya yang telah terjadi. Malaikat Maut tak lagi terlihat, namun dua sosok terus beradu dalam pikiran anak Beor, dua sosok yang pernah muncul dalam mimpinya.
Balak sangat gembira mendengar Bileam akhirnya mau datang. "Akan kujemput sendiri sang pelihat," tutur Balak kepada penasihatnya. Ia mengenakan jubah kebesarannya yang berwarna merah gelap, menunggangi kudanya yang berwarna putih, pergi bersama beberapa prajurit dan pelayan yang diperintahkan untuk membawa hadiah-hadiah untuk menyongsong Bileam. Mereka menuju perbatasan Moab di tepian sungai Arnon, menanti Bileam di situ. Tak lama setelah Balak tiba, tibalah Bileam di tepi sungai Arnon.
"Mengapa engkau tak datang pada undangan pertama? Kau pikir aku tak sanggup memberi upah bagimu?" tanya Balak. Bileam pun menjawab, "Ini aku datang Tuan, namun sungguh, sekalipun aku datang, aku tak akan dapat melawan Tuhan. Apa yang dia akan katakan, itu yang aku katakan."
Keesokan harinya Balak membawa Bileam ke bukit Bamoth-baal di mana dari situ perkemahan Israel dapat terlihat. Bileam meminta Balak untuk mendirikan tujuh mezbah dan menyiapkan tujuh ekor lembu jantan dan tujuh ekor domba jantan. Balak menuruti perkataan Bileam, dan mereka berdua membakar semua lembu jantan dan domba jantan tersebut sebagai korban.
Ada kegelisahan di dalam hati Bileam. Tuhan tidak hadir di situ. Bukit itu digunakan oleh orang Moab untuk memuja berhala mereka, dan di bukit itu, Balak raja Moab akan melakukan apa saja asal keinginan hatinya terlaksana. Semak belukar di sekitar mereka tampak suram, seolah-olah setan sedang berkeliaran di situ, memperhatikan mereka.
Kemudian Bileam berkata kepada Balak,"Berdirilah di samping korban bakaranmu, aku hendak pergi ke tempat sunyi, mungkin Tuhan akan datang menemui aku, dan apapun yang dinyatakan-Nya kepadaku, akan kuberitahukan kepadamu. Lalu Bileam mencari tempat yang agak jauh, ke sebuah bukit kecil yang gersang.
Di bukit gersang yang hening itu, hati kecil Bileam menjerit kepada Allah. Hati itu masih berusaha menaklukkan keserakahan, ketakutan, dan kebencian yang mengepung dirinya dengan erat. Bileam tersungkur, tak lama kemudian ia merasakan kehadiran Tuhan di tempat itu. Ia merasakan bibirnya disentuh, dan seperti ada sesuatu masuk ke dalam mulutnya. Sebuah Suara berbicara kepadanya, memerintahkan ia kembali kepada Balak untuk mengatakan apa yang telah diletakkan ke dalam mulutnya.
Bileam kembali ke tempat di mana Balak masih menanti. Para pemuka Moab juga ada di situ, menatap wajahnya dengan tegang. Bileam berjalan membelakangi mereka, menghadapkan wajahnya ke perkemahan orang Israel. Perlahan ia membuka mulutnya, dan puisi yang mengejutkan mengalun dari bibirnya.
"Balak membawaku dari Aram,
Raja Moab dari bukit-bukit Kedem,
"Datang dan kutukilah Yakub bagiku;
Datang dan kutukilah Israel."
Bagaimana mungkin aku mengutuk jika Tuhan tidak mengutuk?
Bagaimana aku dapat menyerapah jika Tuhan tidak menyerapah?
Ya, dari puncak gunung-gunung batu kulihat mereka,
Dari bukit-bukit aku memandang mereka.
Lihatlah, suatu bangsa yang diam tersendiri,
tak terhitung di antara bangsa-bangsa.
Siapa yang dapat menghitung debu Yakub?
Siapa yang dapat menghitung awan Israel?
Biarkan aku mati seperti orang benar!
Sekiranya ajalku seperti mereka!
Terbelalak mata raja Moab mendengar lantunan puisi Bileam. Wajahnya memerah. "Apa yang telah kaulakukan kepadaku wahai anak Beor! Engkau kujemput untuk menyumpahi musuhku, tetapi engkau malah memberkati mereka!"
