Tuhan Menyuruh Saya Telepon Ke Nias

Penulis : Ev. Sonny Eli Zaluchu, MA

Detik detik Gempa di Nias...
Saya baru pulang dari perjalanan panjang di Jerusalem, Jordania dan Abu Dhabi dan berjanji pada kedua orang tua saya yang masih tinggal di kota Gunungsitoli Nias untuk menghubungi mereka setelah tiba kembali di Indonesia. Tetapi dua malam berturut-turut ternyata saya "ketiduran" akibat penyesuaian metabolisme tubuh karena melakukan perjalanan melampauhi batas waktu sehingga saya tidak jari menelepon ke Nias. Baru pada hari Senin (28/3/2005) malam pukul 10.30 WIB saya akhirnya berkesempatan menelepon orang tua di Nias, melepas kangen setelah lama meninggalkan Indonesia. Telepon malam itu agak panjang karena kedua anak saya juga ingin berbicara dengan neneknya. Rupanya mereka telah tertidur dan "terpaksa" bangun mendengar deringan telepon di tengah keheningan malam. Saya menutup telepon sekitar setengah jam.

[block:views=similarterms-block_1]

Rasanya pembicaraan malam itu adalah pembicaraan terakrab antara saya dengan kedua orang tua dan malahan kami sempat membicarakan bagaimana campur tangan Tuhan di dalam kehidupan kami masing-masing. Tanpa perasaan apapun saya pergi tidur.

Pukul 00.05 malam itu, tiba-tiba HP saya berdering cukup lama. Dengan berat hati saya bangun dan mendapati bahwa telepon berasal dari adik saya yang berdiam di Medan. Pesannya singkat sambil menangis dan membuat jantung saya serasa berhenti.

"Abang berdoa ya..! Doakan papa dan mama. Nias baru saja dilanda gempa dan terasa sampai di Medan. Kota Gunungsitoli hancur total dan kita kehilangan kontak dengan papa mama! Gempanya berlangsung sekitar pukul 11.20 WIB."

Kalimat ini seperti guntur di tengah malam. Seluruh persendian saya lemas dan tidak mampu berkata apa-apa. Hubungan telepon ke Nias malam itu putus total. Satu-satunya telepon selular milik adik bungsu saya yang masih tinggal bersama kedua orang tua, juga tidak dapat dihubungi. Saya takut dan tidak mampu berbuat apa-apa. Itu berarti, kejadiannya, berlangsung beberapa menit setelah saya selesai menelepon mereka! Seperti mimpi rasanya, merasa kehilangan kedua orang tua sementara kita tidak tahu harus menghubungi siapa. Komunikasi terputus total.

Malam itu saya langsung duduk di depan Televisi dan menantikan berita bencana alam tersebut. Tetapi selama dua jam menunggu, tidak ada selingan atau running text. Satu-satunya komunikasi adalah dengan adik saya yang berada di Medan. Kami lalu mengambil inisiatip dan berbagi tugas. Setelah mendapat kepastian bencana di Nias melalui komunikasi selular, adik saya melakukan koordinasi dengan BBC London dan saya kebagian jatah menghubungi TV7 dan Metro TV. Beberapa nomor telepon selular yang kami dapatkan miliki saudara di Nias langsung di data. Dini hari itu, Metro TV tidak bisa dihubungi. Teleponnya tidak diangkat. Puji Tuhan, telepon saya bisa connect ke TV7, diterima oleh Satpam dan langsung diteruskan ke bagian pemberitaan (diterima oleh Sdr. Danang). Malam itu, TV7 bergerak cepat. Mereka menghubungi wakil bupati Nias dan beberapa nomor yang saya berikan kepada mereka. Saya mendapat berita bahwa BBC sudah online. Akhirnya sekitar pukul 03.15, berita resmi pertama tentang gempa Nias muncul di layar kaca. Dunia tahu, bahwa sebuah pulau terpencil, sedang mengalami bencana gempa yang parah. Bangunan beton di kota gunungsitoli, rata dengan tanah! Target kita malam itu adalah agar dunia tahu bahwa sesuatu sedang terjadi di pulau Nias dan itu sangat parah. Kita tidak ingin terjadi keterlambatan yang akhirnya merugikan orang- orang yang ada di sana. Sebab pada saat yang sama, stasiun TV lain hanya menayangkan berita pasca gempa di Medan dan Aceh. Terima kasih untuk TV7. Ini mujizat yang pertama.

