Fenomena Figur & Jalur Independen (Bangun Demokrasi dari Sudut Pandang Paskah Kristus sebagai Paskah Politik)

Oleh: Sefnat A. Hontong

Ada satu narasi dalam kitab Injil Matius yang mengatakan bahwa sampai pada peristiwa Paskah Kristus masih ada juga beberapa murid Yesus yang merasa ragu-ragu dengan apa yang mereka alami (bandk. Mat. 28:17). Pertanyaan saya adalah: mengapa begitu? Menarik sekali adalah catatan yang dibuat oleh Douglas R.A. Hare dalam Mattew Interpretation, A Bible Commentary for Teaching and Preaching (p. 332-333), yaitu bahwa yang membuat mereka merasa ragu-ragu adalah bukan karena apa yang mereka lihat, melainkan karena apa yang mereka dengar.

Memang Douglas kelihatannya sedang mempertentangkan antara apa yang dilihat dan apa yang didengar orang. Bagi saya, sebenarnya tidak harus begitu. Apa yang dilihat orang dan apa yang didengar orang, adalah sama-sama penting dan sama-sama bisa menjadi referensi untuk mengatakan bahwa sesuatu itu benar. Namun kesimpulan seperti ini, hendak mengingatkan kita kepada pendekatan ala Barat yang rasionalistis, yang seringkali merasa curiga terhadap unsur kepercayaan mistis (agama asli) dalam narasi kitab Injil.



Tetapi pada pihak yang lain, saya rasa ada benarnya juga apabila kita menggunakan kacamata Douglas tadi untuk membaca seluruh narasi Yesus dalam kitab Injil, yaitu pada fakta adanya sekelompok orang yang merasa ragu-ragu. Bukankah hal itu justru memperlihatkan tentang ketidak-pahaman, bahkan terkesan ketidak-patuhan mereka kepada apa yang sudah berulang kali dikatakan (diperdengarkan) oleh Yesus? Ketidak-pahaman dan ketidak-patuhan inilah yang telah membuat mereka menjadi ‘mati rasa’ terhadap fakta penderitaan Yesus yang sangat tragis, lalu dengan alasan membela kebenaran agama (Yahudi) membangun kekuatan melawan dan menentang Yesus.

‘Mati-rasa’ artinya: ‘tidak berperasaan lagi’. Orang yang ‘mati rasa’, jika berada dalam konteks ketidak-adilan akan semakin berbuat tidak adil. Ketika berada dalam konteks ketidak-benaran akan semakin berbuat tidak benar. Ketika berada dalam konteks keterpurukan akan semakin brutal, ketika berada dalam konteks korupsi akan semakin koruptif, dst. Itulah kondisi orang yang ‘mati rasa’.

Bagi saya, kondisi ‘mati rasa’ seperti itu, sekarang ini sedang melanda kehidupan dan dinamika berpolitik kita baik di daerah maupun di pusat pemerintahan. Mereka yang ‘mati rasa’ selalu tampil dengan berwajah domba, tetapi sesungguhnya berhati singa; siap menerkam siapa saja yang oppurtunistis dan pragmatis terhadap kekuasaan. Mereka pandai membaca kecenderungan konvensional masyarakat pemilih dan mendukung politik transaksional. Mereka juga ‘mati rasa’ terhadap kemiskinan masyarakat dan orang-orang kecil, namun secara propagandis berkata angka kemiskinan sudah turun. Mereka ‘mati rasa’ terhadap banyaknya anak putus sekolah, namun selalu berkampanye akan menjalankan pendidikan gratis. Mereka ‘mati rasa’ terhadap tingginya angka kematian ibu dan anak di tengah melimpahnya sumber dana kesehatan. Bahkan mereka ‘mati rasa’ terhadap fasilitas dan sarana infrastruktur di tengah tingginya Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah, dll.