"Bukankah aku wajib mengatakan apa yang diletakkan Yahweh ke dalam mulutku?" jawab Bileam.
Balak terpana dengan jawaban itu. Ada sesuatu yang salah, namun ketakutan dan kebenciannya mendorong jiwanya untuk tidak menyerah. "Baik. Ikut aku, kita cari sisi di mana mereka bisa terlihat dengan lebih baik, di sini kau hanya melihat sebagian dari perkemahan mereka" kata Balak. Lalu dibawanya Bileam ke tempat yang disebut Padang Pengintai. Para pemuka Moab mengikuti dari belakang.
Balak menyiapkan kembali tujuh mezbah, tujuh lembu jantan dan tujuh domba jantan. Ia mendesak Bileam untuk mengutuki bangsa itu, ia menjanjikan apa saja yang menjadi impian manusia fana. Apa saja yang dapat didamba hati manusia. Bileam resah. Setan sedang merayunya. Kembali ia meminta Balak menunggu di dekat mezbah-mezbah, dan ia kembali mencari tempat yang sunyi.
Deru angin menerpa ranting-ranting semak kering seperti suara bisikan, ketika hati Bileam tengah bergolak, seperti ada yang sedang bergulat di dalam dirinya. Seperti ada banyak suara. Aneh, apa istimewanya bangsa itu? Mereka sepertinya tak ada bedanya dengan bangsa-bangsa lain. Bahkan mungkin, lebih buruk. Mereka bekas budak, mereka tak punya keluhuran yang lebih tinggi, mereka tak lebih arif dibanding orang Midian dan Moab, mengapa mereka begitu berharga di mata Tuhan? Mengapa Tuhan mencintai bangsa ini? Tak ada "karena" yang layak dan tepat untuk diberikan sebagai sebuah alasan. Tak ada "karena" yang memberi mereka hak untuk menyandang sebutan "umat pilihan" Yahweh yang begitu agung dan mulia. Bangsa ini sebenarnya bisa dikutuk. Ya, bisa dikutuk dan ia akan mendapatkan apa saja yang selama ini bahkan tak berani diimpikan olehnya. Namun, Allah telah sekali memberkati bangsa itu, itu menggentarkan dirinya. Apa alasan-Nya? Apa tujuan-Nya? Ah mungkin saja hati-Nya sedang gembira, itu saja?
Bagaimanapun juga, Bileam tahu bahwa ia tak bisa bermain dengan Allah Israel. Bileam tak mampu membuat keputusan, tak mampu menarik sebuah pilihan, kembali ia tersungkur dan berteriak. Kembali Tuhan datang, dan menaruh lagi Firman-Nya ke mulut Bileam. Tidak ada nada kemarahan pada diri-Nya. Ia masih sabar dengan Bileam.
Balak tampak penuh kegusaran ketika Bileam muncul kembali.
"Apa yang telah difirmankan Tuhan?" tanya Balak. Bibir Bileam bergetar, namun tidak berkata apapun. Perlahan ia maju beberapa langkah, dan kembali mengucapkan puisinya. Kalimat demi kalimat. Pujian kepada Allah Israel yang tak pernah berdusta, yang tak ingkar pada janji-Nya.
Balak mendengar dengan geram. Kebencian bagai api yang menyala-nyala membakar hangus nuraninya. Kedua tangannya mengepal dengan sangat kuat hingga urat-uratnya timbul dan bergetar karena amarah. "Jika kau tidak mau mengutuki mereka, jangan sekali-kali memberkati mereka."
Bileam menjawab,"Bukankah telah kukatakan kepadamu bahwa segala yang akan difirmankan Tuhan itulah yang akan kulakukan?"
Balak mendesak Bileam untuk mau ikut dengannya ke sisi lain bukit itu. Di tempat itu Balak kembali membakar persembahannya. Kali, ini Bileam tidak beranjak dari tempat ia berdiri, dipandanginya dengan nanar api yang berkobar membakar daging korban, bergerak seperti jemari tangan manusia.
