Leadership

Artikel-artikel tentang dunia kepemimpinan Kristen, tantangan, masalah, pembinaan pemimpin Kristen dll

(Artikel lain tentang kepemimpinan Kristen dapat dibaca di situs IndoLead)
Tags: 

Bangkit dari Kegagalan Hidup

Oleh: Pdt. Samuel T. Gunawan, M.Th

TUHAN menetapkan langkah-langkah orang yang hidupnya berkenan kepada-Nya; apabila ia jatuh, tidaklah sampai tergeletak, sebab TUHAN menopang tangannya. (Mazmur 37:23-24)

Pendahuluan

Pernahkah saudara gagal atau membuat kesalahan? Kenyatan bahwa Saudara pernah gagal adalah bukti bahwa Saudara belum selesai. Kegagalan dan kesalahan dapat menjadi jembatan bukan penghalang bagi kehidupan yang lebih baik. Kisah berikut ini baik untuk kita perhatikan!



Dalam suatu acara televisi ESPN, ditayangkan suatu interview di mana seorang mega bintang mengisahkan tentang perjalanan kariernya: “Lebih dari 3000 kali saya diberi kepercayaan untuk menyarangkan bola ke jaring lawan namun saya gagal melakukannya. Saya diberi 26 kali kepercayaan oleh tim saya untuk melakukan tembakan terakhir pada saat pertandingan final dan saya pun gagal. Lebih dari 300 kali saya berkontribusi dalam kekalahan tim saya Chicago Bulls dan kini saya masih dijuluki sebagai pemain terhebat sepanjang masa. Sayalah Michael Yordan.”

Inti Renungan

Kisah membawa kita pada pelajaran-pelajaran penting bagaimana kita perlu “BANGKIT DARI KEGAGALAN HIDUP!”. Kata-kata berikut ini perlu Saudara ingat “Kegagalan bukanlah akhir dari segalanya. Justru dapat menjadi titik balik menuju kehidupan yang lebih baik”

Langkah 1. Sadari bahwa setiap orang pernah gagal. Alkitab menorehkan catatan kegagalan dalam goresan tinta emas yang terdapat dalam kisah hidup mereka. Abraham pernah gagal; Yakub pernah gagal: Musa pernah gagal; Daud pernah gagal yang menulis ayat di atas juga pernah gagal. Pemahaman bahwa tiap orang pernah gagal akan mencegah kita untuk berputus asa, frustrasi, dan melakukan tindakan yang fatal. Pemahaman bahwa sukses tanpa kegagalan hanyalah sekedar mitos belaka akan membuat kita bisa melihat perspektif positif dari kegagalan kita.

Abraham Lincoln adalah seorang pribadi yang ulet. Sifatnya yang pantang menyerah telah membuatnya mampu bertahan melalui berbagai rintangan dan menjadi orang yang berhasil. Abraham Lincoln mampu membuat kegagalan menjadi “jembatan” untuk maju dari satu keberhasilan kepada keberhasilan yang lebih tinggi. Lihatlah catatan sejarah hidupnya dibawah ini: Tahun 1816 keluarganya diusir dari rumahnya, sehingga ia harus bekerja; tahun 1818 ibunya meninggal dunia; tahun 1831 gagal dalam berbisnis; tahun 1832 gagal menjadi anggota legislatif. ia kehilanganpekerjaan dan ingin sekolah difakultas hukum tetapi tidak diterima; tahun 1833 meminjam uang untuk memulai lagi bisnisnya danbangkrut pada tahun itu juga dan ia harus melunasi hutangnya selama 17 tahun; tahun 1834 terpilih sebagai anggota legislative; tahun 1835 bertunangan, kemudian tunangannya mati dan ia patah hati; tahun 1836 mengalami “nervous breakdown” dan harusberbaring selama 6 bulan; tahun 1838 ingin menjadi pembicara badan legislatif, tetapi gagal; tahun 1840 ingin menjadi “elector”, tetapi gagal; tahun 1843 ingin menjadi anggota kongres, tetapi gagal; tahun 1846 berhasil menjadi anggota kongres; tahun 1848 tidak terpilih untuk yang kedua kalinya sebagai anggota kongres; tahun 1849 melamar sebagai walikota, tetapi ditolak; tahun 1854 ingin menjadi anggota senat amerika, tetapi gagal; tahun 1856 mencalonkan diri sebagai wakil presiden amerika, tetapi gagal karena ia hanya mendapat suara kurang dari 100; tahun 1858 Ingin menjadi anggota Senat Amerika lagi,tetapi kalah; tahun 1860 Terpilih menjadi Presiden Amerika Serikat

Langkah 2. Akuilah kegagalan anda dan bersedialah untuk bangkit kembali. Billy Lim menulis sebuah buku yang sangat popular di Malaysia, judulnya Dare to Fail. Dalam buku tersebut ia mencantumkan sebuah survey yang menyatakan bahwa dibutuhkan rata-rata 240 kali proses jatuh bangun dari seorang bayi, sebelum ia mampu berjalan. Menurut anda, ketika bayi itu jatuh, apakah ia akan menyalahkan orang tuanya karena kurang membimbingnya, atau menyalahkan lantai karena licin? O, tidak, para bayi belum bisa berpikir sejauh itu. Bahkan mereka menikmati sekali proses jatuh bangun itu. Mereka tanpa berpikir lama akan bangkit lagi dengan tersenyum dan semangat. Mereka bangkit dan berusaha mencoba sekali lagi, sekali lagi, dan sekali lagi. Sampai kapan? Sampai mereka bisa berjalan.

Langkah 3. Patahkan rintangan-rintangan yang menghambat Saudara untuk bangkit dan maju. Rintangan yang akan menghambat Saudara untuk maju datang dalam dua bentuk yaitu: pikiran negatif dan pengalaman traumatis masa lalu. Pertama, kita harus mengendalikan pikiran-pikiran kita. Kita perlu mengalahkan pikiran-pikiran negatif dan mengizinkan pikiran-pikiran positif mengendalikan kita. Isi terus menerus pikiran-pikiran kita dengan hal-hal positif (Filipi 4:7-8). Ingat, perkataan dan tindakan-tindakan kita mencerminkan keadaan hati dan pikiran-pikiran kita (Amsal 18:21; Bilangan 13 dan 14). Kedua, kita perlu membereskan pengalaman traumatis masa lalu dengan menerima pengalaman itu sebagai bagian dari hidup kita. Kita juga harus belajar mengampuni orang-orang yang telah melukai dan menyakiti kita (Pengalaman Yusuf sebagai contoh). Ingatlah, jika anda terlalu banyak menoleh kebelakang, anda akan segera kehilangan arah. Jika anda anda hanya memerlukan kaca spion, tanpa harus menoleh kebelakang. Artinya, anda perlu mengambil pelajaran utama dari pengalaman dan kepahitan masa lalu dan membuang semua rinciannya, termasuk kepahitan, kemarahan, dan kekecewaan.

Langkah 4. Tetaplah percaya pada Tuhan. Ketika Saudara tidak memiliki apapun, selain Tuhan, itu cukup bagi Saudara, karena memang hanya Dia yang kita perlukan! Saudara akan selalu mengalami kesulitan jika berusaha mengatasi masalah hidup tanpa Tuhan. Carilah Dia dengan segenap hati. Hizkia, pada saat dikepung oleh Sanherib raja Asyur berkata kepada segenap umat Israel di Yerusalem "Kuatkanlah dan teguhkanlah hatimu! Janganlah takut dan terkejut terhadap raja Asyur serta seluruh laskar yang menyertainya, karena yang menyertai kita lebih banyak dari pada yang menyertai dia. Yang menyertai dia adalah tangan manusia, tetapi yang menyertai kita adalah TUHAN, Allah kita, yang membantu kita dan melakukan peperangan kita." Oleh kata-kata Hizkia, raja Yehuda itu, rakyat mendapat kepercayaannya kembali” (2 Tawarikh 32:7-8).

Keberhasilan Yusuf lebih ditentukan oleh posisinya di hadapan Tuhan. Karena posisi hidupnya berada dalam penyertaan Tuhan, dimana pun ia berada ia selalu berhasil. Sebaliknya, apabila posis hidupnya berada diluar penyertaan Tuhan, tentu ia tidak dapat berharap Tuhan akan membuat hidupnya berhasil. Bagi orang yang tidak beriman, lokasi atau tempat merupakan penentu keberhasilan. Karena itu, tidak ada jaminan bagi yang bersangkutan untuk dapat mengalami keberhasilan dalam segala keadaan. Namun, bagi orang beriman, karena ia berada dalam Tuhan yang menentukan keberhasilan, ia memiliki jaminan keberhasilan. Kejadian 39:2 “Tetapi TUHAN menyertai Yusuf, sehingga ia menjadi seorang yang selalu berhasil dalam pekerjaannya; maka tinggallah ia di rumah tuannya, orang Mesir itu”.

Belajar dari Semut

Oleh: Dr. Donald Siahaan

Mengherankan, Tuhan menggunakan metafora SEMUT untuk mengajarkan anak-anak-Nya ETOS KERJA yang benar. Amsal 6:6-8 menyatakan: "Hai pemalas, pergilah kepada semut, perhatikanlah lakunya dan jadilah bijak: biarpun tidak ada pemimpinnya, pengaturnya atau penguasanya, ia menyediakan rotinya di musim panas, dan mengumpulkan makanannya pada waktu panen". Kalimat ini memang ditujukan kepada yang MALAS, atau kerangjingan MILIS, atau sering bikin alasan MULES saat disuruh kerja, sambil meMELAS bisa diberi waktu istirahat lebih banyak. Tapi SEMUT tidak demikian:

a. Mengambil INISIATIF. Semut tidak memerlukan komando atau pengawasan untuk bekerja, tapi senantiasa berINISIATIF, digerakkan dari dalam dirinya untuk senantiasa bekerja

b. Penuh INTEGRITAS. Integritas menyangkut kesetiaan kerja dan rasa tanggung jawab atas pekerjaan. Integritas adalah langka dimiliki manusia sekarang. Padahal, integritas adalah energi yang membuat kita dapat bertahan dalam masalah dan kesulitan kerja.

c. Selalu INDUSTRIOUS. Industrious adalah kapasitas untuk berindustri, berproduksi, berkarya; dapat diartikan rajin, tekun, tak kenal lelah bahkan pantang menyerah. Bila 'bukit semut' mereka runtuh, tetap para semut bekerja membangun bukit semut yang baru.

d. Visi dan Tujuan yang jelas. Semut bekerja sekarang untuk menikmati sejahtera di masa sulit dan berat. Ada target waktu, ada target kerja yang tertentu, Bekerja untuk sebuah harapan besar. Ini yang menjadikan semut berINISIATIF, penuh INTEGRITAS dan selalau INDUSTRIOUS.

Kalau semut aja bisa, apalagi ANAK-ANAK TUHAN. Jadilah BIJAK, belajarlah pada semut. DS-EK-150611.

Berbuat Adil

Oleh: SMT Gultom

Judul ini perlu direnungkan secara mendalam oleh setiap insan Indonesia, terlebih karena estafet kepemimpinan bangsa baru saja berlangsung, baik legislatif maupun ekesekutif. Rakyat berharap melalui pergantian kepemimpinan ini, akan terjadi perubahan kehidupan berbangsa dan bernegara khususnya berkenaan dengan kehidupan ekonomi yang adil dan yang lebih baik sehingga dapat mengurangi angka kemiskinan dan penderitaan rakyat.Harapan ini bisa terwujud kalau para pemimpin bangsa dan seluruh komponen masyarakat berlaku adil.

Pesan ini juga pernah disampaikan oleh nabi Musa kepada Yosua di tengah-tengah kehidupan sejarah umat pilihan Tuhan, yakni Israel, tatkala tongkat estafet kepemimpinan segera akan beralih dari Musa kepada Yosua, maka Musa berpesan bahwa jika mereka tiba di Tanah Perjanjian, menetap di sana dan membangun kehidupan di segala bidang maka nilai-nilai keadilan harus diberlakukan dan menjadi warna yang melekat kuat serta mencolok di tengah-tengah kehidupan mereka. Pesan itu tepatnya berbunyi demikian :"Janganlah memutarbalikkan keadilan, janganlah memandang bulu dan janganlah menerima suap, sebab suap membuat buta mata orang-orang bijaksana dan memutarbalikkan perkataan orang-orang benar" (Ulangan 16:19).

[block:views=similarterms-block_1]

Dalam hubungannya dengan kepemimpinan tersebut untuk menata kehidupan masyarakan lebih lanjut maka mereka harus mengangkat para hakim. Hakim dalam kehidupan bangsa Israel kedudukannya tidak sama seperti yang ada dalam dunia peradilan modern. Namun esensi bahwa kasus yang tidak dapat diselesaikan secara kekeluargaan akan dibawa kepada hakim dan melalui proses mendengar, menimbang maka hakim yang akan menyatakan atau memutuskan siapa yang benar dan sebaliknya. Kemudian menjatuhkan sanksi bila ada kerugian di satu pihak dan mengupayakan perdamaian pada kedua belah pihak. Perbedaannya adalah bahwa para hakim Israel merangkap sebagai kepala suku. Contohnya Simson dari suku Dan menjadi hakim dan pemimpin umat dalam menghadapi segala ancaman. Demikian pula Salomo dari suku Yehuda menjadi hakim sekaligus raja Israel.

Nilai-nilai keadilan, tidak hanya berlaku di dunia peradilan tetapi juga harus menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan bersama, bermasyarakat dan berbangsa, harus dipraktekkan dari hari ke hari. Nilai-nilai keadilan mengandung makna bahwa dalam suatu kehidupan bersama bukanlah permainan untuk saling meniadakan. Artinya dalam mencapai berbagai keberhasilan hidup di bidang sosial-ekonomi, politik, pendidikan, budaya dan sebagainya tidak dicapai dengan mengorbankan orang lain.

Kehidupan masyarakat yang saling meniadakan dimotivasi oleh EGO. Ego dapat dipahami sebagai "Edging God Out" artinya "Meminggirkan Allah". Allah dengan segala hukum dan ketetapan-Nya tidak lagi menjadi nomor satu atau yang utama dan pertama dalam seluruh pertimbangan dan pengambilan keputusan. Tetapi sebaliknya, kepentingan pribadi, dan mau menang sendiri-sendiri (egoisme dan egosentrisme) justru menjadi yang utama. Jika "Edging God Out" yang menjadi nomor satu maka yang akan muncul di dunia pengadilan resmi maupun dalam kehidupan sehari-hari adalah pemutarbalikkan fakta : yang hitam menjadi putih, dan yang putih menjadi hitam, yang benar dikatakan salah dan yang salah dikatakan benar.

Faktor-faktor yang memudahkan "Edging God Out" bisa berkembang adalah nepotisme, kolusi dan korupsi atau suap. Karena ia kerabat, teman dekat atau saudara maka dibela. Suap adalah faktor utama melemahkan iman. Fakta yang tidak dapat disanggah bahwa orang hidup membutuhkan uang, itu boleh dan dibenarkan, karena uanglah yang menjadi faktor penunjang untuk membuat sukses dalam seluruh perjuangan dalam mewujudkan cita-cita dan harapan. Tetapi sayangnya orang tidak merasa cukup dan puas dan itu yang disebut serakah. Orang yang seperti itu adalah orang yang tidak pernah dekat dan membangun komunikasi atau berdoa secara benar kepada Tuhan. Orang yang mencintai Tuhan akan berdoa seperti Agur bin Yake: "Dua hal aku mohon kepada-Mu, jangan itu Kau tolak sebelum aku mati, yakni: jauhkanlah dari padaku kecurangan dan kebohongan. Jangan berikan kepadaku kemiskinan atau kekayaan. Biarlah aku menikmati makanan yang menjadi bagianku. Supaya, kalau aku kenyang, aku tidak menyangkal-Mu dan berkata:Siapa Tuhan itu? Atau kalau aku miskin, aku mencuri dan mencemarkan nama Allahku" (Amsal 30:7-9).

Makna kita hidup dalam atmosfir keadilan adalah supaya kita mengalami janji-janji Allah, hidup dalam naungan dan berkat-berkat Tuhan. Berlakulah adil, tegakkanlah keadilan di mana saya anda berada.

Busuk

Penulis : Timur Citra Sari

BUKAN main! Rasanya belum pernah sesuatu yang berlabel busuk mendapat liputan dan pembahasan yang sangat luas, seperti yang tengah terjadi di negeri kita belakangan ini. Mungkin karena label busuk kali ini tidak disandang oleh telur, atau pepaya, atau daging, melainkan oleh manusia. Mungkin juga karena mengenali kebusukan manusia tidak semudah mengenali kebusukan telur, pepaya, atau daging.

[block:views=similarterms-block_1]

Jika telur busuk mengambang dalam air, dan pepaya busuk mempunyai penampilan yang mudah dikenali, juga daging busuk berbau khas, maka mengenali "manusia busuk" tidak semudah itu. "Manusia busuk" tidak mengambang dalam kehidupan bermasyarakat, sebaliknya mereka sering kali mempunyai pijakan yang sangat kukuh di tengah masyarakat. "Manusia busuk" tidak berpenampilan aneh, mereka sama saja dengan manusia lainnya. "Manusia busuk" juga tidak berbau, bahkan mereka seringkali beraroma sangat wangi dan menyegarkan.

Mengingat demikian piawainya para "manusia busuk" menyamarkan dirinya, tidak jarang kita dibuat tercengang saat kebusukan mereka akhirnya diketahui. Namun terbongkarnya kebusukan tersebut menunjukkan betapa tepat peringatan yang disampaikan oleh penulis Injil Lukas: "Sebab tidak ada sesuatu yang tersembunyi yang tidak akan dinyatakan, dan tidak ada sesuatu yang rahasia yang tidak akan diketahui dan diumumkan." (Lukas 8:17) Jadi, apabila saat ini Anda - karena satu dan lain hal - tengah mempertimbangkan untuk terlibat dalam "gerombolan si busuk", saran saya, segera batalkan rencana keterlibatan ini. Bukankah tidak seorang pun dari kita ingin dipermalukan karena kebusukan kita terbongkar kelak?

Namun seringkali tidak mudah bagi mereka yang sudah lama berkubang dalam kebusukan untuk meninggalkan pola dan kebiasaan hidup seperti ini. Pertama, bisa jadi mereka sendiri tidak sadar bahwa mereka tengah berkubang dalam kebusukan. Kedua, sebagaimana seringkali terjadi, berkubang dalam kebusukan terasa menyenangkan bagi mereka, sehingga mereka betah dan tidak ingin meninggalkannya. Jika kondisi itu yang terjadi, maka mereka memerlukan pertolongan dan bantuan kita.

Apa yang dapat kita lakukan untuk menolong dan membantu mereka? Khususnya dalam rangka menghadapi Pemilu, kita dapat menolong "gerombolan si busuk" dengan tidak memilih mereka untuk menjadi bagian dari para pemimpin negeri ini di masa mendatang. Jangan keliru, dengan melakukan itu kita sama sekali tidak bermaksud jahat pada mereka. Sebaliknya, kita bermaksud menolong dengan memberi kesempatan pada mereka agar dapat segera meninggalkan kubangan kebusukan tempat hidup mereka selama ini.

Bukankah jauh lebih baik jika mereka tidak mendapat kesempatan menjadi "pemimpin busuk", daripada mereka berkesempatan melakukannya tetapi kemudian berhadapan dengan "... wajah Tuhan menentang orang-orang yang berbuat jahat untuk melenyapkan ingatan kepada mereka dari muka bumi." (Mazmur 34:17).

Selain menolong mereka, dengan tidak memilih "gerombolan si busuk" sesungguhnya kita juga telah menolong negeri kita. Walau memang tidak mudah dan pasti membutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk bangkit dari begitu banyak dan beraneka keterpurukan kita, Nabi Yesaya mengingatkan. "Di mana ada kebenaran di situ akan tumbuh damai sejahtera, dan akibat kebenaran adalah ketenangan dan ketenteraman untuk selama-lamanya." (Yesaya 32:17)

Jadi, jika yang kita dambakan adalah damai sejahtera, ketenangan dan ketenteraman, maka yang perlu kita upayakan seoptimal mungkin adalah menghadirkan kebenaran di negeri ini. Dan, salah satu upaya yang dapat kita lakukan adalah tidak memberi kesempatan "gerombolan si busuk" menjadi pemimpin negeri ini.

Lalu, bagaimana caranya kita dapat memilih para pemimpin yang mendukung kehadiran kebenaran di negeri ini? Perlengkapan apa saja yang kita butuhkan sehingga kita tidak kebobolan? Saya ingatkan, memperlengkapi diri agar kita tidak terlalu innocent saat Pemilu nanti bukanlah persoalan yang amat-sangat mudah. Namun, jika kita tidak keberatan memilih-milih telur, pepaya dan daging sebelum membelinya karena ingin mendapatkan hasil yang terbaik, saya yakin tentu kita juga tidak akan keberatan untuk memperlengkapi diri sebaik-baiknya sebelum menetapkan siapa saja calon pemimpin negeri ini yang akan kita pilih.

Di antara begitu banyaknya kriteria yang dimunculkan, kejujuran kelihatannya menjadi sorotan utama banyak orang di negeri ini. Hal itu tidak aneh, mengingat begitu lama kita berhadapan dengan begitu banyak ketidakjujuran di tengah dan di antara kita. Kita pun tahu betapa ketidakjujuran telah memakan korban banyak orang yang tidak bersalah. Sungguh menyakitkan! Ini berarti, salah satu perlengkapan yang kita butuhkan adalah "koleksi" calon-calon pemimpin yang jujur.

Dari mana kita mendapatkan informasi itu? Tentu dari berbagai sumber pemberitaan. Tidak mudah mencarinya? Bisa jadi, tetapi bukan berarti tidak mungkin. Bukankah kita ingin hasil yang terbaik? Karena itu jangan enggan mencari informasi. Firman Tuhan berikut ini menguatkan kita: "Siapa yang jujur jalannya, keselamatan yang dari Allah akan Kuperlihatkan kepadanya." (Mazmur 50:23). Jika pemimpin kita jujur jalannya, tentu keselamatan dari Allah akan diperlihatkan kepadanya.

Hal lain yang juga mendapat perhatian besar adalah penghargaan terhadap hukum, misalnya berbagai kasus korupsi. Tampilnya tuntutan itu juga tidak mengherankan, karena di depan mata kita melihat berlimpahnya berbagai pelanggaran yang membuat kita mempertanyakan keberadaan hukum di negeri ini. Benar-benar menyebalkan! Bagi kita, dalam urusan memperlengkapi diri dengan sebaik-baiknya, ini berarti kita perlu memiliki - sekali lagi - "koleksi" calon-calon pemimpin yang menghargai hukum. "Koleksi" ini juga kemungkinan besar tidak mudah dicari.

Tetapi - juga sekali lagi - bukan berarti tidak mungkin ditemukan. Betapa melegakannya jika pemimpin kita kelak memperhatikan Firman Tuhan ini: "Taatilah hukum dan tegakkanlah keadilan, sebab sebentar lagi akan datang keselamatan yang dari pada-Ku, dan keadilan-Ku akan dinyatakan." (Yesaya 56:1)

Tentu saja masih banyak lagi kriteria yang ingin kita tetapkan pada para pemimpin kita. Namun kali ini cukup dua hal di atas dulu. Terakhir, mari kita berdoa agar para pemimpin kita kelak berdoa seperti Raja Salomo: "... Maka berikanlah kepada hamba-Mu ini hati yang faham menimbang perkara untuk menghakimi umat-Mu dengan dapat membedakan antara yang baik dan yang jahat...." (1 Raja-raja 3:9) Kiranya Tuhan menolong kita!

Sumber: Suara Pembaruan Daily

Dicari: Pemimpin yang Berjiwa Hamba

Oleh: Ev. Margareth Linandi

Jikalau ditanyakan sebuah pertanyaan kepada kita, apa jawabnya? Pertanyaannya seperti berikut, ”Siapakah yang ingin jadi pemimpin?” Pasti semua akan menjawab, ”Saya mau.” Intinya adalah semua orang ingin menjadi yang terbesar dari segalanya.

Jikalau pertanyaan kedua ditanyakan, ”Siapa yang mau menjadi pemimpin tapi mau menjadi hamba?” Tentu semua orang langsung spontan mengatakan ”tidak.”

Seorang tuan rumah di rumah pasti tidak akan melakukan pekerjaan rumah tangga walaupun pembantunya sedang sakit. Semua pasti menyerahkan pada pembantu. Atau seorang pemimpin di kantor akan sedapat mungkin memberikan perintah demi perintah kepada bawahannya supaya bawahannya menurut dan mengerjakan tugasnya. Sebagai contoh: di kantor, jarang ada pemimpin yang melakukan tugas seperti membuat teh, menyapu, mengepel ruang kantornya, yang ada adalah umumnya kebanyakan memerintah OB (Office Boy/Girl) untuk menyapu, mengepel, menyediakan teh, membersihkan ruang rapat, dan lainnya.

Apa pendapat Alkitab tentang pemimpin yang berjiwa hamba? Ada beberapa poin tentang pemimpin yang berjiwa hamba. Secara khusus penulis akan menjabarkan dan menjelaskan Yohanes 13, dan beberapa pasal pendukung lainnya.

Dalam Yohanes 13, dikisahkan tentang Yesus yang membasuh kaki murid-murid-Nya. Peristiwa ini ditulis setelah peristiwa Yesus dielu-elukan dan beberapa waktu sebelum peristiwa Yesus disalibkan.

1. Dalam Yoh 13:4-5 di mana Yesus menanggalkan jubah-Nya dan mengambil kain lalu membasuh kaki murid-murid-Nya. Simon sempat marah waktu Yesus hendak membasuh kakinya. Jawab Yesus, ”Jika kamu tidak dibasuh maka kamu tidak mendapat bagian dalam Aku.”

Apa alasan Yesus melakukan pencucian kaki terhadap murid-murid-Nya?

1. Karena Yesus mengetahui waktunya sudah dekat lagi dan ia tidak bisa bersama dengan murid-Nya lagi maka ia mengajarkan satu pelajaran bagaimana saling mempercayai murid dengan murid lainnya.

Zaman dahulu, pekerjaan membasuh kaki adalah pekerjaan seorang budak/ hamba.

2. Yesus mau murid-murid-Nya sadar dan belajar untuk saling menghormati, menghargai, menyayangi dan menyadari bahwa dirinya adalah seorang hamba dan tidak ada yang meninggikan diri satu dengan lainnya.

3. Yesus mau mengajarkan bahwa jikalau seseorang ingin menjadi pemimpin maka ia harus siap menjadi yang terakhir dan pelayan dari semuanya. (Markus 9:35).

Apa syarat pemimpin yang berjiwa hamba:

1. Taat dan setia pada pekerjaan yang Tuhan berikan. (Matius 25:21;23).

2. Rendah hati. Berarti menyadari bahwa apa yang ia lakukan tidak berarti tanpa seizin dan perkenan Tuhan. Orang yang rendah hati adalah orang yang mau tunduk dan rela dikikis, dibentuk oleh Tuhan.

3. Murah hati. Pemimpin yang berjiwa hamba adalah mau memberi, jika ada kesusahan, mempunyai hati yang mau membantu, ringan tangan dan punya hati menolong sesama.

4. Mempunyai fokus yang tertuju pada Tuhan. Ini mempunyai arti seorang pemimpin yang berjiwa hamba hanya ingin nama Tuhan saja dipermuliakan bukan dirinya yang ditinggikan.

Dicari pemimpin yang berjiwa hamba? Termasuk pemimpin yang bagaimanakah kita? Biarlah di manapun kita ditempatkan dan berada, kita tidak menjadi pemimpin yang sombong dan egois, tetapi pemimpin yang rendah hati dan siap menerima kritikan untuk membangunnya. Biarlah kita menjadi pemimpin yang berjiwa hamba.