Berada dalam sikon yang ‘mati rasa’ seperti itu, bagi saya, ketika hadirnya fenomena orang hanya melihat dan memilih figur (kasus Jokowi di DKI Jakarta) dan beberapa politisi yang memilih jalur independen dalam strategi politiknya, menunjukkan sebuah kritik terhadap fenomena ‘mati rasa’ yang ada dalam dinamika berpolitik kita sebagaimana yang nampak dalam realisasi kebijakan partai politik yang cenderung eksklusif dan ‘bermain-main’. Jikalau kita periksa latar belakang dan fenomena orang memilih figur dan beberapa politisi yang memilih jalur independen, maka paling-tidak kita harus berkata jujur bahwa peng-eksklusif-an partai politik yang cenderung korup, sungguh-sungguh dipertaruhkan dan diganyang oleh kedua fenomena ini. Kenyataan ini bukan rahasia lagi. Lihat saja! Sudah berapa banyak partai politik yang disambangi langsung oleh KPK dalam gerakan anti korupsinya.

Oleh karena itu, dalam hemat saya, jaminan konstitusional tentang hak calon independen berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-V/2007 dalam pemilukada dan fenomena orang melihat figur, bukan melihat partai, adalah aspek penting dalam pertumbuhan berdemokrasi di Indonesia. Sekalipun di sela itu, ada juga berbagai spekulasi yang bernada pesimis tentang fungsi dan peran Kepala Daerah asal jalur independen dalam posisi legislasinya, namun menurut hemat saya, fakta ini sudah memberi sebuah ‘jendela baru’ bagi masa depan Indonesia, yakni: demokrasi yang ideal sedang bertumbuh dan kita semua sedang menuju ke sana. Mungkin pada saatnya, jalur independen dan fenomena figuritas ini tidak perlu lagi, karena sistem kepartaian kita sudah demokratis, mengapa tidak? Namun kini, ia sungguh-sungguh adalah obat bagi penyakit kronis sistem kepartaian kita adalah keniscayaan. Maka adalah tanggung jawab besar bagi siapa saja yang memilih jalan ini untuk konsisten dan loyal pada demokrasi.

Akhirnya, jika kepada saya ditanyakan siapakah yang bisa dikelompokkan sebagai orang yang masih ragu-ragu dan apa itu yang diragukan orang dalam konteks berpolitik di Indonesia sekarang ini? Maka saya akan menjawab: kelompok yang merasa ragu-ragu sekarang ini bukan lagi berurusan dengan figur siapa yang melakukan apa, melainkan justru berhubungan dengan sistem apa yang telah ‘mati rasa’ terhadap soal-soal keadilan dan kebenaran. Itu berarti bahwa yang sedang merasa ragu-ragu sekarang ini adalah seluruh rakyat Indonesia yang kecewa terhadap sistem dan eksistensi kepartaian yang selama ini tidak memihak rakyat, namun yang selalu mem-perdaya-kan rakyat demi kepentingan sesaat.

Jika dalam narasi kitab-kitab Injil terdapat kisah tentang sebuah lembaga besar; lembaga keagamaan Yahudi bersama orang banyak, yang oleh karena, telah ‘mati rasa’ meragukan figur seorang Yesus, maka dalam konteks politik kita sekarang ini, hal itu berbanding terbalik. Keraguan bukan datang dari sebuah lembaga kepada seorang figur, melainkan datang dari orang banyak kepada sebuah lembaga, yakni lembaga kepartaian, yang dianggap telah ‘mati rasa’ terhadap soal-soal keadilan dan kebenaran, lalu orang lebih suka melihat seorang figur. Orang tidak lagi melihat lembaga (partai) mana yang bisa dipercaya, melainkan kepada figur siapa yang bisa dipercaya untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat dan soal-soal keadilan dan kebenaran. Sudah saatnya politik bangkit dari keterpurukkannya dan melayani rakyat. Fenomena orang melihat figur serta beralihnya para politisi memilih jalur independen, bagi saya, adalah paskah (kebangkitan)-nya politik di Indonesia, semoga!

 

Blog penulis: http://sefnathontong.blogspot.com/