Bileam membalikkan tubuhnya, kembali memandang kemah-kemah Israel. Hatinya tahu, keinginan Tuhan adalah memberkati Israel. Tak perlu lagi mencari tanda. Ia terdiam, mendengar hembusan angin. Hati kecilnya masih berbisik, memohon pada dirinya untuk segera meninggalkan Balak. Namun kakinya terasa berat menempel di atas batu. Roh Tuhan pun turun ke atas dirinya, dan Balak kembali melantunkan puisinya.
"Tutur kata Bileam anak Beor,
Tutur kata orang yang matanya terbuka,
Tutur kata dia yang mendengar Suara Tuhan,
Ia melihat apa yang disingkapkan oleh Shaddai,
Menerima jawaban ilahi, dengan mata terbuka.
Alangkah indahnya kemah-kemahmu, wahai Yakub,
Alangkah indah tempat tinggalmu, Israel!
Seperti lembah-lembah yang terbentang jauh,
Seperti taman di tepian sungai,
Seperti gaharu yang ditanam oleh Yahweh,
Seperti pohon aras di tepi air!
Seorang pahlawan akan bangkit dari mereka,
Ia memerintah atas jumlah yang tak terbilang.
Raja mereka lebih besar dari Agag,
Kerajaannya akan dimuliakan.
Tuhan membawa mereka keluar dari Mesir,
Ia seperti tanduk kekuatan lembu hutan bagi mereka,
Bangsa-bangsa yang menjadi lawan mereka akan ditelan habis,
Mereka meniarap dan merebahkan diri seperti singa jantan, seperti singa betina,Siapa yang berani membangunkan mereka?
Diberkatilah mereka yang memberkati engkau,
Dan terkutuklah mereka yang mengutuk engkau!"
Kali ini Balak tak mampu lagi menahan kemarahannya. Dengan meremas jarinya ia berkata kepada Bileam,"Untuk menyerapah musuhku aku memanggil engkau, tetapi sebaliknya sampai tiga kali engkau memberkati mereka. Sekarang, enyahlah ke tempatmu! Aku bermaksud memberimu banyak upah, tetapi rupanya Yahweh sendiri yang menjauhkan dirimu dari semua itu." Balak menunjukkan kepadanya emas dan batu berharga yang dibawa oleh para pelayannya.
Bileam mengambil sebuah cincin dengan batu zamrud berwarna hijau tua. Batu itu berkilau sangat indah oleh garis cahaya matahari. Dipandanginya sesaat cincin itu, lalu diletakkannya kembali ke kotak yang dipegang oleh pelayan Balak. Ia menjawab,"Sekalipun satu istana penuh emas dan perak kau berikan padaku, aku tidak sanggup melanggar titah Yahweh dengan berbuat baik atau jahat atas kemauanku sendiri, apa yang difirmankan Yahweh itulah yang kukatakan. Baiklah, aku mau pulang, tetapi dengar dulu, kuberitahukan kepadamu apa yang akan dilakukan bangsa itu kepada bangsamu nanti."
Kembali Bileam melantunkan puisinya.
"Tutur kata Bileam anak Beor,
Tutur kata orang yang matanya terbuka,
Tutur kata orang yang mendengar firman Tuhan,
Yang beroleh pengetahuan dari Yang Maha Tinggi,
Ia melihat apa yang dibukakan oleh Shaddai,
Menerima jawaban ilahi, sambil matanya terbuka.
Aku melihat Dia, bukan di masa ini,
Aku memandangnya, tapi bukan dari dekat;
Sebuah bintang terbit dari Yakub untuk memimpin,
Tongkat kerajaan muncul dari Israel,
Meremukkan pelipis Moab,
Menghancurkan para putra Sheth.
Edom menjadi tanah yang ditaklukkan,
Seir tanah yang diduduki,
Israel melakukan perbuatan yang gagah perkasa,
Yakub mengalahkan musuhnya,
Dan menghancurkan para pelarian di Ar.
Bileam terus berbicara. Ia bertutur tentang orang Amalek, orang Keni, orang Assiria. Setelah selesai, ia kembali ke tempat kediamannya. Balak pun meninggalkan tempat itu dengan geram.
Sore itu, Balak anak Zippor benar-benar gelisah, bahkan sang ratu pun tak diijinkan untuk menemuinya. Nubuatan Bileam terus menghantuinya. Ketika matahari terbenam, datang beberapa bangsawan Midian. Balak pun menjamu mereka. Para pemimpin Midian menyampaikan tawaran kerja sama untuk menghancurkan Israel.