Himat dan Kearifan yang Hilang

Oleh: Yon Maryono

Banyak cerita di Negeri ini. Bagaimana keputusan hakim katanya tidak mempertimbangkan fakta persidangan yang terjadi. Jaksa menuntut perkara atas dasar dakwaan yang dicari-cari. Tuduhan Pemerintah berbohong karena apa yang diucapkan Pimpinannya tidak sesuai dengan tindakannya. Banyak politisi yang katanya wakil rakyat, menyuarakan suara rakyat, ternyata ditahan karena didakwa korupsi. Banyak hal lain lagi yang mungkin lebih memprihatinkan. Hubungan kausal sebab akibat seolah tidak terjadi lagi oleh karena kepentingan pribadi atau kelompoknya dapat membalikkan segalanya. Seolah, ketika kita mengharapkan kebenaran dan keadilan, situasinya tidak jauh mengenai hukum rimba yang tidak ada aturan, jikalau pun ada, aturan tersebut akan dilanggarnya. Maknanya siapa berkuasa akan lebih kuat dan pasti akan menang. Mereka telah kehilangan kesadaran, kepekaan dan solidaritas, sehingga hikmat dan kearifan yang merupakan kemampuan melihat makna kebenaran dibalik peristiwa juga hilang. Apa yang terjadi? Persoalan muncul tatkala kepentingan kelompok berbeda dengan nilai dan tujuan kebenaran masyarakat umumnya.

Demikian pula dengan Yesus Kristus. Walaupun Alkitab menyatakan peristiwa penderitaan dan kematian Yesus adalah suatu penggenapan rencana Allah, tetapi Yesus Kristus menanggung penderitaan dan kematian-Nya pun disebabkan ketidakadilan. Dakwaan-dakwaan yang dijatuhkan kepada-Nya hanya didasarkan atas kepentingan pribadi dari orang-orang tertentu yang membenci-Nya. Yah, umat manusia jaman itu telah memiliki pola hidup yang bertentangan dengan sistem nilai Kerajaan Allah. Keadaan sekarang pun demikian faktanya. Realitas dan sistem nilai Kerajaan Allah sering menjadi mandul dalam kehidupan umat manusia, karena manusia lebih suka hidup dalam sikap ketidakpedulian, utamanya hanya untuk mempertahankan kepentingannya. Manusia sering memutuskan hal yang kurang benar dengan alasan agar kepentingannya tidak terganggu, tetap aman dan sejahtera. Manusia ini cenderung kurang bertanggungjawab terhadap sesamanya. Hal ini bermakna, manusia dengan ketidak peduliannya telah memberi andil yang sangat besar terhadap terbentuknya sistem nilai jahat yang tidak berkenan di hadapan Allah. Bagi mereka kebenaran sejati tidak ada, yang ada adalah kepentingan sejati.

Kita telah melihat kaum rohaniawan atau agamawan bersikap, menanggapi kondisi pemerintahan di negeri ini. Sikap tidak berdiam diri ini sangat positif bila diikuti sikap pro-aktif. Dalam arti melakukan tindakan nyata atau memberikan solusi nyata terhadap pernyataan yang disampaikan. Inilah yang disebut integritas diri yang dapat menghasilkan daya dorong dan inspirasi bagi umat. Pernyataan atau sikap yang disampaikan tanpa ada sikap proaktif, apalagi hangat-hangat tahi ayam, melakukan sesuatu dengan sungguh-sungguh hanya pada permulaan, lama kelamaan, ditinggalkan, maka wajar menimbulkan pertanyaan dasarnya: Apakah ada kepentingan? Orang percaya seharusnya menunjukan sikap dan tingkah-laku yang benar di hadapan Allah. Sikap iman yang dilandasi dengan sikap proaktif didasarkan kebenaran Tuhan, tanpa kepentingan diri. Sikap ini akan menghasilkan tindakan yang berintegritas.

Pada saat Nabi Yesaya mengingatkan bangsa Israel terhadap firman Tuhan: "Oleh karena bangsa ini datang mendekat dengan mulutnya dan memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya menjauh dari pada-Ku, dan ibadahnya kepada-Ku hanyalah perintah manusia yang dihafalkan, maka sebab itu sesungguhnya Aku akan melakukan pula hal-hal ajaib kepada bangsa ini, keajaiban yang menakjubkan: hikmat orang-orang yang berhikmat akan hilang dan kearifan orang-orangnya yang arif akan disembunyikan. (Yesaya 29:13-14). Apa maknanya itu semua? Ibadah mereka, bangsa Israel saat itu, tidak memberi dampak kepada sesama dan lingkungan dengan perbuatan kasih yang nyata. Mereka gagal untuk "mempraktekan apa yg mereka pelajari", mereka suka memihak kepada orang kaya dan tidak mau menolong orang-orang percaya lain yang miskin (bdk. Yak. 1-2). Tidak berbeda dengan kondisi saat ini, manusia berpihak pada kepentingan sendiri untuk mempertahankan kekuasaan atau status kenyamanannya tanpa mempedulikan sesama dan lingkungan sekitarnya.

Orang percaya seharusnya selalu memandang kesusahan dan penderitaan tetap mengandung hal-hal yang berharga dan menjadi sumber hikmat. Hal ini agar tetap memiliki pengharapan dan iman dalam Kristus, sehingga tidak mudah diombang-ambingkan keadaan. Inilah kebahagiaan hidup, karena itu, janganlah kehilangan hikmat dan kearifan dari Tuhan, agar hidup tidak menjadi kesia-siaan. Hidup orang percaya seharusnya selalu dalam tatanan nilai Kerajaan Allah, bukan kerajaan dunia. Soli Deo Gloria.

Indonesia Minim Jiwa Kepemimpinan

Kurangnya jiwa kepemimpinan menyebabkan krisis ekonomi masih terasa di Indonesia. Selama enam tahun ini, Indonesia masih tertinggal dibandingkan Malaysia, Singapura, Thailand, Korea Selatan, dan negara lain di kawasan Asia. Negara-negara tersebut sudah mampu keluar dari krisis dan menata ekonominya untuk menyambut permainan globalisasi dan ASEAN Free Trade Area (AFTA). Penyebab kemajuan mereka, menurut Charlo Mamora, Managing Partner Transforma, karena adanya dukungan dari perusahaan-perusahaan yang dapat menyikapi krisis tersebut dengan arif. Demikian dilaporkan harian Media Indonesia.

[block:views=similarterms-block_1]

"Mereka melakukan penyelarasan pola pikir individu dan pembenahan kepemimpinan top team untuk organisasi. Kedua hal ini adalah yang paling menentukan dan membedakan suatu organisasi akan menjadi pemenang, biasa-biasa saja, atau bahkan punah," katanya di seminar Top Team Leadership di Jakarta baru-baru ini. Lebih lanjut Charlo mengungkapkan, Jepang berhasil mengejar ketertinggalannya dengan Barat melalui gerakan kualitas, dan Korea mampu bersaing di pasaran internasional dengan program survival atau kuantum. "Indonesia sebenarnya dapat mengikuti jejak kedua bangsa itu, mengejar ketertinggalan melalui gerakan penyelarasan mindset (mindset alignment movement). Tetapi, selama pejabat pemerintah melihat dirinya sebagai penguasa bukan pelayan masyarakat, selama itu pula perubahan berarti tidak akan terjadi. Selama mentalitas guru melihat dirinya sebagai pengajar, bukan sebagai pendidik, selama itu pula kualitas sumber daya manusia kita tidak akan mengalami perubahan besar," ucapnya. Begitu juga dalam dunia bisnis. Menurut Charlo, perusahaan sebagai pelaku utama harus meninjau pola pikir yang dianut. Perusahaan harus berani mengubah pola pikir yang merugikan. Untuk itu, ada lima hal yang harus diperhatikan. Pertama, adanya visi yang menantang secara bisnis dan memiliki daya pikat bagi karyawan melalui transformasi komunikasi dari pimpinan. Visi perusahaan tersebut harus melekat di semua jajaran karyawan. Kedua, adanya program kuantum, atau lompatan dari perusahaan untuk mencapai nilai ekonomis yang tinggi. Ketiga, adanya budaya dan praktik pengembangan talenta. Itu berarti, semua orang diberi kesempatan untuk mengembangkan potensinya sesuai dengan kemampuannya. Keempat, adanya proses plan-do-check-action (PDCA) yang berjalan pada setiap organ perusahaan dan terintegrasi secara keseluruhan. Kelima, adanya bahasa persatuan kerja dan interaksi dengan pelanggan atau pihak luar organisasi yang dijalani oleh keseluruhan orang dalam organisasi. Kelima hal itu menurut Charlo membutuhkan tenaga yang luar biasa, tidak cukup lagi hanya dengan seorang CEO yang kuat seperti masa lalu. Sumber: Gloria Cyber Ministry

Integritas: Satunya Kata dengan Perbuatan

Khotbah Ibadah Raya GBAP El Shaddai Palangka Raya
Minggu, 03 November 2013


Oleh: Samuel T. Gunawan, SE, M.Th

“Jadilah teladan bagi orang-orang percaya, dalam perkataanmu, dalam tingkah lakumu,
dalam kasihmu, dalam kesetiaanmu dan dalam kesucianmu” (1 Timotius 4:12b)


PROLOG

Kata integritas berasal dari kata Latin “integer” yang mencakup aspek lahiriah, moral, etika, dan karakter yang mulia. Kata bahasa Inggris “integrity” yang berarti menyeluruh, lengkap atau segalanya. Kamus oxford menghubungkan arti integritas dengan kepribadian seseorang yaitu jujur dan utuh. Kamus Besar Bahasa Indonesia Phoenix mengartikan integritas sebagai “keutuhan, keterpaduan, kesatuan; ketulusan hati, kejujuran”. Ahmad Muda dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia menyebut integritas sebagai “kejujuran; mutu, sifat, atau keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki kemampuan yang memancarkan kewibawaan”. Ada juga yang mengartikan integritas sebagai keunggulan moral dan menyamakan integritas sebagai “jati diri”. Integritas juga diartikan sebagai bertindak konsisten sesuai dengan nilai-nilai dan kode etik, atau dengan kata lain integritas diartikan sebagai “satunya kata dengan perbuatan”. Kennet Boa menyatakan bahwa integritas berarti “benar, lengkap dan utuh”. Seorang yang berintegritas senantiasa berusaha bertindak berdasarkan prinsip-prinsip kebenaran yang normatif. Seorang yang berintegritas adalah seorang yang memiliki keutuhan pribadi. Seorang yang beritegritas adalah seorang yang jujur dan bermoral teguh. Paul J. Meyer menyatakan bahwa “integritas itu nyata dan terjangkau dan mencakup sifat seperti: bertanggung jawab, jujur, menepati kata-kata, dan setia”.



Jika dirumuskan, integritas adalah karakter pribadi yang melekat pada seseorang. Itu adalah keutuhan, kelengkapan, kesempurnaan, kebulatan, kemurnian, kesegaran (budi), kesehatan, keurusan hati, sifat tidak mencari kepentingan sendiri, ketulusan (tak dapat disuap), kejujuran, kebaikan, kesalehen, sesucian, kemurnian, dan terpercaya”. Jadi, saat berbicara tentang integritas tidak pernah lepas dari kepribadian dan karakter seseorang, yaitu sifat-sifat seperti: dapat dipercaya, komitmen, tanggung jawab, kejujuran, kebenaran, kesetiaan dan lain sebagainya.

Konon, di Tiongkok kuno orang menginginkan rasa damai dari kelompok Barbar utara, itu sebabnya mereka membangun tembok besar. Tembok itu begitu tinggi sehingga mereka sangat yakin tidak seorang pun yang bisa memanjatnya dan sangat tebal sehingga tidak mungkin hancur walau pun didobrak. Sejak tembok itu dibangun dalam seratus tahun pertama, setidaknya Tiongkok telah diserang tiga kali oleh musuh-musuhnya, namun tidak ada satu pun yang berhasil masuk karena temboknya yang tinggi, tebal dan kuat. Suatu ketika, musuh menyuap penjaga pintu gerbang perbatasan itu. Apa yang terjadi kemudian? Musuh berhasil masuk. Orang Tiongkok berhasil membangun tembok batu yang kuat dan dapat diandalkan, tetapi gagal membangun integritas pada generasi berikutnya. Seandainya, penjaga pintu gerbang tembok itu memiliki integritas yang tinggi, ia tidak akan menerima uang suap itu yang tidak hanya menghancurkan dirinya tapi juga orang lain.

Betapa sering kita meremehkan dan memandang sebelah mata terhadap arti penting sebuah integritas. Padahal, walau pun ada pengorbanan dan harga yang harus dibayar demi sebuah integritas, akan lebih banyak risiko dan akibat fatal yang terjadi jika harus mengorbankan integritas. Bila kita tidak memperhatikan sikap dan tindakan, kenikmatan sesaat seringkali berujung pada akibat buruk yang berkepanjangan.

INTEGRITAS DALAM PERSPEKTIF ALKITAB

Kata Ibrani “tom” mengandung mengandung arti “sempurna, kehidupan yang tidak dapat dipersalahkan, hati nurani yang bersih, dan kemurnian”. Mereka yang mempunyai integritas dalam Perjanjian Lama biasanya dihubungkan denga kehidupan yang bergaul karib atau intim dengan TUHAN (Yahwe). Gambaran orang yang berintegritas adalah mereka yang tidak berjalan menurut nasihat orang fasik, tidak berjalan dijalan orang berdosa, tidak bergaul dan bersekutu dengan pencemooh (Mazmur 1:1-2). Sebaliknya, mereka adalah orang yang takut akan Tuhan (Amsal 1:7). Mereka menyukai dan merenungkan firman Tuhan secara intensif, berjalan di jalan yang benar dan menjauhkan diri dari kejahatan (Mazmur 1:2,6). Makna Dasar kata integritas dalam Perjanjian Lama adalah “kesehatan karakter dan kepatuhan terhadap prinsip moral”. Mereka adalah orang yang memiliki ketulusan dan kejujuran (Kejadian 20:5). Dalam kitab Amsal, integritas dipandang sebagai karakteristik yang pentig dari kehidupan yang tulus. Tuhan akan melindungi orang-orang yang berjalan dalam integritas (Amsal 2:7), dan keamanan mereka terjamin (2:21; 10:9; 20:7; 28:18). Mereka yang beritegritas akan dituntun (Amsal 11:3), dan memiliki integritas lebih baik daripaa kekayaan (Amsal 19:1; 28:6).

Jadi dalam Perjanjian Lama, integritas merupakan cermin karakter seseorang. Karakter terbentuk dari dan akibat pergaulan seseorang dengan Tuhan, yang mengakibatkan sifat-sifat moral Allah dimiliki orang tersebut.Implikasi etisnya adalah ia berusaha hidup benar dalam relasi dengan Tuhan, diri sendiri, sesama, dan lingkungan tempat ia hidup.

Salah satu isi khotbah Tuhan Yesus di atas bukit adalah “berbahagialah orang yang suci hatinya” (Matius 5:8), hal itu secara langsung menytakan, “dengan sepenuh hati mengikuti perintah-perintah Tuhan”. Integritas tidak hanya berimplikasi tidak terbagi atau utuh tetapi lebih mengandung arti suatu kemurnian moral. Penekanan Perjanjian Baru dalam hal integritas adalah kita harus memiliki level kearifan atau kecerdikan dari kehendak Allah dalam kehidupan kita. Tentu saja yang dituntut adalah sikap dari orang-orang yang berintegritas untuk menjadi murid yang selalu belajar firman Tuhan. Kitab Yakobus memperingatkan kita supaya menjadi “pelaku firman”, dan tidak hanya pendengar saja (Yakobus 1:22).

Dalam persepketif Alkitab, kehidupan yang berintegritas bersumber dari kedewasaan rohani dan psikologis. Integritas moral dirasakan sebagai buah Roh yang menyucikan melalui anugerah Allah (Galatia 5:22-23). Kehidupan yang berintegritas adalah adalah kehidupan dalam segala aspeknya yang memiliki beragam variasi yang terjalin secara harmonis. Integritas juga menyatakan kehidupan yang memiliki kesatuan (unity). Untuh dan segalanya menjadi kesatuan. Dengan demikian dapat dikatakan seorang yang memiliki moral integratif adalah mereka yang menghidupi hidup ini dengan segala imensinya (yang imanen dan transenden) secara utuh. Mereka bukanlah orang-orang yang memiliki kepribadian yang retak (Bandingkan Kisah Para Rasul 6:3-5; 1 Timotius 3:2-13; Titus 1:6-9).

MAKNA SEBUAH INTEGRITAS

Suatu penelitian menyatakan bahwa perbedaan antara negara berkembang (miskin) dan negara maju (kaya) tidak tergantung pada usia negara itu. Contohnya negara India dan Mesir, yang usianya lebih dari 2000 tahun, tetapi mereka tetap terbelakang (miskin). Di sisi lain Negara seperti Singapura, Kanada, Australia dan New Zealand, negara yang umurnya kurang dari 150 tahun dalam membangun, saat ini mereka adalah bagian dari negara maju di dunia, dan penduduknya tidak lagi miskin.

Ketersediaan sumber daya alam dari suatu negara juga tidak menjamin negara itu menjadi kaya atau miskin Jepang mempunyai area yang sangat terbatas, dimana daratannya delapan puluh persen berupa pegunungan dan tidak cukup untuk meningkatkan pertanian dan peternakan Tetapi, saat ini Jepang menjadi raksasa ekonomi nomor dua di dunia. Jepang laksana suatu negara “industri terapung” yang besar sekali, mengimpor bahan baku dari semua negara di dunia dan mengekspor barang jadinya. Swiss tidak mempunyai perkebunan coklat tetapi sebagai segara pembuat coklat terbaik di dunia. Negara Swiss sangat kecil, hanya sebelas persen daratannya yang bisa ditanami. Swiss juga mengolah susu dengan kualitas terbaik. (Nestle adalah salah satu perusahaan makanan terbesar di dunia). Bank-bank di Swiss juga saat ini menjadi bank yang sangat disukai di dunia.

Para eksekutif dari negara maju yang berkomunikasi dengan temannya dari negara terbelakang akan sependapat bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan dalam hal kecerdasan. Para imigran yang dinyatakan pemalas di negara asalnya ternyata menjadi sumber daya yang sangat produktif di negara-negara maju dan kaya di Eropa. Ras atau warna kulit juga bukan faktor penting.

Lalu, apa perbedaannya? Ternyata, perbedaannya adalah pada sikap atau perilaku masyarakatnya, yang telah dibentuk sepanjang tahun melalui kebudayaan dan pendidikan. Berdasarkan analisis atas perilaku masyarakat di negara maju, ternyata bahwa mayoritas penduduknya sehari-harinya mengikuti dan mematuhi prinsip-prinsip dasar kehidupan yang salah satu dari prinsip dasar itu adalah integritas diri.

Apakah makna integritas bagi kita? Pertama, integritas berarti komitmen dan loyalitas. Apakah komitmen itu? komitmen adalah suatu janji pada diri sendiri ataupun orang lain yang tercermin dalam tindakan-tindakan seseorang. Seseorang yang berkomitmen adalah mereka yang dapat menepati sebuah janji dan mempertahankan janji itu sampai akhir, walau pun harus berkorban. Banyak orang gagal dalam komitmen. Faktor pemicu mulai dari keyakinan yang goyah, gaya hidup yang tidak benar, pengaruh lingkungan, hingga ketidakmampuan mengatasi berbagai persoalan kehidupan. Gagal dalam komitmen menujukkan lemahnya integritas diri

Kedua, integritas berarti tanggung jawab. Tanggung jawab adalah tanda dari kedewasaan pribadi. Orang yang berani mengambil tanggung jawab adalah mereka yang bersedia mengambil risiko, memperbaiki keadaan, dan melakukan kewajiban dengan kemampuan yang terbaik. Peluang menuju sukses terbuka bagi mereka. Sementara itu, orang yang melarikan diri dari tanggung jawab merasa seperti sedang melepaskan diri dari sebuah beban (padahal tidak demikian). Semakin kita lari dari tanggung jawab, semakin kita kehilangan tujuan dan makna hidup. Kita akan semakin merosot, merasa tidak berarti dan akhirnya menjadi pecundang (penghasut).

Ketiga, integritas berarti dapat dipercaya, jujur dan setia. Kehidupan kita akan menjadi dipercaya, apabila perkataan kita sejalan dengan perbuatan kita; tentunya dalam hal ini yang kita pandang baik atau positif. Sebuah pribahasa mengatakan “Kemarau setahun akan dihancurkan oleh hujan sehari”, yang artinya segala kebaikan kita akan runtuh dengan satu kali saja kita berbuat jahat.

Keempat, integritas berarti konsisten. Konsisten berarti tetap pada pendirian. Orang yang konsiten adalah orang yang tegas pada keputusan dan pendiriannya tidak goyah. Konsisten bukan berarti sikap yang keras atau kaku. Orang yang konsisten dalam keputusan dan tindakan adalah orang yang memilih sikap untuk melakukan apa yang benar dengan tidak bimbang, karena keputusan yang diambil beradasarkan fakta yang akurat, tujuan yang jelas, dan pertimbangan yang bijak. Selalu ada harga yang harus dibayar untuk sebuah konsistensi dimulai dari penguasaan diri dan sikap disiplin.

Kelima, berintegritas berarti menguasai dan mendisiplin diri. Banyak orang keliru menggambarkan sikap disiplin sehingga menyamakan disiplin dengan bekerja keras tanpa istirahat. Padahal sikap disiplin berarti melakukan yang seharusnya dilakukan, bukan sekedar hal yang ingin dilakukan. Disiplin mencerminkan sikap pengendalian diri, suatu sikap hidup yang teratur dan seimbang.

Keenam, berintegritas berarti berkualitas. Kualitas hidup seseorang itu sangat penting. Kualitas menentukan kuantitas. Bila kita berkualitas maka hidup kita tidak akan diremehkan. Kitab Suci menuliskan dengan gamblang tentang kehidupan para tokoh Alkitab, ada yang gagal ada yang berhasil. Integritas hidup berkualitas adalah kehidupan yang membiarkan orang luar menilai diri kita. Pada saat menyenangkan ataupun pada saat tidak menyenangkan.

NABI SAMUEL : TELADAN SEORANG YANG BERITEGRITAS

Setelah mengadakan survey atas ribuan orang di seluruh dunia dan melakukan lebih dari empat ratus studi kasus tertulis, James Kouzes dan Barry Posner menemukan ciri-ciri yang paling diinginkan orang dari seorang pemimpin. Dalam hapir setiap survey, kejujuran atau integritas paling sering disebut daripada sifat-sifat lainnya. Hal ini masuk akal karena orang ingin mengikuti seseorang yang mereka yakin dapat dipercaya, menepati janji, dan berpegang pada komitmennya.

Memperhatikan hasil riset di atas, tidak mengherankan ratusan tahun yang silam umat Israel memberikan penghormatan yang tinggi kepada Samuel, seorang nabi, imam, dan pemimpin legendaris pada masa itu. Saat pidato perpisahan yang diabadikan dalam 1 Samuel 12:1-25, setelah memimpin Israel selama puluhan tahun, Samuel berjanji akan membayar kembali apapun yang diambilnya secara tidak adil dari siapapun. Suatu janji yang luar biasa! Yang lebih mengesankan adalah tanggapan umat Israel: tidak ada seorangpun yang bangkit untuk menuntut sesuatu dari sang nabi yang berintegritas ini. Perhatikanlah pernyataan Alkitab ini, “Berkatalah Samuel kepada seluruh orang Israel: ‘Telah kudengarkan segala permintaanmu yang kamu sampaikan kepadaku, dan seorang raja telah kuangkat atasmu. Maka sekarang raja itulah yang menjadi pemimpinmu; tetapi aku ini telah menjadi tua dan beruban, dan bukankah anak-anakku laki-laki ada di antara kamu? Akulah yang menjadi pemimpinmu dari sejak mudaku sampai hari ini. Di sini aku berdiri. Berikanlah kesaksian menentang aku di hadapan TUHAN dan di hadapan orang yang diurapi-Nya: Lembu siapakah yang telah kuambil? Keledai siapakah yang telah kuambil? Siapakah yang telah kuperas? Siapakah yang telah kuperlakukan dengan kekerasan? Dari tangan siapakah telah kuterima sogok sehingga aku harus tutup mata? Aku akan mengembalikannya kepadamu’. Jawab mereka: ‘Engkau tidak memeras kami dan engkau tidak memperlakukan kami dengan kekerasan dan engkau tidak menerima apa-apa dari tangan siapa pun’. Lalu berkatalah ia kepada mereka: ‘TUHAN menjadi saksi kepada kamu, dan orang yang diurapi-Nya pun menjadi saksi pada hari ini, bahwa kamu tidak mendapat apa-apa dalam tanganku’. Jawab mereka: ‘Dia menjadi saksi.’ Lalu berkatalah Samuel kepada bangsa itu: ‘TUHANlah saksi, yang mengangkat Musa dan Harun dan yang menuntun nenek moyangmu keluar dari tanah Mesir. Maka sebab itu, berdirilah supaya aku bersama-sama dengan kamu berhakim di hadapan TUHAN mengenai segala perbuatan keselamatan TUHAN yang telah dikerjakan-Nya kepadamu dan kepada nenek moyangmu” (1 Samuel 12:1-7).

Kejujuran dan integritas pribadi Samuel meresap dalam seluruh bidang kehidupannya. Kedua ciri ini menjadi penuntun, bagaimana ia memandang milik pribadinya, urusan bisnisnya, serta perlakuannya kepada mereka yang lebih lemah daripada dirinya sendiri. Samuel menganggap dirinya bertanggung jawab terhadap orang-orang yang dipimpinnya. Ia membuka diri untuk diperiksa dengan cermat oleh setiap orang yang pernah berhubungan dengan dia. Akibat dari kebiasaan itu, kepemimpinan Samuel menjadi legenda yang diceritakan berulang-ulang selama berabad-abad. Ia merupakan salah seorang teladan integritas terbesar dalam Alkitab. Ia menjukkan integritas bukan dengan tujuan supaya dikagumi. Ia jujur karena tujuannya bukan supaya dikenal sebagai orang yang jujur. Ia bertindak adil dan benar karena ia tidak berpikir untuk mengembangkan reputasinya sebagai seseorang yang jujur dan adil. Ia tidak hidup untuk membangun reputasi. Ia hidup untuk Allah. Ia memikirkan kehormatan bagi Allah dan melayani umat Allah. Bagi Samuel, kepemimpinannya adalah penatalayanan kepercayaan dari Allah, dan melaksanakan kepercayaan tersebut dengan penuh tanggung jawab merupakan suatu kehormatan.

Teladan yang Samuel perlihatkan, mengajak kita untuk memakai standar integritas yang sama. Apapun tanggung jawab kita, apakah itu suatu bisnis berharga miliaran rupiah atau usaha yang kecil, pelayanan yang besar atau yang kecil, jabatan dalam organisasi atau pun sebagai staf biasa, bahkan tugas-tugas dalam rumah tangga dan keluarga, kelola itu dengan penuh tanggung jawab dan jujur. Biarlah komitmen kita untuk menjadi pribadi yang berintegritas tampak pada apa yang kita lakukan setiap hari. Hal ini bukan berarti bahwa kita ingin sempurna. Karena ternyata Perjanjian Baru tidak mengajak orang-orang untuk menjadi orang yang sempurna, dalam pengertian perfeksionisme, tetapi memanggil mereka untuk menjadi teladan yang bertumbuh dalam iman (Efesus 4:13-15).

EPILOG

Di dalam bukunya You and Your Family, Dr. Tim La Haye memberikan diagram silsilah dua orang yang hidup pada abad 18. Yang pertama adalah Max Jukes, seorang penyelundup alkohol yang tidak bermoral. Yang kedua adalah Dr. Jonathan Edwards, seorang pendeta yang saleh dan pengkhotbah kebangunan rohani. Jonathan Edwards ini menikah dengan seorang wanita yang mempunyai iman dan filsafat hidup yang baik. Melalui silsilah kedua orang ini ditemukan bahwa dari Max Jukes terdapat 1.026 keturunan : 300 orang mati muda, 100 orang dipenjara, 190 orang pelacur, 100 orang peminum berat. Dari Dr. Edwards terdapat 729 keturunan : 300 orang pengkhotbah, 65 orang profesor di universitas, 13 orang penulis, 3 orang pejabat pemerintah, dan 1 orang wakil presiden Amerika. Dari diagram tersebut kita bisa melihat bahwa kebiasaan, keputusan dan nilai-nilai dari generasi terdahulu sangat mempengaruhi kehidupan generasi berikutnya.