Saya masih bingung bercampur cemas. Hingga setelah berita pertama tentang Nias muncul di TV7, saya masih belum mendapat informasi dimana kedua orang tua saya dan bagaimana keadaan rumah. Kami hanya mendapat berita bahwa listrik di seluruh kota padam, kebakaran muncul di pusat kota akibat korsleting listrik, penduduk meninggalkan rumahnya dan lari ke daerah yang lebih tinggi untuk menyelamatkan diri dari isyu Tsunami yang langsung mencuat di tengah malam itu.

Mujizat kedua terjadi dan melegakan. Pukul 04.00 pagi, telepon seluler milik tetangga dapat saya hubungi. Melalui kontak itulah saya akhirnya mendapatkan informasi bahwa kedua orang tua dan adik saya selamat dan berada di atas gunung. Saya masih belum yakin sebelum berbicara dengan mereka. Lima belas menit kemudian seseorang menemukan orang tua saya, sedang terduduk lemah dan trauma, disebuah tenda darurat yang dipasang di lereng sebuah bukit, beberapa meter di atas permukaan laut, yang mereka daki dengan susah payah untuk tiba di tempat aman. Saya tidak bisa membayangkan, bagaimana mereka bisa sampai ke sana. Papa saya adalah seorang penderita paska stroke dan mama rematik di kedua kakinya. Sementara adik bungsu saya sedang dalam keadaan memar. Pasti semangat dan keinginan untuk hidup yang akhirnya membawa mereka ke sana.

Nomor telepon selular adik saya masih sempat dihubungi oleh TV7 untuk konfirmasi berita dan saya akhirnya bisa berkomunikasi dengan mereka. Pada saat gempa berlangsung, semua benda berguncang dengan kuat dan barang pecah belah jatuh ke lantai. Dinding rumah terbelah. Mereka dengan susah payah keluar rumah karena saking hebatnya getaran, anak kunci tidak bisa masuk ke dalam lubangnya. TV jatuh dan hancur. Meja terbalik. Lantai depan terbelah. Keadaan gelap gulita. Hanya Tuhanlah yang akhirnya membuat mereka bisa lolos dari rumah dan berlari kencang ke arah bukit terjal yang ada di depan rumah.

Mereka mendapati sudah banyak orang yang bersama mereka di atas bukit itu. Rupanya, bencana telah memicu setiap orang menyelamatkan dirinya sendiri dan tidak lagi peduli dengan nasib orang lain. Kedua orang tua itu, papa dan mama, dengan susah payah naik ke bukit terjal menyelamatkan dirinya tanpa ada yang menolong. Mereka adalah orang terakhir yang tiba di atas tempat itu dan bersaksi, sebelum saya menelepon mereka malam itu, mereka bertiga sudah tertidur. Kalau bukan karena campur tangan Tuhan, hal ini tidak akan pernah terjadi. Deringan telepon interlokal itulah, yang menjadi alarm dari Tuhan untuk membangunkan mereka dari tidur. Pasti akan lain ceritanya apabila malam itu saya tidak menelepon ke Nias.

Pada waktu mama selesai menerima telepon, mereka akhirnya terjaga. Beliau masih membereskan beberapa hal. Ketika kemudian menidurkan kepalanya beberapa menit kemudian tiba-tiba terdengar suara yang amat keras..dan gempa bumi itu terjadi! Rumah terguncang hebat dan retak. Semua orang egois menyelamatkan dirinya sendiri. Kedua orang tua itu, berjuang sendirian.