Di tempat lain, Bileam Sang Pelihat juga tak bisa tidur. Ketika ia memejamkan mata, dalam bayangan Batu zamrud berwarna hijau itu seperti masih berkilau di depan dirinya, bergerak, berputar, memantulkan cahaya melalui banyak faset dengan sangat indah dan...terlihat tangan Iblis bermain dengan batu itu. Jari-jarinya lentik seperti jemari seorang putri.
"Kau bodoh, Bileam. Jika saja kaukutuki bangsa itu, semua harta itu adalah milikmu," Iblis berbicara kepada jiwa Bileam. Hati kecil Bileam mendesaknya untuk mengusir saja setan itu, dan jangan sekali-kali menanggapi bujukannya. Namun Bileam bereaksi, ia ingin mendapat jawaban atas sesuatu.
"Apa yang membuat Tuhan begitu memberkati bangsa itu? Apa yang istimewa?" tanya Bileam.
"Oh itu seperti kau jatuh cinta pada seorang wanita. Tak perlu semua pria mencintai wanita itu, ia mungkin istimewa hanya bagimu, tak perlu bagi yang lain. Ia sekedar suka pada bangsa itu, tak perlu ada alasan." Iblis berbisik. Bileam merasakan dingin menusuk sampai ke dalam hatinya.
"Tahu apa kau tentang cinta?" kata Bileam. "Dan mengapa aku harus tahu tentang cinta?" Iblis tertawa, " Manusia bahkan tak mampu membedakannya dengan emosi dan kehendak diri. Wahai anak Beor, yang kutahu kau bodoh telah meninggalkan begitu banyak harta dan kekuasaan yang bisa jadi milikmu. Dengan segala cara orang lain bersusah payah memburunya dan kini itu semua hadir di depan matamu. Dan cinta, terserah seperti apa kau mau memaknainya, mungkin saja kau bisa membelinya dengan semua itu? Lagipula jika Israel hancur, bisa kau bayangkan berapa banyak bangsa akan berterima kasih padamu? Kau adalah pahlawan yang telah berjasa besar bagi mereka."
"Lalu bagaimana aku bisa mengutuki bangsa itu?"
"Oh itu mudah. Seperti kataku tadi, seorang pria bisa mencintai wanita tanpa sebuah alasan yang dipahami semua orang. Namun ada banyak alasan seorang pria bisa meninggalkan kekasihnya itu."
"Oh ya?"
"Kau mengerti maksudku? Kurasa kau cukup pandai, Bileam," kata Iblis sambil melempar batu berkilau itu dan menangkapnya lagi dengan jari-jarinya.
Bileam tersenyum, hati dan pikirannya telah mengembara jauh, masuk ke jalan yang begitu lapang dan luas namun sungguh gelap. Iblis telah menguasainya. Keledai betina yang ditambatkan di luar merasakan bayangan aneh yang melewati dirinya seperti tiupan angin dan menembus masuk melalui celah pintu. Bayangan itu tidak pernah keluar lagi dari rumah Bileam. Bileam sudah tidak bisa memisahkan hatinya dengan suara setan yang begitu halus dan masuk akal. Keledai itu meringkik dalam kecemasan.
Malam itu juga Bileam mengirim seorang pelayan untuk mengirim pesan kepada Balak Raja Moab. Pesan itu berbunyi," Aku tahu bagaimana menghancurkan Israel. Buat mereka menyembah Baal. Yahweh akan murka dan mengutuk mereka."
Balak merasakan kekuatan kembali masuk ke dalam tulang-tulangnya ketika ia membaca pesan Bileam. Dikumpulkannya semua penasihatnya. Para utusan Midian juga masih ada di situ.
"Bangsa ini selalu menang dalam peperangan, karena Allah mereka bersama mereka. Tapi masih ingatkah kalian peristiwa Lembu Emas? Allah mereka sangat pencemburu. Ia tidak mengijinkan mereka menyembah yang lain selain diri-Nya. Jika kita bisa memisahkan mereka dari Allah mereka, mereka dapat kita hancurkan," kata Balak kepada para penasihat dan bangsawan Midian," Tapi bagaimana caranya?"