Keteladan adalah syarat paling penting bagi Paulus sebagai pemimpin Kristen terkemuka pada masa itu (1 Korintus 4:16; Filipi 3:17). Paulus menyadari bahwa tidak ada seorang pun yang menaruh hormat kepada orang yang membicarakan permainan yang baik tetapi tidak mengikuti aturan-aturan mainnya (bandingkan 2 Timotius 2:5). Bagi orang-orang yang dipimpin, segala sesuatu yang diperbuat pemimpin akan berdampak lebih besar daripada yang diucapkannya. Rasul Paulus menasehati Titus demikian, “dan jadikanlah dirimu sendiri suatu teladan dalam berbuat baik. Hendaklah engkau jujur dan bersungguh-sungguh dalam pengajaranmu, sehat dan tidak bercela dalam pemberitaanmu sehingga lawan menjadi malu, karena tidak ada hal-hal buruk yang dapat mereka sebarkan tentang kita” (Titus 2:7-8).

Orang dapat melupakan sembilan puluh persen yang dikatakan pemimpin, tetapi ia tidak akan pernah melupakan bagaimana kehidupan si pemimpin itu. Karena itu, sekitar tahun 65 M silam, Rasul Paulus menasehati pemimpin muda Timotius agar menjadi teladan “dalam perkataanmu, dalam tingkah lakumu, dalam kasihmu, dalam kesetiaanmu dan dalam kesucianmu” (1 Timotius 4:12b). Kata “teladan” ini dalam bahasa Yunani adalah “tufos” yang berarti “model, gambar, ideal, atau pola”. Menurut pengertian ini orang Kristen harus menjadi teladan dalam perkataan dan tindakan. Menjadi teladan dalam perkataan dan perbuatan inilah yang sekarang ini kita sebut sebagai “integritas”, karena pada dasarnya integritas adalah “satunya kata dengan perbuatan”. Amin.

REFERENSI

Achenbach, Reinhard., 2012. Kamus Ibrani-Indonesia Perjanjian Lama. Terjemahan, Penerbit Yayasan Komunikasi Bina Kasih: Jakarta.
Bangun, Yosafat., 2013. Integritas Pemimpin Pastoral: Menjadi Pemimpin Yang Memadukan Kata-Perbuatan, Iman-Ilmu, Teori-Praktik, Jabatan-Integritas. Penerbit Andi: Yogyakarta.
Boa, Kenneth, Sid Buzzell & Bill Perkins., 2013. Handbook To Leadership. Terjemahan, Penerbit Yayasan Komunikasi Bina Kasih: Jakarta.
Chamblin, J. Knox., 2006. Paul and The Self: Apostolic Teaching For Personal Wholeness. Terjemahan, Penerbit Momentum : Jakarta.
Conner, Kevin J., 2004. A Practical Guide To Christian Belief. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas: Malang.
Douglas, J.D., ed, 1996. Ensiklopedia Alkitab Masa Kini, Jilid I dan II. Terj, Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF : Jakarta.
Enns, Paul., 2004.The Moody Handbook of Theology, jilid 2. Terjemahan, Penerbit Literatur SAAT : Malang.
Erickson J. Millard., 2003. Teologi Kristen. 3 Jilid. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas : Malang.
Ezra, Yakoep., 2006. Succes Througgh Character. Penerbit Andi : Yogyakarta.
Grudem, Wayne., 1994. Systematic Theology: A Introduction to a Biblical Doctrine. Zodervan Publising House : Grand Rapids, Michigan.
Meyer, Paul. J., 2007. 24 Kunci Sukses. Terjemahan, Penerbit Andi: Yogyakarta.
Ryrie, Charles C., 1991. Teologi Dasar. Jilid 1 & 2, Terjemahan, Penerbit ANDI Offset : Yogyakarta.
Stamps, Donald. C, ed., 1994. Full Life Bible Studi. Penerbit Gandum Mas : Malang.
Stassen, Glen & David Gushee., 2008. Etika Kerajaan: Mengikut Yesus dalam Konteks Masa Kini. Terjemahan, penerbit Momentum : Jakarta.
Susanto, Hasan., 2003. Perjanjian Baru Interlinier Yunani-Indonesia dan Konkordansi Perjanjian Baru, jilid 1 dan 2. Terjemahan, penerbit Literatur SAAT : Malang.
Tomatala, Yakob., 1998. Manusia Sukses: Manajemen Sumber Daya Manusia Mengatasi Tantangan Menjadi Pemimpin Yang Berhasil. Penerbit YT Leadership Foundation: Jakarta.
Warren, Rick., 2013. Untuk Apa Aku Ada Di Dunia Ini? Terjemahan, Penerbit Immanuel : Jakarta.
Wofford, J.C, 2001., Kepemimpinan Kristen Yang Mengubahkan. Terjemahan, penerbit ANDI: Yokyakarta.



Profil : Samuel T. Gunawan, SE, M.Th adalah pendeta dan teolog Protestan Kharismatik, Gembala di GBAP El Shaddai Palangka Raya; Mengajar Filsafat dan Apologetika Kharismatik di STT AIMI, Solo.
Artikel-artikelnya dapat ditemukan di : (1) Google dengan mengklik nama Samuel T. Gunawan; (2) Website/ Situs : e-Artikel Kristen Indonesia; (3) Facebook : Samuel T. Gunawan (samuelstg09@yahoo.co.id.).

Kejujuran Sebagai Topeng

Oleh: Yon Maryono

Kata topeng berasal dari kata” Taweng” yang berarti tertutup atau menutupi. Sedangkan menurut pendapat umum, istilah kata Topeng mengandung pengertian sebagai penutup muka/kedok yang mempunyai arti simbolik dan penuh pesan-pesan terselubung yang identik dengan watak dan karakter manusia. Kejujuran dikenakan sebagai topeng yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah ucapan, sikap dan perbuatan seseorang yang tampak lahiriah penuh ketulusan ternyata ada kepentingan untuk pribadinya. Hal ini tidak sesuai dengan makna jujur dalam pengertian sikap moral (dalam perkataan maupun perbuatan) yang mengandung atribut berharga berupa kebenaran, integritas, kesatuan antara tindakan luar dan hati, dan sikap lurus yang berarti juga absennya kebohongan, penipuan, dan pencurian (encyclopedia Wikipedia). Kejujuran bukanlah sikap moral yang bersifat temporer, kadang muncul kadang tidak. Tetapi secara konsiten menjadi perilaku atau gaya hidup seseorang.



Dalam dunia sekuler sering kita dengar sebuah kritik: Apa yang diucapkan tidak sesuai dengan apa yang dilakukan. Ini sebuah bentuk “karakter kejujuran” yang diekspresikan dalam ucapan yang tidak pernah dinyatakan dibuktikan. Kejujuran yang didasarkan kebenaran diri sendiri atau kelompok bukan kebenaran dalam Tuhan. Ini adalah kejujuran semu yang dimanfaatkan untuk menipu. Kejujuran hanya sebuah topeng untuk menutupi kepalsuan.

Di dalam Alkitab, ada perintah firman Tuhan, antara lain: Jika ya hendaklah kamu katakan ya, jika tidak hendaklah kamu katakan tidak” (Yak 5:12). Itu sebabnya, kejujuran adalah sesuatu karakter yang utuh. Apa yang diucapkan susuai dengan apa yang dilakukakan, tidak tersisip unsur manipulasi sikap dalam bentuk kebohongan, dusta atau tipu daya lainnya. Dalam ajaran firman Tuhan juga mengungkapkan bahwa Kejujuran datang dari hati yang takut akan Tuhan (Ams 14:2). Pasti orang Kristen mengenal ayat ini, tapi apakah menjamin orang Kristen jujur. Tidak! Banyak orang yang mengaku takut atau mengasihi Tuhan tetapi dalam kenyataan hidupnya tidak menempatkan Tuhan di tempat yang utama. Mereka belum menghamba dalam kebenaran tetapi menghamba kejahatan. Apakah kita akan memakai topeng di hadapan Tuhan? Tuhan Maha mengetahui bahwa kita tidak jujur di hadapan-Nya.

Walaupun kita mengaku percaya, dibaptis dalam nama Allah Bapa, Putra, dan Roh Kudus, dan kita telah dikuduskan dan dibenarkan menjadi milik Kristus, tetapi karakter kejujuran bukan bahan jadi. Dalam konteks Baptisan, kejujuran menyangkut hal ikhwal perubahan moral dan spiritual orang percaya yang sudah dibenarkan menjadi milik Tuhan. Selanjutnya, kejujuran harus dilatih dan diperjuangkan berlandaskan kehendak Allah. Jujur pada diri sendiri dan sesama adalah kejujuran semu bila hati manusia sebagai pusat sinergi intelektual, emosi dan tindakan tidak pernah jujur di hadapan Tuhan. Ini adalah perjuangan yang memerlukan bantuan kekuatan yang sangat besar yakni Tuhan. Tetapi, Roh itu bekerja melalui pengakuan yang setia akan hukum kebenaran dan tanggapan orang percaya akan kasih karunia yang telah diterimanya.

Tuhan memberkati kita semua.

Kepemimpinan Rohani dan Kepemimpinan Sekuler

Penulis : Irnawan Silitonga

I. Pendahuluan
Hitler, Karl Marx, Paulus dan Watchman Nee adalah pemimpin-pemimpin. Mereka semua mempunyai pengikut. Perbedaan diantara mereka adalah sebagian disebut pemimpin rohani, sebagian lagi pemimpin sekuler. Apa sebenarnya perbedaan pemimpin rohani dan pemimpin sekuler. Prinsip-prinsip apa yang membedakan keduanya. Banyak buku-buku mengenai kepemimpinan nampaknya tidak membedakan prinsip-prinsip rohani dan sekuler. Dalam tulisan yang singkat ini akan diuraikan prinsip-prinsip yang menjadikan seseorang disebut pemimpin rohani atau pemimpin sekuler.

[block:views=similarterms-block_1]

Secara khusus tulisan ini juga akan menyoroti sebuah buku sekuler dimana prinsip-prinsipnya sering ditulis oleh penulis-penulis kristen dalam menguraikan kepemimpinan rohani. Sebenarnya buku ini tidak secara khusus berbicara soal kepemimpinan, te8tapi soal pembaharuan pribadi. Buku ini ditulis oleh Stephen R. Covey dengan judul Tujuh kebiasaan manusia yang sangat efektif (The Seven Habits of Highly Effective People).

Dalam membuat tulisan ini, penulis tidak bermaksud mengkritik hasil pekerjaan orang lain. Tetapi sekedar memberikan pandangan mengenai perbedaan pemimpin rohani dan pemimpin sekuler. Dengan segala keterbatasan yang ada, penulis mencoba menguraikan hal-hal dasar yang menjadikan seseorang pemimpin rohani atau sekuler.

II.Pembaharuan Pribadi (Self Development) Dan Penyangkalan Diri (Self Denial).
Prinsip pertama 8yang membedakan apakah seseorang itu pemimpin rohani atau pemimpin sekuler adalah yang satu menyangkal dirinya dan membiarkan Kristus memanifestasikan diriNya sedang yang lainnya mengembangkan dirinya dengan berbagai metode kejiwaan. Sebelum kita menguraikan hal ini lebih jauh, mari kita melihat kisah mengenai kejatuhan manusia kedalam Kitab Kejadian.

Kitab kejadian menguraikan permulaan dari segala sesuatu, termasuk manusia. Dua pasal pertama Kitab Kejadian menguraikan permulaan dari segala sesuatu dan tentu saja makna segala sesuatu didalam rancangan Tuhan. Pada pasal ini diceritakan mengenai sebuah Taman dengan dua pohon ditengah-tengahnya yaitu pohon kehidupan dan pohon pengetahuan yang baik dan yang jahat. Berbicara mengenai apakah atau siapakah Taman ini. Secara pikiran jasmani mungkin kita menganggap Taman ini hanya merupakan suatu tempat disekitar timur tengah dimana ada empat sungai mengalir melaluinya. Tetapi kita ingin memahami makna rohani tentang Taman ini. Menggambarkan apakah Taman ini sebenarnya.

Kita percaya ada hubungan antara Taman di Kitab Kejadian dan Kota (Yerusalem Baru) di kitab Wahyu, karena Alkitab bersifat progressive dalam pewahyuannya. Itu sebabnya ada perbedaan antara Taman dan Kota. Didalam Kota hanya ada pohon kehidupan saja (wahyu 22:2), dan juga tidak ada dusta (ular) didalamnya (wahyu 21 : 27) Didalam Taman Tuhan hadir sesekali saja, sedangkan dalam kota Tuhan hadir senantiasa. Sekarang, melambangkan apakah Kota di Kitab Wahyu ini. Kalau kita dapat menemukan realita yang dilambangkan oleh kota ini, maka kita juga dapat memahami realita yang dilambangkan oleh Taman. Didalam Wahyu 21 : 9-10 jelas terlihat bahwa Kota Yerusalem Baru adalah mempelai Anak Domba. Kitalah sebagai realita yang dilambangkan oleh Kota Yerusalem Baru. Kalau demikian Taman di Kitab Kejadian adalah juga kita. Tidaklah mengherankan kalau Alkitab berkata “jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, demikian juga Tuhan berfirman kepada Adam untuk “mengusahakan dan memelihara taman itu. Karena Taman itu adalah hati kita, dari kita sendiri. Taman adalah kondisi kita sebelum pengujian, sedangkan kota adalah kondisi kita setelah melalui ujian dan pembentukan Tuhan.

Ditengah-tengah Taman ini, kita tahu, ada dua pohon yaitu pohon kehidupan dan pohon pengetahun yang baik dan yang jahat. Kedua pohon dalam taman ini juga menggambarkan suatu realita. Pohon kehidupan melambangkan Kristus yang adalah hidup kita. Kristus berkata Akulah Hidup itu, barang siapa makan dagingKu dan minum darahKu, ia mempunyai hidup dalam dirinya. Sementara itu, melambangkan apakah pohon pengetahuan yang baik dan yang jahat. Mari kita lihat Kejadian 2 : 17, “Tetapi Pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu, janganlah kau makan buahnya, sebab pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati. Jadi pohon pengetahuan yang baik dan jahat melambangkan kematian atau maut, sebab dalam Roma 6 : 23 juga tertulis, “Upah dosa adalah maut.

Banyak orang menyangka maut adalah kematian fisik. Kalau demikian seharusnya ketika Adam memakan buah pohon pengetahuan, ia langsung mati secara fisik atau rohnya pergi meninggalkan tubuhnya, sesuai dengan definisi mati jasmani menurut Yakobus 2:26. Kalau demikian apa makna mati/maut dalam kejadian2;17. Kata “mati dalam kejadian 2:17 adalah suatu kata Ibrani yang diterjemahkan “dying thou dost die menurut Youngs Literal Translation of the Bible. Artinya suatu kondisi mati yang berproses kepada kematian fisik. Jadi ketika Adam memakan buah pohon pengetahuan yang baik dan yang jahat, saat itu juga ia mengalami suatu kondisi mati (maut) yang pada gilirannya menghasilkan kematian fisik. Maut adalah suatu kondisi atau suatu keberadaan. Adam tetap “hidup setelah ia berbuat dosa; ia tetap dapat berpikir, berperasaan, berkemauan menurut dirinya sendiri. Adam tetap dapat mengembangkan dirinya sendiri, tetapi terlepas dari hidup Allah yang dilambangkan pohon kehidupan.

Jadi kejatuhan berarti manusia hidup dan mengembangkan dirinya sendiri diluar Tuhan. Dapat juga kita katakan bahwa akibat kejatuhan, muncullah keakuan (the Self) manusia yang terpisah dari hidup Tuhan. Keakuan manusia (the Self) bervariasi mulai dari yang baik sampai yang jahat, karena manusia memakan buah pengetahuan yang baik dan jahat. Tetapi kebaikan diri manusia maupun kejahatan diri manusia, tetap tidak berkenan dihadapan Tuhan. Menurut kitab Yesaya, kesalehan kita seperti kain kotor dihadapan Tuhan. Mengapa ? Karena baik kesalehan maupun kejahatan diri manusia berasal dari satu pohon yaitu pohon pengetahuan yang baik dan jahat. Tuhan hanya berkenan kalau manusia makan buah pohon kehidupan. Hanya kebaikan-kebaikan manusia yang lahir akibat makan buah pohon kehidupan yang berkenan kepadaNya. Kalau manusia mengembangkan dirinya dengan memakan buah pohon pengetahuan yang baik dan yang jahat, maka Tuhan tidak berkenan. Sebaliknya Tuhan berkenan apabila manusia mengembangkan dirinya dengan memakan buah pohon kehidupan, bahkan yang sangat menyenangkan hatiNya adalah kalau manusia dengan memakan buah pohon kehidupan mengembangkan dirinya sampai menjadi serupa dengan Kristus.

Kita kembali kepada prinsip pertama yang membedakan apakah seseorang itu Pemimpin Rohani atau Pemimpin Sekuler. Pemimpin rohani adalah seorang yang menyangkal pengembangan diri dengan metode kejiwaan apapun juga, sedangkan pemimpin sekuler adalah seorang yang mengembangkan diri oleh kemampuan dirinya sendiri. Pemimpin rohani menyangkal diri dalam arti menolak usaha-usaha manusia dalam mengembangkan kepemimpinannya, sedangkan pemimpin sekuler mengandalkan kekuatan diri sendiri. Pemimpin rohani mengizinkan Kristus bermanifestasi melalui dan didalam dirinya, sedangkan pemimpin sekuler mengizinkan aku (Self) berkembang didalam dirinya. Perbedaan ini sangat menyolok. Yang satu meninggikan Kristus, yang lain meninggikan aku (Self). Yang satu membiarkan Kristus yang memimpin, yang lain membiarkan si aku memimpin. Karena perbedaan yang sangat menyolok ini, maka hasil kepemimpinan keduanya juga sangat berbeda. Hasil kepemimpinan rohani membuat orang lain semakin dekat dengan Tuhan, hasil kepemimpinan sekuler membuat orang lain semakin dengan egonya. Kepemimpinan yang tidak membuat orang lain semakin cinta Tuhan, mengandalkan Tuhan, merindukan Tuhan saja adalah kepemimpinan sekuler. Hasil kepemimpinan sekuler tidak harus selalu jahat, kadangkala juga baik. Tetapi tetap hasil dari satu pohon yaitu pohon pengetahuan yang baik dan yang jahat.

Sekarang kita akan mempertimbangkan prinsip/kebiasaan kedua untuk memperoleh kemenangan pribadi dalam buku Tujuh Kebiasaan Manusia yang Sangat Efektif. Kita memilih kebiasaan kedua ini karena prinsip ini sering dikutip dalam buku-buku kepemimpinan atau buku-buku rohani. Prinsip ini disebut Mulai dengan Akhir dalam Pikiran.

Mulai dengan Akhir dalam Pikiran
Mulai dengan Akhir dalam Pikiran didasarkan pada prinsip bahwa segalanya diciptakan dua kali. Pertama, ciptaan mental dan kedua, ciptaan fisik sebagai realisasi ciptaan pertama. Ciptaan mental yang dimaksud adalah suatu usaha untuk menggambarkan dalam imajinasi (visualisasi) hal-hal atau perkara-perkara yang kita inginkan terjadi di alam nyata. Ciptaan mental adalah suatu tujuan yang kita tetapkan berdasarkan nilai-nilai yang kita anut. Ciptaan mental ini juga dapat kita sebut visi pribadi dalam arti suatu gambaran masa depan yang kita harap dan percaya akan terjadi pada diri kita.

Menurut Stephen R. Covey, membuat ciptaan pertama didalam diri kita sama dengan menulis ulang naskah yang dulu pernah ditulis melalui pengalaman-pengalaman kita, lingkungan kita, nilai-nilai kita yang lama dimana seringkali naskah lama ini tidak efektif. Apabila seseorang bersikap reaktif, maka responnya terhadap suatu stimulus akan dipengaruhi oleh naskah-naskah yang lama tersebut. Karena naskah-naskah yang lama sering tidak efektif, maka perilaku kita juga sering negatif. Perilaku kita menjadi fungsi dari naskah kita yang lama. Sementara melalui suatu kebiasaan membuat ciptaan pertama, kita melatih diri menjadi seorang yang proaktif, yaitu seorang yang mengambil inisiatif dan secara sadar memilih respon kita berdasarkan nilai-nilai yang kita tetapkan sendiri.

Cara yang paling baik untuk membuat ciptaan pertama atau Mulai dengan Akhir dalam Pikiran, menurut Covey adalah mengembangkan pernyataan misi pribadi. Karena setiap pribadi itu unik, maka alasan ia ada didunia ini juga unik maka pernyataan misi pribadinyapun juga unik. Ada baiknya kita mengutip suatu pernyataan misi pribadi dari sahabat Stephen Covey sebagai berikut :

  • Berhasillah di rumah lebih dahulu.
  • Carilah dan layakkan diri untuk mendapatkan pertolongan ilahi
  • Jangan pernah berkompromi dalam hal kejujuran
  • Ingatlah orang-orang yang terlibat
  • Dengarlah kedua belah pihak sebelum memutuskan
  • Dapatkan nasihat dari orang lain
  • Belalah mereka yang tidak hadir
  • Tuluslah, tetapi sekaligus tegas.
  • Kembangkan satu kecakapan baru setiap tahun
  • Rencanakan kerja untuk esok pada hari ini.
  • Desaklah sewaktu menunggu
  • Pertahankan sikap yang positif
  • Pertahankan rasa humor
  • Jadilah pribadi dan pekerja yang teratur.
  • Jangan takur berbuat kesalahan-takuti hanya ketiadaan respon yang kreatif.
  • Konstruktif dan korektif terhadap kesalahan itu
  • Bantulah bawahan untuk berhasil
  • Dengarkanlah dua kali lebih banyak dari pada berbicara
  • Berkonsentrasilah pada semua kemampuan dan usaha pada tugas yang sedang dihadapi, jangan khawatir tentang pekerjaan atau promosi berikutnya.
  • Dalam menciptakan pernyataan misi pribadi, kita perlu menggunakan seluruh kemampuan otak kita. Menurut teori dominasi otak, ada spesialisasi dan fungsi-fungsi yang berbeda antara otak kiri dan otak kanan. Otak kiri adalah bagian yang lebih logis/verbal, analisis dan sistematis, sedangkan otak kanan adalah bagian yang lebih intuitif, kreatif dan berimajinasi. Kemampuan menciptakan pernyataan misi atau mulai dengan Akhir dalam Pikiran lebih tergantung pada otak kanan.
  • Setelah kita melakukan ciptaan mental atau ciptaan pertama ini, maka kita membuat langkah-langkah untuk merealisasikannya kedalam ciptaan kedua yaitu ciptaan fisik. Dengan kebiasaan melakukan visualisasi, kita memperoleh kekuatan dan dorongan untuk merealisasikan kedalam ciptaan fisik.

Berdasarkan uraian diatas mengenai kebiasaan Mulai dengan Akhir dalam Pikiran dalam buku Stephen Covey, kita dapat menarik beberapa kesimpulan. Pertama, inisiatif untuk melakukan visualisasi berasal dari diri sendiri. Kitalah yang menentukan dan membayangkan akan menjadi apa kita nantinya. Kedua, energi yang diperoleh untuk merealisasikan apa yang kita bayangkan (visualisasikan) juga berasal dari diri sendiri. Inilah yang disebut pengembangan diri (Self development) diluar Tuhan.

Walaupun demikian, menurut penelitian DR. Charles Garfield, hampir semua atlet kelas dunia dan orang berprestasi puncak dibidang lainnya adalah orang yang suka melakukan visualisasi. Jadi ada suatu energi atau kuasa diluar Tuhan yang dihasilkan akibat melakukan visualisasi. Apakah pemimpin rohani boleh menggunakan taktik visualisasi seperti ini untuk mengembangkan kepemimpinannya ? Apakah seseorang masih dapat disebut pemimpin rohani kalau ia mengembangkan dirinya dengan teknik visualisasi seperti diuraikan oleh Stephen Covey ?

Berdasarkan uraian kita sebelumnya mengenai makna Kejatuhan, jelas bahwa mengembangkan diri dengan bersandarkan kekuatan diri sendiri sama sekali tidak berkenan dihadapan Tuhan. Pengembangan diri harus dilakukan dengan cara penyangkalan diri (kekuatan dan inisiatif diri sendiri) dan membiarkan Kristus bermanifestasi melalui jiwa kita. Jadi prinsip Mulai dengan Akhir dalam Pikiran dan teknik visualisasi yang diusulkan Covey, tidak dapat diterapkan pada pemimpin rohani. Hal ini bukan berarti pemimpin rohani tidak mempunyai visi atau gambaran masa depan yang dipercayainya akan Tuhan realisasikan bagi dirinya dan umatNya. Melainkan segala sesuatu harus dimulai oleh Tuhan dan direalisasikan oleh kekuatan Tuhan, sesuai dengan yang ada tertulis “sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia. Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya.

III.Otoritas Rohani dan Otoritas Sekuler
Prinsip kedua yang membedakan apakah seseorang itu pemimpin rohani atau pemimpin sekuler adalah jenis otoritas yang dimiliki pemimpin. Tidak dapat disangkal bahwa seorang pemimpin dipercayakan otoritas rohani atas para pengikutnya. Tetapi mengatakan seseorang itu pemimpin rohani karena ia memiliki otoritas atas sekelompok umat Tuhan, tanpa mempertanyakan jenis otoritas yang dimilikinya, adalah kesimpulan yang terlalu cepat. Kalau demikian bagaimana menentukan jenis otoritas yang dimiliki seorang pemimpin ? Apa artinya otoritas rohani yang menjadikan seseorang pemimpin rohani dan apa itu otoritas sekuler yang membuat seseorang menjadi pemimpin sekuler ?

Sebelum kita menjelaskan otoritas rohani, mari kita melihat Kejadian 10 : 9 untuk menjelaskan otoritas sekuler. Didalam ayat ini tertulis. “Seperti Nimrod, seorang pemburu yang gagah perkasa dihadapan Tuhan. Nimrod adalah orang yang mula-mula sekali berkuasa (memiliki otoritas) di bumi. Otoritas Nimrod cukup besar karena kerajaannya cukup luas. Kerajaannya dimulai dari Babel, Erekh, Akad di tanah Sinear dan selanjutnya ditambah dengan kota-kota besar di negeri Asyur.

Tetapi kita perlu melihat jenis otoritas yang dimiliki Nimrod. Perkataan “dihadapan Tuhan dalam ayat diatas seperti mengungkapkan bahwa Nimrod seorang hamba Tuhan yang hidup dihadapanNya, namun Ray Prinzing dalam buku Whispers of the Mysteries, hal 14, menemukan bahwa Strongs Concordance mengungkapkan fakta mengenai kata Ibrani untuk “dihadapan mempunyai arti yang sangat bervariasi. Dalam Kejadian 10 : 9, seperti juga misalnya dalam Bilangan 16 : 2, kata Ibrani untuk “dihadapan secara literal berarti memberontak. Dan didalam Jewish Encyclopedia, nama Nimrod berarti “ia yang membuat semua orang memberontak melawan Tuhan. Jadi otoritas yang dimiliki Nimrod bukan berasal dari Tuhan karena ia sendiri adalah seorang yang memberontak dan melawan Tuhan. Dengan penjelasan ini kita dapat simpulkan bahwa jenis otoritas yang dimiliki Nimrod adalah otoritas sekuler, yaitu otoritas yang ia peroleh semata-mata karena ia seorang pemburu yang gagah perkasa. Otoritasnya diperoleh dari kemampuan dirinya sendiri.