"Itu mudah," tiba-tiba terdengar suara menjawab. Seorang pria berjalan mendekati Balak. Dari jubahnya tampak ia bukan orang sembarangan. "Yang Mulia, itu Zur, pangeran Midian," bisik seorang penasihat di samping Balak. Pangeran Zur berdiri di hadapan Balak dan berkata, "Aku tahu bagaimana membuat bangsa itu menjauh dari Allah mereka."
Ia memberi isyarat dengan tangannya. Seseorang berdiri dan melangkah keluar dari deretan orang-orang Midian. Langkahnya sungguh anggun. Orang itu memberi hormat kepada Balak, lalu menanggalkan jubah luarnya yang tebal berwarna hitam kelam dan membuka tudung kepalanya yang juga hitam kelam. Seorang wanita dengan gaun indah dari sutera putih dengan hiasan bunga-bunga yang disulam dengan benang emas. Ia lalu membuka cadarnya untuk memperlihatkan wajahnya. Sangat cantik, kulitnya bersih dan bercahaya. Rambutnya panjang hingga ke siku tangan dan warnanya hitam bagai burung gagak, bergelombang seperti ombak laut. Matanya bagai batu safir. Semua orang tertegun menatapnya.
"Ini Kozbi. Dia adalah putriku. Bunga yang wangi ini, akan menjadi duri yang tajam bagi Israel, akan membuat berdarah tangan Musa" kata pangeran Midian itu, "Biarkan dia mendekati orang yang berpengaruh di Israel, dan kita tak perlu bersusah payah."
Balak pun tertawa. Ia mengangkat cawan anggurnya, "Oh ya, aku mengerti. Tidak hanya dia, putri-putri Moab juga akan sungguh menjadi pedang bagi kita. Kita akan mengalahkan Israel."
Bulan demi bulan telah berlalu. Perjalanan belum juga dilanjutkan. Sekarang musim panen anggur, biasanya waktu yang tepat untuk pesta pernikahan. Namun di kediaman Israel telah terjadi bencana besar. Saat yang dinanti Balak anak Zippor pun tiba. Yoshua dan Eleazar baru saja mendengar laporan, orang Israel yang ke duapuluh tiga ribu telah meninggal. Bangsa itu menerima tulah. Mereka diserang demam aneh dan mereka yang terjangkit wabah aneh itu tewas dalam waktu sangat singkat. Tangis dan ratap terdengar di mana-mana. Yoshua dan Eleazar bergegas ke Kemah Suci. Mereka mendapati Musa rebah di situ, di depan tirai suci yang tertutup, dengan wajah menghadap ke tanah. Keringat dan air mata membasahi tubuhnya. Tubuhnya gemetar, ia menangis, sangat pilu seperti seorang yang meratapi kematian.Tak lama kemudian, Pinchas, anak Eleazar menyusul masuk.
"Bapaku..." belum selesai anak muda itu bicara, ayahnya memberi isyarat untuk diam. Yoshua dan Eleazar, dengan wajah tertunduk, satu persatu berlutut di belakang Musa. Hati mereka ikut hancur. Pinchas pun merasa kedua lututnya begitu lemas, hingga terjatuh ke tanah. Untuk beberapa saat mereka hening, dan Musa terus larut dalam dukanya.
"Dia sangat murka, kita telah melukai hati-Nya. Dia begitu murka..." Musa berkata dalam isak tangisnya, "Mengapa harus terjadi lagi? Sekiranya aku boleh mati saja..."
Yoshua berkata lirih," Tuanku, mereka telah menyembah Baal-Peor. Aku tidak tahu mengapa begini. Tapi kita harus menghukum para penyembah Baal supaya tulah ini berhenti. Harus segera dilakukan, atau kita semua mati."
Yoshua memberanikan dirinya mendekati Musa. Eleazar melihat Yoshua bangkit, ia pun ikut bangkit. Mereka berdua memegang kedua lengan Musa dan membantunya berdiri. Musa tampak lelah dan putus asa.
Di luar kemah, para tua-tua Israel berkumpul. Mereka meratap, menangis, menjerit, "Tuanku...tuanku, banyak keluarga telah mati....".
Musa sedang mengumpulkan kekuatan untuk berbicara, ketika ia mendengar suara yang tak lazim di tengah umat yang sedang meratapi kematian banyak anggota keluarga mereka itu.