Sebaliknya apakah maksudnya otoritas rohani ? Contoh Musa sangat baik untuk menjelaskan ini. Musa adalah pemimpin Israel yang memiliki otoritas rohani atas umatNya. Sebelum pengalamannya di Padang Gurun, Musa mencoba menjadi pemimpin atas Israel dengan membunuh seorang Mesir yang pada waktu itu bertengkar dengan seorang Israel. Tetapi ketika otoritasnya ditantang, Musa melarikan diri ke Padang Gurun (Kej 2: 14-15). Musa mencoba memperoleh otoritas oleh usaha tangannya sendiri dengan membunuh seorang Mesir. Otoritas yang diperoleh dengan cara ini bukanlah otoritas rohani. Tetapi setelah Musa melewati pengalaman padang gurun dan mendapatkan pewahyuan Tuhan melalui nyala api yang keluar dari semak duri, maka ia kembali dari Mesir dengan tongkat Allah (melambangkan otoritas rohani) ditangannya. Jadi otoritas rohani didapatkan oleh seorang pemimpin melalui pengalaman disiplin Tuhan (padang gurun) dan juga pewahyuan Tuhan (pengalaman semak duri).

Melalui uraian diatas, kita dapat membedakan apakah seseorang itu pemimpin rohani atau pemimpin sekuler. Pemimpin rohani adalah ia yang memiliki “otoritas Musa, sedangkan pemimpin sekuler adalah dia yang memiliki “otoritas Nimrod. Namun ada hal yang menarik diungkapkan Firman Tuhan dalam Wahyu 17 : 3-5, dimana perempuan (melambangkan gereja) disebut Babel besar (kota dimana “otoritas Nimrod berlaku). Yohanes melihat bahwa ada saat dimana didalam gereja terdapat “otoritas nimrod. Itu sebabnya, walaupun didalam gereja, kadang-kadang kita sulit membedakan apakah seseorang itu pemimpin rohani atau pemimpin sekuler. Semoga Tuhan membersihkan gereja dari “otoritas Nimrod dan menegakkan “otoritas Musa demi kemuliaanNya.

IV.Kesimpulan
Banyak orang percaya bahwa jatuh bangunnya suatu usaha atau gerakan dalam bidang apapun juga, tergantung dari pemimpinnya. Hanya saja untuk bidang rohani, kita perlu berhati-hati dalam menerapkan prinsip-prinsip kepemimpinan. Untuk bidang rohani dibutuhkan kepemimpinan rohani dan kepemimpinan rohani hanya dapat terjadi kalau diberlakukan prinsip-prinsip rohani. Jangan sampai kita terjebak dan mencampur-adukkan prinsip-prinsip rohani dan prinsip-prinsip sekuler.

Didalam tulisan ini telah diuraikan dua prinsip yang menjadikan seseorang disebut pemimpin rohani yaitu prinsip penyangkalan diri (Self Denial) dan prinsip “otoritas Musa. Kedua prinsip inilah yang akan membedakan pemimpin rohani dari pemimpin sekuler.

Sumber: Gema Sion Ministry

Komunitas Kerajaan dan Jejaring Kepemimpinan Organisme

Penulis : Irnawan Silitonga

1. Pendahuluan.
1.1 Latar Belakang dan Motivasi Penulisan.

Pada petang hari karena langit merah, kamu berkata : Hari akan cerah, dan pada pagi hari, karena langit merah dan redup, kamu berkata : Hari buruk. Rupa langit kamu tahu membedakannya tetapi tanda-tanda zaman tidak[ Matius 16:2-3 ]. Dalam setiap zaman, Tuhan memberikan tanda-tanda yang hanya dapat dilihat oleh mata yang tercelik. Dalam ayat-ayat di atas kita lihat bahwa para pemimpin agama di zaman Yesus, gagal melihat tanda-tanda di zamannya. Kegagalan inilah yang merupakan salah satu sebab mereka menolak Yesus sebagai Mesias.

[block:views=similarterms-block_1]

Pada waktu Yesus masuk kota Yerusalem dengan mengendarai keledai, Ia menangisi kota itu dan berkata, Wahai, betapa baiknya jika pada hari ini juga engkau mengerti apa yang perlu untuk damai sejahteramu ! Tetapi sekarang hal itu tersembunyi bagi matamu[ Lukas 19:42 ]. Seandainya para pemimpin agama pada zaman Yesus dapat melihat tanda-tanda di zamannya, tentulah damai sejahtera akan datang atas kota Yerusalem. Tetapi karena mereka tidak melihat, maka Tuhan berkata bahwa, akan datang harinya, bahwa musuhmu akan mengelilingi engkau dengan kubu[ ayat 43 ]. Kita tahu bahwa perkataan Tuhan ini digenapi, ketika pada tahun 70 jenderal Titus memimpin pengepungan dan penyerbuan terhadap kota Yerusalem, serta menghancurkannya.

Pada zaman sekarang, di abad ke 21, kita juga perlu melihat tanda-tanda di zaman ini. Penglihatan ini akan membuat kita masuk dalam rencana Bapa untuk zaman-zaman yang akan datang, serta tentu saja akan mendatangkan damai sejahtera untuk saat ini. Tampilnya anak-anak Allah yang dewasa, yang akan menggembalakan semua bangsa dengan gada besi[ Wahyu 12:5 ], sudah dekat. Kita yang menantikan dan mempercepat kedatangan hari Allah, perlu mengambil langkah-langkah tertentu sesuai pimpinan Tuhan, agar kita kedapatan siap sedia. Dalam pemahaman yang seperti ini, kita perlu menguji segala sesuatu yang kita lakukan, dan yang umumnya dilakukan para pemimpin agama zaman ini, berkaitan dengan pembangunan Tubuh Kristus. Karena, baik kehendak Tuhan maupun rencanaNya akan terjadi di dalam dan melalui gerejaNya, kita perlu waspada agar tidak mengikuti segala sesuatunya tanpa melalui pengujian.

Sementara itu, kalau kita melihat kondisi kekristenan saat ini, timbul pertanyaan apakah kerajaan sorga dapat ditegakkan di muka bumi ini ? Dengan latar belakang pemahaman-pemahaman yang sedemikian, kami mengajukan usulan untuk dipertimbangkan oleh para pemimpin saat ini. Motivasi kami adalah agar kehendaknya jadi di bumi seperti di sorga, agar kerajaanNya datang di muka bumi ini.

1.2 Sistematika Pembahasan.

Tulisan ini dimulai dengan mengungkapkan latar belakang pemahaman-pemahaman serta motivasi yang ada. Selanjutnya, dijelaskan apa itu komunitas kerajaan atau gereja rumah. Setelah menguraikan dengan ringkas apa kata Alkitab mengenai gereja serta penyebab kejatuhannya, bagian ini menekankan perlunya melihat takdir gereja agar kita tetap berada di jalur kehendakNya.

Bagian selanjutnya menjelaskan konsep organism leadership network, dengan mengacu pada simbol bintangdi kitab Wahyu pasal 12. Juga dijelaskan bentuk kerja sama awal, yang mungkin dilakukan para pemimpin saat ini. Sebelum kesimpulan, tulisan ini mengungkapkan rencana 10 tahun kedepan untuk pengembangan komunitas kerajaan.

2.Komunitas kerajaan [ gereja rumah ]
2.1 Apa Kata Alkitab Mengenai Gereja.

Sekalipun Alkitab ditulis oleh kurang lebih 40 orang, dalam rentang waktu sekitar 1700 tahun, tetapi Alkitab mempunyai satu tema pokok yang merupakan benang merahnya, yaitu Kristus dan Gereja. Dalam setiap kitab, mulai dari Kejadian sampai Wahyu, kita dapat melihat bagaimana Kristus dan Gereja diungkapkan dan diwahyukan, baik berupa lambang maupun realitanya. Secara umum, dapat dikatakan Perjanjian Lama mengungkapkan Kristus dan Gereja secara lambang, sedangkan Perjanjian Baru mewahyukan realitanya. Oleh karena itu, didalam Perjanjian Lama, gereja dinyatakan dalam lambang-lambang dan dalam Perjanjian Baru, gereja dinyatakan realitanya.

Didalam Perjanjian Lama, setidaknya gereja dilambangkan oleh 10 lambang, dimana 7 diantaranya merupakan lambang perempuan, 2 lambang tempat kediaman, dan 1 merupakan lambang bangsa. Secara ringkas, lambang-lambang tersebut adalah :

- Hawa, mewahyukan terjadinya gereja [ Kejadian 2:18-24 ].
- Ribka, mewahyukan gereja yang terpilih dan terpanggil dari dunia [ Kejadian 24 ].
- Asnat, mewahyukan gereja yang diperoleh Kristus dari dunia [ Kejadian 41:45 ].
- Zipora, mewahyukan gereja dalam keberadaannya di padang gurun.
- Ruth, mewahyukan gereja yang tertebus.
- Abigail, mewahyukan gereja yang militan [ 1 Samuel 25 ].
- Sulamit, mewahyukan gereja yang bangkit serta memperoleh kemuliaan.
- Kemah Suci.
- Bait Suci.
- Bangsa Israel.

Didalam Perjanjian Baru, realitas gereja diwahyukan. Secara ringkas, akan dijelaskan disini realitas gereja, yaitu:

- Gereja adalah Rumah Allah [ 1 Timotius 3:15 ].
- Gereja adalah tempat kediaman Allah di dalam Roh [ Efesus 2:21-22 ].
- Gereja adalah kerajaan Allah saat ini [ Kol. 1:13; Ef. 2:19; 1 Pet. 2:9; Wah. 1:5-6 ].
- Gereja adalah Tubuh Kristus [ Ef. 1:23 ].
- Gereja adalah satu manusia baru.
- Gereja adalah mempelai Kristus [ Ef. 5:25-27 ].
- Gereja adalah laskar rohani [ Ef. 6:10-20 ].
- Gereja adalah penopang dan dasar kebenaran [ 1 Tim. 3:15-16 ].
- Gereja adalah Allah yang menyatakan diri dalam rupa manusia [ 1 Tim. 3:16 ].
- Gereja adalah kaki dian emas [ Wah. 1:11-20 ].

Dalam uraian singkat diatas, gereja dijelaskan secara universal. Bagaimana gereja tampil di muka bumi ini secara lokal ? Didalam Alkitab, nama gereja hanya digabung dengan nama kota di suatu lokal tertentu, misalnya gereja di Yerusalem, gereja di Korintus, gereja di Efesus dan seterusnya. Jadi nama gereja di Alkitab tidak pernah di gabung dengan nama pemimpinnya, nama aliran, nama kebenaran tertentu, ataupun nama organisasi. Realita gereja seperti diwahyukan Alkitab sebenarnya tidaklah rumit, walau bukan berarti dangkal. Gereja yang tampil di setiap kota dijelaskan dengan gamblang di kitab Kisah Para Rasul. Didalam kitab ini, diuraikan bagaimana kehidupan orang-orang yang dipimpin Roh Kristus dalam setiap lokal. Bagaimana mereka bertemu dalam rumah-rumah secara spontan serta saling membangun. Para pemimpinnya, kita lihat, bukanlah orang-orang yang suka menarik murid-murid kepada diri mereka sendiri serta senang mencari pengikut, apalagi memperkaya diri dengan memanfaatkan umat Tuhan. Melainkan mereka menjadi hamba yang melayani serta berlaku sebagai sesama saudara terhadap umat Tuhan. Otoritas yang dimiliki para pemimpinnya benar-benar rohani, dan bukan otoritas yang tercipta karena adanya hierarki dalam organisasi. Tidak satupun pemimpin yang memberi nama pada gereja atau membangun organisasinya sendiri.

Sekarang begitu banyaknya nama gereja atau organisasi gereja di muka bumi ini. Bahkan pada umumnya, umat Tuhan dan juga para pemimpinnya, tidak merasa canggung lagi memberi nama pada gereja ataupun memperlakukan gereja sedemikian sehingga menjadi semacam organisasi keagamaan saja. Di beberapa Negara tertentu, memang pemerintahnya mencampuri soal-soal yang bersangkut paut dengan urusan kepercayaan rakyatnya. Dalam kondisi sedemikian, sah-sah saja membuat nama organisasi gereja sebagai pertanggung-jawaban kita kepada pemerintah, untuk menggenapi firman Tuhan, berikanlah pada kaisar, apa yang harus kamu berikan pada kaisar, serta pada Allah, apa yang harus kamu berikan pada Allah. Tetapi apabila para pemimpin membangun organisasi gereja, sehingga memperoleh otoritas [ serta tentu saja keuntungan-keuntungan lainnya juga ] atas umat Tuhan karena posisinya didalam organisasi, maka persoalannya menjadi lain.

Saat ini gereja telah hancur berkeping-keping, bahkan menjadi ribuan keping. Sebagian anak-anak Tuhan berada di dalam naungan organisasi tertentu, sebagian lagi berada di organisasi yang lain. Dalam satu kota saja, misalnya Jakarta, mungkin ada puluhan atau bahkan ratusan organisasi dimana didalamnya terdapat anak-anak Tuhan [ maksudnya orang Kristen yang telah lahir baru ]. Dalam kondisi sedemikian, tidak ada lagi gereja di Jakarta, sebab para anggotanya telah tercerai-berai kedalam berbagai organisasi yang ada. Tetapi Tuhan tetap mempunyai anak-anakNya yang merindukan pulihnya gereja di Jakarta, serta kembali kepada kesederhanaan kehidupan gereja mula-mula. Anak-anak Tuhan yang mempunyai kerinduan seperti ini, kita istilahkan komunitas kerajaan atau gereja rumah. Ini sekedar istilah yang kita gunakan untuk mengenali anak-anak Tuhan yang mempunyai kerinduan pulihnya gereja di kota mereka, serta telah melihat pecahnya gereja kedalam berbagai organisasi.

2.2. Penyebab Kejatuhan Gereja.

Banyak orang telah menulis tentang kejatuhan gereja dan ulasan mengenai penyebabnya. Ada yang menulis bahwa, penyebab utama kemerosotan yang dialami gereja waktu itu adalah mulai dicampur-adukkannya kehidupan gereja dengan kebiasaan-kebiasaan agama kafir dan budaya duniawi. Penulis lain mungkin mengungkapkan penyebab yang lain lagi. Tetapi saat ini kita perlu melihat apa kata Alkitab tentang penyebab kejatuhan gereja.

Sesungguhnya Paulus telah bernubuat tentang kejatuhan gereja kepada para penatua gereja di Efesus, ketika ia berada di Miletus dalam perjalanannya ke Yerusalem. Nubuat ini begitu pentingnya bagi para pemimpin gereja untuk diperhatikan, karena kalau tidak, maka tanpa sadar pemimpin ini akan berbuat tepat seperti yang telahAku tahu[ ayat 29]. Jadi Paulus telah mengetahui dengan pasti bahwa akan ada para pemimpin gereja yang akan menyimpangkan murid-murid dengan maksud supaya mengikuti pemimpin, dan bukan Tuhan Yesus.

Bagaimanakah nubuat ini tergenapi ? Sederhana saja sdrku, nubuat ini digenapi dengan tampilnya pemimpin-pemimpin yang meninggikan diri serta menyebar ajaran palsu dengan maksud menarik murid-murid kepada diri mereka sendiri. Ada banyak cara yang dilakukan dan alat yang digunakan para pemimpin untuk menarik murid-murid. Salah satu cara dan alat ampuh yang digunakan para pemimpin adalah memasukkan murid-murid kedalam organisasi, serta memberi pengajaran-pengajaran yang membuat murid-murid sulit keluar dari cengkeraman organisasi tersebut. Kesulitan untuk keluar dari organisasi ini, bisa disebabkan oleh kebanggaan, ketakutan atau kebutaan murid-murid, karena pengajaran palsu tersebut. Memang ada banyak pemimpin yang melakukan ini tanpa sadar, walaupun ada banyak juga yang melakukannya dengan sadar. Tetapi, sadar atau tidak sadar, akibatnya jelas, yaitu gereja tercabik-cabik menjadi kumpulan-kumpulan anak Tuhan yang tersebar di dalam berbagai organisasi yang ada, sehingga kekuatan gereja jauh merosot dibanding gereja mula-mula.

Perlu kita ingat bahwa organisasi itu sendiri hanyalah alat yang digunakan para pemimpin untuk mencapai maksud-maksudnya. Dalam pengertian tertentu, Alkitab tidak menentang organisasi. Bahkan Alkitab mengajarkan agar kita tunduk pada pemerintah, yang sebenarnya dapat di kategorikan sebagai organisasi politik. Pendidikan juga telah diorganisasikan menjadi lembaga-lembaga, dimana Alkitab menganjurkan agar murid-murid patuh pada guru mereka, dan para orang tua tunduk pada peraturan lembaga. Perdagangan juga telah diorganisasikan menjadi perusahaan-perusahaan, dimana Alkitab menganjurkan agar para karyawan patuh pada atasan mereka. Yang ditentang Alkitab adalah perbuatan para pemimpin gereja, yang menarik murid-murid dengan menggunakan organisasi sebagai alatnya.

2.3 Melihat Gereja Masa Depan

Melihat gereja masa depan, merupakan hal yang sangat penting saat ini. Setelah kita menyadari apa kata Alkitab mengenai gereja dan melihat kejatuhannya, selanjutnya akan kemanakah gereja ? Dengan melihat arah pergerakan gereja di masa yang akan datang, bukan saja kita memiliki visi, namun seluruh hidup dan ministri kita juga akan bergerak sesuai kehendak Tuhan.

Sebenarnya masalah tentang melihat ini, sudah disinggung Yesus dalam Matius 6:22-23, Mata adalah pelita tubuh. Jika matamu baik teranglah seluruh tubuhmuDisini Yesus menegaskan peranan mata yang mana mempengaruhi keseluruhan tubuh. Kalau penglihatan seseorang baik, maka keseluruhannya juga akan baik. Kalau penglihatan seseorang akan gereja di masa yang akan datang itu baik dan tepat, maka keseluruhan ministri dan hidupnya juga baik. Jadi, khotbah seseorang, aktivitasnya, tujuannya, penggunaan waktu, dana dan sumber-sumber daya lainnya, rencananya, kepemimpinannya, bahkan perkembangan karakternya juga, mutlak ditentukan oleh apa yang dilihatnya tentang akan menjadi apa gereja di masa yang akan datang.

Sebelum Musa membangun kemah yang merupakan lambang gereja, ia diberi penglihatan diatas gunung serta peringatan agar,engkau membuat semuanya itu menurut contoh yang telah ditunjukkan kepadamu diatas gunung itu.Penglihatannya ini membuat Musa dikenal sebagai seorang yang, setia dalam segenap rumah Allah sebagai pelayanIbrani 3:5. Nampaknya saat ini banyak orang Kristen yang begitu kabur penglihatannya akan gereja di masa yang akan datang. Bahkan banyak orang Kristen tidak memahami apa itu gereja. Mereka menyebut sesuatu itu gereja, namun ternyata hanya organisasi keagamaan atau mungkin hanya denominasi tertentu saja. Dalam kondisi penglihatan yang begitu kabur, tidak mungkin seseorang dapat melihat gereja di masa yang akan datang.

Disini akan dijelaskan kondisi gereja di-masa depan seperti yang diuraikan dalam kitab Wahyu. Karena kitab Wahyu adalah kitab yang memakai bahasa simbol, maka gereja juga mendapat simbol, yaitu perempuan [Wahyu ps. 12 dan 17-18 ], dan juga kota [ Wahyu 17-18 dan 21 ]. Nampaknya disini, kondisi gereja masa depan akan dapat dikategorikan menjadi dua, dimana didalamnya masing-masing terdapat anak-anak Tuhan. Didalam perempuan Wahyu 12, tentunya ada anak-anak Tuhan, namun didalam perempuan Wahyu 17-18, juga ada anak-anak Tuhan [ Wahyu 18:4 ].

Dalam tulisan ini, akan dibandingkan dua kategori ini. Didalam Wahyu 17-18, simbol perempuan mendapat sebutan pelacur, dan didalam Wahyu 12, tidak disebutkan secara jelas apa sifat dasar perempuan ini. Barangkali dengan mengingat sejarah bahwa Yesus sebagai Anak laki-laki Allah yang dilahirkan oleh perawan Maria, kita dapat menafsirkan bahwa perempuan Wahyu 12 ini adalah perawan yang melahirkan anak-anak Allah yang dewasa. Kalau benar demikian, betapa berbedanya sifat dasar kedua perempuan ini ! Kita tahu bahwa pelacur menerima benihdari banyak pria, sedangkan perawan [ yang hamil secara mujizat seperti Maria ], menerima benihdari Satu Pribadi yaitu Roh Kudus. Dan perlu kita ingat, bahwa didalam kedua perempuan ini terdapat anak-anak Tuhan yang sejati.

Selanjutnya, kedua kategori gereja masa depan menurut Kitab Wahyu yang mendapat simbol kota, juga memiliki sifat dasar yang sangat berbeda. Di pasal 17-18, sifat dasar kota adalah besar, sedangkan di pasal 21, sifat dasar kota adalah kudus. Nampaknya dimasa yang akan datang, pikiran anak-anak Tuhan akan terbagi menjadi dua. Yang satu memikirkan dan mementingkan yang kudus, sementara yang lain memikirkan dan mementingkan yang besar.

Telah disinggung bahwa di dalam kedua perempuan ini, terdapat anak-anak Tuhan yang sejati, artinya orang-orang Kristen yang telah lahir baru. Tetapi perlu kita ingat bahwa takdir akhir ke dua perempuan ini sangat berbeda. Perempuan Wahyu 12, melahirkan anak-anak Allah yang dewasa, sedangkan perempuan Wahyu 17-18, mengalami penghakiman Allah sehingga, ia tidak akan ditemukan lagi[ Wah. 18:21 ]. Apabila anak-anak Tuhan dapat memahami hal ini, maka mereka tentu akan mengambil keputusan-keputusan yang akan menentukan seluruh hidup dan ministrinya.

Di akhir zaman ini, Allah menggerakkan beberapa anakNya untuk kembali kepada esensi hidup gereja mula-mula. Kegerakkan ini merupakan tanda bahwa penglihatan rasul Yohanes di kitab Wahyu pasal 12, mulai digenapi. Mereka yang kembali kedalam esensi hidup gereja mula-mula, sering dikenali dengan istilah komunitas kerajaan atau gereja rumah atau mungkin istilah lainnya. Kami percaya bahwa komunitas kerajaan [ gereja rumah ] seperti ini, akan menjadi tempat pembentukkan dan pemrosesan agar anak-anak Tuhan dapat bertumbuh pada waktunya, menjadi gereja seperti yang dilambangkan oleh perempuan Wahyu 12.

3. Organism Leadership Network [ Jejaring Kepemimpinan Organisme ].
3.1 Penjelasan Istilah.

Didalam kamus, organism berarti makhluk hidup dengan anggota-anggota yang bekerja secara bersama-sama. Yang dimaksud makhluk hidup disini berarti suatu keberadaan yang mempunyai kehidupan. Jadi, baik manusia, binatang serta tumbuh-tumbuhan, termasuk dalam kategori makhluk hidup. Kita menggunakan istilah organism, karena gereja adalah sesuatu yang hidup. Tetapi perlu diingat bahwa hidup gereja, bukanlah jenis kehidupan yang dijalani oleh manusia alamiah [ natural man ]. Dalam bahasa Yunani, ada 3 kata yang dipakai untuk menjelaskan hidup. Pertama, bios, yang berarti suatu jenis kehidupan dengan makna yang umum. Tuhan Yesus menggunakan kata ini ketika memberi komentar mengenai persembahan seorang janda. Kedua, psuche, yang berarti jenis hidup jiwa manusia. Ketiga, zoe, yang berarti jenis hidup Allah. Gereja adalah orang-orang yang sedang belajar menjalani hidup zoe, dan bertumbuh menjadi manusia Allah oleh kekuatan transformasi hidup zoe. Jadi, organism yang kita maksud adalah manusia dengan hidup zoe.

Kita menggunakan istilah organism, untuk mengingatkan orang-orang bahwa gereja bukanlah organisasi. Sebab organisasi itu menempatkan orang-orang dalam suatu kotaksesuai fungsi dan tugas, serta membuat garis komando supaya suatu kotaktertentu mengetahui kepada siapa ia harus bertanggung jawab, dan juga mengetahui siapa saja yang akan bertanggung jawab padanya. Otoritas atau wewenang suatu kotaktertentu semata-mata tergantung posisinya didalam struktur organisasi. Pelayanan seseorang juga tergantung posisinya didalam struktur organisasi. Bukan saja otoritas dan tugas pelayanan, tetapi kemuliaan serta berkat-berkat yang lainnya juga sangat tergantung posisinya didalam struktur. Dalam kondisi sedemikian, sudah tidak relevan lagi kalau orang-orang didalam suatu kotaktertentu bertanya tentang kehendak Tuhan, hidup dipimpin Roh, atau mengikut Anak Domba kemana saja Ia pergi. Keadaan ini bukanlah gereja seperti yang dijelaskan didalam kitab Kisah Para Rasul, dimana orang-orang mengikut Tuhan dan dipimpin Roh Kudus. Jadi, gereja adalah organisme, dan bukan organisasi.

Penggunaan istilah organism juga dimaksud untuk menjelaskan jenis hubungan yang ada diantara anggota gereja, dan lebih khusus lagi diantara para pemimpin. Hubungan yang ada diantara sesama anggota gereja bukanlah jenis hubungan antara sesama anggota organisasi, melainkan jenis hubungan kaki - tangan. Hubungan kaki - tanganterjadi karena keduanya merupakan anggota dari satu organisme, dan juga karena keduanya mutlak berada dibawah kendali kepala. Hubungan ini demikian harmonisnya, sehingga tidak ada konflik sama sekali diantara keduanya. Pergerakan tangan maupun kaki, mutlak diatur oleh kepala. Kaki tidak mengatur tangan, ataupun sebaliknya. Semua pengaturan berasal dari kepala, namun antara kaki dan tangan terjadi hubungan saling membangun, saling melengkapi, saling menundukkan diri, saling mengasihi. Hubungan salingyang seperti inilah yang seharusnya ada diantara anggota gereja. Dalam pemahaman yang seperti inilah kita dapat mengerti mengapa Yesus berkata, Janganlah pula kamu disebut pemimpin, karena hanya satu Pemimpinmu, yaitu Mesias[Matius 23:10]. Dengan perkataan ini, Yesus bukan mengajarkan bahwa gereja tidak memerlukan pemimpin di muka bumi ini selain Mesias. Tetapi Ia sedang menekankan bahwa, kamu semua adalah saudara[ayat 8]. Hubungan saling, hubungan kaki tangan, dan hubungan semua adalah saudara, hanya dimungkinkan apabila hakikat gereja yang adalah organisme, tidak diganggu gugat, dalam arti tidak di-organisasikan. Ketika gereja di organisasikan, maka yang dihancurkan adalah hakikat gereja, dan juga hubungan diantara sesama anggotanya.

Hubungan anggota gerejayang telah di-organisasikan, adalah hubungan clergy-laity, dan bukan hubungan organisme. Inilah perkara yang dibenci Tuhan Yesus, dimana dalam Wahyu 2:6 diungkapkan dengan istilah nikolaus. Istilah nikolaus berasal dari kata niko, yang berarti menaklukkan, dan kata laos, yang berarti kaum awam. Jadi nikolaus artinya menaklukkan kaum awam. Mereka yang memahami organisasi, akan tahu bahwa didalam organisasi terjadi pembagian kekuasaan [otoritas] sedemikian sehingga terciptalah hubungan manajer-bawahan, atau apa yang telah kita sebut sebelumnya, yaitu hubungan clergy-laity. Jadi mengorganisasikan gereja bukanlah perkara yang ringan. Kita perlu melihat apa yang ada dibalik perbuatan itu. Sesungguhnya, disadari atau tidak, mengorganisasikan gereja adalah tindakan para pemimpin untuk menaklukkan dan menguasai jemaat.

Sementara itu, istilah leadership yang dimaksud adalah kemampuan memimpin. Karena pemimpin gereja adalah Tuhan Yesus Kristus, maka apa yang kita maksud pemimpin-pemimpingereja itu tidak lain adalah hamba-hamba Tuhan Yesus, yang dianugerahi kemampuan untuk memimpin. Dan karena gereja adalah organisme, maka kemampuan memimpin yang dianugerahi oleh Tuhan Yesus adalah kemampuan memimpin gereja SEBAGAI ORGANISME. Pemimpin organisme ini sangat berbeda dengan pemimpin organisasi, karena jenis otoritas dan fokusnya berbeda. Otoritas pemimpin organisme berasal dari hidup zoe, sedangkan otoritas pemimpin organisasi berasal dari posisinya didalam struktur. Kepemimpinan organisasi sangat mengutamakan atau berfokus pada kemampuan untuk melakukan perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengawasan, sementara itu kepemimpinan organisme berfokus pada membangun hubungan dalam konteks hidup zoe, sedemikian sehingga gereja bertumbuh dalam hidup zoe. Artinya gereja menjadi semakin dekat serta mengenal hidup zoe yang adalah Kristus itu sendiri. Kepemimpinan organisasi adalah goal oriented atau people oriented atau kombinasinya, sementara itu kepemimpinan organisme adalah Christ oriented.

Para pemimpin gereja mula-mula adalah pemimpin organisme. Petrus, Paulus dan Yohanes adalah pemimpin yang sangat Christ oriented, dan berfokus pada pertumbuhan hidup zoe. Mereka semua tidak membangun organisasi, serta tidak hidup dan melayani dalam konteks organisasi. Ada yang mengatakan bahwa Yesus itu pemimpin organisasi, karena Ia mempunyai seorang bendahara bernama Yudas. Kalau benar demikian, berarti Yesus adalah pemimpin organisasi yang sangat buruk, karena Ia membiarkan uang organisasiNya dicuri terus menerus oleh bendahara Yudas yang tidak jujur. Sungguh menggelikan ! Sebagian lagi mengatakan bahwa Kis. 6:1-6, adalah peneguhan dan persetujuan pemimpin gereja mula-mula akan perlunya organisasi, untuk mengatasi masalah pembagian persembahan kepada janda-janda. Tetapi kalau diperhatikan dengan sungguh-sungguh, Kis 6:1-6, sama sekali tidak berbicara mengenai organisasi, melainkan hanya pembagian tugas dalam suatu organisme. Sama seperti tangan dan kaki mempunyai tugas dan fungsinya masing-masing, demikian juga anggota komunitas ini [ gereja di Yerusalem ] mempunyai fungsinya masing-masing. Dalam Kis 6:1-6, fungsi masing-masing anggota komunitas diperjelas dan dibagi-bagi, agar dapat mengatasi masalah yang ada. Sebagian anggota organisme berfungsi sebagai pelayan meja, sebagian lagi berfungsi sebagai pelayan firman. Jadi Kis 6:1-6, samasekali tidak berbicara organisasi melainkan fungsi. Bahkan sebenarnya kata organisasi tidak ada didalam Alkitab. Istilah ini berasal dari sistem pemerintahan manusia, bukan pemerintahan Allah. Jadi semua pemimpin gereja mula-mula adalah pemimpin organisme. Mereka semua menjalankan prinsip-prinsip kepemimpinan organisme.

Sejauh ini telah dijelaskan makna istilah organism dan leadership. Sekarang akan dijelaskan makna istilah network dalam kaitannya dengan kepemimpinan organisme. Network yang dimaksud adalah connected system [ sistem terkait ]. Kepemimpinan organisme [ organism leadership ] adalah suatu sistem. Artinya semua yang dijalankan oleh tim kepemimpinan organisme, baik itu bidang literatur, pengajaran, perkunjungan, retreat, seminar, training, ataupun menjalankan proyek-proyek membuat tenda[ seperti Paul the Tent Maker] saling berhubungan dan merupakan suatu kesatuan, menjadi suatu sistem kepemimpinan, dengan tujuan mengimpartasi visi, misi serta roh hidup zoe bagi gereja demi pertumbuhannya. Tetapi perlu diingat bahwa sistem kepemimpinan organisme ini adalah sistem terkait, dalam arti, antara satu tim kepemimpinan organisme dengan tim kepemimpinan organisme lainnya, memiliki hubungan organis dan saling terkait menjadi suatu organism leadership connected system [ sistem terkait kepemimpinan organisme ]. Sebagai contoh di dalam Alkitab adalah adanya hubungan organis [ fellowship ] di antara tim kepemimpinan Paulus[ di Antiokhia ], dengan tim kepemimpinan Petrus[ di Yerusalem ], yang mereka nyatakan dengan berjabat tangan [ Galatia 2:9 ]. Tentu masih ada tim kepemimpinan organisme lainnya, seperti tim kepemimpinan Apolosdan yang lainnya, namun mereka semua mempunyai hubungan organis satu dengan yang lain.

Jadi istilah Organism Leadership Network atau diterjemahkan menjadi Jejaring Kepemimpinan Organisme [JKO], adalah suatu hubungan yang bersifat organis, antara satu tim kepemimpinan organisme dengan tim kepemimpinan organisme lainnya. Hubungan ini demikian pentingnya bagi pertumbuhan Tubuh Kristus, karena ini adalah hubungan urat-urat dan sendi-sendiseperti yang dimaksud dalam Kolose 2:19, yaitu hubungan yang menunjang dan mengikat menjadi satu.

3.2 Bintang-bintangPerempuan (Wahyu 12.)

Telah dinyatakan sebelumnya bahwa takdir akhir gereja, seperti dilambangkan oleh perempuan Wahyu 12, adalah melahirkan anak-anak Allah yang dewasa. Gereja yang bagaimana, atau mungkin lebih tepat, komunitas yang seperti apa, yang pada akhirnya dapat melahirkan anak-anak Allah yang dewasa.

Seperti kita ketahui bahwa kitab Wahyu mengungkapkan sesuatu dengan bahasa simbol, demikian juga perempuan Wahyu 12 ini, penuh dengan simbol-simbol yang mengungkapkan seperti apa identitas komunitas yang dimaksudkannya. Dalam Wahyu 12:1 tertulis, Maka tampaklah suatu tanda besar di langit : Seorang perempuan berselubungkan matahari, dengan bulan dibawah kakinya dan sebuah mahkota dari dua belas bintang di atas kepalanya. Realitas apa yang diungkapkan oleh matahari, bulan, dan secara khusus ke-12 bintang ini ?

Bila kita lihat kembali kitab Maleakhi 4:2, ada tertulis, Tetapi kamu yang takut akan namaKu, bagimu akan terbit surya kebenaranKarena komunitas yang dilambangkan oleh perempuan Wahyu 12, dapat disebut komunitas yang takut akan Nama Tuhan, serta surya [ matahari ] kebenaran sejati kita adalah Kristus, maka dapat disimpulkan bahwa matahari di Wahyu pasal 12, adalah Kristus, sebagai terang bagi komunitas yang takut akan NamaNya.

Sementara itu, terang yang memancar dari bulan, adalah terang pantulan. Artinya, terang yang dipancarkan bulan, hanyalah merupakan bayang-bayangdari terang matahari yang sesungguhnya. Kristus sebagai terang kita yang sejati, juga memiliki bayang-bayangnya, seperti yang telah dinyatakan melalui Hukum Taurat dengan segala peraturannya. Sebab dalam Kolose 2:16-17 tertulis, mengenai makanan dan minuman atau mengenai hari raya, bulan baru ataupun hari sabat; semuanya ini hanyalah bayangan dari apa yang harus datang, sedang wujudnya ialah Kristus. Jadi, bulan di Wahyu 12, dapat dipahami sebagai Hukum Taurat, lengkap dengan segala peraturan mengenai makanan, minuman, hari raya, dst.

Simbol perempuan di Wahyu 12:1, diselubungi matahari, dimana bulan berada di bawah kakinya. Artinya bahwa komunitas yang di lambangkan oleh perempuan ini, sedemikian dipenuhi Roh Kristus, sehingga ia tidak hidup di alam bayang-bayanghukum Taurat dengan segala peraturannya. Ketika gereja mulai jatuh dan realitas Kristus semakin memudar, maka pola-pola ibadah di dalam Perjanjian Lama-pun mulai masuk. Gereja mulai sibuk dengan rutinitas ibadahbergaya Perjanjian Lama, sementara pengalaman bersama Kristus semakin menghilang. Bahkan pengalaman yang sangat mendasar, seperti lahir baru-pun mulai meninggalkan gereja.

Selanjutnya, perempuan ini mengenakan mahkota dari 12 bintang diatas kepalanya. Makna dari simbol bintang ini, dijelaskan dalam Wahyu 1:20, dimana bintang berarti malaikat jemaat. Malaikat disini tidak harus berarti makhluk sorgawi, karena makna sesungguhnya dari malaikat disini adalah seorang utusan. Karena ketujuh surat di dalam Wahyu pasal 2 dan 3, terutama ditujukan kepada bintang-bintangini, maka dapatlah disimpulkan bahwa bintangyang dimaksud disini adalah para pemimpin jemaat.

Sementara itu, angka 12 di dalam Alkitab mengacu pada pemerintahan ilahi. Dengan adanya 12 suku Israel, 12 Rasul Anak Domba, serta 12 pintu gerbang Yerusalem Baru dan 12 malaikat di atasnya, semua ini menjelaskan bahwa angka 12 berbicara tentang pemerintahan ilahi. Jadi kita lihat bahwa komunitas yang dilambangkan oleh perempuan Wahyu 12 ini, berada dibawah suatu kepemimpinan ilahi. Sekalipun komunitas ini adalah suatu organisme ilahi yang semua anggotanya berada dibawah perintah langsung sang Kepala, namun bukan berarti tanpa kepemimpinan manusia. Hanya perlu di ingat bahwa manusia bintangini, bukanlah pemimpin organisasi, dan sama sekali tidak menjalankan otoritas atas jemaat karena jabatannya didalam organisasi. Komunitas yang dilambangkan oleh perempuan Wahyu 12 ini, sama sekali tidak bergerak dan hidup di alam organisasi, karena ia adalah organisme ilahi. Jadi manusia bintangini menjalankan kepemimpinannya atas komunitas perempuan Wahyu 12, dengan otoritas ilahi, dan bukan otoritas organisasi.

Bagaimana manusia bintangini mendapatkan otoritas ilahinya ? Dengan cara bintang-bintangini bersatu sedemikian sehingga membentuk sebuah mahkota, artinya kesatuan bintang-bintangini menghasilkan otoritas ilahi. Para pemimpin organisme, bergerak dan menjalankan kepemimpinannya secara tim, dimana masing-masing anggotanya memiliki hubungan organis satu dengan yang lain. Hubungan organis diantara para pemimpin organisme inilah, yang menghasilkan otoritas untuk melayani gereja. Apabila hubungan organis diantara para pemimpin ini diubah menjadi hubungan organisasi, maka otoritas ilahi yang ada di tengah-tengah mereka menjadi hilang.

Kepemimpinan organisme ini adalah kepemimpinan tim dalam arti egaliter, yaitu semua anggotanya sederajat. Tidak ada istilah senior, the first among equals, ketua tim, koordinator tim, atau yang lainnya. Istilah-istilah ini hanya berlaku dan ada dalam konteks organisasi, tidak dalam konteks organisme. Ini bukan berarti tidak ada pemimpin organisme yang lebih berkarunia, lebih dewasa dalam pertumbuhan hidup zoe, lebih berpengalaman, lebih berpengetahuan dari yang lainnya. Tetapi ini berarti semua adalah sesama saudara dalam arti yang sesungguhnya, serta menjadi hamba satu dengan yang lain, dan saling melengkapi, serta tidak ada satu orangpun yang menguasai, mengontrol, apalagi memanfaatkan yang lain demi keuntungan sendiri.

Dampak dari kepemimpinan organisme ini sangat luar biasa yaitu, lahirnya anak-anak Allah yang dewasa, yang akan menggembalakan semua bangsa dengan gada besi[ Wahyu 12:5 ]. Kepemimpinan organisme inilah yang akan menghadirkan kerajaan Allah di muka bumi.

3.3 Bentuk Kerja Sama.

Kerja sama yang dimaksud disini, perlu dipahami dalam bentuk idealnya, dan juga dalam bentuknya yang sedang dalam proses menuju bentuk idealnya [ masih bentuk awal-nya ]. Memang bentuk kerja sama yang sempurna itu akan terjadi secara alamiah, apabila jenis hubungan organis, egaliter, serta kesatuan di antara para pemimpin organisme ini telah mencapai tingkat idealnya, seperti digambarkan oleh bintang-bintangdi Wahyu 12. Apabila tingkat idealnya tercapai, maka bentuk kerja sama diantara para pemimpin organisme, telah menjadi seperti bentuk kerja sama tangan kakidi dalam satu tubuh. Bentuk kerja sama tangan kakiini begitu harmonis, mengalir, dan secara sempurna saling melengkapi. Tetapi kita perlu ingat bahwa bentuk kerja sama ideal seperti tangan kakiini, tidak mungkin dicapai tanpa suatu proses. Jadi, perlu dipahami bentuk idealnya, dan juga bentuknya yang sedang dalam proses.

Yang akan di uraikan disini adalah kerja sama para pemimpin organisme, dalam bentuk awal-nya. Kenyataannya para pemimpin rohani saat ini, telah memiliki ministri sendiri yang telah dirintisnya. Atau kalau komunitas ini kita sebut gereja rumah, maka setiap pemimpin sudah memiliki rumahnyasendiri. Bagaimana seharusnya bentuk awal kerja sama diantara para pemimpin yang sudah memiliki rumahnya, agar masing-masing pemimpin tidak ada yang merasa diganggurumahnya atau merasa dirugikan. Karena kita yakin bahwa kerja sama dalam Tuhan haruslah menimbulkan keuntungan tambahan, sesuai dengan yang tertulis, satu orang dapat mengejar seribu orang, dan dua orang dapat membuat lari sepuluh ribu orang[ Ulangan 32:30 ]. Jadi, keuntungan tambahan akibat dua orang bekerja sama, menurut ayat ini, adalah delapan ribu. Maka kerja sama dalam Tuhan, pastilah membuat masing-masing pihak menikmati keuntungan tambahan, serta tidak ada yang dirugikan.

Disini akan diusulkan bentuk awal kerja sama para pemimpin agar selalu menghasilkan keuntungan tambahan. Yang pertama diperlukan adalah adanya suatu pertemuan round table, yaitu suatu pertemuan dimana masing-masing pemimpin dapat berbagi firman dan pengalaman, tanpa ada satu orangpun yang menguasai. Pertemuan round table ini dijalankan sesuai kesepakatan bersama, baik waktu, tempat maupun hal-hal lainnya. Selain pertemuan round table ini, para pemimpin sebaiknya sesering mungkin berkomunikasi, baik melalui telp, sms, email, atau mungkin group email. Melalui proses saling berbagi ini, para pemimpin diharapkan bertumbuh dalam kesatuan, ke-egaliter-an, dan dalam membangun hubungan organis satu dengan lainnya. Mungkin juga, dua atau beberapa pemimpin menjalankan proyek membuat tendaseperti yang dilakukan Paulus dan Akwila di Korintus [ Kis. 18:3 ]. Semua hal ini dapat menjadi sarana untuk mencapai bentuk ideal kerja sama diantara para pemimpin organisme.

Kalau kita meminjam istilah IGMN [ Integrated Global Mission Network ], sebenarnya kita sedang membangun bentuk kerja sama jaring ikan[ tanpa pusat ] dan bukan jaring laba-laba[ ada pusatnya ]. Artinya setiap pemimpin dapat bekerja sama, tanpa ada pemimpin pusat yang mengatur. Tetapi bentuk kerja sama para pemimpin organisme [ Organism Leadership Network atau Jejaring Kepemimpinan Organisme - JKO ], tetap berbeda dengan model IGMN. Keberbedaan ini disebabkan model IGMN berada dalam konteks organisasi, sedangkan model JKO berada dalam konteks organisme atau tubuh.

Akhirnya, kita perlu selalu ingat agar tidak berada terus-menerus dalam bentuk awalnya dan mengalami stagnasi. Karena tujuan kita adalah mencapai bentuk idealnya, agar gereja di-akhir zaman ini dapat melahirkan anak-anak Allah yang dewasa, serta dapat memerintah bersama Tuhan Yesus di muka bumi, demi kemuliaan Bapa.

4. Pengembangan Komunitas Kerajaan.
4.1 Tujuan, Misi, dan Visi.

Komunitas kerajaan ini mempunyai tujuan, misi dan visinya sendiri. Tujuan yang dipahami disini adalah sasaran akhir yang mungkin dimengerti oleh kita sesuai pewahyuan Allah sendiri. Didalam 1 Korintus 15:28, ada ungkapan Allah menjadi semua didalam semua. Berdasarkan yang dinyatakan Alkitab, inilah kondisi akhir yang akan terjadi setelah Kristus menaklukkan musuh yang terakhir yaitu maut [ ayat 26 ]. Seperti kita ketahui bersama bahwa maut adalah upah dosa [ Roma 6:23 ], maka ungkapan Allah menjadi semua didalam semua mempunyai makna SUATU KONDISI DIMANA SEGALA SESUATU YANG MERUPAKAN AKIBAT DOSA, DITIADAKAN. Inilah tujuan atau sasaran akhir komunitas kerajaan.

Adapun pemahaman misi yang dimaksud adalah segala sesuatu yang menjadi alasan komunitas kerajaan ini ada sekarang. Sesuai dengan tujuan diatas, tentunya komunitas ini ada agar kita bisa saling melengkapi, membangun, menasihati dan mengasihi sampai kita semua mencapai tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus, dan sampai komunitas ini melahirkan anak-anak Allah yang dewasa. Inilah alasan mengapa komunitas kerajaan ada di muka bumi. Jadi misi kita adalah saling melengkapi, membangun, menasihati, dan mengasihi.

Visi yang kita maksud adalah sesuatu yang kita lihat didepan, dan juga kita yakini menjadi keadaan kita kelak. Rasul Yohanes melihat,perempuan berselubungkan matahari, dengan bulan dibawah kakinya dan sebuah mahkota dari dua belas bintang di atas kepalanya.[ Wahyu 12:1 ]. Dan penglihatan ini adalah sesuatu yang akan terjadi segera di muka bumi ini, sesuai dengan Wahyu 1:1,apa yang harus segera terjadi. . Jadi akan ada gereja yang penuh realita kemuliaan Kristus matahari, dan telah menaklukkan terang pantulan bulan Hukum Taurat dengan segala peraturannya, serta dipimpin oleh kepemimpinan organisme 12 bintang, yang merupakan kepemimpinan tim sejati. Dan gereja yang sedemikian, akan segera tampil dimuka bumi ini! Visi Rasul Yohanes ini telah menjadi visi kita juga.

4.2 Kondisi Komunitas Kerajaan Saat Ini.

Komunitas kerajaan adalah komunitas di zaman ini yang menjalankan esensi gereja rumah, dan belajar mempraktekkan prinsip-prinsip kehidupan gereja mula-mula. Karena komunitas ini tidak mempunyai struktur organisasi, maka ia tidak mudah terlihat oleh mata jasmani. Tetapi, bukan berarti komunitas ini tidak ada, atau tidak berkembang. Hanya Tuhan Yesus sebagai gembala sidang komunitas ini, yang mengetahui dengan pasti kondisi domba-dombaNya sekarang.

Di dalam I Raja-Raja 19, nabi Elia pernah berseru bahwa, hanya aku seorang dirilah[ ayat 14 ]. Tetapi Tuhan menjawab bahwa, Aku akan meninggalkan [ have reserved ] tujuh ribu orang[ ayat 18 ]. Dalam pergumulannya, nabi Allah ini merasa hanya ia seorang diri yang mengikut Tuhan, namun kenyataannya ada tujuh ribu orang lainnya lagi yang mengikut Tuhan, sama seperti dia. Di zaman sekarang ini, ada tujuh ribu orangyang telah Tuhan sisihkan untuk maksud-maksudNya sendiri, sesuai kehendak Bapa. Mungkin didalam perjalanan kita, seruan nabi Allah ini menggema di hati. Tetapi kita harus ingat firmanNya, Aku telah menyediakan tujuh ribu orangDalam pemahaman yang seperti inilah, kita harus bekerja mengembangkan komunitas kerajaan agar rencanaNya genap di muka bumi ini.

4.3 Rencana 10 Tahun.

Kerinduan, doa, dan pengharapan kita adalah, dalam 10 tahun kedepan, Jejaring Kepemimpinan Organisme telah menyebar pada 26 propinsi di Indonesia, dan Jakarta Organism Leadership Team telah memiliki kerja sama dengan beberapa lokal di lima benua yang ada. Secara kuantitas, Rencana 10 tahun ini memang tidak terlalu dapat diukur dengan pasti. Tetapi di dalam Kristus, kita perlu terfokus pada kualitas, walaupun juga tidak mengabaikan kuantitas.

4.4 Sumber Keuangan.

Di dalam Perjanjian Baru, khususnya Kisah para rasul, kita melihat bahwa para pelayan Tuhan tidak terlalu mengalami masalah dengan keuangan. Dalam waktu sekitar 200 tahun saja, dunia yang dikenal pada waktu itu telah di injili. Dari manakah sumber keuangan para hamba Tuhan ini ? Kita yakin bahwa Tuhan mempunyai banyak cara untuk memenuhi keuangan hamba-hambaNya. Salah satu caraNya adalah dengan memberkati pekerjaan tangan hamba-hambaNya, sebagai contoh kita lihat Paulus. Dengan membuat tenda, ia dapat memenuhi kebutuhannya dan juga kebutuhan teman-teman seperjalanannya. Memang ia juga sesekali menerima persembahan dari jemaat-jemaat yang ia layani, namun ia tidak menerima gaji tetap setiap bulannya. Oleh sebab itu, organism leadership team dapat juga sesekali mengerjakan proyek membuat tenda, untuk memenuhi kebutuhan keuangan yang ada.

5. Kesimpulan.

Gereja adalah organisme ilahi, dalam arti sekumpulan orang yang sedang belajar dan bertumbuh dalam menjalani hidup zoe. Gereja hidup oleh Roh Kristus. Sekalipun gereja memiliki pemimpin-pemimpin di muka bumi ini, hakikat gereja adalah Tubuh Kristus, yang berarti pemimpin dan kepala gereja adalah Tuhan Yesus, dalam arti yang sebenarnya. Gereja adalah Tubuh Kristus, maka tidak ada satu orang pemimpin-pun yang mempunyai otoritas mengatur gereja, karena gereja hidup dan diatur oleh kepalanya, yaitu Kristus Yesus, dan semua yang lain adalah sesama anggota Tubuh. Sama seperti tangan tidak mempunyai otoritas atas kaki, demikian juga para pemimpin gereja tidak mempunyai otoritas atas anggota Tubuh lainnya. Kalau-pun ada otoritas yang dimiliki oleh pemimpin gereja, itu adalah otoritas yang timbul karena hidup zoe, yaitu otoritas untuk melayani dan menjadi hamba bagi anggota Tubuh yang lainnya. Otoritas yang lahir karena satu anggota lebih dewasa dan mengenal hidup zoe, dibanding yang lainnya.

Oleh sebab itu, tindakan pemimpin mengorganisasikan gereja, akan menghancurkan hakikat gereja yang adalah Tubuh Kristus. Gereja akan memiliki otoritas campuran, yaitu otoritas karena hidup zoe, yang dicampur dengan otoritas yang lahir karena adanya hierarki. Gereja akan memiliki pemimpin campuran, yaitu pemimpin organisasi, yang tercampur dengan pemimpin rohani. Gereja akan memiliki kuasa campuran, yaitu kuasa Allah, yang dicampur dengan kuasa manusia. Kondisi campuran inilah yang dimaksud Alkitab dengan istilah Babel. Makna istilah Babel adalah kekacauan atau campuran [ confusion atau mixed up ].

Tetapi bagaimana apabila terjadi keadaan dimana pemerintah suatu negara, mencampuri dan mengatur hal-hal mengenai kepercayaan rakyatnya. Dalam kondisi sedemikian, untuk menggenapi ketetapan Allah di dalam surat Roma pasal 13, tidak ada salahnya membuat nama organisasi sebagai payunggereja, untuk mewujudkan tanggung jawab kita pada pemerintah. Tetapi payungini hanya dibuat untuk pemerintah, dan dalam kehidupan gereja sehari-hari, payungini tidak diperlukan.

Kepemimpinan gereja haruslah kepemimpinan organisme. Pemimpin organisme tidak menarik murid-murid kepada diri mereka sendiri, apalagi mengambil keuntungan dan menjadikan gereja sebagai commodity. Para pemimpin agama di zaman Yesus, telah membuat Bait Allah menjadi tempat perdagangan, dan karena itu Yesus mengusir semua orang yang berjual beli di dalamnya [ Matius 21:12-13 ]. Salah satu ciri khas babel adalah perdagangan [ Wahyu 18:11-13 ]. Jika para pemimpin menarik murid-murid kepada diri mereka sendiri, maka mereka akan membuat gereja menjadi suatu commodity demi keuntungan mereka.

Para pemimpin organisme, harus membangun hubungan saling diantara mereka. Pemimpin organisme harus menjadi teladan kepada anggota gereja, dalam hal saling membangun, saling menundukkan diri, saling mengasihi dan saling menasihati. Karena para pemimpin organisme memimpin gereja melalui keteladanan. Amin.

Lebih dari Pemenang

Pdt. Samuel T. Gunawan, M.Th

Khotbah dalam ibadah “Weekend Celebration” El Shaddai Youth Ministry Sabtu, 20 Oktober 2012

“Tetapi dalam semuanya itu kita lebih dari pada orang-orang yang menang, oleh Dia yang telah mengasihi kita” (Roma 8:37)

Pengantar

Titik awal kita kita menuju kemenangan bukanlah kekalahan, tetapi kemenangan, yaitu Kristus. “Tetapi syukur kepada Allah, yang telah memberikan kepada kita kemenangan oleh Yesus Kristus, Tuhan kita” (1 Korintus 15:57). Sebagai orang Kristen kita tidak berpindah dari dari kekalahan kepada kemenangan atau berpindah dari keraguan kepada iman. Alkitab mengajarkan bahwa berangkat dari kemenagan kepada kemenangan, dari iman kepada iman. Paulus mengatakan “Sebab aku mempunyai keyakinan yang kokoh dalam Injil, karena Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan setiap orang yang percaya, pertama-tama orang Yahudi, tetapi juga orang Yunani.

Sebab di dalamnya nyata kebenaran Allah, yang bertolak dari iman dan memimpin kepada iman, seperti ada tertulis: "Orang benar akan hidup oleh iman." (Roma 1:16-17). Selanjutnya dalam 12 Korintus 2:14 Paulus mengatakan “Tetapi syukur bagi Allah, yang dalam Kristus selalu membawa kami di jalan kemenangan-Nya. Dengan perantaraan kami Ia menyebarkan keharuman pengenalan akan Dia di mana-mana”.

Apakah yang Dimaksud dengan Frase “Lebih dari Pemenang”?

Kata Yunani untuk “pemenang” adalah “nikon”, yaitu seorang yang oleh kasih karunia Allah yang diterimannya melalui iman kepada Yesus Kristus telah mengalami kelahiran kembali (regenerasi) dan tinggal tetap di dalam kemenangan atas dosa, dunia dan Iblis. Para pemenang adalah orang-orang Kristen yang menolak untuk berkompromi dengan dunia dan kefasikan (Roma 12:1-2); tetap setia pada Kristus sampai saat yang paling akhir dan memperoleh mahkota sebagai hadiah (Bandingkan 1 Korintus 9:25; Wahyu 3:10). Paulus mengatakan tentang dirinya sendiri “Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman. Sekarang telah tersedia bagiku mahkota kebenaran yang akan dikaruniakan kepadaku oleh Tuhan, Hakim yang adil, pada hari-Nya; tetapi bukan hanya kepadaku, melainkan juga kepada semua orang yang merindukan kedatangan-Nya” (2 Timotius 4:7-8).

Bagaimana Menjadi Orang Kristen yang Berkemenangan?


Pertama, mengetahui rahasia kemenangan kita. Rahasia kemenangan kita adalah kematian Kristus di kayu salib yang mendamaikan, menebus, menggantikan, membenarkan dan membebaskan kita dari kuasa dosa dan kuasa setan (Kolose 2:13-15; Ibrani 2:14-15).