"Apa itu?" kata Musa.
Suara itu datang dari tempat perkemahan suku Simeon. Dua orang muncul ke tengah-tengah pertemuan, seperti tak tahu apa yang sedang terjadi. Zimri, putra Shalu, pemimpin Simeon, sedang bersama seorang gadis yang hendak ia pertemukan pada keluarganya. Ia berniat melamar gadis yang dikenalnya setahun yang lalu. Gadis yang sangat cantik dan mempesona. Shalu melangkah keluar dari kerumunan para tua-tua dan pemimpin Israel untuk menjumpai putranya. Semua orang melihat bahwa gadis itu bukan orang Israel.
"Bapa, aku ingin menikah," tutur Zimri. Wajahnya berseri-seri.
"Mengapa bukan gadis Israel, anakku?" terdengar sang ayah yang terkejut bertanya kepada putranya.
"Aku mencintainya" jawab si anak. "Apakah ia mau mengikuti semua cara kita? Apakah ia mengenal Allah kita anakku?"
Hening beberapa saat, Zimri hanya memandangi gadis pujaannya. Tiba-tiba gadis itu bicara, "Tidak. Aku ingin ritual pernikahan sesuai cara orang Midian, jika tidak lupakan saja."
"Tapi..." Shalu terkejut.
"Tidak, aku tidak memaksa. Kita bisa membatalkan pernikahan ini dan aku kembali ke kediaman Midian," kata si gadis.
"Tunggu, bapa, apa salahnya sebuah ritual pernikahan menurut cara orang Midian?" Zimri memohon kepada ayahnya.
"Tapi itu pemujaan kepada Baal-Peor, anakku."
"Lalu mengapa bapa? Tidakkah Allah yang baik dapat memakluminya? Tidakkah kalian memahami perasaanku? Aku mencintai dia!"
Dari jauh terdengar ratap tangis wanita yang kehilangan anaknya. Jumlah orang yang mati telah bertambah lagi. Pinchas putra Eleazar tak tahan lagi. Ia menghunus pedangnya. Zimri terkejut, ia lari bersama Kozbi, kekasihnya itu. Pinchas mengejar, pemuda itu berhasil mendapatkan Zimri.
"Bodoh, kau sungguh bodoh!" teriak Pinchas, dihujamkannya pedang itu ke lambung Zimri. Hingga pedang itu menembus lambungnya, Zimri masih tak memahami, mengapa mencintai seorang wanita adalah sebuah kesalahan, sehingga ia harus mati. Begitu kejamkah Allah Israel dan Musa hamba-Nya? Pria itu rebah bersimbah darah dengan mata terbuka. Pinchas mencabut pedang itu dari tubuh Zimri.
Kozbi melihat Zimri rebah ke tanah. Tak ada waktu untuk berpura-pura meratapi pria itu. Tak ada waktu untuk drama percintaan. Ia harus lari secepatnya, keluar dari kediaman Israel, atau ia akan mati di tangan Pinchas. Pinchas mengejar. Gadis yang terlatih itu berlari lebih cepat dari Zimri, pria yang telah ditipunya dengan sesuatu yang manis, yang dikenal oleh pria lugu itu sebagai cinta. Ia telah berhasil melaksanakan misinya, membelokkan hati bangsa itu dari Allah mereka, lewat Zimri. Namun kini ia harus lari, mereka telah mengetahui tujuannya, sayang anak Eleazar berhasil mendapatkannya. Tanpa kata-kata, pedang yang masih berlumurah darah Zimri itu dihujamkan ke tubuh putri Midian itu. Wanita cantik itu rebah ke tanah.
Pinchas terengah-engah. Seperti terkejut dengan apa yang dilakukannya sendiri, ia membanting pedang yang menjadi merah itu ke tanah. Anak muda itu tak cukup mengerti mengapa ini semua harus terjadi. Air matanya mengalir. Beberapa saat kemudian, Yoshua dan Eleazar tiba di tempat ia berdiri tak jauh dari tubuh Kozbi yang sudah tak bernyawa. Ayahnya menghampiri dan memeluknya, "Cukup Nak."