Kedua, mengetahui posisi kita dalam Kristus. Paulus mengatakan dalam Roma 8:37 bahwa didalam Kristus kita “more than conquerors” (lebih dari pemenang). Apabila kita ingin memang, kita harus memulainya dari kemenangan. Kebimbangan, kekalahan, keputusaan bukanlah modal yang dapat kita gunakan untuk membangun kehidupan yang berkemenangan. Kita tidak mungkin menjadi orang-orang yang menang jika kita sendiri tidak mengetahui posisi kita sebagai orang-orang yang menang, di dalam Kristus (1 Korintus 15:57). Melihat posisi kita sebagai orang-orang yang kalah, tidak berdaya dan tanpa pengharapan adalah tipuan iblis, sebab ia adalah pendusta dan bapa segala dusta (Yohanes 8:44).  Alkitab menubuatkan kemenangan kita bersama-sama dengan Kristus dalam Wahyu  17:14 “Mereka akan berperang melawan Anak Domba. Tetapi Anak Domba akan mengalahkan mereka, karena Ia adalah Tuan di atas segala tuan dan Raja di atas segala raja. Mereka bersama-sama dengan Dia juga akan menang, yaitu mereka yang terpanggil, yang telah dipilih dan yang setia."


Ketiga, menggunakan otoritas dan perlengkapan yang telah disediakan Allah bagi kita. Otoritas adalah kuasa atau wewenang  yang menunut kepatuhan. Kristus adalah pemegang otoritas tertinggi (Matius 28:18-20; Filipi 2:9-11). Kristus telah mendelegasikan otoritas kepada gerejaNya, yaitu orang-orang percaya. Setiap orang percaya harus mempergunakan otoritas itu untuk melawan dosa, dunia, dan Iblis (Lukas 10-17-19; arkus 16:17; Yakobus 4:7).Selanjutnya orang-orang percaya harus mempergunakan sarana-sarana yang telah disediakan untuk hidup dalam kemenangan, yaitu: Iman (1 Petrus 5:9-10; 1 Yohanes 5:4-5), darah Yesus Kristus (Wahyu 12:11), firman Tuhan (Mazmur 119:9; 1 Yohanes 2:13-14), dan kuasa Roh Kudus (Kisah Para Rasul 1:8).


Keempat, hidup di dalam Roh (Galatia 5:16,25). Apakah kehidupan dalam Roh itu? Roh Kudus yang mendiami orang percaya ketika mereka lahir baru dan penuh Roh Kudus, kemudian Roh itu memimpin hidup mereka dan mereka taat kepadaNya dan firmanNya, itulah kehidupan dalam roh. Sementara baptisan Roh Kudus merupakan suatu pengalaman permulaan yang khusus, tidak diulang-ulang, dan bersifat permanen (ini sama dengan pemeteraian oleh Roh Kudus saat seseorang diselamatkan); maka kepenuhan Roh Kudus merupakan suatu pengalaman yang harus terus menerus diulang selama hidup orang percaya, dan dipertahankan agar jangan sampai hilang atau padam. Namun jika hilang masih dapat ditemukan kembali, jika padam masih dapat dinyalakan lagi (Efesus 5:18; 1 Tesalonika 5:19). Setiap orang percaya dituntut untuk penuh dengan Roh Kudus (Efesus 5:18). Untuk hidup dalam Roh maka orang percaya harus taat sepenuhnya kepada pimpinan Roh Kudus dalam hidup mereka (Galatia 5:25). Kehidupan dalam Roh adalah bagaimana cara kita mengikuti dan respon pada pimpinan Roh dan taat kepada apa yang dikehendakiNya. Untuk taat kepada Roh Kudus dibutuhkan Iman dan penyerahan diri sepenuhnya.

Janji Bagi Para Pemenang?

Berikut ini adalah tujuh janji yang diberikan Kristus bagi para pemenang, yaitu orang-orang yang dipanggil, dipilih dan setia (Wahyu 14:17).
1. Wahyu 2:7 Siapa bertelinga, hendaklah ia mendengarkan apa yang dikatakan Roh kepada jemaat-jemaat: Barangsiapa menang, dia akan Kuberi makan dari pohon kehidupan yang ada di Taman Firdaus Allah."
2. Wahyu 2:11 Siapa bertelinga, hendaklah ia mendengarkan apa yang dikatakan Roh kepada jemaat-jemaat: Barangsiapa menang, ia tidak akan menderita apa-apa oleh kematian yang kedua."
3. Wahyu 2:17 Siapa bertelinga, hendaklah ia mendengarkan apa yang dikatakan Roh kepada jemaat-jemaat: Barangsiapa menang, kepadanya akan Kuberikan dari manna yang tersembunyi; dan Aku akan mengaruniakan kepadanya batu putih, yang di atasnya tertulis nama baru, yang tidak diketahui oleh siapa pun, selain oleh yang menerimanya."
4. Wahyu 2:26 Dan barangsiapa menang dan melakukan pekerjaan-Ku sampai kesudahannya, kepadanya akan Kukaruniakan kuasa atas bangsa-bangsa;
5. Wahyu 3:5 Barangsiapa menang, ia akan dikenakan pakaian putih yang demikian; Aku tidak akan menghapus namanya dari kitab kehidupan, melainkan Aku akan mengaku namanya di hadapan Bapa-Ku dan di hadapan para malaikat-Nya.
6. Wahyu 3:12 Barangsiapa menang, ia akan Kujadikan sokoguru di dalam Bait Suci Allah-Ku, dan ia tidak akan keluar lagi dari situ; dan padanya akan Kutuliskan nama Allah-Ku, nama kota Allah-Ku, yaitu Yerusalem baru, yang turun dari sorga dari Allah-Ku, dan nama-Ku yang baru.
7. Wahyu 3:21 Barangsiapa menang, ia akan Kududukkan bersama-sama dengan Aku di atas takhta-Ku, sebagaimana Aku pun telah menang dan duduk bersama-sama dengan Bapa-Ku di atas takhta-Nya.

Menangani Kritik dengan Manis

Oleh:Marolop Simatupang

Merespon dan menanggapi kritik bukanlah perkara gampang. Setiap orang pernah mendapat kritik, entah itu yang destruktif atau konstruktif. Namun yang paling sering kita terima adalah kritik yang bisa membuat merah telinga. Kritik pedas yang kadang membangkitkan emosi.

[block:views=similarterms-block_1]

Seseorang, ketika mendapat kritik, bisa merasa hancur, down, atau terbentuk semakin matang tergantung pada kemampuannya dalam menanggapi kritik itu. Kepribadian seseorang bisa berubah menjadi negatif atau positif tergantung bagaimana ia meresponnya.

Menangani kritik dengan manis perlu dipelajari. Tak bisa dielak bahwa di saat-saat tertentu kita akan menerima kritik. Atau sebaliknya, kita yang mengkritik. Memberi dan menerima kritik adalah wajar selama itu didukung oleh fakta autentik.

Masalahnya, kerapkali kita bereaksi berlebihan dan emosi terhadap suatu koreksi meski kritik itu didukung olek fakta, terlebih lagi tanpa fakta sama sekali, atau kritik yang tidak adil. Yang seperti ini biasanya berasal dari orang lebih suka melihat kekurangan orang lain, tidak melihat kepada diri sendiri. Selumbar di mata orang nampak, balok di mata sendiri tak dilihat. Bahkan tidak sedikit orang yang terlalu kriti(ku)s sampai-sampai mereka tidak bisa menikmati hidup. Satu-satunya kritik yang dibuat untuk diri sendiri adalah bahwa ia belum cukup kritis terhadap orang lain.

Kita perlu belajar merespon kritik dengan manis. Aristoteles berkata, Kritik adalah sesuatu yang bisa Anda hindari dengan mudah dengan tidak mengatakan apa pun, tidak melakukan apa pun, dan tidak menjadi apa pun. Tapi kita ingin menjadi seseorang, somebody, melakukan sesuatu yang berguna bagi khalayak. Efek dominonya, kritik akan datang. Lalu bagaimana menanganinya?

Pahami perbedaan antara kritik destruktif dan konstruktif. Kita perlu menafsirkan apakah kritik itu positif “untuk membina agar meningkat atau negatif “untuk merenggut semangat dan antusiasme kita. Perbedaan antara kritik membangun dan menghancurkan sangat tipis. Maka perlu ditelaah dalam semangat apa kritik itu diberikan. Kata-kata dan motifnya mungkin harus mencermati.

Kritik membangun biasanya diawali dengan pujian yang murni, tulus, ucapan terima kasih, walaupun diakhir kritik itu disisipkan kritik bernada negatif namun dibungkus dengan kata-kata yang memotivasi, membangun. Sementara kritik destruktif cenderung ditunjukkan dengan sikap mengadili, sedikit arogansi. Mencari selumbar di mata orang.

Agar perbedaannya makin jelas, kita bertanya, kapan kritik itu diberikan? Bila itu dilontarkan di depan umum, maka kita tahu maksudnya kurang baik. Destruktif. Kritik yang elok umumnya dingkapkan secara pribadi, secara privat, bukan untuk konsumsi publik. Kritik yang dilontarkan di depan umum cenderung hanya untuk menonjolkan diri, bahkan mencela.

Kemudian, mengapa kritik itu diberikan? Ini ada hubungannya dengan sikap pengkritik itu. Ia mengkritik karena rasa sakit hati, iri atau demi keuntungan pribadi? Kritik yang cenderung meninggikan diri sendiri dan merendahkan orang lain merupakan bentuk pemuasan ego yang paling rendah. Kritik sampah! Orang seperti ini biasanya punya kesulitan dalam berasosiasi dengan orang lain, berpandangan negatif akan orang lain sehingga dia akan bergaul dan berkomunikasi dengan cara yang tak elok dan penuh kritik pula.

Tidak semua orang suka dikritik. Namun bila mendapat kritik, hadapi dengan rileks, jangan terlalu serius. Bukan berarti apatis. Ini untuk membantu mengembangkan kemampuan dalam melihat kekurangan diri sendiri. Menertawai kecerobohan itu perlu. Orang yang bisa menertawai kekurangannya biasanya dapat kembali ke jalur jauh lebih cepat ketimbang orang perfeksionistis, yang membiarkan dirinya merasa bersalah. Maka berbahagialah orang yang bisa melihat dan menertawai kekurangannya. Kita bukan orang yang sempurna, namun berusaha menuju ke sana.

Biasanya, kalau kritik yang tidak adil kita respon dengan amat sangat serius, kita, secara pribadi, di dalam hati, remuk secara emosional, ingin balas dendam dan sakit hati meski di luar kita nampak menghargai kritik itu. Maka rilekslah, hadapi dengan manis. Kalau perlu tanggapi dengan humor segar. Fokus pada orangnya serta melihat kritik itu melampaui isinya juga efektif dalam menangani kritik. Tanya, siapa dia? Siapa pengkritik itu? Mungkin perlu mempertimbangkan wataknya. Apakah orang ini, tak peduli di mana dan kapan, memang suka mengkritik? Jika ya, tanggapi dengan guyonan. Tak perlu menilai kritik itu dengan emosi dan terbenam makin dalam.

Menanggapi kritik dan orang yang negatif dengan emosional hanya akan membuat kita terbawa arus negatif. Tidak perlu defensif. Siapa tahu orang itu mengkritik hanya untuk mendapatkan perhatian. Namun kalau orangnya memang bijaksana, reputasinya bagus, penuh dengan asam-garam kehidupan positif, maka kritik dari orang yang demikian layak untuk diperhatikan. Sebuah kritik, walau sedikit bernada negatif, dari orang yang bijaksana lebih berguna daripada antusiasme hampa dari orang bodoh. Perhatikan apakah kritik itu benar-benar membantu.

Dalam menangani kritik, perhatikan sikap kita. Terkadang merespon kritik dengan emosi bisa lebih merusak daripada kritik itu sendiri. Jadi ini ada hubungannya dengan tingkat kedewasaan kita, sikap kita.

Kita Suci Perjanjian Baru memberikan cara bagaimana sikap kita seharusnya terhadap kritik. œSebab untuk itulah kamu dipanggil, karena Kristuspun telah menderita untuk kamu dan telah meninggalkan teladan bagimu, supaya kamu mengikuti jejak-Nya. Ia tidak berbuat dosa, dan tipu tidak ada dalam mulut-Nya. Ketika Ia dicaci maki, Ia tidak membalas dengan mencaci maki; ketika Ia menderita, Ia tidak mengancam, tetapi Ia menyerahkannya kepada Dia, yang menghakimi dengan adil. (1 Petrus 2:21-23).

Sikap buruk dan marah dalam menanggapi kritik hanya akan membuat suasana menjadi panas. Tak perlu emosi. Lakukan yang terbaik. Dan sadarilah bahwa orang yang baik dikritik. Eleanor Rosevelt berkata, Å“Lakukanlah yang baik walau untuk itu Anda dikritik. Anda akan dikritik jika melakukan sesuatu yang baik, juga akan dikritik jika tidak melakukan apa-apa.

Sering kita lihat ketika seseorang itu melakukan yang baik, moral hidupnya lebih tinggi daripada standar dunia ia diserbu dengan berbagai kritik. Namun jangan menyerah, lakukan yang baik. Yesus melakukan yang terbaik bagi manusia dan dikritik. Jadi tidak perlu heran jika menghadapi hal yang sama. Itu kritik yang tidak adil. Namun ingatlah bahwa kritik yang tidak adil seringkali merupakan pujian yang tersembunyi, dan pengukuhan bahwa hidup kita bergerak (onward) ke arah yang lebih baik.

Dalam merespon kritik, lihat apakah ada orang banyak, bukan hanya pengkritik itu. Cakrawala pergaulan pribadi perlu diperluas. Sebab ada kemungkinan kita mendapat kritik yang sama dari beberapa orang. Kalau kasusnya demikian berarti kritik itu perlu dicermati. Evaluasi untuk melihat kekurangan dan progres sejauh ini. Itu artinya ada tantangan yang mesti kita hadapi.

Bahkan mungkin perlu melakukan perubahan yang signifikan untuk kemajuan yang lebih baik. Walau bernada negatif, namun kritik yang sama yang diterima dari beberapa orang bisa menyadarkan kita agar membuat suatu perubahan yang diperlukan. Sebab itu lihatlah melampaui pengkritik itu.

Untuk memperluas wawasan dan pergaulan, akan sangat baik bila kita bergaul dengan orang-orang positif. Melewatkan waktu bersama dengan mereka. Ini akan meminimalkan efek kritik negatif. Tidak perlu bertarung frontal dengan pengkritik negatif. Bila kita mengidentifikasi diri kita kecil seperti yang orang kritik dan berdebat panjang itu hanya akan membuang-buang waktu bermutu kita. Jika kita bergaul dengan orang-orang yang positif dan selalu menunjukkan teladan yang baik, maka kita akan punya pengaruh positif terhadap pengkritik, bukan karena sikap defensif tapi contoh positif tadi.

Untuk meminimalkan efek kritik negatif, fokuslah pada misi mulia kita. Ingat bahwa setiap orang tidak luput dari kekhilafan. Namun lari dari tugas ketika membuat suatu kesalahan bukanlah watak seorang manusia sejati. Lari dari tugas membuat kita tidak akan mencapai apa pun. Itu hanya akan menambah rasa frustasi.

Lihat kecerobohan itu dari sisi positifnya dan ambil pelajaran berharga darinya. Yang paling penting adalah memetik pelajaran dari kesalahan itu dan jalan terus untuk menggapai misi yang lebih besar. Pepatah Arab mengatakan kalau Anda berhenti setiap kali anjing menggonggong perjalanan Anda tidak akan pernah berakhir, tidak sampai di tujuan.

Orang mengkritik? Tidak perlu emosi. Sambil belajar dari kesalahan, tunggulah waktu yang tepat untuk membuktikan kekurangan kritik negatif itu. Seiring berjalannya waktu dan banyak peristiwa yang terungkap, kritik negatif dengan sendirinya akan tersingkir.

Fisik yang letih gampang bereaksi negatif terhadap sebuah kritik. Kelelahan kerap membuat kita kurang waspada pada suatu masalah, mudah emosi. Spiritual yang kering juga bisa menjadi titik kelemahan seseorang dalam merespon kritik. Tetap bugar secara fisik, spiritual, mental dan emosional agar tetap bisa waspada. Itulah dimensi kebutuhan manusia yang harus dipenuh dan dijaga dengan baik. Sehat secara fisik, spiritual, mental dan emosional akan memudahkan kita menangani kritik pedas dengan manis.

Menangani kritik dengan manis memang bukan perkara gampang. Namun kita bisa menanggapinya dengan cara yang elok, sikap dewasa. Di saat-saat tertentu, dan kadang tak terduga kita mendapat kritik, entah itu destruktif atau pun konstruktif. Jadi responlah kritik dengan manis. Tanggapilah dengan bahasa proaktif. Anda pasti bisa!

Sumber:

John C. Maxwell : Be A People Person
Yusuf Luxori : Percaya Diri.

Pemimpin dan Kepemimpinan

Penulis : Nomi Br Sinulingga Kepemimpinan dimulai dengan hati bukan dengan kepala. Pilkada, sebuah kata yang dekat sekali dengan bangsa ini pada hari-hari ini. Semua media massa memberikan infomasi terbaru tentang pilkada dari semua daerah untuk pelaksaan pemilihan kepala daerah. Tanah Karo, juga sedang mempersiapkan segala sesuatunya agar pelaksanaan pilkada bisa berlangsung dengan sukses. Milis tercinta Takasima ini juga sangat seru dan panas-panasnya dalam pembahasan pilkada dan terlebih membahas calon bupati yang akan dipilih pada pilkada nanti.

[block:views=similarterms-block_1]

Saya sangat tertarik dengan pembahasan pilkada di milis ini. Saya hanya sekedar mengamati dan bingung dengan beberapa posting email yang mengajak saya berfikir pemimpin seperti apakah yang terbaik untuk masyarakat Karo, yang segelintir ada dimilis ini dan menggambarkan siapa dirinya. Apakah anggota milis ini, mewakili gambaran masyarakat Karo, atau kebanyakan mewakili golongan elite intelektual dari masyarakat Karo itu sendiri, menjadi pertanyaan bagi saya. Pemimpin seperti apakah yang tepat untuk memimpin Karo, yang sebagian karakter masyarakatnya nyata di milis ini? Pemimpin seperti apakah yang akan mengubah wajah Tanah Karo, sehingga Tanah Karo yang sudah mulai panas bisa menjadi Tanah Karo Simalem lagi? Jeffry Wofford mengatakan, “banyak pemimpin yang duduk diposisi pemimpin tapi tidak tahu bagaimana harus memimpin.“ “Ada pemimpin tapi tidak ada kepemimpinan demikian kata Eka Darmaputra Berada dipuncak pimpinan, mungkin terlihat suatu yang membanggakan dan sangat menggiurkan untuk menjadi orang nomor satu. Tapi apakah sesuatu yang membanggakan seperti itu harus dikejar dengan semua usaha yang menggunakan “otak“ untuk membangun “proses“ dan menciptakan “kesempatan“ untuk membawa diri kepuncak pimpinan? Kepemimpinan yang dimulai dengan kepala menurut saya hanyalah seorang pemimpin gadungan. Ketika kekuasaan dan kekuatan uang memasuki pikiran, kedua hal itulah yang diandalkan untuk membawa diri menjadi seorang pemimpin. Dan akhirnya memimpin karena posisinya bukan karena kemampuan dirinya untuk memimpin. Kepemimpinan sangat erat dengan pengaruh. Pengaruh yang positif sehingga anak buah (masyarakat) mengikuti dan mau dipimpin. Tapi seorang pemimpin gadungan akan mengandalkan uang dan membayar orang supaya mengikutinya. Pemimpin gadungan menggunakan kekuasaannya untuk menekan orang lain supaya mengikutinya. Semua orang yang berada dibawah pemimpin seperti ini akan tertekan dan hilang kreatifitasnya Pemimpin harus memiliki integritas. Integritas adalah suatu prinsip yang didasarkan atas karakter, etika, agama, moral yang baik yang menyatakan siapa dia. Karena dia akan menyelaraskan itu melalui cara berpikir, berbicara, bersikap, bertindak dan mengambil keputusan (konsisten). Seseorang yang punya integritas memiliki kehidupan yang terintegrasi. Seorang pemimpin perlu diperhatikan kehidupannya. Apakah dia mampu memimpin keluarganya, karena itu akan menunjukkan kemampuannya memimpin komunitas yang lebih besar. Kita sudah memiliki pemimpin sebelumnya untuk dievaluasi, bagaimana dia memimpin keluarga. Pertanyaan yang bisa kita pikirkan berhasilkah kepemimpinannya akan tanah Karo? Selain mampu memimpin keluarga, pemimpin juga harus mampu memimpin diri sendiri. Mampu memimpin diri sendiri dalam memberi pendapat dengan sopan dan menghargai nilai-nilai kemanusiaan. Kalau diri sendiri tidak bisa dikendalikan, bagaimanakah orang tersebut bisa memimpin satu daerah? Kaisar Nero membakar kota Roma adalah contoh yang diakibatkan pemimpin yang tidak mampu menguasai diri. Hutan di Tanah Karo semakin gundul dan tanah pertanian semakin gersang akan terjadi apabila kita memiliki pemimpin yang tidak mampu memimpin diri sendiri. Pemimpin yang berintegritas sangat diperlukan karena dia merupakan pribadi yang bisa dipercaya. Sehingga Visinya untuk tanah Karo bukan sesuatu mimpi saja, tetapi menjadi visi semua masyarakat Karo dan bersama-sama kita akan meraih visi itu dibawah kepemimpinannya. Kualitas penting yang perlu diperhatikan pada setiap calon pemimpin adalah, pengaruh, karakter, keahliannya tentang manusia khususnya orang Karo, semangatnya untuk tanah karo, dan kecerdasan. Kecerdasan yang dimaksud adalah kecerdasan mental yang diperlukan untuk memproses banyak informasi, menyaringnya, mempertimbangkan semua pilihan, dan membuat keputusan yang benar. Kalau seorang pemimpin hanya menggunakan otaknya untuk menjadi pemimpin di tanah Karo, maka masih banyak yang perlu dibenahi dan di proses untuk membentuk pribadi yang mampu menjadi pemimpin di tanah Karo. Sebagai manusia, seharusnya kita tidak boleh cuek dengan situasi yang mempengaruhi kehidupan masyarakat. Kita harus mengambil sikap dan sekalipun seakan kita tidak memiliki pengaruh dalam pemilihan kepala daerah. Kita memiliki keluarga, mama, mami, bibi, bengkila di tanah Karo, yang mungkin tidak mengerti dengan semua pemilihan kepala daerah. Mereka hanya tahu bahwa akan dipilih kepala daerah, dan mengharapkan sesuatu yang lebih baik akan terjadi. Keluarga kita yang di kampung, mungkin tidak bisa memahami dan mengkaji calon pemimpin yang ada yang bisa mereka pilih. Kita semua memiliki tanggung jawab untuk kebaikan tanah Karo. Kita perlu mengenali calon pemimpin dan memberi penilaian apakah dia mampu memimpin tanah Karo atau tidak. Kalau kemampuan calon pemimpin dalam memimpin tanah Karo perlu dipertanyakan, sebagai masyaraka t Karo kita perlu mengambil sikap supaya hal yang lebih buruk dari sebelumnya tidak terjadi lagi atas tanah Karo. Saya tidak tahu apa yang bisa dilakukan mencegah semua hal-hal yang akan semakin memperburuk keadaan tanah Karo selain munculnya seorang pemimpin yang memiliki kualitas kepemimpinan. Kita masih memiliki waktu untuk mencegah semua yang buruk yang bisa dihasilkan karena pemimpin gadungan yang akan menuju puncak pimpinan. Seseorang yang memimpin karena posisinya, bukan karena kepribadian dan kemampuannya untuk memimpin. Saya pikir dipuncak itu tidak menyenangkan, karena sendirian. Kepemimpinan yang dimulai dengan hati untuk kebaikan dan kemajuan tanah Karo akan lebih berpengaruh. Karena segala sesuatu yang dilakukan dengan hati yang tulus akan menyentuh hati.

Memberi Kritik dengan Manis

Oleh:Marolop Simatupang

Jika kita tahu bagaimana rasanya mendapat kritik pedas, maka pandangan kita tentu akan berubah dalam hal memberi koreksi negatif kepada seseorang. Kalau kita enggan bergaul dengan orang yang suka mengkritik dan cenderung menghakimi maka tentu orang lain pun akan punya sikap yang sama bila kita juga suka memberi kritik yang tak adil.

[block:views=similarterms-block_1]

Seseorang yang mendapat kritik negatif bisa merasa down dan emosi atau terbentuk semakin matang tergantung pada kemampuannya dalam meresponnya. Namun seseorang juga bisa menghancurkan semangat atau membina orang lain semakin dewasa tergantung pada kemampuannya dalam memberi kritik. Setiap orang pernah mendapat atau memberi kritik. Maka mempelajari seni merespon dan memberi kritik dengan manis agar tetap bisa menjalin dan membina hubungan tetap harmonis perlu.

Tidak tertutup kemungkinan di saat-saat tertentu koreksi harus diberikan. Itu bisa dilakukan tanpa harus konfrontasi frontal yang bisa merusak hubungan. Kritik yang dilontarkan tanpa sikap hati-hati, destruktif, bukan hanya akan merusak hubungan tapi juga kepribadian pengkritik serta orang yang dikritik. Hendaknya, kalau memang harus mengkritik, tidak dilandasi sikap emosi dan perasaan subyektif.

Beberapa orang berkata yang dibutuhkan sekarang adalah cheerleader, pemanduk sorak. Sudah cukup banyak pengkritik di dunia. Akan tetapi di saat-saat tertentu koreksi sangat dibutuhkan. Maka kritik itu bisa dibungkus dalam kata-kata dan dorongan positif. Yang perlu diperhatikan pertama-tama sebelum memberi kritik adalah orang yang dikritik itu harus dihargai, apa adanya, segala usaha yang telah ia lakukan serta progresnya sejauh ini.

Tujuan kritik itu mestinya membantu, bukan mempermalukan. Karena itu, sebelum memberi kritik, periksa motif. Ini penting. Ini akan mendorong pengkritik untuk bertanya pada diri sendiri apakah saya mengkritik karena persoalan pribadi? Bila terlalu melibatkan emosi atau persoalan pribadi biasanya yang muncul biasanya adalah reaksi negatif. Sangat tidak adil bila memutuskan persoalan itu layak dikritik atau tidak hanya berdasarkan perasaan subyektif. Kritik yang baik harus memberikan dampak positif pada kedua belah pihak, pelaku dan penerima, bukan untuk membuat semangat menjadi layu dan mati.

Kemudian, saya mengkritik, apakah hanya untuk membuat saya kelihatan lebih baik darinya? Mengkritik orang lain untuk meninggikan diri sendiri merupakan bentuk pemuasan ego yang paling rendah, pertanda ketidakmampuan berkompetisi dengan sportif. Pertanda merasa tidak aman. Selain itu perhatikan juga apakah kritik itu hanya untuk mendatangkan kesenangan kepada saya? Bila ya, sebaiknya menahan lidah dulu.

Ingatlah, seperti yang dikatakan dalam sebuah buku pengembangan pribadi bahwa kita tidak perlu mendekorasi pekarangan tetangga dengan tisu kamar mandi hanya untuk membuat teras rumah kita kelihatan lebih indah. Tidak perlu meniup lilin orang lain untuk membuat lilin kita bersinar.

Beberapa pakar manajemen kepribadian mengatakan bahwa diperlukan sembilan komentar positif untuk memberi keseimbangan pada satu kritik atau koreksi negatif, (9+:1-). Agar bisa menahan lidah untuk tidak selalu memberi koreksi negatif adalah dengan semakin banyak bertanya dan mendengarkan. Semakin banyak kita berbicara (saja) semakin sedikit kita didengarkan.

Sebelum mengkritik, agar tidak menimbulkan sakit hati, tanyakan pada diri sendiri, apakah kritik ini benar-benar penting? Apakah memang harus dikritik? Sebab tidak tertutup kemungkinan kritik dilontarkan dan terlibat dalam pertarungan kata-kata, yang sebenarnya tidak perlu terjadi hanya karena kesombongan.