Shalu memandang dari kejauhan apa yang terjadi. Ia tak lagi menangis, karena air matanya sudah habis. Musa mendekatinya, "Shalu, Pinchas harus melakukan ini, jika tidak tulah ini tidak berhenti." Pemimpin suku Simeon itu tidak menjawab, hanya tercenung. Dengan langkah terseret ia menghampiri jenazah putranya, menggendong tubuh tak bernyawa itu dengan hati hancur.
Semua orang terdiam terpaku. Tak ada yang berani mengatakan sesuatu. Musa pun berbicara," Sudah, sudahlah. Sudah terlalu banyak kematian. Terlalu banyak air mata. Kita semua terluka, Tuhan pun terluka."
Tiang awan terlihat bercahaya di atas Kemah Suci, Musa pun masuk ke dalam Kemah Suci untuk berbicara dengan Tuhan.
Yoshua berjalan mendekati Pinchas yang masih terpekur dengan kepala tertunduk. Wajah anak muda itu pucat pasi. Yoshua menepuk pundak anak itu. "Tuanku, Zimri itu bisa saja diriku," anak muda itu bicara dengan sendu," Kalau bukan karena begitu banyak orang sudah mati..."
"Kau telah mengingatkan orang-orang ini untuk menghormati kekudusan Tuhan," Yoshua menjawab," Tuhan itu baik, namun hormatilah Dia. Kesalahan Zimri bukanlah karena ia mencintai seorang wanita asing. Ia tidak menghormati Tuhan. Wanita itu telah membuat banyak orang Israel menyembah Baal-Peor dan berbuat dosa."
"Aku tidak mengerti. Yang tadi kulakukan hanyalah demi menghentikan korban jatuh lebih banyak. Lebih baik dua orang mati daripada ribuan orang Israel mati. Itu saja," kata Pinchas lagi," dan aku sekarang berpikir, bisa saja aku yang jatuh cinta pada wanita Midian itu. Bagaimana kita bisa mengendalikan apa yang ada di jiwa kita? Bukankan Tuanku Musa juga menikah dengan seorang wanita dari Midian?"
"Yang aku tahu, sungguh rendah Zimri menukarkan Tuhannya hanya demi seorang perempuan. Jika kau berpikir itu adalah cinta, kau salah besar. Jika kau tak pernah mencintai Tuhan, kau sebenarnya tak pernah tahu apa itu cinta. Cinta itu lebih luhur dari sekedar luapan emosi yang bagai air mendidih di dalam dadamu ketika kau menjumpai seseorang," kata Yoshua. "Kau mencintai Tuhan dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu?" Eleazar berbicara.
"Ya."
"Maka jika kau mencintai seorang wanita yang bisa menjadi jurang antara hatimu dan Allah Israel, pilihan hatimu bukanlah antara wanita Midian atau wanita Israel, tetapi wanita itu atau Tuhan. Zimri dan wanita itu, juga ribuan orang yang terkena penyakit tidak perlu mati, jika saja Zimri mampu sekedar berkata tidak kepada wanita itu," jawab Eleazar, "Karena Tuhan adalah Pribadi, Dia bukan sesuatu. Dia memiliki hati, anakku. Kau melukai hati-Nya jika meninggalkan-Nya dan memuja yang lain. Masalahnya bukan dari mana wanita itu berasal tapi apakah ia mengenal Allah kita. Tidak ada gunanya juga jika demi dirimu, wanita itu mau mengikuti semua hukum Israel tetapi hatinya tidak pernah mencintai Allah Israel."
"Maksud bapa?" tanya Pinchas. "Zipporah memang orang Midian, tetapi ia mengenal Tuhan, terlepas dari berjumpa dengan Musa atau tidak, ia mengasihi Tuhan. Ayahnya yang dulu penyembah berhala, meninggalkan semua kebiasaan lamanya karena sebuah perjumpaan pribadi dari hati ke hati dengan Allah Abraham. Tak seorang pun memaksanya atau mempengaruhi pikirannya. Ia berjumpa sendiri dengan Sang Aku, seperti halnya Musa. Itu sebabnya ia mengganti namanya dari Yithro menjadi Rehuel, ia menjadi sahabat Allah. Maka Allah memberinya tugas untuk mempersiapkan Musa menjadi pemimpin besar, dengan melatihnya bertahun-tahun sebagai seorang penggembala domba, untuk sebuah tujuan yang tersembunyi dalam hati-Nya."