Lebih baik menghindari kritik sepele, yang hanya merendahkan orang lain. Orang yang suka merendahkan orang lain akan rendah. Solusinya adalah dengan melihat jauh ke depan, ke arah tujuan yang lebih besar agar perhatian tidak direcoki oleh persoalan-persoalan yang sebenarnya tidak terlalu penting.

Apabila persoalan itu perlu dikoreksi, kritik dan bersikaplah spesifik, to the point. Utarakan tepat ke jantung persoalan, dengan kata-kata yang tepat serta berikan contoh spesifik dan aktual. Artinya tidak perlu berkeliling ke sana ke mari “ ngalor-ngidul “ dengan persoalan tanpa pernah memberikan solusi. Jika tidak bisa bersikap spesifik, lebih baik menahan komentar. Jangan berargumen untuk kelemahan orang lain. Orang yang membeberkan persoalan dan koreksi negatif tanpa bisa menanganinya biasanya kurang dihargai, kurang kerjaan, kurang ajar.

Seperti yang disebutkan sebelumnya, dibutuhkan pujian tulus sebelum memberikan kritik, maka koreksi yang diberikan seharusnya bukan untuk merongrong kepercayaan diri orang itu. Maka penting sekali, sebelum mengkritik, untuk menemukan paling tidak satu bidang keahliannya kemudian puji dengan tulus, bukan pura-pura atau dengan teknik tertentu. Orang tahu apakah pujian kita itu manipulatif atau tidak.

Kredit yang diberikan harus makin menumbuhkan kepercayaan diri orang itu, meningkatkan semangatnya dan membangun rasa percaya diri yang kokoh bahwa ia punya kemampuan untuk mengatasi kekurangannya. Kritik yang baik adalah bilamana kritik itu ditanggapi dengan sikap responsif positif. Ini bisa dilakukan kalau selalu berusaha untuk tidak memberikan kritik pedas.

Prinsip pendekatan proaktif dan komunikasi empatik sangat mendesak untuk diterapkan, yaitu berusaha mengerti dahulu. Berinteraksi secara empatik bukan berarti harus setuju dengan seseorang, namun mengerti sepenuhnya orang itu, secara emosionil dan intelektuil.

Ini akan lebih efektif lagi jika tidak membandingkannya dengan orang lain. Tidak ada yang mau dibanding-bandingkan. Fokus pada individunya jauh lebih baik daripada membanding-bandingkan dengan orang lain. Berurusanlah dengan orangnya, sebab membanding-bandingkan selalu menimbulkan kekesalan, yang menghasilkan kebencian.

Orang yang dikritik rentan emosi. Dalam situasi demikian, fokus pada persoalan yang sudah ada jauh lebih baik ketimbang menciptakan masalah baru yang hanya membangkitkan emosi yang panas. Pegang dan ungkapkan fakta dengan manis untuk menghindari sikap defensif. Artinya hindari konfrontasi panas. Mengecam dan mengkritik mudah, tidak perlu banyak energi. Tapi dibutuhkan sinergi “kesabaran, kasih, sikap positif“ untuk membuatnya kembali ke jalur dan tetap semangat.

Kritik yang konstruktif sesungguhnya adalah perpaduan koreksi kreatif-positif, melampaui masalah serta menolong orang itu untuk melihat persoalan dan menemukan pemecahannya. Memang lebih mudah mengkritik dibanding membantu mencari solusi. Tapi jelas itu bukan jalan terbaik. Akan lebih arif lagi untuk tidak mengomentari masalah kalau tidak siap menegakkannya.

Kehidupan ini harus dipandang sebagai arena koperatif, bukan kompetitif yang berujung pada kesimpulan menang-kalah. Banyak orang mengkritik dan cenderung berpikir secara dikotomi saya pintar-kamu kurang pintar, saya bisa berpakaian rapi-kamu tidak, dll. sehingga timbul sikap kamu kalah-saya menang, dan kamu mesti dikritik. Cara berpikir seperti ini pada dasarnya cacat.

Filosofi kemenangan dan pertumbuhan untuk mencapai keberhasilan bersama jauh lebih baik daripada menjadikan seseorang pecundang yang harus dikritik. Dalam buku Tujuh Kebiasaan Manusia Yang Paling Efektif karya Stephen R. Covey dikatakan jauh lebih baik bila kita berusaha untuk menggapai kemenangan berdua jangka panjang ketimbang kemenangan pribadi sesaat.

Jadi, yang mesti diutamakan adalah memecahkan persoalan, bukan menghakiminya. Yang coba dihandel adalah persoalan yang dihadapai saat itu. Sebab hanya akan merusak kredibilitas bila kritik itu menjadi serangan pribadi. Tak ada yang menang dalam situasi yang demikian.

Dalam pada itu, kritik harus diungkapkan tepat pada waktunya, pada tempatnya. Kapan? Di mana? Segera setelah mengetahui sesuatu tidak beres. Kalau menunggu terlalu lama momen yang menguntungkan itu bisa hilang dan persoalan pun hanya menjadi sejarah, tanpa pemecahan.

Tepat waktu juga akan sangat menolong agar mampu tetap konsisten dengan fakta, menjaganya tidak lari ke mana-mana, serta menggunakan insiden itu sebagai kesempatan untuk menolong orang itu tumbuh. Kritik juga mestinya disampaikan langsung kepada yang bersangkutan, secara privat, bukan lewat pengeras suara. Mengkritik di depan umum cenderung hanya untuk mempermalukan, mencela, atau menonjolkan diri di hadapan orang lain.

Ada orang yang gemar mengkritik karena dia lebih suka melihat kepada orang lain dan tidak melihat pada diri sendiri. Sebelum mengkritik, ada baiknya melihat pada diri sendiri dulu sebelum melihat pada orang lain. Tanyakan pada diri sendiri, apakah saya bisa melakukan sebaik yang dia lakukan? Sebab tidak tertutup kemungkinan seseorang mengkritik orang lain dan keberhasilan yang telah dicapai pada hal dia sendiri belum tentu bisa melakukannya.

Itu sebabnya perlu melihat dari kacamata orang lain. Siapa tahu pengkritik itu sendiri sebenarnya yang perlu membuat perubahan. Tapi kalau persoalan itu memang layak dan harus dikoreksi, kritiklah dengan manis dan konstruktif serta akhiri dengan dorongan semangat. Mengkritik seseorang dengan membabi-buta tanpa pemecahan dan dorongan semangat, meninggalkannya patah semangat merupakan tindakan yang tak manusiawi.

Goethe, penyair Jerman berkata, œKoreksi melakukan banyak hal, tapi dorongan semangat melakukan lebih banyak lagi. Mengkritik orang tanpa memberi dorongan sama sekali, tanpa pujian pertanda ego yang rapuh dan selfish “ mementingkan diri sendiri.

Di saat-saat tertentu memberi kritik memang perlu. Karena itu kuasailah seni mengkritik dengan elok. Semakin dalam kita mengerti seseorang, semakin kita menghargainya, semakin hormat perasaan kita kepadanya, meskipun ia punya kekurangan. Kalau persoalan itu memang perlu dikoreksi, kritiklah dengan manis. Anda pasti bisa!

Sumber:

John C. Maxwell : Be A People Person
Yusuf Luxori : Percaya Diri; Stephen R. Covey: Tujuh Kebiasaan Manusia yang Paling Efektif.

Pohon yang Subur di Pemilukada Malut

Oleh: Sefnat A. Hontong

Tahun 2013 termasuk salah tahun yang akan menentukan model kehidupan politik masyarakat di Maluku Utara (Malut) untuk masa waktu lima tahun ke depan (2013-2018). Tentu masing-masing orang di Malut sudah mempunyai calon yang diandalkan sesuai penilaian dan kesadarannya sebagai warga masyarakat yang mempunyai hak untuk itu. Siapakah di antara para pasangan calon Gubernur yang akan kita pilih besok, bukanlah urusan saya untuk membicarakannya. Karena hal itu murni adalah hak dan pilihan setiap orang secara pribadi berdasarkan pertimbangan yang rasional dan sadar.
 
Di tengah-tengah realitas politik yang sama-sama kita rasakan atau alami hingga hari-hari belakangan ini, rasanya tidak salah jika saya mengajak kita untuk berbicara tentang apa itu ‘kedewasaan berpolitik’. Memang ada banyak elemen yang harus kita singgung jika hendak bicara tentang ‘kedewasaan berpolitik’. Apakah itu berkaitan dengan kebijakkan politik, regulasi dan penjabaran kewenangan dan kekuasaan politik, kondisi politik dan konsekuensi-konsekuensi yang diakibatkannya, bahkan juga termasuk moral dan kepribadian para penyelenggara politik itu sendiri.



Namun oleh karena konteks kita sekarang adalah Pemilukada Malut, maka pokok yang hendak saya bicarakan ini adalah ‘kedewasaan berpolitik’ dalam kaitan dengan Pemilukada. Menurut pendapat saya, Pemilukada adalah ruang (space) bagi kita untuk menunjukkan pilihan politik kita sebagai warga yang dewasa dan berharkat martabat. Maksud saya adalah keikut-sertaan kita dalam proses Pemilukada kali ini harus benar-benar mempunyai pengaruh dan akibat yang signifikan bagi proses perubahan dan perbaikkan struktur sosial dan politik. Keterlibatan kita dalam proses Pemilukada bukan sekedar sesuatu yang rutin setiap lima tahun dilaksanakan, apalagi kalau sempat menjadi kesempatan di tengah kesempitan untuk mencari duit di tengah fenomena money politik yang sangat kuat pengaruhnya sekarang ini. Karena jika Pemilukada hanyalah sebuah rutinitas belaka dan dimanfaatkan sebagai kesempatan di tengah kesempitan karena adanya budaya dan fenomena money politic, sebaiknya tidak perlu ada Pemilukada dan sebagai warga kita tidak perlu terlibat, sebab ternyata hal-hal semacam itu adalah perbuatan yang sia-sia dan tanpa arti sama sekali.

Saya ingin memperjelas pokok pikiran itu dengan mengibaratkannya pada symbol pohon yang subur dan sekam yang diterbangkan angin. Ada dua (2) macam karakter atau gaya hidup manusia dalam setiap sikon, termasuk dalam sikon politik, jika merujuk pada 2 (dua) symbol tersebut. Karakter yang baik adalah ibarat pohon yang subur, yang akan berbuah pada musimnya, dan tidak pernah layu, sedangkan karakter yang buruk diibaratkan seperti sekam yang ditiup angin. Pohon yang subur, berbuah pada musimnya, dan tidak pernah layu adalah gambaran dari suatu eksistensi kehidupan yang berdaya dan memberi pengaruh atau manfaat bagi yang lain. Sedangkan sekam yang kering, kosong, dan tak berisi adalah gambaran dari sebuah eksistensi hidup yang tidak berdaya, tanpa manfaat, dan tanpa pengaruh sama sekali. Ketika datang angin ia diterbangkan begitu saja, tanpa meninggalkan bekas atau tanda sedikitpun. Sangat sia-sia dan buruknya kehidupan kita jika seperti sekam yang kering, kosong, dan tak berisi. Tetapi alangkah bahagianya kita, jika kehidupan kita seperti pohon yang subur, berbuah pada musimnya, dan tak pernah layu.

Bagi saya, gambaran tentang pohon yang subur dan sekam yang ditiup angin ini bisa menjadi peringatan tegas bagi kita dalam rangka mewujudkan hak dan kewajiban politik kita dalam proses Pemilukada pada tahun ini. Jika keikutserttaan kita sebagai warga dalam proses Pemilukada ini hanya dilihat sebagai sebuah rutinitas dan memanfaatkannya sebagai kesempatan di tengah kesempitan karena adanya budaya money politik, maka identitas kita tidak akan beda dengan sekam yang ditiupkan angin. Tetapi, jika kita sungguh-sungguh menggunakan proses Pemilukada kali ini sebagai ruang (space) bagi kita untuk menunjukkan pilihan politik kita sebagai warga yang dewasa dan berharkat martabat, maka eksistensi kita ibarat pohon yang subur, yang berbuah pada musimnya, dan tidak akan pernah layu. Mengapa? Karena pilihan dan keterlibatan kita berdampak luas bagi perubahan dan perbaikkan struktur social dan politik di daerah Maluku Utara. Karena itu, marilah kita persiapkan diri secara baik untuk memasuki proses Pemilukada di tahun ini, demi perwujudan eksistensi kita seperti pohon yang subur.

Refleksi Teladan Kepemimpinan

Oleh: Maryono

Gembala: Pemimpin yang melayani

Kita perlu bertanya pada diri sendiri apakah kita telah menjalankan tugas pengembalaan dengan baik.

Tulisan ini adalah sebuah Refleksi dari pertanyaan tersebut diatas yakni bentuk penggembalaan atau pelayanan sebagai tugas dari Pendeta, Penatua, Diaken. Banyak kriteria dan ciri-ciri pelayanan yang berkenan di hadapan Allah berdasarkan Alkitab, antara lain:

Pertama, melayani dengan kerelaan artinya tanpa imbalan atau keinginan memperoleh jasa dan atas kemauan sendiri mengambil bagian dalam pelayanan. Seperti jemaat di Makedonia dengan kerelaan sendiri meminta dan mendesak agar beroleh kasih karunia untuk mengambil bagian dalam pelayanan kepada orang-orang kudus (2 Korintus 8:4) ;

Kedua, melayani dengan kesetiaan artinya menempatkan diri kita sebagai hamba (budak) yang harus pasrah terhadap perintah Tuannya, Yesus Kristus. Pelayan sebagai hamba yang selalu mencari kesukaan Tuannya bukan kesukaan manusia. Kata Paulus: Sekiranya aku masih mau mencoba berkenan kepada manusia, maka aku bukanlah hamba Kristus (Galatia 1:10).

Ketiga, melayani dengan ketaatan dan kepatuhan artinya segala pikiran yang menyerah dan tunduk kepada kuasa Allah, karena Allah memerintahkannya. Bahkan bila kita menghadapi pergumulan sehari-hari terhadap kehidupan sosial: Kita harus taat kepada Allah daripada kepada manusia (Kisah Rasul 5:29). Demikian pula Kristus dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati di kayu salib (Filipi 2:8).

Keempat, melayani dengan ketekunan artinya melakukan pekerjaan lebih penting dari pada status jabatan (misal penatua di Gereja) dan melaksanakan tugas bukanlah semangat yang sebentar, suam-suam kuku. Melayani Dia siang dan malam di Bait Suci-Nya (Wahyu 7:15),

Kelima, melayani dengan tulus dan rendah hati artinya pelayanan yang bersumber dari respon dan perasaan terima kasih atas anugerah yang diterima dari Allah. Sebab segala sesuatu dari Dia, kata Paulus : supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati. (Roma 12:1).

Keenam, melayani dengan sukacita, suatu ungkapan lahiriah yang bergairah dan semangat seperti Jemaat di Makedonia walaupun dicobai dengan berat dalam pelbagai penderitaan, sukacita mereka meluap dan meskipun mereka sangat miskin, namun mereka kaya dalam kemurahan (2 Korintus 8:2).

Ketujuh, melayani dengan dedikasi yang bermakna tidak terpengaruh dengan besar kecilnya bentuk pelayanan yang dilakukan, apakah melayani di kolong jembatan atau di tempat-tempat yang mewah. Paulus berkata: sebab kalau seorang menyangka, bahwa ia berarti, padahal ia sama sekali tidak berarti, ia menipu dirinya sendiri (Galatia 6: 3). Pesannya adalah jangan menganggap reputasi jabatan, status sosial kita terlalu tinggi untuk melayani saudara kita yang miskin, lemah dan tak berdaya, sebenarnya kita bukan apa-apa di hadapan Allah.

Kriteria itu semua, seharusnya stAndar jawaban pertanyaan dalam topik tulisan ini, yang menyuarakan tidak hanya suara hati tetapi juga nilai-nilai tertentu dalam kehidupan pribadi gembala atau pemimpin di lingkungannya, sehingga gembala atau pemimpin dapat diterima dan dipercaya jemaat atau pengikutnya. Kriteria itu menuntut Self Denial, penyangkalan diri, Hal inilah yang dituntut Yesus: setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku (Markus 8:34). Pengikut Yesus memberikan dirinya bukan untuk suatu imbalan, tetapi “memberi” karena itu kebenaran yang harus dilakukan. Dan inilah yang membedakan Pemimpin rohani dan pemimpin sekuler atau pemimpin sebagai panggilan atau pemimpin sebagai profesi.

Pertanyaannya, bagaimana jemaat dapat mengetahui bahwa pemimpin atau gembalanya (Pendeta, Penatua, Diaken) telah melakukan nilai-nilai tersebut di atas? Sederhana, ya, sederhana. Orang melihat, mengamati dan menilai sikap. Jemaat melihat dan menilai seorang gembala harus memunyai standar moral yang tinggi. Kalau Anda menyanyi: gembala juga manusia! Ya, benar, manusia yang memunyai standar moral lebih tinggi dari pengikutnya bahkan orang kebanyakan umumnya. Hal ini adalah nilai-nilai yang dianut oleh jemat bagi pemimpin rohani mereka. Penulis Ibrani mengingatkan: Ingatlah akan pemimpin-pemimpin kamu, yang telah menyampaikan firman Allah kepadamu. Perhatikanlah akhir hidup mereka dan contohlah iman mereka (Ibr. 13: 7 ).

Memang, Alkitab penuh dengan kata hikmat sebagai petunjuk kehidupan ataupun penggembalaan. Tetapi hanya membaca dan mengajarkan Alkitab dengan suara keras, bersemangat, berapi-api bagaikan orator ulung tidak akan membuat seorang layak menjadi gembala. Kata-kata atau pesan tidaklah cukup, karena satu hal penting yang berpengaruh terhadap pengikut atau warga jemaat adalah pemberian teladan yang menyejajarkan tindakan pribadi sesuai dengan Firman Tuhan yang diajarkannya. Ya, Jemaat atau pengikut mendengarkan pesan dalam khotbah, ceramah, atau nasehat dari gembalanya, tetapi mereka juga mengikuti jejak kaki (keteladanan) gembalanya. Oleh karena itu, hikmat dalam Kumpulan amsal-amsal Salomo mengingatkan: Siapa bersih kelakuannya, aman jalannya (Ams 10:9a).

Pelajaran apa yang dapat dipetik, apabila berkomitmen menjadi pelayan Tuhan seperti gembala atau pendeta atau majelis:

1. Kehidupan mereka adalah cermin yang memantulkan prinsip-prinsip ajaran Tuhan yang ingin diikuti pengikut atau jemaatnya.

2. Seorang yang “terpanggil” menjadi pelayan Tuhan harus bertanya: Siapa sebenarnya yang dilayani dan apakah siap menderita! Ini menuntut ketekunan, kerendahan hati dan resiko.

3. Akhirnya, apabila kita berkomitmen menjadi Pelayan, antara lain dapat direnungkan :

Apakah kita konsisten antara tindakan dan ajaran Firman Tuhan sebagai petunjuk kehidupan orang percaya ? karena fungsi sebagai “panutan”, Jangan mengajarkan sesuatu yang tidak Anda miliki.

Bagaimana cara menghabiskan waktu kita sehari-hari dalam pelayanan? Artinya apabila waktu kita masih terlalu sibuk dengan lebih mementingkan pribadi, pekerjaan, atau seorang Majelis ternyata lebih banyak dirumah menonton TV dari pada kunjungan ke warga, mungkin perlu direnungkan keterlibatan kita dalam pelayanan.

John Maxwell dalam bukunya The 21 Irrefitable Laws of Leadership memberitahu kita untuk: “Memproses diri sendiri lebih dulu sebelum memproses orang lain". Oleh karena faktanya, lebih mudah mengajarkan apa yang benar dibanding melakukan apa yang benar

Selamat Melayani.

Saya Pemimpin? Apa Iya Sih?

Penulis : Eka Darmaputera

Bila untuk memenuhi kriteria sebagai pemimpin, seseorang harus kapabel sekaligus fleksibel; pemberani sekaligus hati-hati; tegas sekaligus bijak; berpandangan jauh ke depan sekaligus teguh berpijak di kekinian; dan "sekaligus-sekaligus" yang lainnya lagi; maka, wah, di mana kita dapat menemukan manusia sesempurna itu?

[block:views=similarterms-block_1]

Wajar, bukan, bila kemudian orang berkesimpulan, bahwa pemimpin itu tergolong "makhluk langka"? Cuma bisa dilahirkan, tak mungkin dibentuk. Kemunculannya hanya bisa ditunggu, tak mungkin direncanakan atau diusahakan. Anda ingat bagaimana orang Tibet "mencari" bayi titisan, bakal pengganti Dalai Lama mereka?

Memang tak dapat disangkal, kepemimpinan yang baik tentu saja menuntut persyaratan istimewa. Pemimpin bukan "orang biasa". Lebih sekadar "biasa-biasa". Namun perkenankanlah saya mengingatkan, bahwa terlampau melebih-lebihkannya pun, saya harap jangan Anda lakukan. Sebab akibatnya, bisa panjang dan serius.

APA misalnya? Misalnya orang lalu jadi terlampau cepat menerima begitu saja ketika dipimpin oleh "pemimpin-pemimpin gadungan". Terlalu cepat memaafkan para "pejabat" yang sebenarnya tak lebih dari "penjahat".

Alasan mereka: sebab pemimpin yang memenuhi syarat itu, amat sulit didapat. Jadi, apa boleh buat, tiada rotan akar pun berguna.

Tak mengherankanlah, bila di tengah krisis kepemimpinan yang parah di tanah-air kita sekarang ini, orang tidak merasakan urgensi untuk mempersiapkan kader-kader atau calon-calon pemimpin secara serius dan terencana.

Banyak yang malah memilih untuk pasif menunggu munculnya seorang "satrio piningit" yang entah kapan tibanya. Disebut "piningit", karena sekarang ia masih dalam keadaan "dipingit" atau "disembunyikan", menunggu saat yang ditentukan para dewa untuk tampil.

Jadi kalau sekarang kita dipimpin oleh pemimpin-pemimpin "busuk", ya maklumlah. Boleh saja Anda tidak suka ini pun wajar-wajar saja --, tapi "ojo nggege mongso". Jangan memaksakan keadaan! Jangan memaksakan sesuatu sebelum waktunya! Nrimo saja, ini yang paling bijaksana!

Sikap apatis, fatalis, dan pasif seperti ini amat berbahaya. Sebab secara tak langsung ia membiarkan pemimpin-pemimpin "busuk" bebas merajalela ke mana-mana dengan leluasa.

Dan bila ketidakpuasan cuma bisa ditekan, kita mesti lebih khawatir lagi. Sebab sampai kapan ia bisa bertahan, sebelum meledak?

PAHAMLAH kita sekarang, mengapa begitu amburadulnya keadaan kita. Sebab sang satrio piningit, kepada siapa semua harapan bertumpu, siapa dia sebenarnya tak ada orang tahu. Bahkan orang tak pernah pasti, benar-benarkah ia akan muncul? Dan andaikata pun ia muncul juga, bagaimana orang tahu, bahwa ia-lah dia?

Demikianlah sementara orang sibuk berandai-andai, para "tikus" dan para "kecoa" pemimpin-pemimpin gadungan itu berkembang biak dengan cepatnya. Seraya dengan giatnya menggerogoti bangunan rumah kita, yang bernama Indonesia.

Tapi bukan cuma dugaan yang berbau mistis seperti di atas saja, yang beranggapan bahwa pemimpin sejati itu "antik" dan "langka". Seorang pakar kepemimpinan yang amat terkenal nota bene, seorang penulis yang rasional, intelektual, dan juga religius, juga punya kesimpulan yang sama.

Dengan perspektif yang pasti berbeda, ia tiba pada kesimpulan, bahwa, "Sangat sedikitlah orang yang diahirkan atau ditakdirkan sebagai pemimpin. Jumlahnya dapat dihitung dengan jari tangan. Namun sebaliknya, semua orang
tanpa kecuali -- dilahirkan dan dipanggil untuk menjadi pelayan".

Inti yang ingin ia sampaikan adalah, bahwa bila "kepemimpinan" itu hanya ditakdirkan hanya bagi sangat sedikit "orang pilihan"; "kepelayanan" sebaliknya. Kepelayanan ditakdirkan untuk semua orang. Dan "takdir" ini terus melekat, tak pernah tanggal dari bahu manusia.

Ya sekali pun, katakanlah, yang bersangkutan kini sudah menjadi seorang pemimpin. Si pemimpin ini toh tetap seorang pelayan.

Seorang hamba. Ia harus menjalankan kepemimpinannya itu sebagai seorang pelayan. Itu sebabnya, ia menamakan teorinya itu "Kepemimpinan yang Menghamba". Servant leadership.

PANDANGAN seperti itu tentu banyak benarnya. Tak kurang dari Yesus sendiri yang pasti akan mendukungnya. "Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu," begitu Yesus pernah berkata, "hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barang siapa ingin menjadi yang terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hamba untuk semuanya" (Markus 10:43- 44)

Seorang "pemimpin" yang baik harus mau menjadi "pengikut" yang baik. Tidak hanya pintar bekoar, tapi juga mesti peka mendengar.

Tidak sekadar mahir dan gemar mendamprat, tapi harus pula bersedia taat dan hormat. Dengan itulah ia memperlihatkan kualitas karakter dan kepribadiannya. Seorang "pemimpin" yang bajik harus terlebih dahulu lulus sebagai "hamba" yang baik.

Sebab dengan merendahkan diri itulah, yang bersangkutan membuktikan kesungguhan dan ketangguhannya dalam menundukkan diri sendiri. Dan ini, saudaraku, betapa krusialnya! Sebab bayangkanlah, apa yang bisa lebih mengerikan dan lebih destruktif dari pada seorang pemimpin, yang tak mampu mengendalikan dirinya, mengekang nafsunya, dan mengontrol ambisinya?

Jadi, sekali lagi, apa yang dikatakan oleh pakar itu penting dan benar. Hanya saja, menurut penilaian saya, ada sisi lain dari amanat alkitab yang entah mengapa -- tidak ia sebut-sebut.

Sisi yang mana itu? Yaitu bahwa, alkitab juga mengatakan, orang itu tidak cuma ditakdirkan sebagai "pelayan", tetapi juga sebagai "pemimpin"! Setiap orang. Anda. Saya. Dia. Mereka. Semua.

BENARKAH yang saya katakan itu? O, benar sekali! Kebenaran ini malah sudah berlaku sebelum dosa datang. Bahkan sebelum manusia diciptakan.

Ia merupakan bagian dari rancangan atau desain ciptaan Allah dari awalnya.

Setelah selesai menciptakan segala sesuatu, termasuk yang terakhir yaitu menciptakan segala jenis binatang darat, Allah bersabda lagi, "Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut, dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi" (Kejadian 1:26)

Bagaikan nomor terakhir dalam pagelaran sebuah orkes simfoni, yang biasanya merupakan karya puncak, Allah hendak menutup seluruh karya penciptaan-Nya dengan menciptakan semacam "mahluk unggul"; -- "mahkota" seluruh ciptaan. "Manusia".

Dalam desain tersebut, "manusia" dijadikan "menurut gambar dan rupa Allah". Artinya, pada satu pihak, ia bukan Allah. Ia tetap mahluk. Ciptaan. Tak lebih dari mahluk-mahluk lain. Namun demikian, di lain pihak, ia lebih. Lebih, karena mahluk yang satu ini "manusia" adalah "citra Allah".

DALAM hal apa saja manusia merefleksikan Allah? Dalam banyak hal. Seluruh kedirian manusia -- kecuali dalam hal kefanaan dan keterbatasannya -- diciptakan untuk mencerminkan (bukan menyamai!) kedirian Allah.

Bila tidak dalam "hakikat" atau dalam "zat", ya paling sedikit ada kesejajaran dalam "sifat". Misalnya, dalam kehendak bebas dan kreativitas, dalam kecerahan akal-budi dan kesadaran hati nurani.

Dalam Kejadian 1:26 yang saya kutipkan di atas, ke"ilahi"an manusia secara khusus dinampakkan melalui "kekuasaan" yang dianugerahkan Allah kepadanya. Dengan perkataan lain, keilahian dalam diri manusia nampak melalui KEPEMIMPINANNYA!

Itu artinya, sejak awal mula penciptaan, manusia telah ditakdirkan sebagai "pemimpin". Semua yang menyandang sebutan sebagai "manusia"! Jadi, apakah saya juga "pemimpin"? Jawabnya adalah, "Ya". Paling sedikit, Anda ditentukan dan dipanggil Tuhan untuk menjadi "pemimpin"!

Kepemimpinan manusia itu, menurut Kejadian 1:26, adalah sekaligus merupakan hakikat, mandat, dan berkat Allah. Pertama, kepemimpinan adalah sesuatu yang melekat pada "hakikat" manusia. Karenanya, hakikat kemanusiaan seseorang tercermin melalui kepemimpinannya. Kepemimpinan yang brengsek mencerminkan kualitas kemanusiaannya yang brengsek pula.

Kedua, kepemimpinan adalah "mandat". Artinya, kelayakan seseorang menjadi pemimpin, bukanlah terutama merupakan hasil kelihaian sebuah tim sukses, atau hasil kepandaian yang bersangkutan mengobral janji dan menebar uang gizi.

Kepemimpinan adalah penugasan Allah, karena itu mesti dilaksanakan sesuai dengan kehendak-Nya. Memimpin bukanlah beroleh lisensi untuk berbuat semau-maunya atau mengeruk untung sebanyak-banyaknya -- mumpung!

Dan akhirnya, ketiga, kepemimpinan adalah "berkat". Menjadi pemimpin adalah karunia ilahi yang sangat unik. Sesuatu yang tidak dimiliki oleh mahluk-mahluk lain. Sebab itu luhur dan mulia.

Konsekuensinya, orang harus menjalankan kepempimpinannya dengan syukur, hormat dan khidmat. Jangan menodainya dengan tindakan- tindakan yang serampangan dan tidak ilahi! Sebab bila itu yang dilakukan, maka yang dihadapi tak kurang adalah Allah sendiri!

Sumber: http://www.glorianet.org/ekadarmaputera/ekadsaya.html

Spiritual Leadership

Penulis: Donny

Salam dalam kasih Kristus,
Di ibadah hari Minggu yang cerah ini, saya mendapatkan sesuatu yang mengesankan. Ya, kotbah hari ini dipimpin oleh Pdt. Caleb Tong, dan seperti biasanya beliau penuh ketajaman dalam menyampaikan pesan. Kotbahnya sendiri memang mengesankan, berbicara tentang kemurahan hati dan bagaimana Gereja yang Injili juga dapat memberi sumbangan besar bagi korban bencana, bagaimana hati yang digerakkan Injil bukan hanya berbicara tentang doktrin tetapi lebih dari itu: melakukannya. Tapi, selain pemberitaan Firman yang menggugah ini, ada hal lain yang mengesankan.

[block:views=similarterms-block_1]

Hal yang terasa berkesan itu adalah: bahwa sebenarnya, tadi pagi darah masih mengucur dari hidung Pak Caleb. Beliau mengalami musibah beberapa hari lalu, dan kalau mengikuti saran dokter seharusnya Pak Caleb tidak berkotbah. Matanya masih belum fokus, bicaranya pun masih terganggu. Tetapi hatinya lebih mengutamakan pemberitaan Firman, kepentingannya lebih condong pada melayani Tuhan, maka pagi-pagi ia sudah mempersiapkan diri. Dan Pak Caleb tidak setengah-setengah dalam menyampaikan kotbah; ia menyampaikannya dengan penuh, lengkap, tanpa dikurangi. Waktunya bahkan lebih lama daripada pengkotbah lain, yang lebih muda dan sehat, untuk suatu bahasan yang menyeluruh.

Saya menemukan kesiapan semacam ini merupakan hal yang mengesankan, satu pelajaran sendiri yang saya terima pagi ini. Dan sikap seperti ini bukan pertama kali saya jumpai dalam diri para pemimpin Gereja. Saya sebelum ini menemukannya pada diri Ibu Dorothy I. Marx, pada diri Pak Joseph Tong, dan juga --walau tidak secara langsung-- pada diri Pak Stephen Tong. Sikap untuk memberikan diri secara total, dan menunjukkan diri sebagai teladan. Dan sikap ini bukan baru sekarang, karena Alkitab sudah menunjukkan sikap ini sejak lama, dalam diri Rasul Paulus. Coba simak suratnya kepada jemaat di Korintus:

1 Kor 4:9:16 Sebab, menurut pendapatku, Allah memberikan kepada kami, para rasul, tempat yang paling rendah, sama seperti orang-orang yang telah dijatuhi hukuman mati, sebab kami telah menjadi tontonan bagi dunia, bagi malaikat-malaikat dan bagi manusia. Kami bodoh oleh karena Kristus, tetapi kamu arif dalam Kristus. Kami lemah, tetapi kamu kuat. Kamu mulia, tetapi kami hina.

Sampai pada saat ini kami lapar, haus, telanjang, dipukul dan hidup mengembara, kami melakukan pekerjaan tangan yang berat. Kalau kami dimaki, kami memberkati; kalau kami dianiaya, kami sabar; kalau kami difitnah, kami tetap menjawab dengan ramah; kami telah menjadi sama dengan sampah dunia, sama dengan kotoran dari segala sesuatu, sampai pada saat ini. Hal ini kutuliskan bukan untuk memalukan kamu, tetapi untuk menegor kamu sebagai anak-anakku yang kukasihi.

Sebab sekalipun kamu mempunyai beribu-ribu pendidik dalam Kristus, kamu tidak mempunyai banyak bapa. Karena akulah yang dalam Kristus Yesus telah menjadi bapamu oleh Injil yang kuberitakan kepadamu. Sebab itu aku menasihatkan kamu: turutilah teladanku!

Jemaat di Korintus mungkin membanggakan diri dengan kemegahan dan kemakmuran mereka, segala kemuliaan yang dapat dibayangkan orang. Tetapi jika kesejahteraan menjadi ukuran, maka para rasul tidak mempunyai tempat! Bagi para rasul, keberadaan mereka bahkan "telah menjadi sama dengan sampah dunia," yang sama sekali tidak berarti bagi dunia. Tetapi oleh para rasul, kekristenan disemai dan bertumbuh, bahkan hingga menjadi besar saat ini.

Tentu saja, keadaan Pak Caleb Tong tidaklah separah para rasul. Kita tidak dapat mensejajarkannya dengan para rasul. Ia tidak perlu lapar, haus, telanjang, dipukul dan hidup mengembara, dan seterusnya. Ia masih bisa menikmati keberadaannya sebagai pemimpin gereja yang besar, masih menikmati pelayanan dari banyak orang. Namun kita tidak perlu memikirkan perbandingan-perbandingan kesusahan atau "kebesaran" mereka, tetapi lihatlah pokok utama yang mereka tunjukkan: "Turutilah teladanku!"

Ini adalah kepemimpinan spiritual, sebuah kepemimpinan yang menggerakkan orang lain secara spiritual. Pokoknya bukanlah perilaku apa yang harus diikuti, tidak seperti keteladanan moral dan sikap yang pada umumnya dibahas orang. Di dalam kepemimpinan spiritual ini, ada ajakan, dorongan, himbauan, bagi orang lain untuk mencapai tingkat spiritual yang serupa. Dengan tingkat spiritual itu, orang dapat melakukan hal-hal yang secara esensial serupa dengan teladan yang diberikan oleh sang pemimpin, walau dalam konteks yang berbeda.

Maka, pada pagi hari ini saya tergerak untuk mengikuti teladan spiritual dari Pak Caleb, dalam konteks yang saya hadapi. Saya tergerak untuk menyisihkan kesusahan sendiri, agar bisa membagikan kemurahan pada orang lain. Saya tergerak untuk menyangkali kemalasan sendiri, agar bisa menuliskan hal-hal ini dan menggerakkan orang lain juga. Tentu saya tidak mempunyai konteks kehidupan Pak Caleb, tetapi saya bisa melakukan hal-hal yang secara esensial serupa dalam konteks saya, misalnya melalui internet dan milis, seperti yang Anda baca ini. Karena, saya sebenarnya tidak dalam keadaan cukup baik. Saya masih harus mengusahakan agar beban-beban finansial keluarga kami terpenuhi. Saya masih harus memikirkan bagaimana bisnis kami, agar besok kami masih bisa makan. Dan saya masih harus mengerjakan beberapa hal yang cukup mendesak di pertengahan bulan Juni 2006 ini.

Spiritual leadership yang saya alami selama ini telah mendorong saya untuk mengambil sikap. Bukan hal yang mudah, karena di mata sebagian orang, apa yang saya lakukan bukanlah hal yang tepat untuk dilakukan. Begini, saya telah berhenti bekerja di akhir tahun lalu, dan sejak itu saya berusaha sendiri. Tetapi keadaan ekonomi memang tidak begitu baik, jadi usaha baru yang dirintis juga tidak selancar yang dibutuhkan. Akibatnya, kami mengalami tekanan finansial yang cukup besar belakangan ini. Kalau saya bilang "no problem" maka tentu saya berdusta, karena hal itu menjadi masalah nyata sekarang.

Dalam keadaan bermasalah di keuangan ini, saya dan istri menemukan peran baru, sebagai konsultan keuangan. Heran? Sebenarnya, itu adalah istilah bagi agen asuransi -- disebut "Financial Consultant" karena kami dibekali sejumlah produk yang mampu membantu orang lain untuk menyelesaikan masalah finansial mereka di masa depan. Produk itu adalah kombinasi antara asuransi dan investasi, dengan tingkat pengembalian yang tinggi dan menguntungkan nasabah.

Masalahnya dengan produk asuransi: komisi yang diterima oleh agen dihitung dari besarnya premi dasar asuransi yang diterima, bukan dari besaran investasinya. Jadi, kalau kami menginginkan komisi lebih besar, kami harus mengatur agar premi dasar asuransi diperoleh sebesar-besarnya. Tapi hal ini berarti memperkecil investasi, dan ujung-ujungnya merugikan nasabah. Sekarang bagaimana? Masalah finansial seharusnya telah mendorong kami untuk mengusahakan sebesar-besarnya premi dasar asuransi, dengan demikian kami memperoleh komisi lebih besar dan selamat dari tekanan finansial ini. Namun bukan itu yang kami lakukan. Pada akhirnya kami tetap menghitung sebesar-besarnya investasi, agar memberikan keuntungan maksimum kepada nasabah. Itulah yang terjadi dengan polis-polis yang kami hasilkan.

Di ujungnya, kami memenuhi apa yang sesungguhnya ditawarkan oleh asuransi: keuntungan nasabah. Bodohkah, kalau lantas kami sendiri masih tertekan secara finansial?

Saya tidak merasa bodoh, karena inilah kepemimpinan spiritual yang saya ikuti. Nah, sampai sini mohon jangan keliru memahami; saya tidak sedang menawarkan apa pun kepada teman-teman sekalian. Saya hanya ingin menunjukkan, seperti itulah yang ada dalam konteks kehidupan saya sekarang. Tentu, tiap orang dapat memiliki konteks yang berbeda, tetapi secara esensial melakukan hal serupa. Membagikan kebaikan secara total. Hidup dalam kebenaran dan keadilan. Menunjukkan kerendahan hati, belas kasihan, dan kelemah-lembutan.

Bagaimana dengan gereja kita? Apakah ada Spiritual Leadership di sana? Ada gereja yang berdiri dengan fondasi yang terpancang di atas batu karang legalisme. Philip Yancey dalam bukunya "Gereja: Mengapa Dirisaukan?" (terjemahan dari "Church Why Bother?"), menuliskan tentang gereja masa kecilnya: "Mereka berbicara tentang anugerah tetapi sesungguhnya mereka hidup dengan hukum, mereka berbicara tentang kasih tetapi sesungguhnya mereka memperlihatkan tanda-tanda kebencian." Namun, bukankah deskripsi ini dapat diterapkan juga dalam lingkungan-lingkungan kita? Bukankah kita pun menemukan bagaimana orang-orang berseteru dalam gereja, bahkan sampai membawanya ke pengadilan negeri?

Mengapa harus seperti itu? Coba hitung, berapa banyak orang Kristen yang tidak lagi pergi ke gereja? Mereka di masa mudanya mendapatkan lingkungan yang penuh disiplin dan aturan, mula-mula terasa baik dan melindungi, tetapi kemudian menjadi hambar. Menyebalkan. Tidak ada kepemimpinan spiritual di sana; yang ada hanyalah aturan dan hukuman bagi pelanggarnya. Kalau tidak dihukum sekarang (dengan misalnya, "siasat gerejawi"), kelak akan dihukum masuk neraka. Dengan semua ancaman, tidak ada motivasi lain untuk melakukan hal ini atau itu selain menghindari hukuman. Apa maknanya bersikap baik, jika pendorong utamanya adalah agar tidak dicela orang lain?

Betul, orang bisa digerakkan oleh ancaman, tetapi tidak dalam waktu panjang. Pada akhirnya ancaman itu akan kehilangan taringnya dan orang mulai bersikap apatis. "Peduli amat!" "Emangnya gua pikirin?" Serta merta melanggar semua aturan dan kekangan, apalagi jika ternyata "melanggar itu enak euy!" Dibutuhkan motivasi lain untuk menggerakkan jemaat, untuk membuat orang dapat melepaskan bajunya dan berkeringat membangun bersama-sama. Itulah spiritual leadership yang ditunjukkan, yang diikuti dengan seruan "turutilah teladanku!"

Sekarang, mengapa pula orang harus mengikuti suatu kepemimpinan dalam bergereja? Pada kenyataannya, ada saja orang yang menyetarakan gereja dengan hiburan. Apa bedanya pergi ke gereja dengan nonton di bioskop? Orang merasa perlu terlayani di sana, menjadi penonton dari berbagai acara atau liturgi gereja. Di gereja protestan, aktor utamanya adalah pendeta di atas mimbar. Jemaat menjadi penonton dan pendengar; dan kalau pendetanya tidak menarik, ada saja orang yang mendengkur. Bagi mereka yang hadir sebagai penonton, tentu saja kepemimpinan tidak terlalu berarti. Toh orang hanya datang, duduk, memberi duit, lalu pergi lagi.

Coba pikirkan lagi: dalam setiap ibadah, siapa yang sesungguhnya menjadi pelaku, dan siapa penontonnya? Tuhan tidak menciptakan dunia ini agar Ia menjadi Aktor sementara manusia-manusia bodoh menjadi penonton. Sebaliknya! Tuhan mengawasi kita sekalian, dan kitalah yang menjadi pelaku-pelaku kehidupan. Bisa dikatakan, urusan terpenting yang dihadapi manusia adalah bagaimana tampil dengan baik di hadapan Sang Penonton, dan untuk itu kita membutuhkan kepemimpinan. Di Gereja kita hadir untuk menyembah Dia yang mengawasi kita, dengan sorot mata seperti seorang Bapa memandang anak-anak-Nya.

Karena itu, urusan kita adalah mendengar Rasul Paulus berkata "Turutilah teladanku!" maka kita memberkati ketika dimaki, sabar ketika dianiaya, dan menjawab dengan ramah ketika difitnah. Dan Rasul Paulus sendiri malah meneladani Tuhan Yesus, yang juga memberikan teladan-Nya bagi kita. Bukankah tujuan hidup kita di dunia ini adalah untuk menjadi serupa seperti Kristus? Baiklah kita hidup di dalam Dia yang menghidupkan.

Terpujilah TUHAN!

Team Work Empowerment

Penulis : Bagus Pramono

Sang Legenda juara dunia mobil Formula Satu asal Jerman Michael Schumacher mendapatkan prestasi yang luar biasa dengan meraih Juara Dunia 6 kali tidaklah lepas dari tangan dingin direktur teknik Ferrari Ross Brawn dan si Boss Jean Todd. Ketika Tahun 1996 keluar dari Benetton dan bergabung di Ferrari; Schumacher mempunyai satu syarat dengan memboyong Ross Brawn bersama-sama masuk kedalam timnya. Schumacher begitu yakin dia tidak bisa bekerja sendirian, dia perlu pendukung dalam kesuksesan karirnya. Demikian juga semua elemen yang paling kecil sekalipun dalam Ferrari Team memberikan andil dalam World Championships yang sepertinya cuma milik Schumacher saat ini. Kita melihat disini bahwa prestasi didapat dari sebuah kelompok kerja (team work).

TEAM-WORK LEADERSHIP
Zaman sekarang dimanapun sepertinya tidak berlaku lagi sebuah kepemimpinan dengan model dictatorship. Rakyat dimana-mana sepertinya sudah pintar-pintar tidak mau dipimpin dengan model kekuasaan yang absolute. Sistem Demokrasi menjadi primadona negara-negara di dunia masa sekarang.

Gaya "one man show leadership" sangat tidak populer lagi; Indonesia sudah kenyang akan hal ini walaupun dulu dikemas dengan bungkus "demokrasi terpimpin" tetapi ini hanya sebuah istilah saja; yang sebenarnya saat itu kita dipimpin oleh seorang "raja". Betapa seorang presiden mempunyai kuasa yang absolute. Hasilnya memang tidak selalu jelek; rakyat bisa aman, ada pembangunan, dan lain-lain. Tetapi jika ini kelamaan ada ekses-ekses yang buruk diantaranya korupsi pada kelompok-kelompok yang dekat dengan penguasa, penyalahgunaan kekuasaan dan berbagai akibat lain.

Di Indonesia setelah gerakan Reformasi, terjadi macam-macam kekacauan; sehingga ada banyak orang yang kembali merindukan Bapak kita yang lama untuk memimpin. Namun apakah ini hal yang relevan ?. Kita sedang masuk kedalam Era Baru Indonesia, marilah kita masing-masing menjadi bagian dalam Indonesia Baru.

Pemimpin yang kita butuhkan adalah sebuah Team Pemimpin ; bukan "one man show leadership". Kita harus cermat memilih team kepemimpinan mana yang paling menjanjikan dalam arah menuju Indonesia baru. Kita sedang ke arah itu dan sedang dalam proses, mungkin Indonesia bisa digambarkan sebagai seorang ibu yang sedang sakit beranak, maka jangan suka mengecam jika masih terjadi hal yang tidak cocok. Menyembuhkan bangsa yang sedang sakit parah memerlukan waktu. Kita tidak boleh menuntut sebuah perubahan yang "revolusioner". Kita harus mengerti betapa susahnya menghapus sebuah sistem yang sudah solid dalam 32 tahun itu. Tetapi mari kita bersama-sama memberikan andil dalam mewujudkan negara dan bangsa yang bersatu untuk maju. Kita mulai dari lingkungan kita yang terkecil, di keluarga, di masyarakat, berdisiplin, berbudaya dan ini akan memberikan andil pada skala yang lebih luas. Saya yakin ada masa depan yang cerah bagi Indonesia.

WARNA KEPEMIMPINAN
Amatilah kira-kira warna apa yang akan dipakai oleh pemimpin baru kita nanti. Apakah Demokrasi Nasionalis, Pluralis, Teokrasi atau yang lain? Sistem Pemerintahan yang represif masa sekarang akan selalu mendapatkan sorotan yang tajam dalam diskursus (wacana) yang bernama HAM. Demikianpun sistem pemerintahan yang teokrasi akan juga bersifat represif dan pasti akan melanggar ham-nya orang yang punya kepercayaan lain. Fundamentalisme dapat menjadi sesuatu yang mengerikan, entah dari agama mana pun. Agama-agama yang hampir seluruhnya mempunyai tujuan luhur yaitu perdamaian; tetapi atas nama agama pula telah terjadi begitu banyak kerusuhan.

Kriteria yang bagaimana yang harus dimiliki pemimpin? Berpenampilan berwibawa?, enak dilihat? haruskan dia (kelihatan) pandai? Haruskan dia pintar dalam berbahasa? Mengenai ini saya ingin berceritera tantang sosok perempuan dengan kepribadian luar biasa Shirin Ebadi, pemenang Nobel Perdamaian 2003. Bahasa Prancis atau Inggrisnya lemah. Satu-satunya bahasa yang dikuasai hanya Parsi, bahasa ibu. Tapi itu ternyata tidak penting. Kiprah Ebadi di negaranya memberikan andil yang penting dalam pemerintahan Presiden Kathami. Pada masa kepemimpinan Kathami, Iran menjadi negara yang lebih demokratis dan toleran setelah sedemikian lama dikuasai oleh sistem teokrasi yang represif tersebut. Kita melihat disini bahwa keberhasilah pemimpin juga karena andil dari orang-orang dibelakangnya.

Kadang kita terlalu under-estimate terhadap figur pemimpin; mampukah dia? layakkah dia? pintarkah dia?. Tetapi itu semua bukan hal yang paling menentukan. Pemerintahan adalah sebuah team yang terdiri dari berbagai elemen, ada presiden, wakil presiden, para menteri, team-team penasehat, dan lain sebagainya. Elemen-elemen itulah yang menentukan keberhasilan sebuah team-work leadership. Perlukah seorang pemimpin yang multi-talents? Hal tersebut tidak tentu dilarang tapi yang terlebih penting adalah kebijaksanaan yang dimiliki pemimpin itu. Kemampuan untuk bisa memberdayakan potensi masing-masing anggota team-work, dan keharmonisan dalam bekerja-sama. Seorang pemimpin yang dominan, lama-kelamaan akan mengarah ke dictactorship; Kita sudah melihat contoh-contoh nya, bukan?!. Kebijaksanaan-kebijaksanaan yang diproduksi oleh pemerintah tidak boleh ditentukan oleh "satu orang saja", melainkan harus melalui kesepakatan sebuah dewan yang ada dalam pemerintahan (consensus building).

WOMAN EMPOWERMENT
Haruskah seorang pemimpin itu laki-laki? Walaupun Tuhan menetapkan laki-laki adalah kepala dan istri adalah penolong yang setia. Namun ada beberapa keadaan dimana Allahpun memakai seorang perempuan. Contohnya Deborah seorang nabiah di Efraim yang tinggal diantara Rama dan Betel menjadi hakim orang Israel ketika itu. Dibawah pimpinan Tuhan, dia menyuruh memanggil Barak dan memerintahkannya supaya mambawa sepuluh ribu orang bani Naftali dan bani Zebulon untuk membebaskan Israel (Hakim-Hakim 4). Saya mengangap disini Deborah yang memimpin pembebasan bangsa Israel ini menempatkan dirinya juga sebagai seorang penolong. Deborah mempunyai team-work, sebagai seorang perempuan mungkin dia kurang mampu berjuang sendirian dan mempimpin pasukan, tetapi dia mampu mendelegasikannya kepada Barak untuk melakukan visi mulianya itu dan mereka merupakan sebuah team-work yang solid.

Walaupun tidak sepenuhnya setuju dengan "faham feminisme"; tetapi saya percaya bahwa s2eorang perempuan juga diperlengkapi oleh Tuhan untuk bisa memimpin pada saat diperlukan. Apabila negara kita pernah dipimpin oleh seorang perempuan; maka berbahagialah kaum feminis, bahwa Indonesia telah mencapai titik "kesetaraan gender" yang istimewa. Sebaliknya ketika sebuah kelompok mempersoalkan "gender" dalam kepemimpinan, dan ditambah lagi dengan keluarnya Fatwa Haram terhadap pemimpin perempuan, maka hal demikian adalah sebuah "penganiayaan" dengan menggunakan dalih agama.

Kita telah melihat sejarah banyak sekali perempuan-perempuan Asia yang cukup berprestasi dalam kepemimpinannya contohnya adalah Indira Gandhi, Gloria Macapagal-Arroyo, Benazir Bhutto, Chandrika Bandaranaike Kumaratungga, dan Megawati Soekarnoputri. Sesuatu hal sepertinya seragam bahwa mereka mempunyai ayah yang juga pernah menjadi pemegang kekuasaan yaitu sebagai perdana m2enteri atau presiden di negaranya. Deretan nama ini akan semakin panjang bila menyebut Corry Aquino dan Sirimavo Bandaranaike (3 kali terpilih sebagai PM Srilanka yang juga merupakan the world´s first woman Prime Minister pada tahun 1961.) Sirimavo menjadi Perdana Menteri, setelah suaminya terbunuh bersama dengan menantu lelakinya oleh lawan politiknya. Kiprahnya ini diteruskan oleh anak perempuannya Chandrika menjadi presiden Srilanka sejak tahun 1994 sampai sekarang. Kemudian Makiko Tanaka menjabat sebagai Menteri Luar Negeri perempuan yang pertama di Jepang, juga mempunyai ayah yang pernah malang melintang dan memberi warna pada dunia perpolitikan di Jepang selama kurun waktu 29 tahun. Yang saat ini masih ditunggu kiprahnya lebih lanjut adalah Park Geun Hye putri dari Presiden Korea Selatan Park Chung Hee. Itu semua adalah contoh-contoh perempuan-perempuan yang berprestasi dalam memimpin.

Ketika seorang perempuan diizinkan Allah untuk memimpin, itu bukanlah berarti dia akan hanya menjadi seorang pemimpin saja tetapi dia juga ditempatkan sebagai seorang penolong yang setia dalam keadaan yang diperlukan dan ini bukan berarti mengeleminasi peran laki-laki, seperti halnya Nabiah Deborah dan figur-figur lain dalam Alkitab. Ratu Esther memerankan peran penting bagi keselamatan bangsanya dan juga mempunyai team-work yang bernama Mordekhai. Posisi Mordekhai di luar lingkungan istana sedangkan Esther di dalam lingkungan istana. Figur Mordekhai sebagai rekan-sekerja sungguh istimewa; Mordekhai beriman bahwa Tuhan pasti tidak akan diam, melihat umat-Nya hancur. Hal ini karena Mordekhai melihat di sepanjang sejarah bangsa Israel; Tuhan memimpin bangsa Israel keluar dari perbudakan, menuntun ketika dalam kesulitan. Mordekhai beriman pada masa yang lalu, jadi Tuhan pasti juga akan memimpin pada masa sekarang. Mordekhai bahkan mampu menggugah Esther, ketika Esther mulai terlena menikmati kedudukannya sebagai ratu dan lupa p400sinya sebagai umat Tuhan (Ester 4:13-14). Jadi bolehlah kita menimbang, apakah ada Mordekhai-Mordekhai masa sekarang di sekitar calon-calon presiden itu.

TEAM KEPEMIMPINAN YANG BERWIBAWA
Kita semua tentu menginginkan seorang pemimpin yang "presents him/herself presidentially" atau figur yang benar-benar menjadi icon bangsa kita yang membuat negara bangga dan hormat terhadapnya. Tetapi terlebih penting adalah hasil kerja dari "team-work leadership" itu.

Bilamana sebuah Team Kepemimpinan itu meraih wibawa didepan mata rakyat?. Adalah ketika mereka membuktikan bahwa mereka adalah team yang mempunyai Integritas!. Bukan hanya obral janji melainkan membuktikan apa yang dijanjikannya itu. Satu hal yang membuat sebagian besar orang enggan mendengar omongan politikus-politikus adalah karena mereka tidak sepenuhnya merasa yakin bahwa figur itu akan membawa mereka menuju ke tujuan yang mereka janjikan. Apakah pemimpin itu sudah dikenal sebagai seseorang yang mempunyai integritas? Bila ya, maka dia layak menjadi seorang pemimpin bagi bangsa ini. Team Kepemimpinan harus membuktikan bahwa mereka adalah terdiri dari orang-orang yang berdedikasi/ komit terhadap pemulihan negara ini. Yang berani menghadapi resiko, pantang menyerah, mau melakukan perubahan bagi Indonesia ke arah yang lebih baik.

Kepemimpinan yang efektif memerlukan pembinaan kesepakatan umum (consensus building) dan penggalangan dukungan seluas mungkin terhadap kebijakannya. Inilah kehebatan hasil kerja team-work. Gaya-gaya "oneman show leadership" atau "pemimpin yang berjalan semau sendiri" bertentangan dengan prinsip bekerja dalam kelompok (team work), prinsip pembagian kerja dan pendelegasian wewenang, adalah mutlak diperlukan dalam usaha mengatasi krisis sosial-ekonomi yang terpuruk.