"Bapa, sebenarnya apa tujuan-Nya membawa kita ke Tanah Perjanjian, melewati begitu banyak kesukaran ini? Aku tahu Dia tidak sekedar membebaskan bangsa kita dari perbudakan. Tidak sesederhana itu," tanya anak muda itu.
Eleazar yang hendak menyusul Musa masuk ke Kemah menghentikan langkahnya, lalu menoleh kepada putranya. Dengan sorot mata lembut ia menjawab,"Aku tidak tahu, Nak, carilah jawaban dari semua pertanyaan yang mengganggumu, karena kita ini merdeka dan bukan lagi budak, hanya jangan batasi Tuhan dengan pengertianmu. Sebagaimana hatimu ingin merdeka, biarkan Tuhan juga menjadi Diri-Nya sendiri."
Beberapa bulan telah berlalu. Masa perkabungan telah usai. Semua korban telah dimakamkan. Pagi itu, ketika bangsa itu selesai mengumpulkan Manna, Musa yang baru saja meninggalkan Kemah Suci memanggil para pemuka Israel untuk berkumpul. Mereka diperintahkan untuk menghitung jumlah semua orang yang sanggup berperang.
"Kita akan berperang melawan Midian. Ini adalah tugasku yang terakhir, pertempuranku yang terakhir. Setelah ini, Tuhan telah menunjuk Yoshua putra Nun untuk menggantikan diriku. Aku tidak akan masuk ke Tanah Perjanjian bersama kalian karena kesalahan yang telah kulakukan. Yoshua yang akan membawa kalian mengakhiri perjalanan panjang ini," kata Musa, "Sekarang siapkanlah seribu orang dari tiap suku dan persenjatai dirimu."
Keesokan harinya dua belas ribu orang telah berbaris siap untuk bertempur. Yoshua berdiri di depan. Orang-orang Lewi termasuk Pinchas putra Eleazar membawa perkakas Kemah Suci dan nafiri-nafiri pemberi semboyan. Mereka telah siap, strategi telah diatur. Musa pun keluar dari Kemah Suci. Ia berdiri tegap, wajahnya bercahaya. Orang Israel memandangnya dengan rasa haru. Inilah pertempuran terakhir bagi Musa. Tak lama lagi, mereka akan berpisah dengan pemimpin besar itu.
Musa mengangkat kedua tangannya sebagai isyarat, tangan kanannya memegang tongkat. Orang Lewi pun meniup nafiri. Yoshua berteriak memberi tanda. Bangsa itu berteriak untuk menyemangati jiwa mereka. Suara gemuruh pun terdengar. Dua belas ribu orang maju menyerang kota-kota Midian.
Israel mengalahkan Midian. Lima pemimpin Midian tewas dalam pertempuran itu, termasuk Zur, ayah Kozbi. Seorang pria mendobrak rumah Bileam putra Beor. Pedang pun dihujamkan ke tubuh Bileam Sang Pelihat. Dalam nafas terakhirnya pria itu teringat kepada almarhum gurunya, Yithro dan kepada Allah Israel, namun sudah terlambat. Ia telah menjual dirinya kepada Setan demi mimpi manusia yang ujungnya adalah kehampaan. Kehampaan dan kekosongan yang telah menyelimuti dirinya, meski sekiranya ia tidak mati hari itu. Setan telah memiliki Bileam.
Dari pintu yang telah dirusak, keledai betina yang sudah tua memandang sang tuan yang selama ini selalu menungganginya rebah ke tanah. Dengan sedih keledai itu meringkik. Tak ada yang menghiraukan ringkikan seekor keledai tua di tengah segala hingar bingar suara pertempuran. Namun, ringkikan keledai itu adalah lantunan puisi ratapan yang didengar Bileam di saat terakhir hidupnya:
"Demikianlah kisah Bileam anak Beor,
Orang yang dahulu matanya terbuka,
Orang yang dahulu mendengar firman Tuhan,
Yang beroleh pengetahuan dari Yang Maha Tinggi,
Namun hatinya berada di tengah harta Balak,
Orang yang penuh pengetahuan tentang Tuhan,
Namun bukan cinta kepada Shaddai.
Maka jalan yang salah telah dipilihnya,
Jalan yang lebar terbentang dan dilalui banyak orang,
Ujungnya gelap dan kehampaan."